Di atas tanahku, dari dalam airku, tumbuh kebahagiaan
Di sawah kampungku, di jalan kotaku
terbit kesejahteraan
DARI sebuah warung kopi di Jl Gatot Subroto, Medan, Rabu (20/4) sore, syair yang ditingkahi musik ringan serba riang itu terdengar. Nada-nada gitar yang terus naik turun, juga suara pukulan gendang. Ada juga seruling pada interlude. Lagu yang secara nyata menempatkan diri sebagai sebuah ironi: irama riang tapi bercerita perihal kesedihan yang merupakan wajah asli bumi pertiwi.
Tapi kuheran di tengah perjalanan/muncullah ketimpangan/aku heran, aku heran/yang salah dipertahankan/aku heran, aku heran/yang benar disingkirkan
Syair-syair dari Perahu Retak. Lagu yang sudah lama tak mengalun, mungkin hampir terlupa, sore itu terdengar lagi. Terdengar untuk membikin siapa saja yang mendengarnya terhenyak.
“Perahunya masih retak, dia sudah pergi. Mungkin sampai kapan pun akan terus retak,” kata seorang pengunjung warung kopi, seorang lelaki setengah baya. Nada suaranya datar saja, tanpa bermaksud untuk berpuisi, seperti suara yang nyaris tanpa harapan.
Begitulah, Franky Sahilatua menyuarakan Perahu Retak pada tahun 1995. Franky hanya membuat aransemen saja sebenarnya karena syair-syair nan merasuk ini ditulis oleh budayawan Emha Ainun Nadjib. Tapi suara Franky, serta sosoknya yang sudah mengkristal sebagai penyambung suara rakyat (bersama Iwan Fals di lain sisi), membuat lagu ini menjadi lagu wajib bagi mereka yang merasa diri tertindas. Lagu wajib bagi mereka yang cuma bisa heran melihat keserakahan diagungkan dan perbandingan satu kenyang seribu kelaparan dipaksa menjadi sebuah kemakluman.
Di masa reformasi, bersama Peringatan, puisi Wiji Thukul yang garang itu (di dalamnya terdapat sebaris kalimat legendaris: Hanya ada satu kata, lawan!), lagu Perahu Retak menjadi “selebritas” di panggung-panggung unjukrasa. Gelombang unjukrasa itu menuntaskan kekuasaan 32 tahun Presiden Suharto. Namun keheranan Franky dan Emha dalam lagu itu tidak pernah bisa terjawab tuntas.
Hingga Franky Sahilatua meninggal dunia di Rumah Sakit Medika Permata Hijau di Jl Raya Kebayoran Lama, Jakarta Barat, Rabu sore, keheranan tersebut justru kian kuat dan bagaikan penyakit merayap menjangkit sendi-sendi kehidupan bangsa yang lain. Ada mafia di pengadilan. Korupsi demi korupsi yang jumlah uang tilepannya makin tak masuk akal. Wakil rakyat yang kian tidak peduli pada rakyat.
Ah, perahumu memang masih retak, Bung! Atau, adakah kiranya kau memang sudah bosan mempertanyakan keheranan itu?
obituari
Nama: Franky Hubert Sahilatua
Lahir: Surabaya, 16 Agustus 1953
Meninggal: Jakarta, 20 April 2011 (57 tahun)
Ayah: Hubert Johannes Sahilatua
Ibu: Theodora Yofefa Uneputi Sahilatua
Istri: Anti Sahilatua
Anak: Ken Noorca Sahilatua, Hugo Delano Sahilatua
Profesi: Penyanyi, aktivis kemanusiaan
Tahun Aktif: 1985-2011
Diskografi: Balada Wagiman Tua (1982), Gadis Kebaya (1984), Anak Emas, Lelaki dan Telaga, Kemarin, Terminal (1993, bersama Iwan Fals), Perahu Retak (1995, bersama Emha Ainun Najib), Orang Pinggiran (1997, bersama Iwan Fals), Menangis (1999, bersama Iwan Fals). Franky membuat 15 album bersama adiknya Jane Sahilatua, terakhir bertajuk Lelaki dan Rembulan (1993)
Dimuat Harian Tribun Medan
Kamis 21 Februari 2011
terbit kesejahteraan
DARI sebuah warung kopi di Jl Gatot Subroto, Medan, Rabu (20/4) sore, syair yang ditingkahi musik ringan serba riang itu terdengar. Nada-nada gitar yang terus naik turun, juga suara pukulan gendang. Ada juga seruling pada interlude. Lagu yang secara nyata menempatkan diri sebagai sebuah ironi: irama riang tapi bercerita perihal kesedihan yang merupakan wajah asli bumi pertiwi.
