Judul:
Wacana Kritik Seni Rupa Di Indonesia
Penulis:
Mamannoor
Pengantar:
DR. Bambang Sugiharto
Penerbit:
Yayasan Nuansa Bandung,
Cetakan Pertama, Oktober 2002
Tebal:
212 halaman
Photo Exhibition "Relatives" by Tino Djumini
at Rumah Seni Yaitu, January 2007. (Photo: Ferintus Karbon)
BUKU "Wacana Kritik Seni Rupa di Indonesia - Sebuah Telaah Kritik Jurnalistik dan Pendekatan Kosmologis" yang ditulis oleh Mamannoor mengisi kekosongan langkanya buku kritik seni rupa Indonesia. Buku ini sebenarnya merupakan tesis S2 dari penulisnya di Jurusan Seni Rupa FSRD- ITB pada semester genap tahun akademik 1997-1998. Penulisnya selama ini dikenal pula sebagai kritikus seni rupa.
Mamannoor, selama beberapa tahun, menjabat sebagai salah satu Kurator di Galeri Nasional Jakarta. Kritikus seni yang sempat memberikan lokakarya kreatif seni rupa di Semarang itu meninggal dunia tahun lalu, Minggu (7/10). Almarhun menderita sakit kelenjar getah bening.
Selayaknya tesis, Mamannoor menulis dengan pendekatan dan pola akademis yang ketat. Isi bukunya memaparkan penelitiannya – selama 3 tahun: awal 1993 hingga akhir 1995 (hlm. 13) – mengenai seluk-beluk kritik jurnalistik seni rupa modern yang bertebaran di sejumlah penerbitan, majalah maupun koran, dalam kurun waktu 1950-an hingga 1997 (hlm. 30). Penelitian terbatas pada kritik yang ditulis oleh kritikus Indonesia terhadap kegiatan dan karya para seniman Indonesia.
Mamannoor membagi tulisannya menjadi dua bagian besar, yakni: Bagian Pertama: Kritik Jurnalistik Seni Rupa Indonesia (Bab I-V) dan Bagian Kedua: Metode Pendekatan Kritik Seni Rupa Berdasarkan Penghayatan Kosmologis (Bab VI).
Kritik Jurnalistik
Kritik diartikan sebagai "pembicaraan langsung mengenai seni dalam rangka menganalisis, menginterpretasi, dan menilai karya seni" (hlm. 39). Mengutip Edmund Burke Feldman, kritik jurnalistik seni rupa dinyatakan dalam kategori berita, namun ia juga berupa tulisan analisis secara sistematis tentang suatu karya seni rupa yang akan, sedang, atau telah dipamerkan (hlm. 44).
Umumnya paparan kritik seni rupa akan menunjukkan tahapan deskripsi sebuah karya seni rupa, analisis formal, proses apresiasi, dan terakhir disodorkan hasil evaluasinya. Namun, paparannya itu tidak selalu harus tampil berurutan. Sedangkan penilaian kritik atas karya seni rupa berdasarkan pertimbangan Formalisme, Ekspresivisme, dan Instrumentalisme.
Selama ini kritik seni rupa di Indonesia, menurut Mamannoor, meminjam perangkat pengkajian/teori asal Barat. Teori kritik seni rupa modern Barat membaginya menjadi Kritik Jurnalistik, Pedagogik, Akademik, dan Populer. Keempatnya membawa berbagai konsekuensi penelaahan dan sasaran yang berbeda.
Perangkat pinjaman itu diyakini tidak mampu secara lengkap membaca karya seni rupa yang dihasilkan oleh seniman Indonesia. Sebab, seni rupa modern Indonesia berbeda secara signifikan dengan seni rupa modern pada umumnya di dunia Barat. Seni rupa Indonesia tumbuh dengan nilai-nilai historisitasnya sendiri dan tidak selalu berpadanan linear dengan sejarah seni rupa modern Barat.
Begitu juga seniman Indonesia tumbuh dan dibesarkan dalam kultur serta nilai-nilai kosmologis yang tidak sama pula dengan seniman modern Barat. Inilah pokok persoalan yang menimbulkan keyakinan Mamannoor, perlunya suatu pendekatan kritik seni rupa modern Indonesia berdasar nilai-nilai lokalitasnya sendiri, sehingga dia menawarkan suatu metode pendekatan kritik seni rupa berdasar penghayatan kosmologis (uraian lengkap pada Bagian Kedua, Bab VI).
Pada Bab I-V Mamannoor memaparkan penelitiannya tentang kritik jurnalistik seni rupa di berbagai media penerbitan. Pada umumnya, disimpulkan bahwa kritik jurnalistik itu dapat meningkatkan apresiasi pembaca/masyarakat awam terhadap karya seni rupa. Keyakinan itu juga diamini oleh para senimannya. Namun, sebagian besar seniman meragukan kualitas tulisan kritik seni rupa yang ada selama ini. Bahkan Jim Supangkat - kritikus seni rupa terkemuka - menilai "sebagian tulisan kritik seni rupa kita adalah ulasan yang buruk bahkan menyesatkan" (hlm. 108).
Apa latar belakang sinyalemen Jim di atas? Kembali Mamannoor mencangkok pendapat Jim Supangkat dan Edmund Burke Feldman, bahwa pada umumnya penulis kritik jurnalistik seni rupa itu adalah para wartawan, yang terkadang wartawan umum, yang tidak mafhum tentang seni rupa (hlm. 108).
Padahal, menurut kritikus Almarhum Sanento Yuliman, "Sesungguhnya kritik itu sendiri suatu karya seni". Untuk itu pada seorang kritikus tidak saja dibutuhkan intuisi dan intelegensi, tetapi juga kecakapan penggunaan bahasa (hlm. 76).
Penghayatan Kosmologis
Photo Exhibition "Relatives" by Tino Djumini
at Rumah Seni Yaitu, January 2007. (Photo: Ferintus Karbon)
Istilah "kosmologis" dimaksudkan sebagai "permasalahan kesemestaan, keduniaan, atau kejagatan yang bersifat fisik dan metafisik" (hlm. 133). Dengan begitu Mamannoor "memberi tekanan berat pada konstruksi "dunia" di balik seniman maupun di balik karya" (Pengantar DR. Bambang Sugiharto, hlm. 8).
"Dunia" makrokosmos dan mikrokosmos peradaban seni rupa modern Barat diyakini Mamannoor berbeda dengan "dunia" dalam penghayatan seniman Indonesia. Baginya, seniman Indonesia memiliki nilai-nilai spiritualitas dan kosmologis nusantara di mana seniman itu hidup di dalamnya. Itulah mengapa untuk menelaah suatu karya seni rupa Indonesia, tidak bisa begitu saja meminjam semua pola pengkajian dan pisau analisis model Barat.
Metode pendekatan yang ditawarkan mengacu kepada pemahaman kosmologis yang bersifat metafisik, yang merupakan pelanjutan dan perluasan filsafat manusia. Prototipe objek formal dalam kosmologi metafisik dan titik pangkal penelitian adalah manusia, sejauh dia secara sadar berkorelasi dengan masyarakat dan dunia; atau pula sejauh dia merupakan bagian dunia dan sejauh dia adalah duniawi (hlm. 133).
Dan dalam penghayatan kosmologis seniman Indonesia tidak bisa dilepaskan dari pembicaraan mengenai unsur spiritualitasnya. Mamannoor menandai dua macam spiritualitas, yakni religius dan sekuler. Menurutnya, dalam suatu fase, seni rupa modern Barat meninggalkan spritualitas religiusnya, maka lahirlah wacana "art for art sake" yang lebih menitikberatkan pembahasan estetika formal saja (hlm. 137).
Pembahasan suatu karya seni tidak bisa lepas dari kreatornya, sehingga posisi seniman menjadi sentral. Ia menekankan penelaahan kosmologis senimannya yang meliputi pendekatan genetis, biografis, juga pernyataan seniman bersangkutan (hlm. 166). Disamping itu juga harus dibicarakan kosmologis proses karya si seniman berikut kosmologis karya seninya itu sendiri. Mamannoor menggambarkan seniman, proses berkarya, dan hasil karya dalam suatu lingkaran mikrokosmos. Sedangkan stimulus/rangsangan dan apresiator berada dalam lingkaran makrokosmos.
Catatan
Photo Exhibition "Relatives" by Tino Djumini
at Rumah Seni Yaitu, January 2007. (Photo: Ferintus Karbon)
Ada beberapa hal yang perlu dikritisi pada buku ini, misal waktu dan materi penelitian yang tidak sinkron (lihat alinea 2 bahasan ini). Disadari pula bahwa salah satu kelemahan kritik jurnalistik seni rupa, ialah keterbatasan waktu tenggat muat dan halaman media/penerbitan termaksud. Oleh sebab itu, tawaran metode kritik berdasar penghayatan kosmologis tidak memberikan solusi ideal. Kita tahu, metode itu memerlukan waktu dan bahan penelaahan yang komprehensif, sehingga hasil telaah itu sendiri menjadi lebih panjang. Belum lagi penelaah yang menyiratkan orang yang kompeten atas persoalan seni rupa.
Pada kenyataannya, metode yang ditawarkan bisa melengkapi kecenderungan pengkajian, yang marak akhir-akhir ini, seperti pendekatan fenomenologi, postrukturalisme, ataupun hermeneutik. Mamannoor mengingatkan kita betapa pentingnya pembahasan mengenai subjek senimannya.
Kendati buku ini tidak menyodorkan teknik yang aplikatif seperti halnya keharusan suatu metode/disiplin ilmu, tetapi tetap saja menarik untuk dicermati oleh penekun/peminat seni rupa, mahasiswa seni rupa, juga para wartawan budaya pada umumnya. Tuturan bahasanya lancar dan dilengkapi sejumlah diagram yang membantu pemahaman. (Tubagus P. Svarajati)
Tampilkan postingan dengan label Seni Rupa. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Seni Rupa. Tampilkan semua postingan
Senin, 09 September 2013
XXL: Melihat Seni Rupa Indonesia dengan Perspektif Ukuran
Teks & foto: Jaya Liem | Editor: Intan Larasati
Dalam setahun dua tahun belakangan ini, ada kecenderungan baru di kalangan pemilik museum pribadi di dunia untuk mengakuisisi karya-karya seni berukuran besar sembari membangun ruang pamer yang mampu mengakomodasi karya-karya itu. Alasan di balik kecenderungan ini, menurut mereka, adalah untuk memberi kesempatan kepada publik untuk bisa menikmati karya-karya seni berukuran besar. Hal ini dikarenakan kebanyakan museum-museum konvensional tidak memiliki koleksi karya seni berukuran besar akibat ruang pamer yang tidak memadai untuk mempresentasikan karya-karya tersebut.
Permasalahan ruang pamer yang memadai, dalam artian ukurannya, memang sering menjadi permasalahan dalam perhelatan seni rupa kontemporer saat ini. Karya seni semakin lama semakin besar, namun kebanyakan ruang pamer masih berukuran sama. Untuk mengatasi permasalahan ruang pamer itu, seringkali akhirnya karya-karya berukuran besar dipamerkan di ruang-ruang publik seperti mal, gedung perkantoran, bandara, bahkan gudang. Sekilas memang masalah ini terpecahkan, namun jika karya tersebut membutuhkan perlakuan khusus, baik dalam segi materialnya ataupun keamanan karena sifatnya yang rapuh, maka penggunaan ruang publik ini tidak bisa menjadi solusi. Apalagi kondisi di ruang publik yang biasanya ramai, bisa jadi juga akan mengganggu publik yang ingin menikmati karya tersebut.
Selama satu bulan penuh, mulai dari tanggal 12 Agustus sampai 12 September 2012 lalu, Jogja Contemporary menyelenggarakan pameran bertema “XXL: State of Indonesian Art” di Sangkring Art Space, Yogyakarta. Sesuai dengan temanya, pameran yang dikuratori oleh Valentine Willie ini memang menghadirkan karya-karya seni berukuran besar dari 15 seniman kontemporer terkemuka Indonesia yaitu: Agus Suwage, Arahmaiani, Budi Kustarto, Eko Nugroho, Handiwirman, Heri Dono, Jumaldi Alfi, M. Irfan, Mella Jaarsma, Nasirun, Nindityo Adipurnomo, Putu Sutawijaya, Tisna Sanjaya, Ugo Untoro, dan Yusra Martunus.
Alasan utama Valentine Willie untuk mengadakan pameran ini adalah karena beberapa tahun belakangan ini sangat jarang publik bisa melihat karya-karya para seniman ini dipamerkan di Yogyakarta akibat padatnya jadwal pameran mereka di luar Yogyakarta dan/atau di luar negeri. Alasan kedua adalah karena jarang sekali seniman-seniman tersebut berkesempatan untuk berpameran bersama-sama, sehingga jarang juga terlihat karya mereka dipamerkan berdampingan. Sedangkan alasan ketiga adalah karena ruang pamer besar yang dimiliki Sangkring memberi kesempatan bagi para seniman yang terlibat untuk membuat karya-karya berukuran besar dan bisa dipamerkan.
Kesempatan untuk membuat karya berukuran besar rupanya sudah ditunggu oleh beberapa seniman. Jumaldi Alfi menyatakan bahwa kesempatan untuk membuat lukisan yang berukuran besar merupakan sebuah tantangan besar karena dalam proses pembuatannya dibutuhkan kemampuan khusus dalam hal penguasaan areal kanvas. Budi Kustarto juga menyatakan merasa senang mendapat kesempatan membuat karya berukuran besar, karena terakhir kali dia membuat karya berukuran besar adalah pada tahun 1998 ketika mengerjakan lukisan dinding untuk sebuah klub di Swiss.
Karya-karya berukuran besar yang dipamerkan dalam pameran ini memang tidak semuanya karya baru yang dibuat khusus untuk pameran ini. Karya Agus Suwage yang berjudul “Monumen yang Menjaga Hankamnas” sebelumnya pernah dipamerkan dalam pameran tunggalnya di Galeri Nadi, Jakarta bulan April lalu. Demikian juga dengan karya obyek Handiwirman yang pernah dipamerkan di Galeri Nasional Jakarta pada akhir Maret tahun lalu, karya Mella Jaarsma yang pernah dipamerkan di ART|JOG|12, karya Nindityo Adipurnomo yang pernah dipamerkan di Galeri Semarang, dan karya Eko Nugroho, serta karya Yusra Martunus yang juga pernah dipamerkan sebelumnya.
Dalam tulisan pengantar pameran, Valentine Wilie menyatakan bahwa ukuran telah memainkan bagian yang penting dalam sejarah seni rupa, dan sensasi dari karya seni monumental mencerminkan kualitas kreativitas yang luar biasa mengagumkan dalam merepresentasikan pengalaman manusia. Karya-karya demikian melalui bentuknya yang sangat fisik mampu menunjukkan pernyataan dan kritik yang sangat kuat mengenai sistem kontrol, dominasi, dan otoritas yang seringkali dalam konteks agama, spiritualitas, pemerintah dan rakyat.
Pameran XXL mengambil peran sebagai titik awal kemampuan karya-karya tablo dan bernarasi besar untuk mengobservasi, mewakili, dan menginterogasi keadaan bangsa. Untuk mengantisipasi berbagai pendekatan yang merangkai kritik pribadi dan publik, humor, idealisme, peringatan, dan observasi mengenai ide-ide kebangsaan, komunitas dan realitas politik, pameran ini ditujukan untuk menghadirkan percakapan visual tentang situasi kontemporer Indonesia saat ini.
Dalam salah satu esai yang dimuat di katalog pameran, Amir Sidharta mengatakan bahwa pameran ini tidak hanya menghadirkan karya-karya dengan ukuran/skala fisik yang monumental. Ada banyak ukuran/skala lain yang bisa dibaca seperti skala kesejarahan dalam lukisan Budi Kustarto yang berjudul “War”, skala leluhur dalam karya bordir Eko Nugroho yang berjudul “My Father’s Portrait” dan “Fighter”, skala kognitif dalam seri karya obyek Handiwirman yang berjudul “Tak Berakar, Tak berpucuk”, skala moral dalam lukisan Heri Dono yang berjudul “The loyal Barong”, skala binatang dari karya instalasi Mella Jaarsma yang berjudul “Animals Have No Religions – Indra I”, skala informasi dari karya Nasirun yang berjudul “Mbah Google”, dan seterusnya.
Pameran XXL direncanakan akan diselenggarakan setiap tahun pada bulan Agustus yang merupakan bulan monumental dalam sejarah bangsa Indonesia. Dengan pameran ini diharapkan akan semakin dipahami bahwa Indonesia merupakan negara yang besar, yang sarat dengan keragaman dan kekayaan budaya. Selain itu, dalam jangka panjang, diharapkan juga dapat dilihat dialog yang terbentuk di antara para seniman yang terlibat dalam pameran ini dalam hal ide, kompetisi, dan sebagainya.
Jaya Lim Jaya Lim
Lulus dari Fakultas Hukum UGM program kekhususan HaKI. Aktif terlibat dalam skena musik lokal dan gerakan DIY pada pertengahan 90-an sampai awal 2007, sementara juga bekerja sebagai sound engineer, perancang grafis, kontributor zine, dan pemilik clothing label. Sejak tahun 2007 bekerja sebagai manajer proyek seni rupa lepas dan sound designer.
KRITIK SENI RUPA DI MEDIA MASSA
Esai Seni Rupa Seruni Bodjawati di koran Merapi.
Media massa seperti koran dan majalah telah memberikan ruang luas untuk peliputan berbagai peristiwa seni rupa di Indonesia. Hal ini membuat perkembangan seni rupa kita melesat sangat pesat dalam satu dasawarsa terakhir. Indonesia menjadi salah satu pusat seni rupa Asia berdampingan dengan China, India dan Vietnam. Diakui atau tidak, ibu kota seni rupa Indonesia adalah Yogyakarta. Di kota berhati nyaman ini ribuan perupa lahir dan bersaing keras untuk eksis. Daya kreativitas menggelegak. Inovasi dan terobosan baru dalam penciptaan dan publikasi karya berjalan jauh lebih intens dan memukau.
Apa pun bentuknya, setiap tulisan di media massa pastilah memberi rangsangan ke semua pihak untuk lebih memerhatikan seni rupa. Para seniman lebih tergugah, galeri dan pedagang tambah nafsu, kolektor dan konsumen mimpinya lebih indah, dan masyarakat luas lebih ingin memahami seluk beluknya. Namun jarang ada pihak yang mengerti secara bijak mengenai karakteristik dan posisi jurnalistik seni rupa di media massa. Termasuk para perupa sendiri. Seringkali terlontar berbagai keluhan mengenai bobot dan cakupan tulisan serta detail dan kedalaman kritiknya. Tentunya hal ini terjadi akibat tiadanya pemahaman memadai tentang berbagai persoalan yang ada.
Jurnalistik seni rupa di media massa punya bentuk beragam. Ada yang berupa laporan sekilas pandang, mirip berita biasa, acapkali ditulis oleh wartawan bukan ahli seni rupa dan karenanya lebih mengutamakan hal-hal yang bersifat informatif atas data-data faktual belaka. Mungkin juga akan ditambah sedikit komentar sederhana untuk mempermanis tulisan agar enak dibaca. Tentu saja tulisan semacam ini tidaklah mendalam. Sebab memang tidak dimaksudkan sebagai sebuah tinjauan seni. Ada pula jenis tulisan panjang, cukup komplit dan mendalam yang biasa dimuat di rubrik khusus budaya. Seringkali dibuat oleh penulis lepas yang sengaja mengirimkannya ke redaksi. Kebanyakan orang lantas menganggapnya sebagai tinjauan seni bahkan kritik seni.
Seyogyanyalah, yang paling berkompeten melakukan kritik seni adalah ahli seni. Tapi tidak setiap ahli seni dapat menjadi kritikus seni. Ada berbagai prasyarat yang harus dimiliki untuk menjadi kritikus seni, apalagi kritikus seni di media massa. Salah satu yang mutlak adalah kemampuan menulis yang baik dan benar, enak menyajikannya, sesuai tuntutan media massa dalam melayani kebutuhan pembaca yang terdiri dari berbagai lapisan masyarakat.
Ahli seni yang pintar menulis tidaklah banyak. Yang ada itupun belum tentu mau (bisa) produktif. Padahal kebutuhan media massa akan tulisan berupa kritik seni amatlah banyak. Akibatnya ruang kosong yang ada sering dimasuki oleh siapa saja. Penulis ahli yang bukan ahli seni adalah yang paling berpeluang mengisi kekosongan tersebut. Kadangkala dengan modal pengetahuan seni tidak seberapa justru bisa bebas berbicara panjang lebar mengenai seni. Celakanya, cara bertuturnya amat sangat enak dibaca, gurih dan renyah serta penuh gairah dan menggugah emosi, meski kelemahannya sungguh mendasar yakni tidak menyentuh esensi. Padahal yang paling dibutuhkan dalam kritik seni adalah pembicaraan mengenai esensinya.
Tidak mudah dan bahkan cukup berat menulis kritik seni rupa di media massa. Disamping dihadang keterbatasan ruang dan deadline, masih dibebani keharusan untuk mencerdaskan dan mencerahkan pembaca. Sementara pengejaran terhadap aktualitas membuat waktu merenung tak bisa berpanjang-panjang. Perlu kecerdikan tertentu dalam bekerja agar kelemahan mendasar yang tak mungkin dihindari bisa teredam. Belum lagi risiko moralitasnya, semakin banyak mengkritik berarti semakin banyak menambah musuh. Secantik apa pun tampilan sebuah kritik tetap tak akan gampang diterima dengan lapang dada oleh pihak sang seniman. Konon seniman adalah makhluk paling manja di dunia. Cepat cemberut kala dikritik dan segera meledak bahagia kala dipuja. Bergurau pula, bahwa kritikus itu hanyalah orang lumpuh yang gemar menghardik orang agar berlari kencang. Tak aneh jika kemudian lebih banyak kritikus seni pensiun dini hari.
Kritik jurnalistik seni rupa yang termuat dalam jurnal berkala atau majalah khusus seni rupa lebih mungkin memberikan kepuasan dari segi kedalaman tinjauannya. Sebab disamping halaman yang tersedia lebih luas juga segi aktualitas peristiwanya tak terlalu dipusingkan. Di sini kritikus bisa lebih mengendapkan hasil perenungan dan pemikirannya sebelum menuangkan ke dalam tulisan. Aturan penuturan yang dikehendaki teoritikus Joseph Darracott bisa diterapkan yaitu deskripsi, interpretasi dan evaluasi. Dengan ini kritikus menempuh ujiannya sendiri berkaitan dengan penguasaan terhadap seluk beluk elemen-elemen estetika, teori-teori seni rupa dan tuturan bahasa. Mampukah mengajak pembaca turut memasuki kesadaran kritis terhadap karya kreatif seniman?
Kritik seni hanyalah bagian gejala dari persoalan besar dunia seni rupa. Kritik hanya bersifat membantu (memandu) pemahaman dan tanggapan masyarakat terhadap karya seni rupa. Tak boleh dianggap mutlak kebenarannya. Sangat boleh tidak dipercaya, disangsikan, digugat dan dipertanyakan kembali. Kritik yang baik selalu membuka pintu untuk mendapat serangan balik. Dengan begitu dialog panjang akan terjadi untuk menemukan kemungkinan terbaik. Pada akhirnya memang mutu muatan tulisan sangat bergantung pada kapasitas dan kualitas pengetahuan (pengalaman) dari sang kritikus sendiri. Jadi, kritikus hanya akan matang kalau juga mendapat banyak kritik.
-Seruni Bodjawati
Media massa seperti koran dan majalah telah memberikan ruang luas untuk peliputan berbagai peristiwa seni rupa di Indonesia. Hal ini membuat perkembangan seni rupa kita melesat sangat pesat dalam satu dasawarsa terakhir. Indonesia menjadi salah satu pusat seni rupa Asia berdampingan dengan China, India dan Vietnam. Diakui atau tidak, ibu kota seni rupa Indonesia adalah Yogyakarta. Di kota berhati nyaman ini ribuan perupa lahir dan bersaing keras untuk eksis. Daya kreativitas menggelegak. Inovasi dan terobosan baru dalam penciptaan dan publikasi karya berjalan jauh lebih intens dan memukau.
Apa pun bentuknya, setiap tulisan di media massa pastilah memberi rangsangan ke semua pihak untuk lebih memerhatikan seni rupa. Para seniman lebih tergugah, galeri dan pedagang tambah nafsu, kolektor dan konsumen mimpinya lebih indah, dan masyarakat luas lebih ingin memahami seluk beluknya. Namun jarang ada pihak yang mengerti secara bijak mengenai karakteristik dan posisi jurnalistik seni rupa di media massa. Termasuk para perupa sendiri. Seringkali terlontar berbagai keluhan mengenai bobot dan cakupan tulisan serta detail dan kedalaman kritiknya. Tentunya hal ini terjadi akibat tiadanya pemahaman memadai tentang berbagai persoalan yang ada.
Jurnalistik seni rupa di media massa punya bentuk beragam. Ada yang berupa laporan sekilas pandang, mirip berita biasa, acapkali ditulis oleh wartawan bukan ahli seni rupa dan karenanya lebih mengutamakan hal-hal yang bersifat informatif atas data-data faktual belaka. Mungkin juga akan ditambah sedikit komentar sederhana untuk mempermanis tulisan agar enak dibaca. Tentu saja tulisan semacam ini tidaklah mendalam. Sebab memang tidak dimaksudkan sebagai sebuah tinjauan seni. Ada pula jenis tulisan panjang, cukup komplit dan mendalam yang biasa dimuat di rubrik khusus budaya. Seringkali dibuat oleh penulis lepas yang sengaja mengirimkannya ke redaksi. Kebanyakan orang lantas menganggapnya sebagai tinjauan seni bahkan kritik seni.
Seyogyanyalah, yang paling berkompeten melakukan kritik seni adalah ahli seni. Tapi tidak setiap ahli seni dapat menjadi kritikus seni. Ada berbagai prasyarat yang harus dimiliki untuk menjadi kritikus seni, apalagi kritikus seni di media massa. Salah satu yang mutlak adalah kemampuan menulis yang baik dan benar, enak menyajikannya, sesuai tuntutan media massa dalam melayani kebutuhan pembaca yang terdiri dari berbagai lapisan masyarakat.
Ahli seni yang pintar menulis tidaklah banyak. Yang ada itupun belum tentu mau (bisa) produktif. Padahal kebutuhan media massa akan tulisan berupa kritik seni amatlah banyak. Akibatnya ruang kosong yang ada sering dimasuki oleh siapa saja. Penulis ahli yang bukan ahli seni adalah yang paling berpeluang mengisi kekosongan tersebut. Kadangkala dengan modal pengetahuan seni tidak seberapa justru bisa bebas berbicara panjang lebar mengenai seni. Celakanya, cara bertuturnya amat sangat enak dibaca, gurih dan renyah serta penuh gairah dan menggugah emosi, meski kelemahannya sungguh mendasar yakni tidak menyentuh esensi. Padahal yang paling dibutuhkan dalam kritik seni adalah pembicaraan mengenai esensinya.
Tidak mudah dan bahkan cukup berat menulis kritik seni rupa di media massa. Disamping dihadang keterbatasan ruang dan deadline, masih dibebani keharusan untuk mencerdaskan dan mencerahkan pembaca. Sementara pengejaran terhadap aktualitas membuat waktu merenung tak bisa berpanjang-panjang. Perlu kecerdikan tertentu dalam bekerja agar kelemahan mendasar yang tak mungkin dihindari bisa teredam. Belum lagi risiko moralitasnya, semakin banyak mengkritik berarti semakin banyak menambah musuh. Secantik apa pun tampilan sebuah kritik tetap tak akan gampang diterima dengan lapang dada oleh pihak sang seniman. Konon seniman adalah makhluk paling manja di dunia. Cepat cemberut kala dikritik dan segera meledak bahagia kala dipuja. Bergurau pula, bahwa kritikus itu hanyalah orang lumpuh yang gemar menghardik orang agar berlari kencang. Tak aneh jika kemudian lebih banyak kritikus seni pensiun dini hari.
Kritik jurnalistik seni rupa yang termuat dalam jurnal berkala atau majalah khusus seni rupa lebih mungkin memberikan kepuasan dari segi kedalaman tinjauannya. Sebab disamping halaman yang tersedia lebih luas juga segi aktualitas peristiwanya tak terlalu dipusingkan. Di sini kritikus bisa lebih mengendapkan hasil perenungan dan pemikirannya sebelum menuangkan ke dalam tulisan. Aturan penuturan yang dikehendaki teoritikus Joseph Darracott bisa diterapkan yaitu deskripsi, interpretasi dan evaluasi. Dengan ini kritikus menempuh ujiannya sendiri berkaitan dengan penguasaan terhadap seluk beluk elemen-elemen estetika, teori-teori seni rupa dan tuturan bahasa. Mampukah mengajak pembaca turut memasuki kesadaran kritis terhadap karya kreatif seniman?
Kritik seni hanyalah bagian gejala dari persoalan besar dunia seni rupa. Kritik hanya bersifat membantu (memandu) pemahaman dan tanggapan masyarakat terhadap karya seni rupa. Tak boleh dianggap mutlak kebenarannya. Sangat boleh tidak dipercaya, disangsikan, digugat dan dipertanyakan kembali. Kritik yang baik selalu membuka pintu untuk mendapat serangan balik. Dengan begitu dialog panjang akan terjadi untuk menemukan kemungkinan terbaik. Pada akhirnya memang mutu muatan tulisan sangat bergantung pada kapasitas dan kualitas pengetahuan (pengalaman) dari sang kritikus sendiri. Jadi, kritikus hanya akan matang kalau juga mendapat banyak kritik.
-Seruni Bodjawati
Dari Sebuah Huru-hara “SENI KEPRIBADIAN APA”
Oleh : Bonyong Munny Ardhie
Spirit dan kemunculan.
Berawal dari rasa resah,galau,dengan meledaknya aktifitas Gerakan Seni Rupa Baru (1975) di Jakarta. Dimana dianggap oleh kawan-kawan Jogyakarta, waktu itu telah bersama menghantar awal dari sebuah kegelisahan sebelumnya ( sekitar th. 1973-1974).
Mari kita melihat ke belakang sebentar saat teman-teman selalu berkumpul, berbincang, berdiskusi di kompleks Gampingan (kampung dekat kampus). Dimana kawan-kawan ingin melepaskan belenggu konsep lama yang selalu dieluelukan oleh para establishment, yaitu para Dosen pengajar kami. Dari hari ke hari terbentuklah sebuah kelompok, sebuah komunitas Gampingan.
Dari awal mempersoalkan kesenian, saya menyodorkan sebuah rencana aktifitas di Parangtritis (pantai di Jogyakarta). Aktifitas tersebut dengan judul “Konsep Alam Terbuka”. Saya sengaja memakai istilah “Konsep” pada karya ini, sebab sebetulnya saya lebih ingin menonjolkan persoalan-persoalan yang berada didalamnya. Kegelisahan pada sentuhan angin; ruang yang luas (pantai); serta pasir yang bertebaran. Sedangkan plastik yang saya tebarkan hanya mampu bertahan sekitar 10 menit saja. Hancur oleh dahsyatnya angin, gerak taburan pasir dan lemahnya plastik yang cepat robek. Konsep-konsep itu include dalam persiapan dialog dengan alam. Rasa ingin menaklukan alam dengan estetika, dan gejolak kepuasan pribadi.
Dengan menggelar karya tersebut terjadi antara obyek dan subyek maka lahirlah konsep – konsep individual seniman,sehingga keindahan itu terbentuk dari persepsi-persepsi sensitivitas yang menjadi pemikiran kontemporer. Penjelajahan pada relung-relung rasio menembus batas-batas seni konvensional saat itu.
Dimana konsep itu sudah saya siapkan berbulan-bulan dengan bahan-bahan yaitu beberapa puluh gulungan plastik; tali-tali plastik; rafia dan lain-lain. Maka berangkatlah “Komunitas Gampingan” tersebut dengan naik apa saja hingga sampai Parangtritis. Kami tidak mengundang siapapun selain teman-teman, dimana telah kami bagi dalam team work. Antara lain penulisan; pemotretan serta hasil diskusi.
Terpancangnya plastik-plastik yang bersentuhan dengan angin, juga dengan digelarkannya plastik panjang (line art) pada ruang yang luas, serta angin yang kencang , menjadikan sebuah persoalan yang mempunyai efek logis maupun psikologis . Ini akan menjadi nilai-nilai estetika yang kita pelajari dalam perkuliahan, harus diperhitungkan kembali.
Hal ini merupakan awal dari Komunitas Gampingan membesarkan “api” yang ada di dada, kepala, otak kami masing-masing yang selalu membicarakan kesenian.
Pada suatu saat , kami disodori kembali oleh ide Gendut Riyanto (almarhum), yaitu membuat rencana karya dengan judul “ Aku dan Sawah” (th.1979). Gendut bekerja lebih rinci, ia mempersiapkan katalog dengan konsep – konsep seninya bahkan sempat membagikan kaos yang di print “Aku dan Sawah”. Selama seminggu, Komunitas Gampingan berada di lokasi sawah yang tak jauh dari kampung Gampingan.
Karya “Aku dan Sawah” berupa tali – tali rafia/plastik yang di pasang di pematang sawah dengan digantungi kain – kain, tas plastik (kresek) serta bahan-bahan lain. Bila rangkaian tali tersebut di tarik akan bergerak juga karena ada hembusan angin yang dapat menimbulkan suara. Gendut menempati sebuah gardu kecil dipinggir pamatang sawah yang biasa di pakai Pak Tani melepaskan lelah. Disitulah kami berdiskusi/dialog tak henti-hentinya membicarakan masalah estetika. Aktivitas seperti ini, oleh para Akademisi/Dosen – dosen/Pengajar/Tokoh-tokoh seni, hanya disambut hambar. Bahkan hanya dianggap bermain – main yang tidak pernah serius.
Salah satu aktivitas kesenian lain yang saya ingat yaitu pameran kami bertiga, saya, FX. Harsono dan Nanik Mirna (almarhumah). Pameran kami saat itu merespon Dosen kami (Fadjar Sidik), yang menyatakan bahwa: suatu bentuk – bentuk jadi (bulatan, lingkaran, setengah lingkaran, segi empat, segi tiga, jajaran genjang dlsb.) adalah bukan seni. Karena bisa dibuat lewat ukuran-ukuran sehingga menjadi persis/sama.
Kami bertiga membuat karya yang didalamnya mempunyai unsur-unsur bentuk selesai tersebut, dengan unsur-unsur warna primer. Saat itu tanpa di duga , kami bertemu dengan saudara Sanento Yuliman (almarhum), yang kebetulan berada di Jogyakarta. Sebagai awal dari pertemuan tersebut, kami menyatakan : “kami hanya main” ; kami ingin menjawab istilah seni atau “batasan seni” dari pernyataan Dosen kami, bahwa barang-barang jadi itu bukan seni. Tetapi apa jawab Sanento saat itu : “Karya Anda ini adalah menolak nilai-nilai estetik sekarang ini (pada saat itu). Karya ini merupakan karya yang ‘non liris’”. Karya-karya yang rasional; yang berawal dari sesuatu yang matematis cenderung dari otak, bukan dari emosi.
Dari pameran bentuk-bentuk jadi ini kami telah merasakan seberapa besar peran rasio yang kami sodorkan pada karya kami ini, sehingga peran emosi sudah menjadi peran yang nomor sekian bukan nomor satu lagi.
Rasa ini telah menjadi awal kami meninggalkan suatu ekspresi, suatu greget yang selalu didengung – dengungkan saat itu. Kami sudah berani meninggalkan karakter/spesifik kami. Kami sudah mulai bebas menerobos batas-batas konvensional yang selalu dicanangkan di Akademi kami.
Kami selalu ingat, bahwa lontaran kritik untuk Komunitas Gampingan ini dari Bapak Kusnadi (almarhum). Kritik seni yang kami dapatkan adalah kecaman keras , kesenian yang main-main, kesenian yang tidak serius. Itu bukan kesenian!
Inilah awal dari teman-teman mulai resah, mulai tak enak badan , meriang, dalam mengerjakan tugas karya-karya dalam perkuliahan. Karya-karya kami banyak berceloteh, menghujat batas-batas seni. Sampai membodohkan diri/naïf dengan mengeja dan merumuskan batas-batas seni yang konvensional yang sudah mulai kami buang.
Sebuah gerakan
Apabila kita menyimak berita saat itu, membaca majalah atau koran, kita selalu disuguhi berita-berita yang memilukan, sedih, bahkan ada rasa putus asa tentang masalah – masalah sosial saat itu. Muaranya pada kemiskinan yang ada pada sebagian besar masyarakat kita. Tokoh-tokoh kita di negeri ini selalu memperlihatkan kekayaannya, dengan mobil mewah, rumah mewah dengan gaya hidup yang hedonis. Jurang perbedaan kaya miskin sangat tajam, sehingga menimbukan sikap sensitif serta menimbulkan ketidakpercayaan pada masalah politik pemerintahan negara ini.
Ada sebuah anekdot dari kami, bahwa: “Pegawai negeri bisa kaya, apabila korupsi”. Artinya pasti mengambil uang rakyat. Jadi komunitas kami ini memang berawal dari rasa sakit hati, sehingga karya-karya kami semua adalah suara keprihatinan dan sakit hati pada Pemerintahan ini. Karya kami adalah menyuarakan rakyat kecil yang miskin , terpinggirkan dan terhimpit. Tidak heran bila kami selalu berpikir bahwa Kepala Negara adalah biang keroknya.
Rasa gelisah/resah dan berkeinginan bergerak secara langsung dengan pameran dimana persoalan – persoalan komunitas ini lama kelamaan menyatu dalam selesainya diskusi di studio – studio Komunitas Gampingan. Yang akhirnya Komunitas Gampingan menjadi kental dengan nama Kelompok “Seni Kepribadian Apa”. Dengan anggota: Gendut Riyanto (almarhum), Winardi(almarhum), Redha Sorana (almarhum), Sapto Rahardjo (almarhum), Jack Body (Australia), Bram (Swiss), Tulus Warsito, Ronald Manulang, Didit Riyanto, Ivan Haryanto, Iskandar Syahputra, Budi Sulistyo, Djoko Sulistyo Kahhar, Haris Purnomo, Pudji Basuki, Dede Eri Supriya, Umbu Tangela, Bambang Darto, Bonyong Munny Ardhie, Slamet Riyadi.
Kenapa kami memilih nama “Seni Kepribadian Apa (PIPA)“, karena nama ini mengandung kekompleksan persoalan-persoalan kita pada lingkungan, kehidupan, pada kesenian yang harus “kreatif” saat itu.
Awal dari rasa terusiknya kesenian pada saat itu merupakan sebuah kenyataan bahwa, mazab realisme terhimpit/terpojokkan. Karena ada komunitas lain dari kampus kami menyatakan yang dihargai adalah seni dekoratif. Realisme di era tersebut hampir tidak ada.
Itu dapat dilihat pada karya Dede Eri Supriya yang menggambarkan Bung Karno dalam format yang besar. Pada saat itu lukisan Realis yang melebihi obyek sesungguhnya berarti bukan seni lukis melainkan sebuah Poster (bukan seni murni tetapi merupakan sebuah desain). Komunitas kami masih mengagungkan Bung Karno. Dede Eri Supriya juga membuat karya secara realis wajah Idi Amin. Tetapi dibuat dengan teknik puzzle. Karya tersebut terasa gampang rontok karena teknik penataanya terdiri dari susunan puluhan puzzle. Ada juga lukisan Hari Budiono secara realis dengan obyek Suharto (Presiden pada waktu itu) yang memakai kaos oblong yang robek. Karya tersebut tidak boleh dipamerkan karena dianggap menghina.
Karya kolaborasi antara Bambang Darto dan Redha Sorana (almarhum) dengan judul Monalisa, dengan wajah Ibu Tien Suharto. Piguranya terdiri dari bunga anggrek yang pada saat itu, Ibu Tien sedang membeli lahan luas untuk proyek kebun anggreknya di Jogyakarta.
Karya Slamet Riyadi yang membuat kartu remi motif King yang wajahnya diganti wajah Suharto. Secara politik kami merespon habis-habisan keberadaan Suharto saat itu, dengan mengkritisi kepemimpinannya. Seperti karya yang saya buat, dengan judul “Hotel Asean Tower”. Menggambarkan rencana pembangunan Hotel tersebut . Ini merupakan ambisi Suharto membangun sebuah hotel terbesar di Asia dengan menghabiskan biaya trilyunan rupiah, tanpa melihat dan merasakan adanya kemiskinan di Indonesia. Maka lengkaplah pameran “Seni Kepribadian Apa” ditutup polisi.
Rasa “sakit” dalam menanggapi masalah politik saat itu secara langsung terlampiaskan pada aparat kepolisian, yang selalu berhadapan dengan kami pada masalah perijinan. Sikap – sikap ini yang rasanya saat itu menghantam kita. Ini terungkap pada karya – karya yang paling halus sampai paling jorok, menjijikan, bahkan obyek- obyek yang tanpa sentuhan/kedalaman ini kita sah-kan dalam karya – karya tersebut. Misalkan seekor sapi sungguhan kita masukkan ke dalam ruang pameran (karya Didit Riyanto). Sapi itu membuang kotoran (berak) di ruang pameran.
Karya saya sendiri yang mengusung bagian – bagian dari kepala sapi (mata, mulut, kepala) yang mentah. Menjadikan bau yang menyengat dan banyak belatung yang keluar dari daging tersebut.
Slamet Riyadi yang membakar kasur dan amben di depan ruang pameran sambil berteriak – teriak, “Selamat tinggal malas! Mari kita buang kemalasan jauh – jauh!”
Jack Body yang mengusung kereta dorong (gerobak) yang menjual es dan berbagai balon yang diisi helium, yang nantinya disulut rokok hingga meledak dan memekakkan telinga.
Akhirnya pameran tidak jadi dibuka (pada detik – detik jam pembukaan ternyata ijin belum turun). Sedangkan para undangan sudah datang, mereka menunggu boleh tidaknya ijin dari kepolisian. Pada saat – saat menunggu tiba-tiba empat peserta pameran dengan kostum hitam-hitam naik ke atas gedung Seni Sono (tempat pameran). Ke empat seniman tersebut mencoret spanduk pameran (tanda silang). Ditulis oleh mereka “Dilarang Polisi”. Seniman tersebut adalah Tulus Warsito, Iskandar, Budi Sulistyo dan Pudji Basuki.
Pada pertengahan pameran (±19.30 wib), kami juga membuat sebuah happening art. Dalam situasi ruangan yang masih penuh dengan penonton, lampu di ruang pameran mendadak kami matikan dari sekering pusat. Sehingga gelap gulita. Kami merencanakan dialog tanpa mengetahui siapa yang berbicara. Tetapi hasilnya karena kami sangat muak dengan kepolisian (saat itu di dalam ruang banyak polisi yang tanpa seragam) maka teman – teman peserta pameran secara spontan memakai moment itu untuk berteriak – teriak menghujat kepolisian. Suasana saat itu sangat mencekam. Selama sekitar 3 menit moment itu berlangsung, setelah itu lampu menyala kembali.
Beberapa tahun kemudian kepedihan kawan-kawan ini berlanjut, muncul karya Haris Purnomo, dengan judul “Luka”, yaitu pawai di jln. Malioboro dengan atribut orang sakit, yang di balut dengan perban di sekujur tubuhnya; bahkan sepeda motor yang digunakan juga di perban. Pada waktu melewati Jln. Malioboro, para performance menaburkan kapur di sepanjang jalan tersebut.
Gendut Riyanto juga membuat karya dengan judul “Rumah Sakit” yang menggambarkan tempat tidur putih dengan dilengkapi selang infus persis penggambaran kamar di rumah sakit.
Dari persoalan-persoalan yang berada di PIPA tersebut, yang secara organisasi kesenian merupakan gerombolan yang bersifat terbuka. Dengan tambahnya personal, menjadikan bertambah terbukanya ide/konsep-konsep yang menjadi aspirasi kami masing-masing. Akhirnya tanpa terasa kami sudah bisa memisahkan antara kawan-kawan yang bersikap/berfikir/berkarya yang berbeda dari kami, mereka menyingkir atau kami tolak. Maka saat kami akan pameran, kami selalu dibantu oleh penulis/kritikus/Dosen kami yaitu Bapak Sudarmadji (almarhum).
Aktivitas PIPA, selalu di Jogyakarta, pernah satu kali di undang ke Bandung , juga dibubarkan militer, karena karya kami selalu merespon situasi politik.
Hubungan Dengan Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia
Komunitas Seni Kepribadian Apa, memang berbeda dengan Komunitas Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia (GSRBI). Komunitas Seni Kepribadian Apa (PIPA) berada di Jogyakarta. Yang aktivitasnya terakhir sebagian anggota berada di luar Jogyakarta, antara lain di Jakarta: Gendut Riyanto (almarhum), Haris Purnomo, M.Cholid, Umbu Tangela, Dede Eri Supriya, Ronald Manulang , Winardi (almarhum), Iskandar, Budi Sulistyo, Slamet Riyadi, sedangkan di Bandung: Bambang Darto, Redha Sorana (almarhum), di Surabaya ada Ivan Haryanto dan Didit Riyanto.
Tetapi hubungan antara GSRBI dengan PIPA seakan-akan merupakan kesatuan, karena dalam proses berkesenian kami saling berhubungan. Tidak heran apabila pada akhir gerakan GSRBI di Jakarta, personel-personel PIPA langsung bergabung dengan GSRBI.
Saya masih ingat, di Ancol, GSRBI besama-sama PIPA (FX. Harsono, Mulyono, Gendut Riyanto (almarhum), Haris Purnomo,Bonyong Munny Ardhie) mengadakan pameran yang bertajuk “Lingkungan”.
Relevansinya Dengan Masa Kini
Seni Kepribadian Apa sampai sekarang masih relevan, karena ternyata kehidupan sekarang masih sama dan tidak berbeda dengan masa lalu. Artinya kita masih merasakan kehancuran sistem politik kita, dimana tokoh – tokoh sebagai wakil rakyat justru mengkhianati rakyatnya sendiri dan larut memperkaya diri dengan korupsi besar-besaran. Keadaan ekonomi yang selalu melonjak, membuat jurang antara si kaya dan miskin. Hal ini menjadikan “Kredo” PIPA, kembali menguak pada komunitas kami. Kondisi dunia kesenian saat ini yang dikuasai pasar, kita semua bisa melihat nama –nama dari komunitas PIPA yang berada di hingar bingarnya pasar tersebut, misalnya Dede Eri Supriya, Haris Purnomo, Ronald Manulang, Bambang Darto, Ivan Haryanto, Umbu Tangela, dan saya sendiri.
Keberadaan kami ini hampir selalu ada dalam setiap event pameran dalam negeri maupun luar negeri. dari yang berada di Kolektor maupun Pasar seni, Bazaar ataupun Balai Lelang .
Solo, 15 Maret 2013
Spirit dan kemunculan.
Berawal dari rasa resah,galau,dengan meledaknya aktifitas Gerakan Seni Rupa Baru (1975) di Jakarta. Dimana dianggap oleh kawan-kawan Jogyakarta, waktu itu telah bersama menghantar awal dari sebuah kegelisahan sebelumnya ( sekitar th. 1973-1974).
Mari kita melihat ke belakang sebentar saat teman-teman selalu berkumpul, berbincang, berdiskusi di kompleks Gampingan (kampung dekat kampus). Dimana kawan-kawan ingin melepaskan belenggu konsep lama yang selalu dieluelukan oleh para establishment, yaitu para Dosen pengajar kami. Dari hari ke hari terbentuklah sebuah kelompok, sebuah komunitas Gampingan.
Dari awal mempersoalkan kesenian, saya menyodorkan sebuah rencana aktifitas di Parangtritis (pantai di Jogyakarta). Aktifitas tersebut dengan judul “Konsep Alam Terbuka”. Saya sengaja memakai istilah “Konsep” pada karya ini, sebab sebetulnya saya lebih ingin menonjolkan persoalan-persoalan yang berada didalamnya. Kegelisahan pada sentuhan angin; ruang yang luas (pantai); serta pasir yang bertebaran. Sedangkan plastik yang saya tebarkan hanya mampu bertahan sekitar 10 menit saja. Hancur oleh dahsyatnya angin, gerak taburan pasir dan lemahnya plastik yang cepat robek. Konsep-konsep itu include dalam persiapan dialog dengan alam. Rasa ingin menaklukan alam dengan estetika, dan gejolak kepuasan pribadi.
Dengan menggelar karya tersebut terjadi antara obyek dan subyek maka lahirlah konsep – konsep individual seniman,sehingga keindahan itu terbentuk dari persepsi-persepsi sensitivitas yang menjadi pemikiran kontemporer. Penjelajahan pada relung-relung rasio menembus batas-batas seni konvensional saat itu.
Dimana konsep itu sudah saya siapkan berbulan-bulan dengan bahan-bahan yaitu beberapa puluh gulungan plastik; tali-tali plastik; rafia dan lain-lain. Maka berangkatlah “Komunitas Gampingan” tersebut dengan naik apa saja hingga sampai Parangtritis. Kami tidak mengundang siapapun selain teman-teman, dimana telah kami bagi dalam team work. Antara lain penulisan; pemotretan serta hasil diskusi.
Terpancangnya plastik-plastik yang bersentuhan dengan angin, juga dengan digelarkannya plastik panjang (line art) pada ruang yang luas, serta angin yang kencang , menjadikan sebuah persoalan yang mempunyai efek logis maupun psikologis . Ini akan menjadi nilai-nilai estetika yang kita pelajari dalam perkuliahan, harus diperhitungkan kembali.
Hal ini merupakan awal dari Komunitas Gampingan membesarkan “api” yang ada di dada, kepala, otak kami masing-masing yang selalu membicarakan kesenian.
Pada suatu saat , kami disodori kembali oleh ide Gendut Riyanto (almarhum), yaitu membuat rencana karya dengan judul “ Aku dan Sawah” (th.1979). Gendut bekerja lebih rinci, ia mempersiapkan katalog dengan konsep – konsep seninya bahkan sempat membagikan kaos yang di print “Aku dan Sawah”. Selama seminggu, Komunitas Gampingan berada di lokasi sawah yang tak jauh dari kampung Gampingan.
Karya “Aku dan Sawah” berupa tali – tali rafia/plastik yang di pasang di pematang sawah dengan digantungi kain – kain, tas plastik (kresek) serta bahan-bahan lain. Bila rangkaian tali tersebut di tarik akan bergerak juga karena ada hembusan angin yang dapat menimbulkan suara. Gendut menempati sebuah gardu kecil dipinggir pamatang sawah yang biasa di pakai Pak Tani melepaskan lelah. Disitulah kami berdiskusi/dialog tak henti-hentinya membicarakan masalah estetika. Aktivitas seperti ini, oleh para Akademisi/Dosen – dosen/Pengajar/Tokoh-tokoh seni, hanya disambut hambar. Bahkan hanya dianggap bermain – main yang tidak pernah serius.
Salah satu aktivitas kesenian lain yang saya ingat yaitu pameran kami bertiga, saya, FX. Harsono dan Nanik Mirna (almarhumah). Pameran kami saat itu merespon Dosen kami (Fadjar Sidik), yang menyatakan bahwa: suatu bentuk – bentuk jadi (bulatan, lingkaran, setengah lingkaran, segi empat, segi tiga, jajaran genjang dlsb.) adalah bukan seni. Karena bisa dibuat lewat ukuran-ukuran sehingga menjadi persis/sama.
Kami bertiga membuat karya yang didalamnya mempunyai unsur-unsur bentuk selesai tersebut, dengan unsur-unsur warna primer. Saat itu tanpa di duga , kami bertemu dengan saudara Sanento Yuliman (almarhum), yang kebetulan berada di Jogyakarta. Sebagai awal dari pertemuan tersebut, kami menyatakan : “kami hanya main” ; kami ingin menjawab istilah seni atau “batasan seni” dari pernyataan Dosen kami, bahwa barang-barang jadi itu bukan seni. Tetapi apa jawab Sanento saat itu : “Karya Anda ini adalah menolak nilai-nilai estetik sekarang ini (pada saat itu). Karya ini merupakan karya yang ‘non liris’”. Karya-karya yang rasional; yang berawal dari sesuatu yang matematis cenderung dari otak, bukan dari emosi.
Dari pameran bentuk-bentuk jadi ini kami telah merasakan seberapa besar peran rasio yang kami sodorkan pada karya kami ini, sehingga peran emosi sudah menjadi peran yang nomor sekian bukan nomor satu lagi.
Rasa ini telah menjadi awal kami meninggalkan suatu ekspresi, suatu greget yang selalu didengung – dengungkan saat itu. Kami sudah berani meninggalkan karakter/spesifik kami. Kami sudah mulai bebas menerobos batas-batas konvensional yang selalu dicanangkan di Akademi kami.
Kami selalu ingat, bahwa lontaran kritik untuk Komunitas Gampingan ini dari Bapak Kusnadi (almarhum). Kritik seni yang kami dapatkan adalah kecaman keras , kesenian yang main-main, kesenian yang tidak serius. Itu bukan kesenian!
Inilah awal dari teman-teman mulai resah, mulai tak enak badan , meriang, dalam mengerjakan tugas karya-karya dalam perkuliahan. Karya-karya kami banyak berceloteh, menghujat batas-batas seni. Sampai membodohkan diri/naïf dengan mengeja dan merumuskan batas-batas seni yang konvensional yang sudah mulai kami buang.
Sebuah gerakan
Apabila kita menyimak berita saat itu, membaca majalah atau koran, kita selalu disuguhi berita-berita yang memilukan, sedih, bahkan ada rasa putus asa tentang masalah – masalah sosial saat itu. Muaranya pada kemiskinan yang ada pada sebagian besar masyarakat kita. Tokoh-tokoh kita di negeri ini selalu memperlihatkan kekayaannya, dengan mobil mewah, rumah mewah dengan gaya hidup yang hedonis. Jurang perbedaan kaya miskin sangat tajam, sehingga menimbukan sikap sensitif serta menimbulkan ketidakpercayaan pada masalah politik pemerintahan negara ini.
Ada sebuah anekdot dari kami, bahwa: “Pegawai negeri bisa kaya, apabila korupsi”. Artinya pasti mengambil uang rakyat. Jadi komunitas kami ini memang berawal dari rasa sakit hati, sehingga karya-karya kami semua adalah suara keprihatinan dan sakit hati pada Pemerintahan ini. Karya kami adalah menyuarakan rakyat kecil yang miskin , terpinggirkan dan terhimpit. Tidak heran bila kami selalu berpikir bahwa Kepala Negara adalah biang keroknya.
Rasa gelisah/resah dan berkeinginan bergerak secara langsung dengan pameran dimana persoalan – persoalan komunitas ini lama kelamaan menyatu dalam selesainya diskusi di studio – studio Komunitas Gampingan. Yang akhirnya Komunitas Gampingan menjadi kental dengan nama Kelompok “Seni Kepribadian Apa”. Dengan anggota: Gendut Riyanto (almarhum), Winardi(almarhum), Redha Sorana (almarhum), Sapto Rahardjo (almarhum), Jack Body (Australia), Bram (Swiss), Tulus Warsito, Ronald Manulang, Didit Riyanto, Ivan Haryanto, Iskandar Syahputra, Budi Sulistyo, Djoko Sulistyo Kahhar, Haris Purnomo, Pudji Basuki, Dede Eri Supriya, Umbu Tangela, Bambang Darto, Bonyong Munny Ardhie, Slamet Riyadi.
Kenapa kami memilih nama “Seni Kepribadian Apa (PIPA)“, karena nama ini mengandung kekompleksan persoalan-persoalan kita pada lingkungan, kehidupan, pada kesenian yang harus “kreatif” saat itu.
Awal dari rasa terusiknya kesenian pada saat itu merupakan sebuah kenyataan bahwa, mazab realisme terhimpit/terpojokkan. Karena ada komunitas lain dari kampus kami menyatakan yang dihargai adalah seni dekoratif. Realisme di era tersebut hampir tidak ada.
Itu dapat dilihat pada karya Dede Eri Supriya yang menggambarkan Bung Karno dalam format yang besar. Pada saat itu lukisan Realis yang melebihi obyek sesungguhnya berarti bukan seni lukis melainkan sebuah Poster (bukan seni murni tetapi merupakan sebuah desain). Komunitas kami masih mengagungkan Bung Karno. Dede Eri Supriya juga membuat karya secara realis wajah Idi Amin. Tetapi dibuat dengan teknik puzzle. Karya tersebut terasa gampang rontok karena teknik penataanya terdiri dari susunan puluhan puzzle. Ada juga lukisan Hari Budiono secara realis dengan obyek Suharto (Presiden pada waktu itu) yang memakai kaos oblong yang robek. Karya tersebut tidak boleh dipamerkan karena dianggap menghina.
Karya kolaborasi antara Bambang Darto dan Redha Sorana (almarhum) dengan judul Monalisa, dengan wajah Ibu Tien Suharto. Piguranya terdiri dari bunga anggrek yang pada saat itu, Ibu Tien sedang membeli lahan luas untuk proyek kebun anggreknya di Jogyakarta.
Karya Slamet Riyadi yang membuat kartu remi motif King yang wajahnya diganti wajah Suharto. Secara politik kami merespon habis-habisan keberadaan Suharto saat itu, dengan mengkritisi kepemimpinannya. Seperti karya yang saya buat, dengan judul “Hotel Asean Tower”. Menggambarkan rencana pembangunan Hotel tersebut . Ini merupakan ambisi Suharto membangun sebuah hotel terbesar di Asia dengan menghabiskan biaya trilyunan rupiah, tanpa melihat dan merasakan adanya kemiskinan di Indonesia. Maka lengkaplah pameran “Seni Kepribadian Apa” ditutup polisi.
Rasa “sakit” dalam menanggapi masalah politik saat itu secara langsung terlampiaskan pada aparat kepolisian, yang selalu berhadapan dengan kami pada masalah perijinan. Sikap – sikap ini yang rasanya saat itu menghantam kita. Ini terungkap pada karya – karya yang paling halus sampai paling jorok, menjijikan, bahkan obyek- obyek yang tanpa sentuhan/kedalaman ini kita sah-kan dalam karya – karya tersebut. Misalkan seekor sapi sungguhan kita masukkan ke dalam ruang pameran (karya Didit Riyanto). Sapi itu membuang kotoran (berak) di ruang pameran.
Karya saya sendiri yang mengusung bagian – bagian dari kepala sapi (mata, mulut, kepala) yang mentah. Menjadikan bau yang menyengat dan banyak belatung yang keluar dari daging tersebut.
Slamet Riyadi yang membakar kasur dan amben di depan ruang pameran sambil berteriak – teriak, “Selamat tinggal malas! Mari kita buang kemalasan jauh – jauh!”
Jack Body yang mengusung kereta dorong (gerobak) yang menjual es dan berbagai balon yang diisi helium, yang nantinya disulut rokok hingga meledak dan memekakkan telinga.
Akhirnya pameran tidak jadi dibuka (pada detik – detik jam pembukaan ternyata ijin belum turun). Sedangkan para undangan sudah datang, mereka menunggu boleh tidaknya ijin dari kepolisian. Pada saat – saat menunggu tiba-tiba empat peserta pameran dengan kostum hitam-hitam naik ke atas gedung Seni Sono (tempat pameran). Ke empat seniman tersebut mencoret spanduk pameran (tanda silang). Ditulis oleh mereka “Dilarang Polisi”. Seniman tersebut adalah Tulus Warsito, Iskandar, Budi Sulistyo dan Pudji Basuki.
Pada pertengahan pameran (±19.30 wib), kami juga membuat sebuah happening art. Dalam situasi ruangan yang masih penuh dengan penonton, lampu di ruang pameran mendadak kami matikan dari sekering pusat. Sehingga gelap gulita. Kami merencanakan dialog tanpa mengetahui siapa yang berbicara. Tetapi hasilnya karena kami sangat muak dengan kepolisian (saat itu di dalam ruang banyak polisi yang tanpa seragam) maka teman – teman peserta pameran secara spontan memakai moment itu untuk berteriak – teriak menghujat kepolisian. Suasana saat itu sangat mencekam. Selama sekitar 3 menit moment itu berlangsung, setelah itu lampu menyala kembali.
Beberapa tahun kemudian kepedihan kawan-kawan ini berlanjut, muncul karya Haris Purnomo, dengan judul “Luka”, yaitu pawai di jln. Malioboro dengan atribut orang sakit, yang di balut dengan perban di sekujur tubuhnya; bahkan sepeda motor yang digunakan juga di perban. Pada waktu melewati Jln. Malioboro, para performance menaburkan kapur di sepanjang jalan tersebut.
Gendut Riyanto juga membuat karya dengan judul “Rumah Sakit” yang menggambarkan tempat tidur putih dengan dilengkapi selang infus persis penggambaran kamar di rumah sakit.
Dari persoalan-persoalan yang berada di PIPA tersebut, yang secara organisasi kesenian merupakan gerombolan yang bersifat terbuka. Dengan tambahnya personal, menjadikan bertambah terbukanya ide/konsep-konsep yang menjadi aspirasi kami masing-masing. Akhirnya tanpa terasa kami sudah bisa memisahkan antara kawan-kawan yang bersikap/berfikir/berkarya yang berbeda dari kami, mereka menyingkir atau kami tolak. Maka saat kami akan pameran, kami selalu dibantu oleh penulis/kritikus/Dosen kami yaitu Bapak Sudarmadji (almarhum).
Aktivitas PIPA, selalu di Jogyakarta, pernah satu kali di undang ke Bandung , juga dibubarkan militer, karena karya kami selalu merespon situasi politik.
Hubungan Dengan Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia
Komunitas Seni Kepribadian Apa, memang berbeda dengan Komunitas Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia (GSRBI). Komunitas Seni Kepribadian Apa (PIPA) berada di Jogyakarta. Yang aktivitasnya terakhir sebagian anggota berada di luar Jogyakarta, antara lain di Jakarta: Gendut Riyanto (almarhum), Haris Purnomo, M.Cholid, Umbu Tangela, Dede Eri Supriya, Ronald Manulang , Winardi (almarhum), Iskandar, Budi Sulistyo, Slamet Riyadi, sedangkan di Bandung: Bambang Darto, Redha Sorana (almarhum), di Surabaya ada Ivan Haryanto dan Didit Riyanto.
Tetapi hubungan antara GSRBI dengan PIPA seakan-akan merupakan kesatuan, karena dalam proses berkesenian kami saling berhubungan. Tidak heran apabila pada akhir gerakan GSRBI di Jakarta, personel-personel PIPA langsung bergabung dengan GSRBI.
Saya masih ingat, di Ancol, GSRBI besama-sama PIPA (FX. Harsono, Mulyono, Gendut Riyanto (almarhum), Haris Purnomo,Bonyong Munny Ardhie) mengadakan pameran yang bertajuk “Lingkungan”.
Relevansinya Dengan Masa Kini
Seni Kepribadian Apa sampai sekarang masih relevan, karena ternyata kehidupan sekarang masih sama dan tidak berbeda dengan masa lalu. Artinya kita masih merasakan kehancuran sistem politik kita, dimana tokoh – tokoh sebagai wakil rakyat justru mengkhianati rakyatnya sendiri dan larut memperkaya diri dengan korupsi besar-besaran. Keadaan ekonomi yang selalu melonjak, membuat jurang antara si kaya dan miskin. Hal ini menjadikan “Kredo” PIPA, kembali menguak pada komunitas kami. Kondisi dunia kesenian saat ini yang dikuasai pasar, kita semua bisa melihat nama –nama dari komunitas PIPA yang berada di hingar bingarnya pasar tersebut, misalnya Dede Eri Supriya, Haris Purnomo, Ronald Manulang, Bambang Darto, Ivan Haryanto, Umbu Tangela, dan saya sendiri.
Keberadaan kami ini hampir selalu ada dalam setiap event pameran dalam negeri maupun luar negeri. dari yang berada di Kolektor maupun Pasar seni, Bazaar ataupun Balai Lelang .
Solo, 15 Maret 2013
SENI RUPA PENYADARAN
Oleh: Moelyono
Proses Seni Rupa Penyadaran
Tahun 1965 saya kelas 3 Sekolah Dasar di Tulungagung, Jatim, seingat saya, bersama teman-teman bermain mendorong dengan ranting tubuh-tubuh terapung yang tersangkut di pepohonan perdu agar hanyut ke tengah sungai terseret banjir. Magrib, Bapak naik tangga menara masuk ke tampungan air yang kosong, Ibu mengambil tangga, menutup pintu rumah dengan palang bambu, menyalakan lampu minyak dan mengaji, saya tiduran.
Saat SMP, saya dapat cerita, bapak sembunyi takut tetangga yang jadi sakerah yang setiap saat bisa menebas siapapun yang dicap PKI. Bapak, seingat saya tidak pernah memakai tanda PKI, tetapi dari kantor membawa majalah Soviet yang saya suka foto fotonya.
Semester 3 di FSRD STSRI “Asri” Yogyakarta, jurusan seni lukis kost bersama ‘kakak kelas’ kelompok Seni Kepribadian Apa (PIPA) diajak pameran tahun 1979. Melukis realis tema sosial membawa kegundahan, ternyata tidak menyelesaikan persoalan sosial. Kala pulang ke Tulungagung, tertarik masuk ke dusun-dusun problem sosial, misalnya ke desa ‘Waung’ yang selalu jadi rawa. Ikut-ikutan membuat lahan apung dari enceng gondok yang dibalik diberi tanah ditanami bayam, jagung, cabe. Tahun 1985 kegiatan di rawa Waung dibuat karya “KUD” – Kesenian Unit Desa – sebagai syarat ujian S1, berujud paparan 12 lembar tikar merah, tiap tikar ada pincuk tempat nasi daun pisang berisi tanah dengan tunas kangkung, kacang, bayam, cabe, jagung, ubi, satu dangau pendek berisi tikar dengan sketsa wajah konglomerat, di ujung deretan tikar dipasang podium dengan mike untuk suara gelombang gemerisik radio transistor. Di sudut paparan tikar diletakkan speaker bersuara gemerisik gelombang radio. Sidang ujian dibuka ketua dewan penguji dengan peryataan bahwa karya tidak memenuhi syarat sebagai karya seni lukis, maka ujian dinyatakan ditolak. Saya mengangkat tangan akan menjelaskan karya, tapi langsung oleh panitia diajak keluar sidang.
Tahun 1985 data keterlibatan di desa Waung dipamerkan bersama kelompok Proses ’85 terdiri dari Gendut Ryanto, Harris Purnomo, Bonyong Munni Ardhie, Harsono, Moelyono dengan judul pameran Seni Rupa Lingkungan di Galeri Ancol, Jakarta. Pemikiran dasar dari pameran adalah berkarya tidak berangkat dari rasa trenyuh atau keharuan romantis, produk ekspresi perasaan semata. Karya berangkat dari data obyektif dan akurat. Guna mendapatkan data dan analisis yang obyektif tentang persoalan lingkungan, dilakukan kerjasama dengan Walhi –Wahana Lingkungan Hidup dukungan Erna Witoelar, pameran dibuka menteri Lingkungan Hidup: Emil Salim, data pencemaran limbah industri di Teluk Jakarta dari Dr. Meizar dan A.N. Hafild untuk analis problem kehutanan.
Tahun 1986 di Tulungagung, masuk ke Teluk Brumbun, 260 warga, satu SD. kecil, murid 23 anak, guru 4 orang, pak guru Katiran saja yang aktif karena beliau adalah Kepala SD. Waktu jalan kaki bersama ibu pedagang ikan, ditanya nama, pekerjaan, saya jawab guru gambar. Tiba di Dukuh ditemui Kepala SD dan diajak ke kelas 1 untuk mengajar gambar, pak Katiran dapat laporan dari ibu penjual ikan katanya ada guru gambar baru datang. Saya bingung di depan anak-anak kecil kelas 1, mau mengajar gambar apa? Diberi contoh gambar ikan tidak ada anak-anak yang gambar karena tidak ada buku gambar, saya tambah bingung. Seorang anak berteriak, pak gambar di pasir saja. Teriakan yang menyelamatkan kebingungan. Menggambar dilakukan hari Sabtu dan Minggu di bulan Maret 1987, sekitar 100 gambar anak-anak dipamerkan di dinding rumah pak Jono – almarhum, agar warga tahu hasil gambar anak-anak. Proses gambar anak-anak dari gambar coretan garis dengan tumit kaki, telunjuk jari, ranting, kerang, membuat rumah-rumahan, mancing, tarik jaring, dapat burung, menyelam, nyamuk malaria, sakit demam, juga di kertas dengan pensil, pulpen menggambar sejarah pemukiman orang tua anak-anak, tanah pantai milik siapa, mengapa warga miskin, mengapa tidak ada bantuan pembangunan, mengapa petugas kesehatan jarang datang, bapak setor kelapa ke mandor, bapak cari kayu ditangkap mandor hutan; sampai gambar menjadi awal berbincang dengan bapak ibunya dan warga membahas bagaimana mengaktifkan guru SD, bagaimana menyalurkan air minum, ke mana anak-anak bermain, mengapa ikan mulai susah ditangkap, warga sudah punya KTP atau belum.
Kegiatan menggambar intensif hari sabtu dan minggu didukung dengan tenaga sukarela dari murid SMAK Tulungagung dimana saya mengajar, antara lain: Wibowo, Maryoko, Agus Kucing, Madu, Wardhani. Bulan Juli 1987 gambar, jaring, dayung, serpihan perahu, penguras air perahu dipamerkan di Bentara Budaya Yogya.
Jakarta, awal 1988, diundang API – Asosiasi Peneliti Ilmu Sosial Indonesia – ceritakan kegiatan di Brumbun, ini adalah perkenalan pertama kali dengan kalangan aktivis dan LSM, dan mendapatkan wawasan ilmu-ilmu sosial untuk kerangka pemahaman kerja dengan seni rupa bersama anak-anak dan warga di dusun.
1988, ke Brumbun bersama tim dari Walhi –Jakarta dan Harsono untuk dokumentasi mempersiapkan pameran ke Jakarta. Tiba di Brumbun saya langsung diajak petugas Kecamatan masuk rumah Pak RT. yang sudah ada Babinsa, Polsek dan petugas Kecamatan – Muspika Kecamatan – Babinsa bertanya: nama lengkap, tanggal dan tempat lahir, pekerjaan, nama orang tua, pekerjaan orang tua, partai politik orang tua, waktu tahun 1965 umur berapa, masih ingat peristiwa 65, mengapa sebagai sarjana masuk ke dusun miskin, apa tujuannya, kegiatan ini mirip yang dilakukan PKI masuk ke desa-desa miskin di sepanjang pantai selatan, apa tujuan gambar anak dipamerkan ke Jakarta, siapa panitia orang-orang dari Jakarta yang ikut dalam rombongan ke Brumbun ini, apakah kegiatan di Brumbun sudah punya ijin dari Muspida? Soal ijin kegiatan saya Gambar anak-anak dan warga dewasa digunakan membahas persoalan keseharian: sejarah pemukiman, tanah pantai milik siapa, mengapa warga miskin, mengapa tidak ada bantuan pembangunan, mengapa petugas kesehatan jarang datang, bagaimana mengaktifkan guru SD, bagaimana menyalurkan air minum, kemana anak-anak bermain, mengapa ikan mulai susah ditangkap, warga sudah punya KTP atau belum.a tidak bisa menjawab. Babinsa memerintahkan: kegiatan harus dihentikan sekarang juga, jika tidak semua rombongan diangkut truk yang sudah disiapkan, dibawa ke koramil. Dilarang ke Brumbun tanpa surat ijin dari Muspida dan rekomendasi Muspika.
Surat ijin kegiatan untuk Brumbun proses pembuatannya diuruskan oleh pak Ema Kusmadi – Kasi Kebudayaan kota, dengan cara dibuatkan Kartu Induk Organisasi Kesenian sebagai surat ijin resmi kegiatan kesenian, kemudian dibuatkan surat pengantar ijin kegiatan pendidikan gambar di Brumbun dengan stempel dan tanda tangan dari Kantor Depdikbud, Polres dan Kodim kabupaten Tungagung. Surat diserahkan ke komandan Koramil yang langsung menerangkan bahwa kekuasaan teritori militer pantai selatan dipegang oleh Koramil. Pantai selatan adalah lokasi pembantaian orang-orang PKI serta kemungkinan kapal asing dapat menyelundup. Pengawasan keamanan pantai selatan dijaga ketat demi stabilitas negara dari para pelarian dan orang – orang yang mau menghidupkan PKI.
Menggambar dengan anak-anak diijinkan dilanjutkan oleh Koramil, dengan catatan dilarang lagi kumpulkan warga untuk berbincang-bincang, apalagi bicara politik.
Agustus 1988 didukukung API, Yayasan Karti Sarana, LIPI diselenggarakan pameran di Lingkar Mitra, Jakarta dengan judul “Pameran Seni Rupa: Dialogis Transformatif”. Pameran disertai diskusi dengan pembicara: Sanento Yuliman, Toeti Herati, Ratna Saptari. Siti Adiyati menulis pameran di harian Kompas pada 4 September 1988 dengan judul “Seni Rupa Penyadaran”.
Dana dari penyelenggaraan pameran disisihkan sebagian untuk membeli buku sekolah, seragam pramuka dan selang plastik untuk saluran air minum.
Katalogus pameran diserahkan ke bupati Tulungagung; bupati kunjungi teluk Brumbun, dengan Bappeda memutuskan membangun jalan aspal untuk obyek pariwisata. Dibangunnya jalan aspal membuat mobil colt angkutan desa masuk ke teluk Brumbun, warga nelayan bisa langsung menjual ikan atau udang Lobster ke pasar kota, warga buka warung, jawatan perikanan meminjami kredit perahu , mobil puskesmas keliling semprot sarang nyamuk Malaria, Departemen Pendidikan mengganti gedung SD.
Kerjasama dengan API, menjalar perkawanan dengan para aktifis mahasiswa Jakarta, Yogya, Solo, Salatiga, Surabaya, Bandung. Tahun 1989-1991 para aktifis LSKBH-Surabaya, Sanggar Suka Banjir-Solo, FDPY, FKMY, SMID-Solo, Yayasan Geni-Salatiga menyelenggarakan pameran karya integratif anak-anak Brumbun dan moelyono dengan judul “Seni Rupa Penyadaran” dilakukan keliling: Surabaya, Solo, Salatiga, Yogya. Agenda pameran diisi diskusi dengan pembicara: Harsono, Dede Oetomo, HB. Soetopo, Bonyong Munni Ardhie, Aries Mundayat, Mochtar Maseod, Goerge Aditjondro. Pameran selalu diawali pembukaannya dengan Wiji Thukul membacakan puisinya.
Proses Menyusun Konsep Seni Rupa Penyadaran:
API memberikan perspektif pemikiran Ilmu Sosial Transformatif dengan metode riset partisipatori atau Partisipatory Research – yaitu kombinasi penelitian sosial, kerja pendidikan dan aksi politik yang dilakukan oleh masyarakat sendiri. Seni rupa coba diposisikan secara metodologi sebagai media riset partisipatori dengan alur pemahaman, setiap orang bisa menguasai, mendayagunakan seni rupa sebagai media analisis, dialog dan berpikir kritis, mencari solusi tentang problem sosial di komunitasnya.
Penelitian partisipatori memberikan wawasan, rakyat menciptakan peluang dan ruang untuk terlibat dan mengontrol proses penelitian maupun menghasilkan pengetahuan, dengan menempatkan dirinya sebagai subyek, karena rakyat sebagai pusat trasformasi.
Pemahaman ditajamkan lagi dengan pembelajaran teori dan metodologi Paulo Freire yang disebut dengan “penyadaran” (conscientization ) 9 yaitu: belajar memahami kontradiksi sosial politik dan ekonomi serta mengambil tindakan untuk melawan unsur-unsur yang menindas dari realitas tersebut.
Penyadaran dilakukan dengan metode dialog , yang merupakan hubungan antara pribadi-pribadi. Dialog berinduk pada sikap kritis, dialog menularkan sikap kritis. Dialog memungkinkan komunikasi sejati. Dalam kepercayaan, dialog memiliki kekuatan dan makna: kepercayaan kepada setiap orang dan kemampuan-kemampuannya, keyakinan bahwa setiap orang dapat menjadi jati dirinya sendiri yang sejati bila orang lain juga menjadi sejati.
Dalam proses dialog, semua orang didudukkan sebagai subyek , yang mempunyai posisi sejajar untuk melakukan dialog. Dengan demikian, pada hakekatnya, rakyat bawah sebagai subyek adalah pencipta kebudayaan.10
Teman-teman dari API memberikan lagi referensi yang lebih nyata dari pemikiran “penyadaran” untuk aplikasi teori dan metodologi di bidang seni, yaitu draft naskah terjemaham buku Augusto Boal: “Teater Pembebasan” (Theater of the Oppresed).
Teater Pembebasan menguraikan tujuan utamanya adalah mengubah masyarakat -“para penonton”-, mahluk-mahluk pasif dalam gejala teater -menjadi subyek, aktor, transformer dari tindakan dramatis.
Penonton tidak menyerahkan kekuasaan kepada si tokoh –atau aktor- entah untuk bertindak ataupun berpikir mewakilinya; sebaliknya, ia sendiri mengambil peranan protagonis, mengubah tindakan dramatis, mencoba jalan keluar, mendiskusikan rancangan-rancangan untuk perubahan. Singkatnya: melatih diri untuk tindakan yang sesungguhnya. Dalam hal ini, mungkin benar teater itu sendiri tidak revolusioner, tetapi jelas merupakan suatu latihan –rehearsal- untuk revolusi tersebut.
Penonton yang dibebaskan, sebagai manusia yang utuh, bergerak untuk bertindak. Betapapun tindakan itu fiktif; yang penting ialah bahwa ia merupakan aksi.
Boal menegaskan, semua kelompok teater yang benar-benar revolusioner harus menyampaikan kepada rakyat alat-alat produksi dalam teater teater sehingga rakyat sendiri dapat mendayagunakannya.11
Eugene van Erve dalam wawancara dengan “Citra Yogya”, 002/Th.I/1998 menegaskan tujuan utama dari Teater pembebasan adalah menumbuhkan daya dan kekuasaan kelompok tertindas agar mereka punya suara dan sarana untuk memperbaiki nasib lewat upaya komunal yang kreatif dan kooperatif dan tanpa kekerasan.
Teater digunakan sebagai media non-hirarkis dan sepenuhnya dikendalikan oleh rakyat, untuk mengungkapkan aspirasi komunitas pedesaan dan pinggiran perkotaan ke arah kemandirian, keadilan sosial, serta kekuatan kooperatif, kolektif dan komunal.
Teater pembebasan berupaya memerlukan kegiatan artistik di kalangan massa untuk:
Menjebol gagasan konservatif bahwa seni adalah wilayah eksklusif para praktisi yang istimewa, berbakat tinggi dan trampil, yang berkarya demi kenikmatan segelintir elit, dan
Memperkaya kehidupan dan memberi wawasan yang penuh arti mengenai realitas eksistensial sebagian terbesar masyarakat, yakni lelaki dan perempuan kelas bawah dari semua sektor 12.
Dengan demikian Teater Pembebasan, membuat pemikir sosial dan organisator menjadi seniman, atau Teater Pembebasan membuat rakyat kebanyakan menjadi seniman, pemikir sosial, organisator dan individu yang mandiri, percaya diri, dan sadar serta prihatin terhadap komunitasnya. Teater Pembebasan ditegaskan, bukan hendak menelorkan slogan-slogan radikal. Justru manusia bermartabat, santun memikat, mampu dan mau berpikir dengan menaruh hormat pada diri sendiri.
Menurut Eugene, di Filipina para pekerja teater sudah mulai meninggalkan sebutan ACTOR, dan mulai menyebut diringan dengan ATOR yaitu singkatan dari Artist-Teacher-Organizer-Researcher, dengan pengertian bahwa ke-empat unsur funsional itu sama pentingnya. Selain diperhatikan dan dijaga benar agar tetap ada ruang dan waktu yang memadai untuk mengembangkan segi kesenian dan kesenimanan masing-masing.
Dengan demikian, Teater Pembebasan membuat pemikir sosial dan organisator menjadi seniman; atau Teater Pembebasan membuat rakyat kebanyakan menjadi seniman, pemikir sosial, organisator dan individu yang mandiri, percaya diri dan sadar serta prihatin akan komunitasnya.
Teater Pembebasan ditegaskan, bukan hendak menelorkan sosok-sosok revolusioner yang mengacungkan senjata, mengkoarkan slogan-slogan radikal; justru adalah manusia yang bermartabat, santun memikat, mampu dan mau berpikir dengan menaruh hormat pada diri sendiri.6
Referensi di atas jadi acuan kerangka pikiran “Seni Penyadaran” yang dalam proses pameran keliling diperkaya, dipertajam dan dikritisi pada forum diskusi. (lihat catatan pokok-pokok makalah).
Aplikasi metodologi “Seni Rupa Penyadaran” dilakukan bersama anak dan warga dewasa di komunitas berdasar referensi tahap penguasaan media seni rupa berbasis potensi budaya dan material lokal.
1992 hidup di kawasan buruh industri di Rungkut, Surabaya. Mengajar gambar anak-anak buruh serta para buruh perempuan. Tahun 1993 bersama 11 buruh kawan Marsinah dan KSUM-Komite Solidaritan Untuk Marsinah- dibantu LSKBH dan LBH Surabaya, kerjasama dengan Dewan Kesenian Suabaya, mengadakan “Pameran Seni Rupa untuk Marsinah” di Surabaya, memperingati 100 hari terbunuhnya Marsinah. Karya yang dipamerkan berupa: hardboard cut karya 11 buruh, patung figure Marsinah, cetakan semen prasasti gapura jalan dan patung dari jerami figur 12 orang buruh saat interogasi militer yang dibuat bersama 5 mahasiswa seni upa STKW Surabaya. Saat akan pembukaan, pameran dilarang dibuka oleh pihak militer.
Sejak tahun 2002 sampai 2013, “Seni Rupa Penyadaran” diaplikasikan dengan teori dan metodologi program ECCD –Early Chilhood Care for Development” Holistik bekerjasama dengan lembaga swadaya nasional diterapkan di daerah: NTT: Atambua, Kefa, Alor, Rote, Kupang, Maliana –Timor Leste, Papua: Jayapura, Wamena; Kalbar: Sungai Pinyu, Singkawang, Bengkayang, Sambas; Sulawesi: Tentena, Poso, Luwu; Ambon, Masohi-Pulau Seram; Pulau Nias; Sumatera: Aceh, Meulaboh; Jawa: Desa Kebonsari-Pacitan, Desa Sumber-Ponorogo, Pesantren ‘ Arrosyaad’, Balong, Kediri.
Moelyono –pelukis, instalatir, konsultan partikelir program ECCD Holistik.
Pustaka:
Katalogus Pameran Seni Rupa Lingkungan “Proses’85” Galeri Ancol, Jakarta, 1985
Dr.Mansour Fakih: Aksi Kultural untuk Transformasi Sosial, Kata Pengantar buku Seni Rupa Penyadaran, Moelyono, Bentang Budaya Yogya, 1997
Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas, Jakarta, LP3ES, 1985
Paulo Freire, Pendidikan Sebagai Praktek Pembebasan, Jakarta: P.T.Gramedia, 1984
Eugene van Erven, Teater Pembebasan, Citra, Yogya, 1988. Lihat pula Augusto Boal, Theater of The Oppressed, 1974
Ratna Saptari: “Seni Rupa Dialogis Transformatif”: Beberapa Catatan, Makalah Diskusi, Jakarta, 1988.
Katalogus: Pameran Seni Rupa Dialogis Transformatif, Yayasan API dan LIPI, Yayasan Kartisarana, Gedung Lingkar Mitra Budaya, Jakarta, 1988.
Draft naskah: Teater Pembebasan, Augusto Boal, tanpa tahun
Catatan garis bawah dari makalah-makalah diskusi Pameran Seni Rupa Penyadaran
I. Makalah Dede Oetomo: Peranan Seni Rupa dalam melepaskan diri dari hegemoni global
Pendekatan strukturalis dalam ilmu-ilmu sosial (Edward dll) membagi struktur masyarakat menjadi dua:
1. Infrastruktur –bangunan bawah : merupakan struktur dasar sosial-ekonomi dari suatu sistem
masyarakat
2. Suprastruktur –bangunan atas: terdiri dari pranata-pranata seperti ideologi, hukum, politik, bahasa, budaya dan seni
Bangunan atas dan bawah saling terkait dalam hubungan yang kompleks, masing-masing dengan dinamikanya sendiri. Untuk memahami kompleksitas itu, sebelumnya perlu dipahami bahwa pendekatan strukturalis pada dasarnya menganalsa sistem masyarakat berdasarkan bagaimana proses produksi diatur dalam masyarakat itu. Dasar pemikirannya begini:
1. Manusia berprodukdi dengan mengubah suatu benda, bahan mentah dari alam, menjadi obyek lain, dengan menggunakan berbagai macam alat atau sarana produksi.
2. Dalam berproduksi itu, manusia sekaligus saling terlibat dalam hubungan sosial tertentu
Hubungan sosial diantara manusia-manusia dalam suatu masyarakat, gagasan-gasan mereka tentang dirinya sendiri dan dunia di sekitarnya (kesadarannya), dan juga hukum, moralitas, etika dan relijinya hanya dapat dipahami dalam kaitannya dengan cara mereka mengatur kegiatan produksi dan reproduksinya.
Secara lebih rinci, hubungan sosial produksi dapat dijabarkan sebagai:
1. Siapakah yang memilki atau menguasai alat-alat atau sarana produksi ?
2. bagaimanakah hubungan langsung di dalam proses produksi antara mereka yang mengerjakan produksi dan mereka yang menikmati surplus hasil produksi ?
3. Cara apakah yang ditempuh oleh kelompok yang menikmati surplus itu untuk memperolehnya ?
4. Apakah benda-benda diproduksi untuk langsung dipakai ataukah dipasarkan ?
Suprastruktur dan Infrastruktur saling berkait dengan memahami kecenderungan dalam budaya yang terkait dengan keadaan hubungan sosial-ekonomi masyarakat.
Ajuan tesis: bahwa seni rupa di dalam suatu masyarakat pun tidak dapat lepas dari hubungan sosial produksi yang ada. Standard seni rupa kerapkali ditentukan oleh mereka yang berkuasa secara sosial-ekonomi di suatu masyarakat. Penentuan standard itu bisa secara mikro dan makro.
Antonio Gramsci (1891-1937) mengemukakan suatu konsep yang menjelaskan penguasaan baik proses produksi itu sendiri dan sekaligus hal-hal non-fisik : ideologi, hukum, seni dll, yaitu: hegemoni.
Dalam dunia budaya saat ini terdapat hegemoni dan mereka yang menguasai sarana dan proses produksi sekaligus menguasai hal-hal non fisik.
Persoalan intinya adalah: kalau diperhatikan salng keterkaitan infrastruktur dan suprastruktur atas hegemoni yang mana dulu dilepaskan ? Ide Gramsci mengandaikan suatu perubahan sosial ekonomi di bangunan bawah dengan kemungkinan bangunan atas –suprastruktur- dipakai untuk mengubah infrastruktur.
Melalui budaya orang dapat disadarkan akan tidak adilnya hubungan sosial produksi yang ada di bangunan infrastruktur. Tentu saja orang tidak berhenti pada sadar saja, tetapi kemudian melakukan sesuatu. Namun dalam masyarakat modern yang serba spesialis, mungkin tugas pekerja seni memang terbatas di situ; yaitu mengubah kesadaran, membuat mereka yang terhegemoni menyadari adanya hegemoni tu dan barulah melepaskannya.
II. Makalah Goerge Junus Aditjondro: Pendidikan bersama anak-anak atau pendidikan tentang anak-anak? Pendidikan bersama orang miskin atau tentang orang miskin?
Antonio Gramsci: ……“karena semua tindakan manusia punya nilai politis, tak dapatkah kita simpulkan bahwa filosofi seseorang secara utuh tersirat dalam tindakan-tindakan politisnya”
Pedagogi Paulo Freire: Kodifikasi: representasi visual yang sangat sederhana dan mudah ditangkap, yang dapat dianalisa bersama oleh seluruh warga.
Dalam metode asli Freire: Kodifikasi berbentu gambar karya seniman Brasil: Francisco Brenand, yang ditransfer ke slide. Pemilihan tema-tema pokok yang akan dijadikan bahan kodifikasi, si calon pendidik harus melakukan penelitian dibantu beberapa ahli ilmu-ilmu sosial dan asisten peneliti dari warga desa. Barulah kemudian dibuat proses thematic investigation.
Proses selanjutnya dari kodifikasi dalam bentuk slide adalah tahap “pendidikan yang mempermasalahkan” –problem posing education- atau problematizing pedagogi-
Pembahasan (hasil) kodifikasi ini yang disebut dekodifikasi bukanlah sekedar pembahasan pemecahan masalah –problem solving- secara teknis.
Kodifikasi itu diperlukan supaya orang-orang yang terlibat dalam masalah itu, dapat mengambil jarak dari permasalahan itu, kemudian mengupas struktur permukaan –surface structure- dan struktur dalam –deep structure-nya, serta dialektika dan kesatuan diantara struktur permukaan dan struktur dalam itu.
Dekodifikasi berbeda dari tes-tes proyektif yang dikenal dalam penelitian antropolog. Sebab tujuannya bukanlah sekedar mengungkapkan taksonomi atau menggali persepsi-persepsi masyarakat tentang suatu masalah, melainkan merangsang serangkaian diskusi yang mendalam untuk menggali akar-akar permasalahan, kemudian merencanakan aksi.
Seringkali diskusi-diskusi dekodifikasi ini hanya berhenti di “struktur permukaan” dan tidak terus menggali “struktur dalam”. Menghadapi “kemacetan” begini, Freire menganjurkan penggunaan proyeksi simultan dari bebera slide yang saling berhubungan.
Freire mengingatkan: si pendidik dilarang keras memaksakan agendanya kepada kelompok masyarakat di mana ia bekerja. Gejala ini yang disebut manipulasi atau “invasi budaya” –cultural invation”, merupakan penyakit kronis dari para intelektual kelas menengah yang secara tidak sadar sudah terbiasa dengan pola “atas-bawah” selama pendidikan mereka sendiri di rumah maupun di sekolah. Juga bahaya manipulasi yang lain: manipulasi laki-laki dan perempuan dan bahaya manipulasi antar budaya.
Mahatma Gandhi yang masih memikirkan dan mempraktekkan suatu pola pendidikan dasar yang tidak mengasingkan anak-anak didik dari total produktifitas keluarga, desa dan bangsa.
Dalam ashram yang dirintis dan dibangun oleh Gandhi, mulai dari Pertanian Komunal “Burung Merak” yang didirikannya di Natal, Afrika selatan, tahun 1904 sampai dengan di Ashram Sabarmati di luar kota Ahmedabad di india, pekerjaan tangan menjadi inti atau ‘poros’ dari seluruh kurikulumnya. Khususnya kerajinan memintal benang dan menenun kain belacu India yang sederhana (khadi), yang dibarengi dengan penanaman kapas. Dengan cara itu, ada beberapa sasaran yang dicapai Gandhi, yakni:
1. Penggemblengan mental para anak didik itu sendiri, peluluh kesenjangan penghargaan pada pekerjaan tangan dibanding dengan pekerjaan otak
2. Pembebasan ketergantungan India pada kain impor Inggris
3. Serta pendidikan dasar-dasar perjuangan politik yang berlandaskan prinsip-prinsip Ahimsa –tanpa kekerasan- dan Satyagraha –pembangkangan sipil-
Pelajaran menanam kapas, memintal benang dan menenun kain dijadikan batu loncatan Gandhi untuk mengembangkan pengetahuan berhitung, pengetahuan tentang kemampuan tanah, pengetahuan tentang jenis-jenis kapas, pengetahuan tentang bagaimana maskapai-maskapai multinasional tekstil Inggris di Manchester yang merajai pasaran tekstil dunia, serta pengetahuan tentang etika dan taktik politik untuk membangun kekuasaan rakyat (lokimiti) sebagai pengimbang kekuatan negara (rajiniti).
Proses Seni Rupa Penyadaran
Tahun 1965 saya kelas 3 Sekolah Dasar di Tulungagung, Jatim, seingat saya, bersama teman-teman bermain mendorong dengan ranting tubuh-tubuh terapung yang tersangkut di pepohonan perdu agar hanyut ke tengah sungai terseret banjir. Magrib, Bapak naik tangga menara masuk ke tampungan air yang kosong, Ibu mengambil tangga, menutup pintu rumah dengan palang bambu, menyalakan lampu minyak dan mengaji, saya tiduran.
Saat SMP, saya dapat cerita, bapak sembunyi takut tetangga yang jadi sakerah yang setiap saat bisa menebas siapapun yang dicap PKI. Bapak, seingat saya tidak pernah memakai tanda PKI, tetapi dari kantor membawa majalah Soviet yang saya suka foto fotonya.
Semester 3 di FSRD STSRI “Asri” Yogyakarta, jurusan seni lukis kost bersama ‘kakak kelas’ kelompok Seni Kepribadian Apa (PIPA) diajak pameran tahun 1979. Melukis realis tema sosial membawa kegundahan, ternyata tidak menyelesaikan persoalan sosial. Kala pulang ke Tulungagung, tertarik masuk ke dusun-dusun problem sosial, misalnya ke desa ‘Waung’ yang selalu jadi rawa. Ikut-ikutan membuat lahan apung dari enceng gondok yang dibalik diberi tanah ditanami bayam, jagung, cabe. Tahun 1985 kegiatan di rawa Waung dibuat karya “KUD” – Kesenian Unit Desa – sebagai syarat ujian S1, berujud paparan 12 lembar tikar merah, tiap tikar ada pincuk tempat nasi daun pisang berisi tanah dengan tunas kangkung, kacang, bayam, cabe, jagung, ubi, satu dangau pendek berisi tikar dengan sketsa wajah konglomerat, di ujung deretan tikar dipasang podium dengan mike untuk suara gelombang gemerisik radio transistor. Di sudut paparan tikar diletakkan speaker bersuara gemerisik gelombang radio. Sidang ujian dibuka ketua dewan penguji dengan peryataan bahwa karya tidak memenuhi syarat sebagai karya seni lukis, maka ujian dinyatakan ditolak. Saya mengangkat tangan akan menjelaskan karya, tapi langsung oleh panitia diajak keluar sidang.
Tahun 1985 data keterlibatan di desa Waung dipamerkan bersama kelompok Proses ’85 terdiri dari Gendut Ryanto, Harris Purnomo, Bonyong Munni Ardhie, Harsono, Moelyono dengan judul pameran Seni Rupa Lingkungan di Galeri Ancol, Jakarta. Pemikiran dasar dari pameran adalah berkarya tidak berangkat dari rasa trenyuh atau keharuan romantis, produk ekspresi perasaan semata. Karya berangkat dari data obyektif dan akurat. Guna mendapatkan data dan analisis yang obyektif tentang persoalan lingkungan, dilakukan kerjasama dengan Walhi –Wahana Lingkungan Hidup dukungan Erna Witoelar, pameran dibuka menteri Lingkungan Hidup: Emil Salim, data pencemaran limbah industri di Teluk Jakarta dari Dr. Meizar dan A.N. Hafild untuk analis problem kehutanan.
Tahun 1986 di Tulungagung, masuk ke Teluk Brumbun, 260 warga, satu SD. kecil, murid 23 anak, guru 4 orang, pak guru Katiran saja yang aktif karena beliau adalah Kepala SD. Waktu jalan kaki bersama ibu pedagang ikan, ditanya nama, pekerjaan, saya jawab guru gambar. Tiba di Dukuh ditemui Kepala SD dan diajak ke kelas 1 untuk mengajar gambar, pak Katiran dapat laporan dari ibu penjual ikan katanya ada guru gambar baru datang. Saya bingung di depan anak-anak kecil kelas 1, mau mengajar gambar apa? Diberi contoh gambar ikan tidak ada anak-anak yang gambar karena tidak ada buku gambar, saya tambah bingung. Seorang anak berteriak, pak gambar di pasir saja. Teriakan yang menyelamatkan kebingungan. Menggambar dilakukan hari Sabtu dan Minggu di bulan Maret 1987, sekitar 100 gambar anak-anak dipamerkan di dinding rumah pak Jono – almarhum, agar warga tahu hasil gambar anak-anak. Proses gambar anak-anak dari gambar coretan garis dengan tumit kaki, telunjuk jari, ranting, kerang, membuat rumah-rumahan, mancing, tarik jaring, dapat burung, menyelam, nyamuk malaria, sakit demam, juga di kertas dengan pensil, pulpen menggambar sejarah pemukiman orang tua anak-anak, tanah pantai milik siapa, mengapa warga miskin, mengapa tidak ada bantuan pembangunan, mengapa petugas kesehatan jarang datang, bapak setor kelapa ke mandor, bapak cari kayu ditangkap mandor hutan; sampai gambar menjadi awal berbincang dengan bapak ibunya dan warga membahas bagaimana mengaktifkan guru SD, bagaimana menyalurkan air minum, ke mana anak-anak bermain, mengapa ikan mulai susah ditangkap, warga sudah punya KTP atau belum.
Kegiatan menggambar intensif hari sabtu dan minggu didukung dengan tenaga sukarela dari murid SMAK Tulungagung dimana saya mengajar, antara lain: Wibowo, Maryoko, Agus Kucing, Madu, Wardhani. Bulan Juli 1987 gambar, jaring, dayung, serpihan perahu, penguras air perahu dipamerkan di Bentara Budaya Yogya.
Jakarta, awal 1988, diundang API – Asosiasi Peneliti Ilmu Sosial Indonesia – ceritakan kegiatan di Brumbun, ini adalah perkenalan pertama kali dengan kalangan aktivis dan LSM, dan mendapatkan wawasan ilmu-ilmu sosial untuk kerangka pemahaman kerja dengan seni rupa bersama anak-anak dan warga di dusun.
1988, ke Brumbun bersama tim dari Walhi –Jakarta dan Harsono untuk dokumentasi mempersiapkan pameran ke Jakarta. Tiba di Brumbun saya langsung diajak petugas Kecamatan masuk rumah Pak RT. yang sudah ada Babinsa, Polsek dan petugas Kecamatan – Muspika Kecamatan – Babinsa bertanya: nama lengkap, tanggal dan tempat lahir, pekerjaan, nama orang tua, pekerjaan orang tua, partai politik orang tua, waktu tahun 1965 umur berapa, masih ingat peristiwa 65, mengapa sebagai sarjana masuk ke dusun miskin, apa tujuannya, kegiatan ini mirip yang dilakukan PKI masuk ke desa-desa miskin di sepanjang pantai selatan, apa tujuan gambar anak dipamerkan ke Jakarta, siapa panitia orang-orang dari Jakarta yang ikut dalam rombongan ke Brumbun ini, apakah kegiatan di Brumbun sudah punya ijin dari Muspida? Soal ijin kegiatan saya Gambar anak-anak dan warga dewasa digunakan membahas persoalan keseharian: sejarah pemukiman, tanah pantai milik siapa, mengapa warga miskin, mengapa tidak ada bantuan pembangunan, mengapa petugas kesehatan jarang datang, bagaimana mengaktifkan guru SD, bagaimana menyalurkan air minum, kemana anak-anak bermain, mengapa ikan mulai susah ditangkap, warga sudah punya KTP atau belum.a tidak bisa menjawab. Babinsa memerintahkan: kegiatan harus dihentikan sekarang juga, jika tidak semua rombongan diangkut truk yang sudah disiapkan, dibawa ke koramil. Dilarang ke Brumbun tanpa surat ijin dari Muspida dan rekomendasi Muspika.
Surat ijin kegiatan untuk Brumbun proses pembuatannya diuruskan oleh pak Ema Kusmadi – Kasi Kebudayaan kota, dengan cara dibuatkan Kartu Induk Organisasi Kesenian sebagai surat ijin resmi kegiatan kesenian, kemudian dibuatkan surat pengantar ijin kegiatan pendidikan gambar di Brumbun dengan stempel dan tanda tangan dari Kantor Depdikbud, Polres dan Kodim kabupaten Tungagung. Surat diserahkan ke komandan Koramil yang langsung menerangkan bahwa kekuasaan teritori militer pantai selatan dipegang oleh Koramil. Pantai selatan adalah lokasi pembantaian orang-orang PKI serta kemungkinan kapal asing dapat menyelundup. Pengawasan keamanan pantai selatan dijaga ketat demi stabilitas negara dari para pelarian dan orang – orang yang mau menghidupkan PKI.
Menggambar dengan anak-anak diijinkan dilanjutkan oleh Koramil, dengan catatan dilarang lagi kumpulkan warga untuk berbincang-bincang, apalagi bicara politik.
Agustus 1988 didukukung API, Yayasan Karti Sarana, LIPI diselenggarakan pameran di Lingkar Mitra, Jakarta dengan judul “Pameran Seni Rupa: Dialogis Transformatif”. Pameran disertai diskusi dengan pembicara: Sanento Yuliman, Toeti Herati, Ratna Saptari. Siti Adiyati menulis pameran di harian Kompas pada 4 September 1988 dengan judul “Seni Rupa Penyadaran”.
Dana dari penyelenggaraan pameran disisihkan sebagian untuk membeli buku sekolah, seragam pramuka dan selang plastik untuk saluran air minum.
Katalogus pameran diserahkan ke bupati Tulungagung; bupati kunjungi teluk Brumbun, dengan Bappeda memutuskan membangun jalan aspal untuk obyek pariwisata. Dibangunnya jalan aspal membuat mobil colt angkutan desa masuk ke teluk Brumbun, warga nelayan bisa langsung menjual ikan atau udang Lobster ke pasar kota, warga buka warung, jawatan perikanan meminjami kredit perahu , mobil puskesmas keliling semprot sarang nyamuk Malaria, Departemen Pendidikan mengganti gedung SD.
Kerjasama dengan API, menjalar perkawanan dengan para aktifis mahasiswa Jakarta, Yogya, Solo, Salatiga, Surabaya, Bandung. Tahun 1989-1991 para aktifis LSKBH-Surabaya, Sanggar Suka Banjir-Solo, FDPY, FKMY, SMID-Solo, Yayasan Geni-Salatiga menyelenggarakan pameran karya integratif anak-anak Brumbun dan moelyono dengan judul “Seni Rupa Penyadaran” dilakukan keliling: Surabaya, Solo, Salatiga, Yogya. Agenda pameran diisi diskusi dengan pembicara: Harsono, Dede Oetomo, HB. Soetopo, Bonyong Munni Ardhie, Aries Mundayat, Mochtar Maseod, Goerge Aditjondro. Pameran selalu diawali pembukaannya dengan Wiji Thukul membacakan puisinya.
Proses Menyusun Konsep Seni Rupa Penyadaran:
API memberikan perspektif pemikiran Ilmu Sosial Transformatif dengan metode riset partisipatori atau Partisipatory Research – yaitu kombinasi penelitian sosial, kerja pendidikan dan aksi politik yang dilakukan oleh masyarakat sendiri. Seni rupa coba diposisikan secara metodologi sebagai media riset partisipatori dengan alur pemahaman, setiap orang bisa menguasai, mendayagunakan seni rupa sebagai media analisis, dialog dan berpikir kritis, mencari solusi tentang problem sosial di komunitasnya.
Penelitian partisipatori memberikan wawasan, rakyat menciptakan peluang dan ruang untuk terlibat dan mengontrol proses penelitian maupun menghasilkan pengetahuan, dengan menempatkan dirinya sebagai subyek, karena rakyat sebagai pusat trasformasi.
Pemahaman ditajamkan lagi dengan pembelajaran teori dan metodologi Paulo Freire yang disebut dengan “penyadaran” (conscientization ) 9 yaitu: belajar memahami kontradiksi sosial politik dan ekonomi serta mengambil tindakan untuk melawan unsur-unsur yang menindas dari realitas tersebut.
Penyadaran dilakukan dengan metode dialog , yang merupakan hubungan antara pribadi-pribadi. Dialog berinduk pada sikap kritis, dialog menularkan sikap kritis. Dialog memungkinkan komunikasi sejati. Dalam kepercayaan, dialog memiliki kekuatan dan makna: kepercayaan kepada setiap orang dan kemampuan-kemampuannya, keyakinan bahwa setiap orang dapat menjadi jati dirinya sendiri yang sejati bila orang lain juga menjadi sejati.
Dalam proses dialog, semua orang didudukkan sebagai subyek , yang mempunyai posisi sejajar untuk melakukan dialog. Dengan demikian, pada hakekatnya, rakyat bawah sebagai subyek adalah pencipta kebudayaan.10
Teman-teman dari API memberikan lagi referensi yang lebih nyata dari pemikiran “penyadaran” untuk aplikasi teori dan metodologi di bidang seni, yaitu draft naskah terjemaham buku Augusto Boal: “Teater Pembebasan” (Theater of the Oppresed).
Teater Pembebasan menguraikan tujuan utamanya adalah mengubah masyarakat -“para penonton”-, mahluk-mahluk pasif dalam gejala teater -menjadi subyek, aktor, transformer dari tindakan dramatis.
Penonton tidak menyerahkan kekuasaan kepada si tokoh –atau aktor- entah untuk bertindak ataupun berpikir mewakilinya; sebaliknya, ia sendiri mengambil peranan protagonis, mengubah tindakan dramatis, mencoba jalan keluar, mendiskusikan rancangan-rancangan untuk perubahan. Singkatnya: melatih diri untuk tindakan yang sesungguhnya. Dalam hal ini, mungkin benar teater itu sendiri tidak revolusioner, tetapi jelas merupakan suatu latihan –rehearsal- untuk revolusi tersebut.
Penonton yang dibebaskan, sebagai manusia yang utuh, bergerak untuk bertindak. Betapapun tindakan itu fiktif; yang penting ialah bahwa ia merupakan aksi.
Boal menegaskan, semua kelompok teater yang benar-benar revolusioner harus menyampaikan kepada rakyat alat-alat produksi dalam teater teater sehingga rakyat sendiri dapat mendayagunakannya.11
Eugene van Erve dalam wawancara dengan “Citra Yogya”, 002/Th.I/1998 menegaskan tujuan utama dari Teater pembebasan adalah menumbuhkan daya dan kekuasaan kelompok tertindas agar mereka punya suara dan sarana untuk memperbaiki nasib lewat upaya komunal yang kreatif dan kooperatif dan tanpa kekerasan.
Teater digunakan sebagai media non-hirarkis dan sepenuhnya dikendalikan oleh rakyat, untuk mengungkapkan aspirasi komunitas pedesaan dan pinggiran perkotaan ke arah kemandirian, keadilan sosial, serta kekuatan kooperatif, kolektif dan komunal.
Teater pembebasan berupaya memerlukan kegiatan artistik di kalangan massa untuk:
Menjebol gagasan konservatif bahwa seni adalah wilayah eksklusif para praktisi yang istimewa, berbakat tinggi dan trampil, yang berkarya demi kenikmatan segelintir elit, dan
Memperkaya kehidupan dan memberi wawasan yang penuh arti mengenai realitas eksistensial sebagian terbesar masyarakat, yakni lelaki dan perempuan kelas bawah dari semua sektor 12.
Dengan demikian Teater Pembebasan, membuat pemikir sosial dan organisator menjadi seniman, atau Teater Pembebasan membuat rakyat kebanyakan menjadi seniman, pemikir sosial, organisator dan individu yang mandiri, percaya diri, dan sadar serta prihatin terhadap komunitasnya. Teater Pembebasan ditegaskan, bukan hendak menelorkan slogan-slogan radikal. Justru manusia bermartabat, santun memikat, mampu dan mau berpikir dengan menaruh hormat pada diri sendiri.
Menurut Eugene, di Filipina para pekerja teater sudah mulai meninggalkan sebutan ACTOR, dan mulai menyebut diringan dengan ATOR yaitu singkatan dari Artist-Teacher-Organizer-Researcher, dengan pengertian bahwa ke-empat unsur funsional itu sama pentingnya. Selain diperhatikan dan dijaga benar agar tetap ada ruang dan waktu yang memadai untuk mengembangkan segi kesenian dan kesenimanan masing-masing.
Dengan demikian, Teater Pembebasan membuat pemikir sosial dan organisator menjadi seniman; atau Teater Pembebasan membuat rakyat kebanyakan menjadi seniman, pemikir sosial, organisator dan individu yang mandiri, percaya diri dan sadar serta prihatin akan komunitasnya.
Teater Pembebasan ditegaskan, bukan hendak menelorkan sosok-sosok revolusioner yang mengacungkan senjata, mengkoarkan slogan-slogan radikal; justru adalah manusia yang bermartabat, santun memikat, mampu dan mau berpikir dengan menaruh hormat pada diri sendiri.6
Referensi di atas jadi acuan kerangka pikiran “Seni Penyadaran” yang dalam proses pameran keliling diperkaya, dipertajam dan dikritisi pada forum diskusi. (lihat catatan pokok-pokok makalah).
Aplikasi metodologi “Seni Rupa Penyadaran” dilakukan bersama anak dan warga dewasa di komunitas berdasar referensi tahap penguasaan media seni rupa berbasis potensi budaya dan material lokal.
1992 hidup di kawasan buruh industri di Rungkut, Surabaya. Mengajar gambar anak-anak buruh serta para buruh perempuan. Tahun 1993 bersama 11 buruh kawan Marsinah dan KSUM-Komite Solidaritan Untuk Marsinah- dibantu LSKBH dan LBH Surabaya, kerjasama dengan Dewan Kesenian Suabaya, mengadakan “Pameran Seni Rupa untuk Marsinah” di Surabaya, memperingati 100 hari terbunuhnya Marsinah. Karya yang dipamerkan berupa: hardboard cut karya 11 buruh, patung figure Marsinah, cetakan semen prasasti gapura jalan dan patung dari jerami figur 12 orang buruh saat interogasi militer yang dibuat bersama 5 mahasiswa seni upa STKW Surabaya. Saat akan pembukaan, pameran dilarang dibuka oleh pihak militer.
Sejak tahun 2002 sampai 2013, “Seni Rupa Penyadaran” diaplikasikan dengan teori dan metodologi program ECCD –Early Chilhood Care for Development” Holistik bekerjasama dengan lembaga swadaya nasional diterapkan di daerah: NTT: Atambua, Kefa, Alor, Rote, Kupang, Maliana –Timor Leste, Papua: Jayapura, Wamena; Kalbar: Sungai Pinyu, Singkawang, Bengkayang, Sambas; Sulawesi: Tentena, Poso, Luwu; Ambon, Masohi-Pulau Seram; Pulau Nias; Sumatera: Aceh, Meulaboh; Jawa: Desa Kebonsari-Pacitan, Desa Sumber-Ponorogo, Pesantren ‘ Arrosyaad’, Balong, Kediri.
Moelyono –pelukis, instalatir, konsultan partikelir program ECCD Holistik.
Pustaka:
Katalogus Pameran Seni Rupa Lingkungan “Proses’85” Galeri Ancol, Jakarta, 1985
Dr.Mansour Fakih: Aksi Kultural untuk Transformasi Sosial, Kata Pengantar buku Seni Rupa Penyadaran, Moelyono, Bentang Budaya Yogya, 1997
Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas, Jakarta, LP3ES, 1985
Paulo Freire, Pendidikan Sebagai Praktek Pembebasan, Jakarta: P.T.Gramedia, 1984
Eugene van Erven, Teater Pembebasan, Citra, Yogya, 1988. Lihat pula Augusto Boal, Theater of The Oppressed, 1974
Ratna Saptari: “Seni Rupa Dialogis Transformatif”: Beberapa Catatan, Makalah Diskusi, Jakarta, 1988.
Katalogus: Pameran Seni Rupa Dialogis Transformatif, Yayasan API dan LIPI, Yayasan Kartisarana, Gedung Lingkar Mitra Budaya, Jakarta, 1988.
Draft naskah: Teater Pembebasan, Augusto Boal, tanpa tahun
Catatan garis bawah dari makalah-makalah diskusi Pameran Seni Rupa Penyadaran
I. Makalah Dede Oetomo: Peranan Seni Rupa dalam melepaskan diri dari hegemoni global
Pendekatan strukturalis dalam ilmu-ilmu sosial (Edward dll) membagi struktur masyarakat menjadi dua:
1. Infrastruktur –bangunan bawah : merupakan struktur dasar sosial-ekonomi dari suatu sistem
masyarakat
2. Suprastruktur –bangunan atas: terdiri dari pranata-pranata seperti ideologi, hukum, politik, bahasa, budaya dan seni
Bangunan atas dan bawah saling terkait dalam hubungan yang kompleks, masing-masing dengan dinamikanya sendiri. Untuk memahami kompleksitas itu, sebelumnya perlu dipahami bahwa pendekatan strukturalis pada dasarnya menganalsa sistem masyarakat berdasarkan bagaimana proses produksi diatur dalam masyarakat itu. Dasar pemikirannya begini:
1. Manusia berprodukdi dengan mengubah suatu benda, bahan mentah dari alam, menjadi obyek lain, dengan menggunakan berbagai macam alat atau sarana produksi.
2. Dalam berproduksi itu, manusia sekaligus saling terlibat dalam hubungan sosial tertentu
Hubungan sosial diantara manusia-manusia dalam suatu masyarakat, gagasan-gasan mereka tentang dirinya sendiri dan dunia di sekitarnya (kesadarannya), dan juga hukum, moralitas, etika dan relijinya hanya dapat dipahami dalam kaitannya dengan cara mereka mengatur kegiatan produksi dan reproduksinya.
Secara lebih rinci, hubungan sosial produksi dapat dijabarkan sebagai:
1. Siapakah yang memilki atau menguasai alat-alat atau sarana produksi ?
2. bagaimanakah hubungan langsung di dalam proses produksi antara mereka yang mengerjakan produksi dan mereka yang menikmati surplus hasil produksi ?
3. Cara apakah yang ditempuh oleh kelompok yang menikmati surplus itu untuk memperolehnya ?
4. Apakah benda-benda diproduksi untuk langsung dipakai ataukah dipasarkan ?
Suprastruktur dan Infrastruktur saling berkait dengan memahami kecenderungan dalam budaya yang terkait dengan keadaan hubungan sosial-ekonomi masyarakat.
Ajuan tesis: bahwa seni rupa di dalam suatu masyarakat pun tidak dapat lepas dari hubungan sosial produksi yang ada. Standard seni rupa kerapkali ditentukan oleh mereka yang berkuasa secara sosial-ekonomi di suatu masyarakat. Penentuan standard itu bisa secara mikro dan makro.
Antonio Gramsci (1891-1937) mengemukakan suatu konsep yang menjelaskan penguasaan baik proses produksi itu sendiri dan sekaligus hal-hal non-fisik : ideologi, hukum, seni dll, yaitu: hegemoni.
Dalam dunia budaya saat ini terdapat hegemoni dan mereka yang menguasai sarana dan proses produksi sekaligus menguasai hal-hal non fisik.
Persoalan intinya adalah: kalau diperhatikan salng keterkaitan infrastruktur dan suprastruktur atas hegemoni yang mana dulu dilepaskan ? Ide Gramsci mengandaikan suatu perubahan sosial ekonomi di bangunan bawah dengan kemungkinan bangunan atas –suprastruktur- dipakai untuk mengubah infrastruktur.
Melalui budaya orang dapat disadarkan akan tidak adilnya hubungan sosial produksi yang ada di bangunan infrastruktur. Tentu saja orang tidak berhenti pada sadar saja, tetapi kemudian melakukan sesuatu. Namun dalam masyarakat modern yang serba spesialis, mungkin tugas pekerja seni memang terbatas di situ; yaitu mengubah kesadaran, membuat mereka yang terhegemoni menyadari adanya hegemoni tu dan barulah melepaskannya.
II. Makalah Goerge Junus Aditjondro: Pendidikan bersama anak-anak atau pendidikan tentang anak-anak? Pendidikan bersama orang miskin atau tentang orang miskin?
Antonio Gramsci: ……“karena semua tindakan manusia punya nilai politis, tak dapatkah kita simpulkan bahwa filosofi seseorang secara utuh tersirat dalam tindakan-tindakan politisnya”
Pedagogi Paulo Freire: Kodifikasi: representasi visual yang sangat sederhana dan mudah ditangkap, yang dapat dianalisa bersama oleh seluruh warga.
Dalam metode asli Freire: Kodifikasi berbentu gambar karya seniman Brasil: Francisco Brenand, yang ditransfer ke slide. Pemilihan tema-tema pokok yang akan dijadikan bahan kodifikasi, si calon pendidik harus melakukan penelitian dibantu beberapa ahli ilmu-ilmu sosial dan asisten peneliti dari warga desa. Barulah kemudian dibuat proses thematic investigation.
Proses selanjutnya dari kodifikasi dalam bentuk slide adalah tahap “pendidikan yang mempermasalahkan” –problem posing education- atau problematizing pedagogi-
Pembahasan (hasil) kodifikasi ini yang disebut dekodifikasi bukanlah sekedar pembahasan pemecahan masalah –problem solving- secara teknis.
Kodifikasi itu diperlukan supaya orang-orang yang terlibat dalam masalah itu, dapat mengambil jarak dari permasalahan itu, kemudian mengupas struktur permukaan –surface structure- dan struktur dalam –deep structure-nya, serta dialektika dan kesatuan diantara struktur permukaan dan struktur dalam itu.
Dekodifikasi berbeda dari tes-tes proyektif yang dikenal dalam penelitian antropolog. Sebab tujuannya bukanlah sekedar mengungkapkan taksonomi atau menggali persepsi-persepsi masyarakat tentang suatu masalah, melainkan merangsang serangkaian diskusi yang mendalam untuk menggali akar-akar permasalahan, kemudian merencanakan aksi.
Seringkali diskusi-diskusi dekodifikasi ini hanya berhenti di “struktur permukaan” dan tidak terus menggali “struktur dalam”. Menghadapi “kemacetan” begini, Freire menganjurkan penggunaan proyeksi simultan dari bebera slide yang saling berhubungan.
Freire mengingatkan: si pendidik dilarang keras memaksakan agendanya kepada kelompok masyarakat di mana ia bekerja. Gejala ini yang disebut manipulasi atau “invasi budaya” –cultural invation”, merupakan penyakit kronis dari para intelektual kelas menengah yang secara tidak sadar sudah terbiasa dengan pola “atas-bawah” selama pendidikan mereka sendiri di rumah maupun di sekolah. Juga bahaya manipulasi yang lain: manipulasi laki-laki dan perempuan dan bahaya manipulasi antar budaya.
Mahatma Gandhi yang masih memikirkan dan mempraktekkan suatu pola pendidikan dasar yang tidak mengasingkan anak-anak didik dari total produktifitas keluarga, desa dan bangsa.
Dalam ashram yang dirintis dan dibangun oleh Gandhi, mulai dari Pertanian Komunal “Burung Merak” yang didirikannya di Natal, Afrika selatan, tahun 1904 sampai dengan di Ashram Sabarmati di luar kota Ahmedabad di india, pekerjaan tangan menjadi inti atau ‘poros’ dari seluruh kurikulumnya. Khususnya kerajinan memintal benang dan menenun kain belacu India yang sederhana (khadi), yang dibarengi dengan penanaman kapas. Dengan cara itu, ada beberapa sasaran yang dicapai Gandhi, yakni:
1. Penggemblengan mental para anak didik itu sendiri, peluluh kesenjangan penghargaan pada pekerjaan tangan dibanding dengan pekerjaan otak
2. Pembebasan ketergantungan India pada kain impor Inggris
3. Serta pendidikan dasar-dasar perjuangan politik yang berlandaskan prinsip-prinsip Ahimsa –tanpa kekerasan- dan Satyagraha –pembangkangan sipil-
Pelajaran menanam kapas, memintal benang dan menenun kain dijadikan batu loncatan Gandhi untuk mengembangkan pengetahuan berhitung, pengetahuan tentang kemampuan tanah, pengetahuan tentang jenis-jenis kapas, pengetahuan tentang bagaimana maskapai-maskapai multinasional tekstil Inggris di Manchester yang merajai pasaran tekstil dunia, serta pengetahuan tentang etika dan taktik politik untuk membangun kekuasaan rakyat (lokimiti) sebagai pengimbang kekuatan negara (rajiniti).
Semsar Siahaan dan Seni Pembebasan
Oleh Ferri Agustian Sukarno
Obor yang dinyalakan dimalam gelap-gulita ini
Kami serahkan kepada angkatan kemudian
Henriete Roland Horst[2]
Meletusnya peristiwa G-30-S di tahun 1965 telah membawa perubahan mendasar dalam panggung kehidupan ekonomi, politik, dan budaya masyarakat. Peristiwa tersebut bukan hanya mengakibatkan terjungkalnya Presiden Soekarno dari kursi kepemimpinan dan dibubarkannya Partai Komunis Indonesia, tetapi juga pemenjaraan, pembuangan, pemerkosaan bahkan pembunuhan (tanpa proses peradilan) terhadap mereka yang menjadi anggota Partai Komunis, maupun para simpatisannya (yang tergabung dalam berbagai ormas, seperti GERWANI, HSI, LEKRA, dan lain sebagainya)[3].
Kekerasan struktural yang terjadi pada pertengahan ‘60-an ini, tentunya dilakukan untuk membersihkan unsur-unsur politik kiri dari panggung sejarah nasional sekaligus untuk menumbuhkan rasa takut serta traumatis (yang berkepanjangan) pada masyarakat Indonesia jika mengambil posisi berseberangan dengan kebijakan rezim Suharto.
Suatu fakta yang menarik bahwa di sela-sela pergantian kekuasaan dan kekerasan struktural yang masih terjadi, Indonesia langsung ditarik menjadi anggota IMF. Dalam situasi serta kondisi ekonomi yang masih berantakan, IMF dapat “bertandang” ke Indonesia bahkan membuat Presiden Soekarno menyetujui Indonesia kembali menjadi anggota IMF dan Word Bank (WB) pada 16 Nopember 1966 secara tertulis. Dan sebelum kesepakatan pertemuan di Jenewa Swiss pada November 1967, pemerintah Soeharto telah mengesahkan UU 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing.
Demi menjamin stabilitas arus modal dan akselerasi perluasannya, maka pemerintahan Orde Baru wajib mengeluarkan seperangkat aturan kebijakan untuk menangkal gangguan keamanan dan keteriban yang berasal dari masyarakat, seperti pernah diungkapkan oleh Dr. Mochtar Mas’od,
“Untuk menjaga strategi ekonomi politik rezim OrBa, Pemerintah mengeluarkan seperangkat kebijakan politik (dan kebudayaan. red) demi mensukseskan strategi tersebut. Pemerintah harus mampu menghadapi ancaman-ancaman terhadap pembangunan ekonomi, dengan jalan menyingkirkan konflik idiologi, mengutamakan konsensus dan ketertiban, pendekatan pragmatis dan teknokratik.” (Mas’od, 1989)
Kebijakan ini berdampak pada pergeseran paradigma dan orientasi dalam dunia kesenian yang dapat kita telisik dan bandingkan. Kehidupan kesenian pada masa berkuasanya Orde Baru sangat bertolak belakang secara politis dengan kesenian yang pada periode sebelumnya, Orde Lama. Pemerintahan Orde Baru berusaha membangun iklim yang kondusif bagi kelompok seniman maupun seniman yang orientasi estetisnya apolitis, dengan tujuan membebaskan proses kesenian dari pengaruh politik, karena seperti sudah diungkapkan sebelumnya, Orde baru dibangun serta diawali dengan penganuliran paham kiri di berbagai sektor kehidupan masyarakat, termasuk didalamnya kesenian.
Tema-tema rakyat tidaklah hilang pada masa pemerintahan Soeharto, tetapi tema ini telah bermetamorfosis menjadi human interest yang eksotis atau larut dalam penjelajahan absurditas filosofis (Burhan, 2002 : 34). Para seniman tidak memiliki keberanian untuk mengangkat kembali tema-tema “kerakyatan” dalam setiap karyanya, karena hal demikian beresiko sangat tinggi. Bisa dikatakan pemerintahan Orde Baru adalah pemerintahan yang melaksanakan depolitisasi massa atau politik massa mengambang dalam segala bidang—termasuk kebudayaan dan kesenian—yang dilaksanakan dengan jalan persuasif hingga represif, hadir dalam rupa intimidasi, pelarangan, bahkan pemenjaraan (Harsono, 2002 : 69). Seni kemudian seperti dinyatakan oleh M. Agus Burhan sebagai, “refleksi tanggapan-tanggapan personal pada pencarian makna kehidupan yang ditransformasikan lewat simbol-simbol seni yang subtil dan bentuk-bentuk yang khas. Proses kreatif yang sangat personal ini melahirkan pengucapan yang menitikberatkan perasaan dan emosi (Lirisisme)…”
Penulis memandang inilah gerak repetitif sejarah seni rupa kita. Seni rupa modern Indonesia, lewat mooi indie, yang lahir ditengah-tengah masuknya kapital swasta Belanda pada masa politik etis, mengalami “pengulangannya” pada masa Orde Baru, dengan kualitas maupun kuantitas yang berbeda. Kecenderungan pencarian estetis semata dalam seni rupa modern Indonesia pada masa OrBa, mengalami kelahirannya kembali di saat derasnya investasi asing masuk ke Indonesia, hanya saja kali ini tanpa “kiri”.
Seperti telah dikemukakan sebelumnya, tema kerakyatan telah mengalami metamorfosis, bila dibandingkan pada perode kesenian sebelumnya. Human interest eksotis yang hadir dalam tema-tema kerakyatan, tentunya terkait pula dengan perubahan sosial masyarakat, akibat dampak pembangunan menuju kebudayaan modern yang cenderung lebih kompleks. (Burhan, 2002 : 38)
Visualisasi tema kerakyatan pada periode pasca 1965, tidak lagi menggambarkan rakyat sebagai simbol manusia keras, miskin, berotot, bersenjata yang berjuang melawan penindas (borjuis, kapitalis Amerika, orang kaya dan sebagainya), serta slogan-slogan tertulis dalam huruf yang jelas dan mudah dibaca. Seperti yang tervisualisasikan pada lukisan, poster perjuangan, ilustrasi, dan monumen di periode ’50 hingga ’60-an (Harsono, 2002 : 67). Dalam visualisasinya, tema ini dikenali dalam rupa figur rakyat dalam kehidupan sehari-hari, dan juga latar belakang kebudayaan tradisi tanpa sentuhan konflik kebudayaan apalagi konflik ideologis. Tema kerakyatan menemukan bentuk barunya pada dekade ’70-an hingga ’90-an, oleh para seniman yang mendapatkan pendidikan formal di bangku kuliah. Mereka adalah generasi yang tidak mengalami perjuangan kemerdekaan, tidak terpengaruh oleh biasnya pergolakan estetik dan partai politik. Para seniman tersebut mengangkat tema “kerakyatan” akibat pengamatan kritis mereka terhadap realitas kehidupan dan interaksi mereka dengan masyarakat dan kelompok-kelompok di luar kesenian. Kesadaran ini membuat mereka tidak lagi mengidentifikasi masalah kerakyatan hanya sebatas pada permasalahan yang dihadapi oleh rakyat, tetapi lebih beragam (Harsono, 2002 : 70). Rakyat dalam pandangan mereka adalah masyarakat yang menerima perlakuan tidak adil dari penguasa dan menjadi korban pembangunan. Masalah-masalah yang ditampilkan dalam karya-karya mereka bukan hanya masalah keterbelakangan dan kemiskinan akibat pendapatan masyarakat yang tidak seimbang dan merata, tetapi juga masalah eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan, penggusuran, buruh, peperangan, budaya kekerasan, benturan kebudayaan modern dengan tradisi, dan sebagainya (Harsono, 2002 : 70).
Perubahan ini tentunya disebabkan oleh perubahan situasi ekonomi juga politik yang mengiringinya seperti: hak‑hak dasar partisipasi rakyat untuk berpolitik telah dipasung, dibatasi, dibuntungi dengan penerapan 5 paket UU Politik dan Dwi Fungsi ABRI. Hakekat kemerdekaan, yang adalah kebebasan memilih, mengawasi dan menentukan negara yang demokratik, semakin menjauh dari kehidupan politik sehari‑hari. Secara sistematis penguasa semakin mendominasi lapangan politik dengan cara‑cara yang inkonstitusional, keji dan brutal. Tidak menghargai toleransi, tidak menghargai perbedaan pendapat, tidak menghargai kritik dan tidak mau mendengar aspirasi‑aspirasi rakyat. Kebangkitan perlawanan masyarakat sipil dibalas dengan intimidasi, teror, penangkapan, pemenjaraan, berondongan peluru, dan bahkan dengan pembantaian. Koran‑koran, majalah, buku‑buku, dan alat‑alat pendidikan rakyat lainnya, yang kritis dan berani berbeda dengan pandangan penguasa, dibredel. Para wartawan yang tidak menghendaki pengawasan sepihak atas informasi oleh pemerintah dikirim ke penjara. Kaum buruh yang menuntut peningkatan kesejahteraan dan perbaikan kondisi-kondisi kerjanya diintimidasi, diteror bahkan dibunuh. Kaum tani semakin sulit mempertahankan tanahnya dan hak‑haknya karena harus harus berhadapan dengan militer apabila mereka melawan upaya pengalihan hak tanahnya yang tak adil. Semua logika kekuasan itu dilancarkan, diterapkan, dilaksanakan, dipelihara dengan tujuan: menjaga stabilitas kediktatoran.
Dan, salah satu seniman dari “angkatan berang“ ini bernama Semsar Siahaan.
esensi Kesenian adalah Kemerdekaan
esensi Kemerdekaan adalah Hak Asasi Manusia
esensi Seniman adalah Hak Asasi untuk Kemerdekaan
Semsar Siahaan
Dalam manifesto pameran tunggalnya Semsar secara tegas menyatakan bahwa seni yang dianutnya adalah seni pembebasan. Seni pembebasan yang dimaksud Semsar dalam manifestonya adalah kesenian yang bertolak dari kebebasan individu untuk membebaskan manusia lain dari segala bentuk penindasan (Harsono, 2002 : 73). Seperti yang pernah ia tuliskan pula dalam catatan hariannya, bahwa kebebasan individu penting untuk dijamin dalam komitmen untuk kehidupan kolektif. Semsar menganalogikannya sebagai roda. Roda (kolektif) tidak akan disebut roda kalau tidak memiliki jari-jari roda, oleh sebab itu masing-masing jari-jarinya (individu) haruslah ampuh serta kuat (ed. Siahaan, Autobiografi Semsar Siahaan, 2007 : 3).
Gagasannya tentang kebebasan individu dalam gerak kolektif pernah menemui benturan yang hebat dengan sesama aktivis pro demokrasi ketika pada tahun 1993, Semsar hendak membangun sebuah gerakan kesenian bernama Pro Democ Art yang orientasinya adalah membela penegakkan HAM di Indonesia lewat kesenian. Hal pertama yang dilakukan Semsar adalah menemui Wiji Thukul yang kala itu tengah berada di Yogyakarta. Dari sana mereka berdua lantas berangkat ke Surabaya untuk mencari Mulyono, namun yang dicari ternyata sedang tidak ada disana, melainkan di Tulung Agung. Malam itu juga mereka berangkat ke Tulung Agung dan tiba disana pukul 02.00 pagi, dan baru tiba di desa Brumbun kurang lebih pukul 03.00 pagi. Selepas Mulyono terbangun dari istirahatnya, mereka kemudian berbincang mengenai rencana Semsar dalam membangun gerakan kesenian yang pro terhadap HAM. Seraya memberikan fotokopi konsep pembentukan Pro Democ Art, Semsar mengajaknya untuk datang ke pertemuan perdana gerakan tersebut di Yogya.
Dalam pertemuan pertama pembentukan Pro Democ Art di Yogyakarta yang antara lain dihadiri oleh Semsar, Mulyono, Wiji Thukul, Budiman Sujatmiko, diputuskan bahwa nama Pro Democ Art berubah menjadi Forum Seni, selain perubahan nama pertemuan pun menentukan rencana tempat serta waktu bagi pertemuan selanjutnya yaitu rumah Wiji Thukul (sekretariat sanggar Suka Banjir) di kota Solo.
Pada waktu yang ditentukan, Semsar tiba di rumah Wiji Thukul siang hari saat Si Pon, istri Wiji Thukul, sedang sibuk dengan urusan dapur dan pekerjaannya. Selang berapa lama rekan-rekannya sesama aktivis dan seniman mulai berdatangan, hanya Mulyono yang tidak hadir. Semsar lantas berusaha meneleponnya ke Surabaya, namun tidak tersambung. Dan akhirnya pertemuan berjalan tanpa kehadiran Mulyono.
Perdebatan-perdebatan yang berkembang dalam pertemuan itu sangat alot, khususnya antara Semsar dengan teman-temannya yang sudah memainkan plot (mengingini gerakan kesenian ini sebagai gerakan politik juga). Dalam pandangan Semsar kesenian kerakyatan yang kini berkembang di Indonesia sebaiknya kembali bercermin pada konsep S. Soedjojono di sekitaran 1950-an (periode Seniman Indonesia Muda) dengan membentuk “Sanggar”. “Sanggar” dimana rakyat dapat membekali diri mereka dengan dasar-dasar teknik berkesenian (Seni Rupa) agar mereka dapat menjadi terampil serta berwawasan luas. Sehingga bila gerakan rakyat (buruh, tani nelayan, kaum urban kumuh) serta kesenian hendak mengangkat isu tertentu yang sedang mereka perjuangkan, mereka dapat menciptakan karya seni propaganda yang berkualitas jempolan.
Disamping itu kalau tidak ada isu yang sedang diangkat, rakyat harus dibiarkan berkarya kreatif, produktif menurut kehendak dan kesenangan masing-masing individu. Semsar beranggapan bila dia seorang buruh, apapun yang di gambarkannya tentu akan memperlihatkan cerita/goretan kehidupannya dalam penghisapan kaum pemilik modal. Bagi Semsar karya seni tidak selamanya menjadi alat propaganda kolektif belaka. Semsar menganalogikannya dengan perumpamaan seekor burung. Badan burung adalah ideologi/gagasan/platform pemikiran. Sayap kiri adalah “Sanggar” dan sayap kanannya “Seni Propaganda”. Yang jelas kedua sayap harus saling mendukung baru burung bisa terbang melaju, seimbang. Bagi Semsar kesenian dengan gerakannya sudah pasti dan tidak terelakkan lagi berdimensi politis. Namun jantung dari gerakan tidak lain adalah “Sanggar” itu sendiri
Selain itu bagi Semsar, penciptaan kesenian tidak hanya berhenti pada penciptaan karya saja, tetapi bagaimana ia mensosialisasikan karya-karyanya sehingga mampu membangkitkan semangat perjuangan untuk membebaskan rakyat[4] dari penindasan (Siahaan, Katalog Pameran, 5-14 Januari 1988). Penciptaan kesenian pembebasan bertujuan untuk mengangkat masalah rakyat ke permukaan. Dengan terangkatnya masalah rakyat, maka ia berharap akan adanya perubahan. Suatu perubahan yang terjadi karena munculnya kesadaran baru dari rakyat maupun kelompok elite penguasa, pengamat seni, dan khalayak (Harsono, 2002 : 74).
Lebih lanjut lagi, menurutnya seni pembebasan merupakan sebuah penyatuan hasrat untuk mengejawantahkan dirinya, teriring dengan segala kebebasan dan keotonomiannya, serta sebuah tanggung jawab sosial sang seniman untuk memperjuangkan pembebasan manusia. Kedua komponen tersebut menyatu didalam proses berkaya seorang seniman. Di satu sisi kebebasan individu merupakan pendorong terciptanya sebuah karya, sementara ‘komponen sosial’ tadilah yang memberi nilai kedalam karyanya. Dengan demikian Semsar telah memberi tugas sosial (sejarah) bagi seorang seniman. Hal ini dapat dilihat di dalam kutipan dari manifesto tersebut:
“Kebebasan individuku pengertiannya adalah memberi semangat, usaha untuk mengubah keadaan nilai manusia yang menyedihkan akibat ketidak-adilan, melalui karya – karya seniku Demikianlah juga yang aku maksud dengan tanggung jawab sosial (social commitment), komponen kesenian yang lama terabaikan. Kebebasan perseorangan tersebut melebur menjadi satu kesatuan bersamanya dalam satu perjuangan. Kebebasan individu sendiri memperoleh kebebasannya dalam cara ungkap (gaya) berkarya si seniman, namun dia berdiri teguh di atas pelataran semangat perjuangan membebaskan manusia. Bukan hanya menggambarkan manusia terkapar dalam kemiskinan yang romantis. Seniman sudah saatnya kembali pada realita menyulut semangat untuk pembaharuan manusia dengan kesenian, juga demi wajah identitas baru dalam Seni Rupa Kontemporer Indonesia yang hidup, yang segar dan kuat. Dan aku menyebutnya sebagai ‘Seni Pembebasan’.” (Siahaan, Katalog Pameran, 5-14 Januari 1988)
Semsar menawarkan sebuah pandangan yang keluar dari pakem yang diyakini oleh banyak seniman, bahwa seni adalah untuk seni itu sendiri, dengan maksud bahwa seni seharusnya mengabdi untuk mengejar dan mengapai tingkat keindahan (estetika) tertinggi[5]. Semsar menolak pandangan tersebut, bagi dia:
“Sejak dan selama kelahirannya itulah kedudukan keindahan selalu mengapung terombang-ambing di hadapan manusia yang selalu juga terombang-ambing nasibnya, diombang-ambingkan oleh segelintir orang, kaum penguasa. Keindahan yang sebenarnya nyata terkapar sekarat, terlentang, pasrah habis diperkosa secara beruntun/berganti-ganti, penuh luka-luka berdarah. Nilai keindahan itu telah dipasung dan direduksi menjadi sekedar…nilai kesenian penunjang kekuasaan dan membuat profit semata.” (Siahaan, Katalog Pameran, 5-14 Januari 1988)
Pada akhirnya keindahan tersebut telah merusak sumber keindahan itu sendiri: Manusia itu sendiri. Oleh karena itu, menurut Semsar seni seharusnya diabdikan sepenuhnya untuk manusia dan kemanusiaannya. Bahkan lebih jauh lagi Semsar berpendapat bahwa kedudukan kewajiban untuk membebaskan manusia itu memempati kedudukan lebih tinggi dari pada yang dinamakan KEINDAHAN oleh para seniman. Bukankah lebih baik mengabdi kepada kehidupan dibanding mengabdi kepada gagasan abstrak yang mati.
Pada tahun-tahun selanjutnya pandangan Semsar ini semakin mengalami perkembangan, hal dapat ditangkap dari tindakan-tindakannya selepas pameran tunggalnya tersebut. Perkembangan pandangan ini terdokumentasikan dalam wawancaranya dengan FX. Harsono pada tahun 1990, sekitar dua tahun setelah pameran tunggalnya. Dalam wawancaranya dengan FX Harsono, Semsar mengatakan, ada dua kegiatan (fase) yang mesti dilakukan oleh seorang seniman pembebasan. Kegiatan yang pertama lebih bersifat internal terhadap seniman tersebut, sebuah proses pengejawantahan diri sang seniman kedalam karyanya sehingga dirinya bisa terkandung didalam kaya tersebut. Proses ini adalah proses menciptakan kesenian yang bertolak dari kebebasan individu untuk membebaskan manusia lain dari segala bentuk penindasan. Proses penciptaan karya ini bersifat independen dan otonom karena seseorang hanya mungkin melakukan kegiatan mencipta jika dia memiliki kebebasan. Kegiatan mencipta dimulai dari pemahaman seorang seniman tehadap dunianya, yang kemudian dituangkan didalam karyanya. Sementara, sebagaimana juga diyakini oleh Habermas, seseorang dapat dipaksa untuk melakukan sesuatu tetapi dia tidak bisa dipaksa untuk memahami sesuatu, karena proses untuk memahami sangat bersifat personal dan tidak dapat dicampuri oleh paksaan dari kekuatan eksternal. Sehingga selama seorang seniman benar-benar melakukan aktivitas ‘mencipta’, yang merupakan kekuatan sejati seniman, maka tidak mungkin seniman tersebut berada dalam kondisi ketidakbebasan. Kebebasan individunya merupakan sebuah faktor yang mutlak dibutuhkan dalam proses penciptaan karya.
Pandangan Semsar ini sejalan dengan apa yang diyakini oleh S. Sudjojono bahwa “Seni lukis tidak boleh mendengarkan dan menurut suatu grup moraliserende-mensen atau menjadi budak dari partai ini atau partai itu. Dia harus merdeka semerdeka-merdekanya, terlepas dari segala ikatan moral maupun tradisi untuk bisa hidup subur, segar, dan merdeka” (Sudjojono, 1946 :8). Sebagaimana juga diyakini oleh Habermas, yang dituliskan oleh F. Budi Hardiman dalam tulisannya Antara Estetika Penyelamatan dan Demistifikasi,
“Bagi Habermas seni hendaknya menjadi seni yang otonom, yakni memiliki kekuatan intrinsik yang dapat mendorong refleksi secara estetis, sekaligus menjadi “eksoteris”. Yakni: dapat dipahami oleh publik, karena bagi Habermas, seni pun termasuk di dalam komunikasi universal umat manusia”. Sebab jika seni kehilangan “otonomi” maka semua seniman akan semakin teralienasi dari karyanya. Apalagi dalam sebuah kondisi ketika seni berhadapan dengan proses teknologi massa dan birokratisasi, maka seni akan merosot menjadi seni komersial yang diatur oleh kepentingan-kepentingan pasar.” (Hardiman, 1994 : 126)
Semsar tidak berhenti sebatas penciptaan karya saja tapi dia melangkah lebih lanjut, sebab menurut Semsar ada fase selanjutnya pasca penciptaan karyanya yaitu usaha untuk mensosialisasikan karya-karyanya sehingga karya tersebut dapat mendorong bangkitnya semangat perjuangan bagi rakyat untuk membebaskan dirinya dari penindasan. Di proses inilah pernyataan bahwa seorang seniman harus melakukan sebuah perjuangan pembebasan benar-benar dilakukan, dan lebih jauh lagi dalam proses inilah sang seniman menemukan ruang untuk “..berdiri teguh di atas pelataran semangat perjuangan membebaskan manusia” (Siahaan, Katalog Pameran, 5-14 Januari 1988). Tanpa adanya kegiatan ini karya sang seniman tidak lebih dari sebuah pelipur lara bagi masyarakat yang sekarat atau paling keras juga cuma menjadi sebuah kritikan yang genit saja. Selama proses sosialisasi kepada rakyat inilah karya-karya sang seniman menemukan rohnya yang sejati, roh untuk membebaskan umat manusia dari segala belenggu yang mengungkungnya, sehingga sang seniman bisa menyelesaikan tugas sejarahnya, yang dideduksikan dari genre seni dan pandangan hidup yang dipercayainya.
Bagi Semsar, komitmen sosial adalah bagian esensial dari seni, sehingga seni dapat diintegrasikan ke dalam perjuangan besar pembebasan kemanusiaan dari penindasan. Dalam manifestonya Semsar menghimbau para seniman agar meninggalkan cara-cara meromantisasi kemiskinan. Seniman diharapkan membawa “semangat pembaruan kemanusiaan bagi seni. Semangat ini akan menciptakan kepribadian yang baru bagi seni kontemporer Indonesia dan ia akan membuat kepribadian itu, hidup, segar dan kuat” (Siahaan, Katalog Pameran, 5-14 Januari 1988).
Seniku, “seni pembebasan” [6]
Bagai datang dan masuk ke dalam sebuah taman yang segalanya teratur/harus diatur serba indah/mengandung unsur-unsur yang seluruhnya melambung riang bertaburkan warna-warni bernada pastel, demikian aku singgah didalam taman seni rupa kontemporer Indonesiaku yang penuh tatakrama, manis dan halus.
Aku datang lengkap dengan segala cacat dan membawa luka-luka. Aku tampil mempertunjukkan/menyingkap lebar-lebar derita yang nyata ada diluar pagar taman indah ini. Aku tampil dengan nilai-nilai keindahan yang didalam mata segelintir manusia-manusia beradab (civilized clowns) mencemoohkannya sebagai keindahan compang-camping yang menyesatkan. Aku tampil disini melanggar, menerjang, dan meneriaki tata-krama para MANUBILIS[7] pengagum bentuk dengan warna-warna mediokernya. Aku datang dari lingkungan manusia-manusia yang berjuang membebaskan diri dari kematiannya. Dari lingkungan yang berjuang paling tidak agar kepala-kepala kami mampu bertahan di atas permukaan air bah peradaban orde. Dan itu pun selalu diiringi dengan irama (bagi para budayawan-budayawan seni pemuja bentuk, perhatikan, betapa indah gerak-gerak para kepala itu) timbul… tenggelam… muncul… terbenam. Aku datang dari kenyataan/realita yang sangat luas penderitaannya akibat kebodohan/pembodohan. Aku datang dari kenyataan/realita manusia-manusia terbanyak yang kehilangan harga diri dan haknya.
Kau tak menemukan keindahan yang lama mentradisi dan membentuk di dalam benakmu itu, keindahan melambung mabuk yang menurut pandanganku merupakan nilai-nilai keindahan yang meracuni sumber keindahannya, yaitu manusia itu sendiri, manusia-manusia terluka yang mempertahankan kepala. Dan kalau kau kecewa, apa yang dapat kau perbuat? Tidakkah kau sendiri yang menipu dirimu? Kata seorang temanku, “dikhianati oleh pikirannya sendiri”. Dan aku, aku tak mampu lagi bertawar-menawar dalam hal nilai-nilai keindahanmu, karena aku sudah kehilangan kepercayaan padanya. Keindahan yang sebenarnya nyata terkapar sekarat, terlentang, pasrah habis diperkosa secara beruntun/berganti-ganti, penuh luka-luka berdarah. Dan aku pun bagian darinya seperti halnya manusia-manusia terbanyak lainnya. Dari sisi inilah aku berangkat dalam menciptakan karya-karyaku.
Keindahan hadir semenjak lahirnya manusia di muka bumi tercinta ini. Keindahan telah tersentuh manusia sejak mengenal kegiatan yang sudah menjadi tradisi sejak 30.000 tahun yang lalu (upper paleothic) yang kita ini mengenalnya sebagai kegiatan seni rupa. Sejak dan selama kelahirannya itulah kedudukan keindahan selalu mengapung terombang-ambing di hadapan manusia yang selalu juga terombang-ambing nasibnya, dikarenakan segelintir manusia lainnya. Selama ada penindasan terhadap kebebasan manusia (terutama terhadap seniman) dan hak-hak asasinya, begitu juga secara bersamaan terjadi pemasungan, perampasan dan penindasan pada nilai keindahan melalui kesenian oleh dan untuk segelintir manusia termasuk juga oleh dan untuk segelintir seniman demi nilai kesenian penunjang kekuasaan dan membuat profit semata.
Dan kini aku berdiri di sini bersama karya-karyaku di hadapanmu, hai manusia-manusia penghuni taman indah. Aku mengerti sepenuhnya tentang pandanganmu bahwa kreasi-kreasi baru yang segar dalam dunia seni rupa kontemporer pada khususnya dan kesenian umumnya akan tercapai hanya sepenuhnya di dalam usaha menciptakan karya-karyanya. Aku setuju! Bahkan itulah modal utamaku dalam berkarya dan mencipta. Tetapi aku ingin bertanya, apakah moto itu pantas kau sebutkan di dalam lingkungan tempurung taman indahmu yang berparasit di tengah-tengah taman yang begitu sangat luasnya, di mana manusia-manusianya berjuang mempertahankan hidupnya saja sudah empot-empotan, boro-boro dengan harga dirinya dan hak-haknya yang tercabik-cabik? Paling tidak pernahkah terlintas di tempurungmu bahwa kau adalah bagian (termasuk juga jantung onde-ondemu itu) dari manusia-manusia yang terkapar yang sangat besar jumlahnya itu? Lalu apa yang kau maksud dengan kebebasan? Apa?! Kebebasan berkeindahan?! Apa maksud dan tujuannya? Dan dari mane juntrungannye? Tidakkah kau sadar bahwa sebelum kata KEINDAHAN itu, kewajiban moralmu (seperti juga kewajiban moralku) adalah untuk membebaskan dirimu bersama-samaan dengan manusia-manusia terkapar yang berada diluar pagar taman indahmu? Terkapar oleh kebodohan dan pembodohan? Terkapar karena kehilangan hak-haknya? Bagiku jelas, bagai hitam di atas putih, yang kau anut tentang kebebasan individuadalah usaha bersama membebaskan individu-individu di mana diriku menyatu ke dalamnya bergelut untuk membebaskan diri dari keterkaparan.
Kebebasan individuku pengertiannya adalah memberi semangat, usaha untuk mengubah keadaan nilai manusia yang menyedihkan akibat ketidak-adilan, melalui karya–karya seniku. Demikianlah juga yang aku maksud dengan tanggung jawab sosial (social commitment), komponen kesenian yang lama terabaikan. Kebebasan perseorangan tersebut melebur menjadi satu kesatuan bersamanya dalam satu perjuangan. Kebebasan individu sendiri memperoleh kebebasannya dalam cara ungkap (gaya) berkarya si seniman, namun dia berdiri teguh di atas pelataran semangat perjuanagan membebaskan manusia. Bukan hanya menggambarkan manusia terkapar dalam kemiskinan yang romantis. Seniman sudah saatnya kembali pada realita menyulut semangat untuk pembaharuan manusia dengan kesenian, juga demi wajah identitas baru dalam Seni Rupa Kontemporer Indonesia yang hidup, yang segar dan kuat. Dan aku menyebutnya sebagai “Seni Pembebasan”.
Kebebasan perorangan untuk pembebasan manusia terbanyak.
Merdeka !
Semsar
[1] Disiapkan untuk seminar Sejarah Seni Rupa Gerakan-gerakan Seni Rupa pada Masa Orde Baru Era 1970 – 1980-an, 20 Maret 2013, Ruang Seminar FSRD ITB. Terimakasih kepada Gracia Regina yang sudah membantu pengeditan tulisan ini.
[2] Kalimat di atas tersebut terdapat pada batu nisan Ali Archam-tokoh PKI 1926, yang dibuang ke Boven Digul, kemudian meninggal dunia pada tanggal 2 Juli 1932, dalam usia yang relatif muda, 33 tahun. Syair yang ada pada batu nisan tersebut dikutip dari seorang penyair Belanda, Henriete Roland Horst
[3] Pembunuhan massal yang dilakukan terutama pada tahun 1965-1966 telah didokumentasikan dalam berbagai buku. Sebagian besar analisa memperkirakan sekitar 500.000 hingga 2 juta orang dibunuh. Selain itu, ratusan ribu lebih dipenjarakan untuk beberapa bulan sampai satu tahun, dan seringkali di penjara yang tak terdaftar. Dan, paling tidak 12.000 orang kemudian dipenjarakan untuk 10 hingga 12 tahun.
[4] Rakyat bagi Sam adalah sejumlah besar massa yang diatur dan dikuasai oleh elite-elite penguasa, pedagang dan pendidikan, karena tidak mempunyai kekuatan apa-apa. Dan mereka pun sering dikalahkan oleh system yang diciptakan oleh kelompok elite yang bertujuan mengukuhkan status quo
[5] Proses ini berlangsung tanpa henti karena setiap sebuah tingkat estetik yang “tertinggi” harus kembali dijatuhkan demi tingkat estetik yang lebih tinggi lagi. Sebuah tindakan yang absurd, menggapai sesuatu hanya untuk dijatuhkan kembali.
[6] Manifesto Semsar Siahaan pada pameran tunggalnya yang pertama
[7]MANUBILIS : Merupakan penyingkatan dari tiga kombinasi kata benda: Manusia, Binatang, Iblis. Manubilis menggambarkan tiga sifat yang merupakan satu kesatuan. Manusia sebagai badannya, binatang sebagai nafsunya, dan iblis sebagai kelicikan dan kecurangannya.
Istilah manubilis muncul pada tahun 1982 sebagai judul cerpenku. (Katalog Pameran Tunggal Semsar Siahaan, Januari 1988)
SENI RUPA ‘PEMBERONTAKAN’ DAN ‘PASCA PEMBERONTAKAN’ DALAM SENI RUPA MODERN INDONESIA,
Telaah Seni Rupa Era 70-an dan 80-an
dalam Bingkai Biennale Jakarta IX.
Yustiono
Dalam menghadapi fenomena baru kesenian –disini kita bicara tentang dunia seni rupa yang terkait dengan masyarakat industri, dunia seniman yang berkiprah demi pengakuan nasional dan internasional– kita sering mengeluarkan pendapat yang bernada membandingkan. Misalnya, ketika gaya Surealisme muncul ke permukaan pentas Seni Rupa Mmodern Indonesia sekitar pertengahan 1980-an, kita segera mengaitkan dan membandingkan dengan Surealisme Eropa yang telah tumbuh pada 1920-an, yang berarti berjarak 65 tahun. Demikian pula pada waktu Seni Rupa Baru pada pertengahan tahun 1970-an memperkenalkan idiom-idiom perupaan baru, ia dinilai sebagai gaung dari Seni Pop (Pop Art) Amerika yang meledak pada pertengahan 1950-an,1 kali ini memiliki selisih waktu 20 Tahun. Tidak heran, seorang penulis membuat pernyataan, bahwa perkembangan Seni Rupa Modern Indonesia nampak meloncat-loncat secara tidak teratur dilihat dari urutan Sejarah Seni Rupa Modern Barat.2
Sejarah seni rupa, memang tidak lain merupakan catatan perubahan dan perkembangan gaya, dan dalam seni rupa abad 20, perubahan yang dipimpin seniman-seniman Avant-garde Barat berlangsung dengan akselerasi yang tinggi. Sementara itu, para seniman non-Barat cenderung mengikuti atau menyesuaikan diri dengan setiap perubahan yang terjadi. Penyesuaian itu ditentukan oleh berbagai faktor seperti iklim semangat zaman, konteks sosial budaya setempat, sistem pendidikan, ketersediaan akses informasi dan kecenderungan personal seniman. Proses penyesuaian diri ini bisa berjalan secara teratur seperti yang terjadi di Jepang,3 atau meloncat-loncat seperti halnya yang berlangsung di Indonesia, Malaysia, Thailand.4
Cara perbandingan seperti ini, meskipun banyak dipraktikkan, tentu menimbulkan berhagai keberatan. Akan tetapi apapun bentuk keberatan itu, ia tidak dapat menghilangkan adanya bukti yang jelas dalam perkembangan seni rupa tahun 1980-an yang dipamerkan dalam Bienniale Seni Rupa Jakarta IX. Biennale yang berlangsung dari 21 Desember 1993 – 17 Januari 1994 itu adalah upaya menangkap dan membingkai apa yang disebut sebagai “Seni Rupa Era 1980-an yang tidak lagi menentang Modernisme, tapi meninggalkannya. Seni Rupa ini dikenal pula sebagai seni rupa Postmodernisme.”5 Apabila cara perbandingan antara fenomena baru Seni Rupa Indonesia dengan Seni Rupa Barat itu sering dinyatakan oleh pihak luar –kritikus atau pengamat–, dalam peristiwa Biennale ini klaim “Postmodern” itu justru berasal dan pihak penyelenggara yang dengan panjang lebar menguraikan dasar-dasar kurasinya dalam katalog pengantar Biennale.
Lepas dari absah tidaknya klaim tersebut, pernyataan ini segera memancing tanggapan-tanggapan, baik dari mereka yang pro dan kontra. Seorang penulis menyambut peristiwa Biennale itu dengan antusias: “Itulah agaknya pameran besar seni rupa yang paling kontroversial: dibikin dengan prinsip-prinsip “Postmodernisme” dan dengan demikian mau rnenggempur (sekali lagi) kriteria-kriteria Modernis Universalis yang lama tertanam dalam perjalanan seni rupa kita.”6
Tanggapan ini tidaklah terlalu berlebihan, bahkan pun apabila dibandingkan dengan kejadian-kejadian pada cabang seni lain. Sebab sejauh ini, klaim “Postmodern” dengan lingkup seperti Biennale ini tidak terdapat dalam Sastra, Teater, Tari, Film, bahkan Arsitektur sekalipun. Sehingga dipandang dari sudut ini, langkah Biennale itu nampak berani, mengagetkan dan oleh karena itu kontroversial.
Kontroversi itu pada umumnya bergerak di seputar isu “Postmodern” dan ini dapat dimaklumi karena memang pameran ini “dibikin dengan prinsip-prinsip Postmodernisme” seperti dikatakan Nirwan Dewanto, atau dengan bahasa Harsono, “Penyelenggara Biennale Seni Rupa IX, pemilihan karya dan peserta dilandasi oleh pemikiran Postmodern. Hal ini bisa kita amati dari sebuah tulisan pada katalog pameran yang ditulis Jim Supangkat sebagai landasan kurasi kegiatan tersebut. Dari landasan kurasi inilah kemudian seluruh kegiatan dilaksanakan.”7 Persepsi bahwa pameran ini dilandasi pemikiran Postmodern, nampaknya merata pada berbagai pihak.
Jadi, klaim dari pihak penyelenggara telah mendapat pengakuan meskipun respon baliknya berbeda. Di samping dari mereka yang antusias menyambut, muncul pula respon berupa gugatan atau penentangan. Harsono, sesudah menggarisbawahi adanya dasar pemikiran pasca-modern yang menjadi pemilihan peserta berikut karyanya, menggugat praktik pelaksanaan yang justru bersifat “mendominasi” dan “totaliter”(Modernis).8 Seorang peserta pameran menyatakan penentangannya dengan menulis kalimat dengan huruf-huruf besar. “Anda masuk kawasan bebas gravitasi Posmo” pada dinding di depan pintu kavling ruang pamerannya. Seorang penulis yang sering mengulas pameran lukisan di koran, jauh-jauh hari sudah mensinyalir adanya. “leveransir Posmo di negeri ini”, kemudian memperingatkan “dan lalu seni rupa di Indonesia, negeri yang sesungguhnya jauh dari Postmodernisme, sedang berjalan menuju jurang bencana.”9
Kontroversi sekitar Biennale ini, memang segera usai begitu pameran ditutup sekitar pertengahan Januari 1994, karena media nampaknya tidak cukup murah hati menampung polemik yang berkepanjangan. Namun demikian kontroversi itu meninggalkan sejumlah pertanyaan yang belum terjawab secara memadai. Benarkah pemikiran yang melandasi Biennale Jakarta IX dan juga karya yang ditampilkan menandakan Postmodemisme? Apa kriterianya? Bagaimana kita meletakkan klaim Postmodernisme itu dalam perkembangan dan sejarah Seni Rupa Modern Indonesia ?
Seni Rupa Era 1980-an: Dari Avant-garde Radikal ke Postmodernisme?
Dari berbagai tulisan tentang Bienniale Seni Rupa Jakarta IX, ada hal mendasar yang luput dari perhatian, yaitu dasar pemikiran pameran itu sendiri. Para penulis tentang pameran, baik yang bersikap mendukung ataupun menentang, pada umumnya mendasarkan diri pada asumsi bahwa klaim “Postmodernisme” dari kurator adalah sesuatu yang benar dan tidak perlu dipertanyakan lagi. Mempertanyakan dasar pemikiran pameran berarti mempertanyakan keberadaan pameran, karena, seperti yang dikatakan oleh Harsono, dari landasan kurasi inilah kemudian seluruh kegiatan dilaksanakan.
Bahan-bahan pameran dipilih dan diseleksi sesuai dasar-dasar pemikiran pameran. Sebagian besar karya seni rupa non- konvensional yang disebut instalasi, ditambah sejumlah karya yang dapat dikategorikan sebagai Seni Rupa Pertunjukan, Seni Video, Realisme Baru, Realisme Fotografis, Realisme Sosial, Seni Proses, Seni Fotografi, Seni Pop, dan Seni Bumi. Sebagian besar peserta pameran yang berjumlah 39 orang menampakkan muka-muka baru dan berada pada usia 30-an dengan beberapa perkecualian seperti Sudarisman dan FX. Harsono yang di atas 40-an, atau beberapa seniman yang berada di bawah usia 30 seperti Melodia (27), lsa Perkasa (27) yang baru saja lulus sekolah tinggi seni rupa.10 Seni Rupa Era 1980-an yang ditampilkan dalam Biennale Seni Rupa Jakarta IX ini, sebagaimana kata kuratornya, “bukan satu-satunya kecenderungan Seni Rupa Kontemporer kita”,11 bahkan, seni rupa ini jauh dari pengamatan kritisi dan institusi seni rupa. Luput dari perhatian. Pada akhir 1980-an, atas prakarsa sendiri, seni rupa itu muncul. Dipamerkan di galeri-galeri alternatif yang diorganisasikan para perupanya sendiri. Tapi cara ini berhasil menarik perhatian para kurator mancanegara dan dalam tiga tahun terakhir. Seni rupa ini tampil dalam pameran-parneran Internasional. Sementara itu di tanah air, kehadirannya bahkan belum dipertanyakan.”12
Pada bagian lain terdapat penjelasan: ” tidak bisa disangkal, prinsip-prinsip Seni Rupa Postmodern itu mempengaruhi Seni Rupa Era 1980-an. Idiom-idiom yang menandakan era Postmodern—khususnya Instalasi dan Seni Rupa Pertunjukan (Perfomance) luas dipraktikkan di lingkaran seni rupa ini.”13
Penggunaan istilah “Seni Rupa Kontemporer” nampaknya perlu mendapat perhatian khusus. Istilah itu, karena dianggap lebih netral dari istilah Seni Rupa Modern, dipakai sebagai penggantinya. Yang menarik adalah bahwa bila diterapkan di Indonesia, Seni Rupa Kontemporer dimulai dari kemunculan “Seni Rupa Pemberontakan” atau Seni Rupa Baru, sebagai pendahulu Seni Rupa Era 1980-an.
Pokok-pokok argumen dari dasar pemikiran pameran dapat dibedakan menjadi tiga premis yang oleh penulisnya –Jim Supangkat–diajukan untuk memperkokoh korelasi antara Seni Rupa Era 1980-an dengan Seni Rupa Pemberontakan atau Seni Rupa Baru dan prinsip Postmodernisme.
Premis pertama, Seni Rupa Era 1980-an adalah fase lanjutan dari Seni Rupa fase 1970-an yang berupa Seni Pemberontakan. Seni Rupa dekade 1970-an ini diawali oleh protes sejumlah pelukis muda atas keputusan Dewan Juri pada Pameran Besar Seni Lukis Indonesia di TIM, Jakarta pada bulan Desember 1974. Protes itu muncul sebagai reaksi atas pemberian hadiah kepada lima pelukis terbaik yang karyanya menampakkan gaya ‘dekoratif’. Ketidakpuasan ini tertuju pada kelompok mapan yang memiliki kewenangan pengambilan keputusan di lembaga-lembaga seni yang bersifat strategis seperti TIM. Ketidakpuasan itu ternyata berlanjut dengan adanya penggabungan sejumlah seniman muda dari Yogyakarta dan Bandung dengan membentuk kelompok yang diberi nama Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia. Seni Rupa Baru ini menjadi fenomena Seni Rupa Era 1970-an melalui serangkaian pameran hingga tahun 1979.
Premis kedua, Seni Rupa Era 1970-an atau Seni Rupa Pernberontakan ini, dari kacamata sekarang, mempunyai program menentang seluruh tradisi Modernisme: “Karena itu baru pada dekade 1980-an, setelah munculnya Postmodernisme, dasar-dasar Seni Rupa Pemberontakan menjadi jelas menentang prinsip Modernisme”. Sedangkan Seni Rupa Era 1980-an, “adalah seni rupa pasca pemberontakan itu, tidak lagi menentang Modernisme, tapi meninggalkannya. Seni rupa ini dikenali pula sebagai Seni Rupa Postmodern.”14
Argumen premis kedua ini didasarkan pada teori Avant-garde, yang ditulis oleh seorang Postmodernis terkemuka, Charles Jencks : “Mengikuti teori-teori baru tentang seni rupa Avant-garde. Seni Rupa Pemberontakan era 1970-an, masuk dalam kategori Avant-garde Radikal”. Dalam teori-teori itu, Avant-garde Radikal muncul sepanjang perkembangan Modernisme. “Meskipun dinyatakan sebagai muncul sepanjang perkembangan Modernisme,” Jim Supangkat, penulis katalog itu, memberi interpretasi yang bertolak belakang ketika menyatakan bahwa Avant-garde Radikal tidak berkaitan sama sekali dengan prinsip-prinsip Modernisme. “Dalam tulisannya, The Post Avant-garde (1987), Charles Jencks, menegaskan Avant-garde Radikal berbeda dengan dua Avant-garde lainnya, yaitu Avant-garde Heroik dan Avant-garde Pemurni. Dua yang terakhir adalah pembentuk Modernisme, sedang Avant-garde Radikal tidak berkaitan sama sekali dengan prinsip-prinsip Modernisme, malah menentangnya.”15 Dari sini lantas disimpulkan: “pandangan Jencks tentang hubungan Avant-garde Radikal dan Postmodernisme, menjelaskan hubungan Seni Rupa Pemberontakan Indonesia dekade 1970 dengan Seni Rupa Pasca Pemberontakan yang menandai perkernbangan I980-an. Sekaligus kaitan kedua seni rupa ini dengan era Postmodern.”16
Premis ketiga, menggariskan kernbali kesamaan Seni Rupa Era 1980-an dengan Seni Rupa Pemberontakan, yaitu pada minatnya yang kuat pada masalah kemasyarakatan: “Perkembangan Seni Rupa Era 1980-an, menunjukkan kembalinya seni rupa mempersoalkan masalah kemasyarakatan. Arus ini, dari sudut teoritis meneruskan gagasan-gagasan yang dilemparkan Seni Rupa Pemberontakan dekade 1970. Masalah kemasyarakatan ini, pada Seni Rupa Era 1980-an meliputi iklan, teks, teknologi, produk dalam kehidupan sehari-hari dan seni rupa bawah.”17
Ketiga premis utama itu, dalam Biennale Seni Rupa Jakarta IX menjadi pilar-pilar argumen yang mendasari proses pemilihan peserta pameran, yaitu para seniman berikut karyanya. Selain itu, ketiga premis ini merupakan upaya rekonseptuliasi dan rekonstruksi makna dan peran “Seni Rupa Pemberontakan” atau Seni Rupa Baru dan apa yang disebut Seni Rupa Era 1980-an.
Dekonstruksi atas konstruksi: Avant-garde dan Postmodernisme
Istilah “Seni Rupa Pemberontakan” dalam tulisan pengantar Biennale Seni Rupa Jakarta IX nampaknya ditujukan pada serangkaian reaksi seniman muda yang diawali dari 1974 dengan pernyataan Desember Hitam, disusul terbentuknya Gerakan Seni Rupa Baru 1975 dan beberapa kejadian serupa di Yogyakarta. Secara khusus istilah ini dapat diterapkan pada Gerakan Seni Rupa Baru, karena ketika ia menyatakan bahwa “Seni Rupa Pemberontakan” itu tidak berusia panjang yang dipakai sebagai contoh adalah “kematian” Gerakan Seni Rupa Baru pada 1979. Istilah itu tidak diterapkan pada Seni Rupa Era 1980-an, karena ia “lahir” tidak melalui pemberontakan.
Benarkah? Apabila kita membalik-balik Sejarah Seni Rupa Modern di Indonesia, peristiwa “pemberontakan” seperti kejadian Seni Rupa Baru pernah terjadi lebih dari satu kali. Pertama kali oleh berdirinya Persagi (Persatuan Ahli Gambar Indonesia) pada 1937. Pada saat itu melalui tokohnya, S.Soedjojono, Persagi menyatakan penentangan dan pemberontakan terhadap kelompok mapan yang disebutnya “Mooi Indie”. Dilihat dari tulisan-tulisan Soedjojono pada saat itu, kita dapat menilai bahwa pemberontakan kelompok ini tidak kalah garang, keras dan tanpa kompromi dibanding kelompok Seni Rupa Baru. Demikian pula, kejadian pada tahun-tahun menjelang 1960-an, muncul sekelompok pelukis muda yang menggoyahkan idiom-idiom mapan pada zamannya dan menimbulkan gelombang kontroversi sehingga lahir istilah “Mazhab Bandung”. Kali ini, tokoh-tokoh mapan yang merasa menjadi sasaran pemberontakan itu adalah para mantan anggota Persagi yang mencap para “pelukis akademis” itu sebagai antek Barat.
Pola “pemberontakan”. itu tidak hanya terjadi pada satu cabang Seni Modern saja, pola yang sama berlaku juga pada Sastra Modern seperti misalnya “pemberontakan” Angkatan 1945 terhadap Angkatan Pujangga Baru, atau Angkatan 1980-an terhadap Angkatan 1970-an. Bahasa yang dipakai, penuh dengan idiom-idiom “pernberontakan” yang lebih dekat pada kenyataan militer dibanding kenyataan kesenian.
Pola yang sama kiranya dapat ditemui pada Seni Teater Modern, Seni Musik maupun Seni Arsitektur.
Pola kesenian seperti itu adalah suatu pola yang menjadi karakteristik Seni Modern, pola Avant-garde. Pola ini tidak berdiri sendiri, ia berkemnbang sebagai akibat logis dari dasar pandangan Seni Modern yang dikenal dengan istilah “Modernisme”. Untuk memahami arti dan posisi peristiwa Biennale Seni Rupa Jakarta IX, suatu studi komparatif antara perkembangan Seni Rupa Modern Indonesia dan sejarah perkembangan Seni Rupa Modern di Barat merupakan keniscayaan. Sebagaimana telah disinggung di awal tulisan ini, pada suatu tahap, Seni Rupa Modern Indonesia adalah “seni serapan” (untuk meminjam istilah almarhum Sanento Yuliman), yaitu suatu upaya penyesuaian atau dialog antara budaya Indonesia dan budaya Barat.
Modernisme yang lahir dipangkuan Barat adalah ideologi yang melandasi Seni Modern. Dalam sejarah kesenian Barat, era Modern dilapangan seni rupa itu dimulai dari semenjak masa Impresionisme pada tahun 1874 atau lebih dini lagi dari masa Realisme dipertengahan abad-19 dan dari waktu itu –masuk abad 20– ia memasuki masa yang penuh dengan pembaharuan gaya seperti Fauvisme, Ekspresionisme, Kubisme, Seni Abstrak, Konstruktivisme, Dada, Surealisme, Ekspresionisme Abstrak hingga Minimalisme dan Seni Konsep di ujung 1960-an. Dibidang Arsitektur dan Desain, gaya yang dominan relatif lebih homogen yaitu gaya Fungsionalisme dan Gaya Internasional yang menjadi acuan para pendesain hingga tahun 1960-an.
Sebab-sebab munculnya Modernisme bisa dirunut ke masa yang lebih dini dalam perkembangan masyarakat modern semenjak zaman Pencerahan. Seorang konseptor gagasan Modernisme yang berpengaruh, Clement Greenberg, menunjukkan bahwa Modernisme mencakup seluruh fenomena kebudayaan. Ia memberi pengertian Modernisme sebagai “Kecenderungan kritik diri yang intensif yang dimulai dari Kant.” Menurutnya, esensi Modernisme terletak pada penggunaan metoda khas suatu disiplin untuk mengkritik diri sendiri, bukan untuk menghancurkannya, tetapi justru untuk lebih memperkuatnya.
Diterapkan di bidang seni, maka inti Modernisme adalah upaya terus menerus untuk meningkatkan penetapan ukuran-ukuran estetik. Kata Greenberg : “dalam usaha yang tak terputus untuk mencegah ancaman kemerosotan standar estetik akibat demokratisasi budaya yang dibawa industrialisasi.” Dalam Modernisme, seni adalah otonom, mengutip Greenberg lagi : “pengalaman estetik tidak lagi memerlukan justifikasi dari sesuatu di luar dirinya. Seni adalah tujuan pada dirinya sendiri dan estetik menjadi nilai otonom yang terlepas dari agama, politik bahkan moralitas.”19 Dengan demikian, Modernisme bersifat reflektif, ia mengambil dirinya sendiri sebagai pokok masalah, sehingga perhatian utama terletak pada medium, proses dan teknik, penggunaan material secara jujur dan mengedepankan peralatan.
Dengan pijakan ini, Seni Modern menyatakan diri sebagai satu-satunya bentuk seni yang paling sah mewakilinya zamannya. Dari dasar itu, berkembang norma-norma yang menjunjung tinggi nilai kebaruan, keaslian dan kreativitas. Seperti halnya ilmu dan teknologi, Seni Modern meyakini akan adanya gerak maju ke arah kesempurnaan. Dalam sejarahnya yang telah berlangsung satu abad lebih, ia telah melahirkan puluhan gaya seni yang berbeda. Lebih dari itu, Modernisme yang melandasi Seni Modern juga menyebar dan mendominasi kehidupan di Negara-Negara Berkembang. Ketika nilai-nilai Modernisme telah mengkristal dalam pranata seni seperti Museum of Modern Art (MOMA), dalam lembaga pendidikan seni rupa, teori estetik, kritik seni dan sejarah, maka praktik kesenian modern tak dapat mengelak dari pengaruhnya.
Karena dibayangi obsesi untuk terus menerus menjaga standar estetik tetap tinggi, maka Modernisme membedakan dan memisahkan secara tajam antara ‘Seni Tinggi’ dan ‘Seni Rendah’ yang tidak lain adalah ‘Seni Murni’ dan ‘Seni Populer’. Dalam jalur Seni Murni itu, lahir pola Avant-garde yang memungkinkan lahirnya idiom-idiom estetik baru yang memperkaya dan memperluas batas-batas daerah estetik, sedangkan Seni Massa, justru hanya mengulang rumus estetik yang ada dan cenderung untuk tunduk pada selera massa, sehingga disebut istilah “Kitsch” atau seni sampah. Jadi Seni ‘Kitsch’ adalah lawan seni Avant-garde.
Seni Avant-garde adalah seni yang mendahului zamannya, paling depan dalam konsep dan lebih ekstrim dalam teknik. Richard Kostelanetz, seorang penulis seni dari Amerika, menguraikan ciri seni Avant-garde dalam esainya “An ABC of Contemporary Reading”. Menurut Kostelanetz, karakterisik pertama adalah bahwa dalam merambah daerah (estetik) baru, seni Avant-garde menghancurkan pagar-pagar hukum yang menjadi benteng pertahanan konvensi lama. Ciri ini berasal dari ‘Premis-Premis’ yang keliru atau ‘asumsi-asumsi pemberontakan’. Ciri kedua, pada mulanya, seni Avant-garde sukar dipahami sehingga ia terasing dan membutuhkan waktu sebelum memperoleh pengakuan. Sedang ciri ketiga, ia biasanya menyerang para seniman mapan dan baru kemudian membujuknya.
Pemahaman terhadap prinsip Modernisme dan pola Avant-garde sangat penting dilakukan, karena seperti telah diuraikan, premis-premis yang mendasari penyelenggaraan Biennale Seni Rupa Jakarta IX itu berpijak pada teori Avant-garde yang diambil dari tulisan Charles Jencks. Namun demikian, permasalahan kedua hal tersebut masih perlu dilengkapi dengan pengetahuan yang akurat tentang perubahan dan perkembangan Seni Rupa Modern, baik yang telah terjadi di Barat maupun di Indonesia dan Negara Dunia Ketiga pada umumnya.
Melalui pemahaman akan konsep Avant-garde, maka penyebutan seni “pemberontakan” pada Seni Rupa Baru memperoleh pengertian yang lebih utuh. Penyebutan demikian terhadap Gerakan Seni Rupa Baru tidaklah keliru. Tetapi dalam Sejarah Seni Rupa Modern Indonesia, Gerakan Seni Rupa Baru bukan satu-satunya Seni Rupa Pemberontakan. Lagi pula, penggolongan Gerakan Seni Rupa Baru sebagai Avant-garde Radikal pada premis kedua juga menunjukan suatu “kunci” yang penting untuk membuktikan apakah Seni Rupa Era 1980-an a dalah fase lanjutan dari Seni Rupa Era 1970-an.
Lagi pula, premis kedua –bahwa Seni Rupa Era 1970-an atau Seni Rupa Pemberontakan mempunyai program menentang seluruh tradisi Modernisme dan tergolong sebagai Avant-garde Radikal– terasa kontradiktif apabila dihadapkan pada tulisan Jencks yang justru diacunya. Bagi Jencks, istilah Avant-garde adalah sinonim dari “Seni Modern” atau “Gerakan Modern” yang berpijak pada Modernisme. Kalimat pertama dari tulisan Jencks, The Post Avant-garde, menunjukan hal itu; “Istilah Avant-garde sebenarnya menyimpan pengertian yang aneh, untuk sebagian. Avant-garde adalah metafor yang diambil dari terminologi militer sebagai pengganti yang lebih lunak dari sebutan ‘Modern’ atau ‘Gerakan Modern’, sedang sebagian yang lain, secara sosiologis Avant-garde menggambarkan suatu kelas untuk individu-individu tanpa patronase.21
Dalam pandangan Jencks, pada dasarnya, ada empat tahap utama Avant-garde dari 1820 sampai sekarang, yakni Avant-garde Kepahlawanan, Avant-garde Pemurni, Avant-garde Radikal, dan PascaAvant-garde. Ketiga Avant-garde pertama mewakili kecenderungan “Dunia Modern” yang selalu haus akan penemuan dan penaklukan “Daerah Baru”, suatu kecenderungan yang tercermin secara tepat pada Modernisme. Kecenderungan ini juga sesuai dengan sistem Kapitalisme yang terus menerus memutar roda produksi untuk terus hidup. Yang disebut dengan “Dunia Modern” pada dasarnya bergantung pada siklus yang berlangsung antara sisi produksi dan penghancuran. Modernisme secara jelas mencerminkan berayunnya pendulum antar dua sisi tersebut. Berlangsunglah apa yang disebut Nietszche sebagai ‘transvaluasi nilai-nilai’, yakni penghancuran terhadap nilai-nilai yang sudah tercapai, mapan dan baku. Tiga macam Avant-garde yang sudah saya sebutkan tak pelak seperti perusahaan multinasional yang agresif menguasai pasar-pasar baru.Tak pernah merasa cukup terhadap apa yang sudah didapat dan selalu mencari tantangan baru: ‘berinovasi atau mati’, ‘berubah atau layu’ pendeknya selalu menghancurkan untuk mencipta.”22
Sedangkan tahap Avant-garde ke empat, Pasca Avant-garde sama sekali berbeda dari ketiga Avant-garde sebelumnya : “karena ia tidak menaklukkan daerah-daerah (estetis) baru. Alih-alih dari jargon shock of the new yang sudah kuno dari Duchamp. Ia justru berpijak pada shock of the old dari Mariani”.23 Apabila ketiga Avant-garde sebelumnya sehaluan dan bahkan merupakan inti Modernisme, maka Pasca Avant-garde justru kebalikan dari pola Avant-garde dan merupakan realisasi prinsip-prinsip Postmodernisme. Dipandang dari penggunaan istilah “Avant-garde”. Pasca Avant-garde menampakkan paradoks, karena sama sekali tidak punya pretensi sebagai “mendahului zamannya” atau penakluk daerah baru. “Terdapat suatu paradoks yang lucu dalam Post Avant-garde ini: ia tidak hadir sebagai Avant-garde karena kemunculannya ada dimanapun tapi sekaligus tidak dimanapun, sedangkan seni Avant-garde yang lama percaya bahwa kemanusiaan menuju ke suatu arah tertentu dan menjadi tugas seni Avant-garde untuk menemukan lahan (estetis) baru sehingga orang bisa mencapainya. Sedangkan Seni Pasca Avant-garde percaya bahwa kemanusiaan berada dalam pelbagai arah yang berbeda-beda, sebagiannya lebih absah dari yang lainnya. Adalah tugas Seni Pasca Avant-garde untuk menjadi pengarah dan berperan kritis.”24
Jadi, ketiga Avant-garde yang pertama meyakini bahwa kemanusiaan menuju kesatu arah, sering diistilahkan dengan “Semangat Zaman” (Zeitgeist) atau “Gaya Zaman” (Zeitsteil). Oleh karena itu, ketiganya merupakan representasi Modernisme. Masing-masing dari ketiga jenis Avant-garde ini menampakkan titik perhatian yang berbeda. Pada Avant-garde Kepahlwanan, titik pusatnya adalah kemajuan sosial. Makna ini di perkenalkan oleh Henri de Saint Simon pada 1825. Seorang bekas tentara dan tokoh sosiologi terkemuka. Apabila di terapkan di dunia seni, jenis Avant-garde ini memberikan peran seniman sebagai perintis dan penunjuk arah kemanusiaan. Contoh seniman Avant-garde Kepahlawan yang disebut oleh Jencks adalah Gustave Courbert, pelukis Realisme pada abad 19, dan kecenderungan ini muncul dengan kuat pada 1920-an pada tokoh-tokoh arsitek Modernis yaitu Gropius, Mies van der Rohe dan Le Corbusier. Mereka adalah arsitek yang mengembangkan Gaya Fungsionalisme dan Gaya Internasional yang indentik dengan Arsitektur Modern. Gagasan Sosialisme secara kuat tercemin dalam kedua gaya itu.
Jenis Avant-garde kedua, Avant-garde Pemurni terutama memiliki minat yang kuat untuk membawa misi kemajuan artistik. Oleh karena itu, ciri dari karya para seniman ini adalah prinsip Formalisme dan penekanan pada teknik. Tokoh-tokohnya dapat disebut nama-nama seperti Piet Mondriaan, Theo van Doesburg, Josef Albers, Frank Stella, yang semuanya pelukis, dan Buckminster Fuller, arsitek.
Sedangkan Avant-garde Radikal, bertujuan menghilangkan pembatas antara seni dan kehidupan. Termasuk dalam kategori Avant-garde ini adalah gerakan-gerakan seni seperti Futurisme, Dada dan Konstruktivisme pada tahun 1920-an serta Pop-Art dan Happening pada 1960-an. Charles Jencks mensifati bahwa “gerakan ini tidak hanya radikal, tapi bahkan juga anti garda-depan. Seni berada di jalan-jalan, jalan-jalan berubah menjadi galeri-galeri seni Seni adalah kehidupan itu sendiri. Kehidupan merupakan kerja kesenian”.26 Jadi. ia merupakan jenis Avant-garde yang paling radikal dan sekaligus anti Avant-garde. Pernyataan ini nampaknya ditafsirkan oleh Jim Supangkat sebagai anti Modernisme. Ciri Avant-garde Radikal yang kontradiktif ini justru suatu cerminan ekstrim dari prinsip “penciptaan” dan “penghancuran” dari Modernisme. Bukan kebetulan tokoh yang menjadi panutan dan para seniman Futurisme seperti Marinetti, Boccioni, Balla, Carlo Carra dan seniman Dada adalah Nietzsche, yang terkenal dengan semboyan transvaluation of all values-nya.
Tokoh paling terkemuka dari jenis Avant-garde ketiga ini, tanpa diragukan lagi adalah Marcel Duchamp (1887-1968), seorang seniman dari gerakan Dada. Sebelum bergabung dengan gerakan Dada yang baru terbentuk pada 1916 di Zurich, Duchamp telah menggemparkan dua seni di Amerika dengan keikutsertaanya pada pameran yang diadakan pada 1912. Pada pameran itu, ia menyertakan lukisannya yang bejudul Nude Descending a Staircase, suatu lukisan yang bergaya Kubisme bercampur dengan Futurisme. Pada tahun berikutnya, ia menyertakan karya “ready made” yang pertama berupa roda depan sepeda yang dipasang pada bangku dapur tanpa tambahan apapun. Tahun 1914 ia memamerkan rak botol, dan pada 1917 ia menandatangani sebuah urinoir (wadah kencing) dengan tulisan R. Mutt dan memamerkannya sebagai karya seni.
Selain Marcel Duchamp, tokoh-tokoh Dada lain adalah Hugo Ball, Hans Arp, Tristan Tzara, Marcel Janco dan tokoh lain yang merupakan gabungan dari pelukis, dramawan, dan sastrawan, mereka melakukan berbagai “eksperimen” yang aneh-aneh, menabrak dan melintasi batas-batas konvensi seni secara liar. Dari Zurich, Dada menyebar ke berbagai kota Eropa dan menyeberang ke benua Amerika. Seniman Dada Perancis, Man Ray, menciptakan sebuah karya seni berupa alat setrika yang bagian bawahnya dipasang dengan paku dan diberinya judul Cadeau. Fenomena seni Dada yang penuh dengan kontradiksi, anarki dan sikap anti seni (What is Dada? Dada is nothing! Dada is everything) justru melahirkan berbagai idiom seni yang sangat kaya dan menjadi khasanah yang “ditambang” oleh gerakan seni rupa di tahun 1950-an dan 1960-an, yaitu neo-Dada, Seni Pop, Happening, Seni Rupa Pertunjukan dan Seni Konsep. Kecenderungan Seni Instalasi pada tahun1970-an di Barat pun tidak lepas dari dari inspirasi Dada.
Hubungan yang erat antara Dada dan seni 1960-an seperti neo-Dada, Seni Pop, Seni Rupa Pertunjukan, Seni Bumi, Seni Video, dan Happening menjadi sebab Charles Jencks menggolongkan seni 1960-an di Amerika sebagai Avant-garde Radikal. Kecenderungan Avant-garde Radikal ke arah penghilangan batas seni, antara seni dan kehidupan, dalam beberapa hal memang dekat dengan sejumlah ciri Postmodernisme. Apa yang membedakan keduanya adalah Avant-garde Radikal masih didorong,oleh semangat pembaruan inovasi dan “penaklukan daerah baru”, sedang prinsip Postmodernisme tidak mempercayai semangat dan tujuan seperti itu.
Seni Rupa Kita: Kesejajaran dan Perbedaan
Teori Charles Jencks memang dapat membantu menjelaskan fenomena Seni Rupa Modern Indonesia, karena pada dasarnya, antara seni rupa modern yang berkembang di Barat dan di negara-negara lain yang melakukan dialog kebudayaan secara intensif dengan Barat, terdapat interaksi budaya yang pada fase tertentu melahirkan pola yang sama. Bila teori Avant-garde Charles Jencks itu diterapkan pada fenomena Seni Rupa Modern Indonesia, nampak bahwa masing-masing jenis Avant-garde itu paling sedikit dari 3 yang pertama menemukan manifestasinya. Jenis Avant-garde pertama, yaitu Avant-garde Kepahlawanan, termanisfestasikan dalam gerakan Persagi dan Seni Rupa Era 40-an. Seperti diketahui, Persagi yang dimotori Sudjojono memiliki program “pemberontakan” terhadap “ Mooi Indie”.
Demikian pula, gaya lukisan yang didominasi Gaya Realisme dan Ekspresionisme pada era 1940-an, banyak dipakai untuk melukiskan suasana perjuangan dan revolusi yang menjanjikan kemerdekaan dan tercapainya masyarakat yang telah lama diimpikan bangsa Indonesia. Sesudah kemerdekaan pun, gaya Ekspresionisme dan Realisme Sosial telah difungsikan oleh para seniman seperti Affandi, Hendra Gunawan,dan Sudjojono untuk meningkatkan nilai kemanusiaan universal (pada Affandi) dan perubahan sosial (pada Hendra Gunawan dan Sudjojono).
Berikutnya, jenis Avant-garde Pemurni nampak secara jelas pda gerakan yang disebut sebagai “Mazhab Bandung” pada dekade 1950-an, meskipun diserang dari berbagai penjuru; pejabat, seniman, budayawan (baik yang nasionalis dan humanis seperti Trisno Sumardjo, maupun orang-orang yang berasal dari LEKRA), para seniman Bandung pada waktu itu tetap teguh dan setia mengembangkan prinsip-prinsip Formalisme atau bahasa rupa murni seperti garis, warna, bidang, tekstur dan raut. Menjelang dan awal 1970-an Seni Rupa Abstrak mulai mendominasi dan menjadi fenomena seni yang telah mapan.
Pada fase berikutnya, pada pertengahan 1970-an, muncul jenis Avant-garde Radikal yang dimotori oleh Gerakan Seni Rupa Baru. Dari segi gagasan, tema-tema yang menjadi fokus perhatian, gaya, sikap dan teknik, Gerakan Seni Rupa Baru menampakkan adanya kedekatan dengan Seni Pop yang berkembang antara tahun-tahun pertengahan 1950-an dan dekade 1960-an di Barat. Misalnya, dalam soal gagasan untuk mendekatkan seni dengan masyarakat melalui tema-tema keseharian yang menjadi ciri zamannya, terutama budaya konsumsi dan rekreasi; perhatian pada hal-hal yang sensual; pengambilan unsur-unsur budaya massa kedalam arus ‘seni’, pelecehan terhadap konsep seni murni. Begitu pula peniadaan batas antara seni tinggi dan seni rendah, penggabungan berbagai cabang seni yang dikenal dengan istilah intermedia (Dick Higgins) atau mixed media, dan penggunaan barang-barang jadi (ready made). Kesemua ciri-ciri itu menampakkan banyak kesamaan, sehingga pendapat yang mendudukkan Gerakan Seni Rupa Baru ke dalam jenis Avant-garde Radikal Jencks memang dapat diterima.
Bagaimana dengan jenis Post Avant-garde? Apabila Postmodernisme merupakan reaksi penentangan terhadap Modernisme, Post Avant-garde adalah juga penentangan terhadap Avant-garde. Berkebalikan dengan semangat Avant-garde yang selalu ingin mendahului zamannya dan merambah daerah-daerah baru, Post Avant-garde tidak berminat pada “penaklukan daerah baru”, semangatnya justru menghargai apa yang sudah ada, melakukan pencampuran gaya, dan dengan demikian berciri eklektik hal, yang diharamkan oleh Modernisme.
Sebagai manifestasi Avant-garde, Gerakan Seni Rupa Baru tidak menampakkan sikap anti-Modernisme. Pernyataan yang menyimpulkan bahwa Gerakan Seni Rupa Baru mempunyai program menentang seluruh tradisi Modernisme tidak memiliki dasar dalam teori Jencks. Justru, Avant-garde Radikal menampakkan secara ekstrim prinsip Modernisme yang bereaksi pada dunia modern dan dunia Kapitalisme borjuis, yaitu prinsip produksi dan destruksi seperti yang dapat dilihat pada siklus fashion atau konsep “ciptakan” dan “musnahkan” dari Seni Modern. Gerakan Seni Rupa Baru, jika dikaitan dengan asal usul kemunculanya berupa protes terahap keputusan Dewan Juri pada 1974 yang memenangkan lukisan gaya “dekoratif”, juga tidak mendukung kesimpulan diatas. Modernisme yang berkembang di Barat, secara jelas sangat anti pada hal yang berbau dekoratif atau ornamen. Para pelukis, dan terlebih-lebih kalangan arsitek Modernis, memiliki anggapan bahwa ornamen sama dengan kejahatan. Lagi pula adanya label `Baru` dalam Gerakan Seni Rupa Baru menampakkan semangat yang terdapat dibalik gerakan ini, yaitu semangat ‘kebaruan’ dan ‘progress’ yang identik dengan Modernisme.
Oleh karena itu, sejauh teori Charles Jencks di pakai sebagai sandaran pada premis kedua yang menyatakan hubungan antara Avant-garde Radikal dan Postmodernisme, antara Seni Rupa Era 1970-an dan era 1980-an dengan Postmodernisme, sesungguhnya premis kedua ini tidak memiliki dasar. Memang dalam kaitan dengan Postmodernisme, telah disebut- sebut nama-nama seperti hal Hal Foster, Craig Owen dan Rosalind Krauss yang jelas-jelas dikutip pendapatnya dari satu artikel barjudul “Re-Post” oleh Hal Foster dalam buku Art After Modernism.27 Namun Jim Supangkat sendiri nampak kurang yakin dengan pendapatnya itu. Dalam makalah yang ia sampaikan sebelum pameran usai, Jim Supangkat menyatakan “Untuk meluruskan pengertian yang telah menjadi terbalik-balik, pertama-tama perlu saya jelaskan bahwa materi pameran Bienniale Seni Rupa IX Jakarta 1993 ini adalah Seni Rupa Kontemporer Indonesia.” Bukan “Postmodernisme “ atau “Seni Rupa Instalasi” atau “Seni Rupa Eksperimental.”28
Klaim kedua nampaknya masih memegang secara kuat adanya hubungan antara Seni Rupa Era 1970-an dengan Seni Rupa Era 1980-an, sebagaimana terdapat dalam premis pertama tulisan katalog pameran. Dalam hal ini, konsep “Seni Rupa Kontemporer “ yang diajukan oleh Jim Supangkat nampak memiliki kemiripan dengan apa yang sering dilontarkan oleh FX Harsono dalam berbagai kesempatan. Harsono menerapkan istilah itu pada fenomena Seni Rupa dari Gerakan Seni Rupa Baru, hingga kecenderungan pada Intermedia, Instalasi, Seni Video, Seni Rupa Pertunjukan, Seni Komputer dan yang sejenisnya.
Tetapi, konsep yang seperti ini nampak rancu mengingat istilah itu sudah banyak dipakai di dunia seni di Indonesia dengan arti yang berbeda. Misalnya, Kusnadi pada 1978 menggunakan istilah itu untuk menunjukan fenomena seni rupa semenjak Raden Saleh yang berbeda dari seni tradisonal. “Seni Rupa Baru atau Kontemporer Indonesia merupakan periode termuda dari perkembangan Sejarah Seni Rupa Indonesia semenjak masa prasejarah. Seni Rupa Kontemporer Indonesia merupakan babak terbaru dalam perjalanan sejarah seni lukis dan pahat Indonesia dari zaman ke zaman yang dirintis oleh Raden Saleh (1814-1880) dengan berkenalan dan mempelajari seni lukis Barat”, demikian kata Kusnadi.29
Di Barat, asal dari kata tersebut, istilah contemporary telah dipakai semenjak 1940-an. Dalam satu kamus seni yang berpengaruh Glossary of Art , Architecture and Design since 1945, Jhon A. Walker mengungkapkan “selama periode 1945-1956, kata contemporary dipakai oleh beberapa penulis Inggris untuk melukiskan Seni, Arsitektur, dan Desain pada era mereka.
Misalnya, Institute of Contemporary Arts berdiri tahun 1947, buku Contemporary British Art karya Herbert Read diterbitkan tahun 1951”.30 Semenjak itu istilah “Seni Kontemporer” sering dipakai para penulis untuk menunjukkan fenomena seni yang sejaman dengan penulis yang bersangkutan dan itu mencakup fenomena seni di dalam rentang waktu 1-3 dekade sebelum tulisan itu dibuat. Oleh karena itu, cakupan “kontemporer” di masa Herbert Read tentu berbeda dengan masa Charles Jencks yang menulis di tahun 1970-an dan 1980-an.
Jadi, semakin dikonsepkan, istilah “kontemporer” itu akan semakin rancu karena bertentangan dengan kelaziman. Arti “ kontemporer” yang dipakai Kusnadi berbeda dengan Jim Supangkat dan Harsono. Ketiganya berbeda dengan arti yang yang dipakai di dunia Barat dan boleh jadi berbeda dengan negara lain seperti Jepang atau Brasil yang pada umunya mengacu ke Barat. Dilihat dari sudut ini, uraian dan klaim tentang “Seni Rupa Kontemporer Indonesia” yang dipakai pengganti sekaligus penghapus klaim “Postmodernisme” tetap sulit dipertahankan.
Apabila memang demikian, bagaimana peristiwa Bienniale Seni Rupa Jakarta IX, hendak diartikan ? Untuk menafsirkan peristiwa itu, ada hal yang dapat dipegang. Pertama, ada upaya dari kurator pameran, khusunya Jim Supangkat untuk mengangkat suatu kecenderungan seni rupa yang kemudian diberi label Seni Rupa Era ’80, atau Seni Rupa Pasca-Modern, atau Seni Rupa Kontemporer yang merupakan fase lanjutan Seni Rupa Era 1970-an atau Seni Rupa Baru. Kedua, warna kecenderungan seni rupa yang tampil dalam Biennale ini menampakkan adanya kedekatan dengan arus-arus seni rupa yang berkembang di Barat pada masa pasca Seni Pop, terutama pada masa-masa 1960-an dan 1970-an. Dan ketiga, peserta pameran menampakkan muka-muka baru dan seniman muda berusia 30-an.
Karya-karya yang tampil didominasi oleh kecenderungan Seni Instalasi, suatu bentuk pengungkapan baru dalam seni rupa yang muncul di awal 70-an di Barat dan terus berlanjut hingga masa 1980-an dan tetap menarik seniman-seniman berbakat, memasuki dekade 1990-an ini.
Seni Instalasi juga merupakan kecenderungan kuat menembus Negara-Negara Dunia Ketiga dan bahkan menjadi semacam bentuk seni Avant-garde. Kecenderungan lain yang juga tetap menjadi fenomena yang hidup di dunia Barat dan negara lain hingga 1980-an adalah Seni Rupa Pertunjukan, Seni Video, Seni Media, dan Seni Politis. Ditambah beberapa kecenderungan seperti Seni Bumi (pada karya Semsar Siahaan dan Andar Manik), Realisme Baru (Dede Eri Supria ) dan Seni Fotografi, maka karya-karya pada Bienniale Seni Rupa IX Jakarta itu dapat dikatakan sebagai upaya untuk tidak ketinggalan dengan arus kecenderungan dan perkembangan negara lain, baik yang berada pada cekungan Asia Pasifik maupun Barat.
Pemberian label “ Postmodernisme“ ataupun “Seni Rupa Kontemporer” menampakkan dengan jelas keinginan untuk berada ditengah perkembangan dan kecenderungan seni paling mutkhir. Keinginan ini hendaknya dipahami dalam konteks perubahan yang melanda kawasan Asia di satu pihak dan situasi dunia Seni Rupa Indonesia di pihak lain. Dalam 2 dekade terakhir para seniman muda sudah merasa cukup lama tidak terwakili dalam berbagai peristiwa penting yang melibatkan pertukaran budaya antar negara ASEAN maupun Asia. Utusan-utusan yang dikirim oleh pihak “birokrat seni” Indonesia selalu terdiri dari seniman senior yang sudah mapan dan ternama, sementara itu, utusan dari negara lain seperti Filipina, Thailand atau Korea Selatan, sering terdiri dari seniman yang menampakkan kecenderungan terbaru seperti Seni Instalasi.
Keadaan yang terasa menyesakkan nafas seniman muda itu mulai berubah pada masa menjelang akhir 1980-an dan awal 1990-an.
Perubahan itu terjadi, baik karena figur-figur yang lama duduk pada posisi “Birokrasi Seni” sudah harus pensiun. Sementara sejumlah seniman muda Era 1970-an sudah cukup matang untuk melakukan hubungan dengan pihak luar, sehingga peristiwa Biennale Seni Rupa IX ini juga menandai suatu fase perubahan, yaitu surutnya kaum tua secara alamiah karena usia, dan naiknya para “pemberontak” muda era 1970-an pada pusat kesenian, jika TIM masih dianggap sebagai pusat.
Surutnya peranan TIM pada dekade yang lalu ikut mempercepat perubahan itu, upaya untuk menaikkan pamor TIM di tengah tumbuhnya pusat-pusat kesenian di Jakarta bertemu dengan idea, sikap dan semangat yang sudah lama t idak memperoleh tempat secara memadai, dan titik temu itu melahirkan Biennale Seni Rupa IX Jakarta. Dilihat dari sudut ini, bermacam klaim seperti adanya kaitan antara Seni Rupa Era 1970-an dengan Seni Rupa Era 1980-an, atau bahwa karya yang dipamerkan berupa karya Postmodernisme atau Seni Rupa Kontemporer hanyalah berupa puncak gunung es yang sempat muncul akibat tekanan iklim yang terasa sesak selama ini.
Pengujian akan benar tidaknya klaim itu, bisa saja dilakukan seperti dalam pembahasan tulisan ini. Pembahasan-pembahasan demikian tentu diharapkan dapat meningkatkan pemahaman akan situasi dan permasalahan dunia seni rupa kita. Bahwa karya-karya seni yang dipamerkan itu merupakan fase lanjutan dari Gerakan Seni Rupa Baru, mungkin ada beberapa segi yang benar demikian, apalagi tokoh-tokoh Gerakan Seni Rupa Baru banyak terlibat dan menentukan dalam pameran ini. Tetapi kemungkinan lain bahwa para peserta pameran memiliki proses pencarian sendiri—seperti nampak pada penolakan Semsar Siahaan—juga memiliki kebenaran. Toh, arus informasi dan akses pada pengetahuan, begitu terbuka lebar saat ini.
Namun demikian, perubahan yang terjadi pada dunia seni rupa Indonesia itu menjanjikan berbagai hal yang positif. Bangkitnya kawasan Asia Pasifik sebagai kekuatan ekonomi baru, menampakkan upaya penciptaan kawasan budaya yang lebih mendekat, dan situasi ini nampknya sudah mendapat antisipasi yang baik dari generasi seniman sekarang.
Catatan.
Lihat polemik Kusnadi dan Sudarmadji yang dimuat dalam Jim Supangkat (ed.), Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia (Jakarta; Gramedia, 1979)
Jim Supangkat, “A Breif History of Indonesian Modern Art” dalam Caroline Turner (ed.), Tradition and Change, Contemporary Art of Asia and the Pasific (University of Queensland Press, 1993)
Chisaburoh F. Yamada (ed.), Dialog in Art Japan and the West (Tokyo : Kondansha International, 1976).
Caroline Turner, ed. Op.cit.
Jim Supangkat, “Seni Rupa Era “80, Pengantar untuk Bienniale Seni Rupa Jakarta IX, 1993”, dalam Katalog Bienniale Seni Rupa Jakarta IX, Jakarta 1993.
Nirwan Dewanti, “Seni, Pluralisme, Kapitalisme, dan Kita”, Tempo, 8 Januari 1994.
FX. Harsono, “Bienniale IX Seni Rupa Jakarta, Dominasi Baru Pasca-modern”, Kompas, 16 Januari 1994.
Ibid, Hal.17
Agus Dermawan T., “Plesetan Postmodernisme di Seni Rupa”, Kompas, 12 Desember 1993.
Katalog, Op.cit
Jim Supangkat, Katalog, Op.cit, hal. 14
Jim Supangkat, Katalog, Op.cit, hal. 13
Jim Supangkat, Katalog, Op.cit hal. 14
Jim Supangkat, Katalog, Op.cit, hal. 13
Jim Supangkat, Katalog, Op.cit, hal. 16
Jim Supangkat, Katalog, Op.cit, hal. 21
Jim Supangkat, Katalog, Op.cit, hal. 27
Jim Supangkat, Katalog, Op.cit, hal. 16
Clement Greenberg, “Modern and Post-Modern”, Art Magazine, February 1980, hal.66
Richard Kostelanetz, “An ABC of Contemporary Reading”, dalam Richard Kostelanetz (ed.) Esthetics Contemporary (Prometheus Book, 1978)
Charles Jencks, “The Post-Avant-Garde”, dalam Andreas C.Papadakis, The Post-Avant-Garde Painting in the Fighties (London Arts and Design Profile, 1987)
Ibid, hal.16
Ibid, hal.17
Ibid, hal.20
Lihat Lonescu, The Polotical Thought of Saint Simon, hal.152 Bagt Saint Simon, “his avant-garde” of scientist, industrialist, engineer and artists was to both ‘appreciate a new idea’ and defeat the forces of inertia’ and to contribute greath to the prosperity of manufactures by the designs and models with which they furnish artisants”.
Charles Jencks, Op.cit, hal 12
Hal Foster, “Re : Post”, dalam Brian Walls (ed.), Art After Modernism Rethinking Representation (New York The Museum of Contemporary Art, 1984), hal.189-201
Jim Supangkat, “Seni Rupa Kontemporer Indonesia : Perkembangan “80”, Makalah Diskusi Bienniale Seni Rupa Jakarta IX, 1993.
Kusnadi, “Tinjaua Sejarah Seni Rupa Kontemporer Indonesia”, dalam Seni Rupa Indonesia dan Pembinaannya, Jakarta : Proyek Pembinaan Kesenian Departemen P dan K, 1978)
John A. Walter, Glosarry of Art, Architecture, and Design Since 1945 (London, Clive Bingley, 1973).
Langganan:
Postingan (Atom)