Tapi kuheran di tengah perjalanan/muncullah ketimpangan/aku heran, aku heran/yang salah dipertahankan/aku heran, aku heran/yang benar disingkirkan
Syair-syair dari Perahu Retak. Lagu yang sudah lama tak mengalun, mungkin hampir terlupa, sore itu terdengar lagi. Terdengar untuk membikin siapa saja yang mendengarnya terhenyak.
“Perahunya masih retak, dia sudah pergi. Mungkin sampai kapan pun akan terus retak,” kata seorang pengunjung warung kopi, seorang lelaki setengah baya. Nada suaranya datar saja, tanpa bermaksud untuk berpuisi, seperti suara yang nyaris tanpa harapan.
Begitulah, Franky Sahilatua menyuarakan Perahu Retak pada tahun 1995. Franky hanya membuat aransemen saja sebenarnya karena syair-syair nan merasuk ini ditulis oleh budayawan Emha Ainun Nadjib. Tapi suara Franky, serta sosoknya yang sudah mengkristal sebagai penyambung suara rakyat (bersama Iwan Fals di lain sisi), membuat lagu ini menjadi lagu wajib bagi mereka yang merasa diri tertindas. Lagu wajib bagi mereka yang cuma bisa heran melihat keserakahan diagungkan dan perbandingan satu kenyang seribu kelaparan dipaksa menjadi sebuah kemakluman.
Di masa reformasi, bersama Peringatan, puisi Wiji Thukul yang garang itu (di dalamnya terdapat sebaris kalimat legendaris: Hanya ada satu kata, lawan!), lagu Perahu Retak menjadi “selebritas” di panggung-panggung unjukrasa. Gelombang unjukrasa itu menuntaskan kekuasaan 32 tahun Presiden Suharto. Namun keheranan Franky dan Emha dalam lagu itu tidak pernah bisa terjawab tuntas.
Hingga Franky Sahilatua meninggal dunia di Rumah Sakit Medika Permata Hijau di Jl Raya Kebayoran Lama, Jakarta Barat, Rabu sore, keheranan tersebut justru kian kuat dan bagaikan penyakit merayap menjangkit sendi-sendi kehidupan bangsa yang lain. Ada mafia di pengadilan. Korupsi demi korupsi yang jumlah uang tilepannya makin tak masuk akal. Wakil rakyat yang kian tidak peduli pada rakyat.
Ah, perahumu memang masih retak, Bung! Atau, adakah kiranya kau memang sudah bosan mempertanyakan keheranan itu?
obituari
Nama: Franky Hubert Sahilatua
Lahir: Surabaya, 16 Agustus 1953
Meninggal: Jakarta, 20 April 2011 (57 tahun)
Ayah: Hubert Johannes Sahilatua
Ibu: Theodora Yofefa Uneputi Sahilatua
Istri: Anti Sahilatua
Anak: Ken Noorca Sahilatua, Hugo Delano Sahilatua
Profesi: Penyanyi, aktivis kemanusiaan
Tahun Aktif: 1985-2011
Diskografi: Balada Wagiman Tua (1982), Gadis Kebaya (1984), Anak Emas, Lelaki dan Telaga, Kemarin, Terminal (1993, bersama Iwan Fals), Perahu Retak (1995, bersama Emha Ainun Najib), Orang Pinggiran (1997, bersama Iwan Fals), Menangis (1999, bersama Iwan Fals). Franky membuat 15 album bersama adiknya Jane Sahilatua, terakhir bertajuk Lelaki dan Rembulan (1993)
Dimuat Harian Tribun Medan
Kamis 21 Februari 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar