Labels

Senin, 09 September 2013

Dari Sebuah Huru-hara “SENI KEPRIBADIAN APA”

Oleh : Bonyong Munny Ardhie
Spirit dan kemunculan.

Berawal dari rasa resah,galau,dengan meledaknya aktifitas Gerakan Seni Rupa Baru (1975) di Jakarta. Dimana dianggap oleh kawan-kawan Jogyakarta, waktu itu telah bersama menghantar awal dari sebuah kegelisahan sebelumnya ( sekitar th. 1973-1974).
Mari kita melihat ke belakang sebentar saat teman-teman selalu berkumpul, berbincang, berdiskusi di kompleks Gampingan (kampung dekat kampus). Dimana kawan-kawan ingin melepaskan belenggu konsep lama  yang selalu dieluelukan oleh para   establishment, yaitu para Dosen pengajar kami. Dari hari ke hari terbentuklah sebuah kelompok, sebuah komunitas Gampingan.
Dari awal mempersoalkan kesenian, saya menyodorkan sebuah rencana aktifitas di Parangtritis (pantai di Jogyakarta). Aktifitas tersebut dengan judul “Konsep Alam Terbuka”. Saya sengaja memakai istilah “Konsep” pada karya ini, sebab sebetulnya saya lebih ingin menonjolkan persoalan-persoalan yang berada didalamnya. Kegelisahan pada sentuhan angin; ruang yang luas (pantai); serta pasir yang bertebaran. Sedangkan plastik yang saya tebarkan hanya mampu bertahan  sekitar 10 menit saja. Hancur oleh dahsyatnya angin, gerak taburan pasir dan lemahnya plastik yang cepat robek. Konsep-konsep itu include dalam persiapan dialog dengan alam. Rasa ingin menaklukan alam dengan estetika, dan gejolak kepuasan pribadi.
Dengan menggelar karya tersebut terjadi antara obyek dan subyek maka lahirlah konsep – konsep individual seniman,sehingga keindahan itu terbentuk dari persepsi-persepsi sensitivitas yang menjadi pemikiran kontemporer. Penjelajahan pada relung-relung rasio menembus batas-batas seni konvensional saat itu.
Dimana konsep itu sudah saya siapkan berbulan-bulan dengan bahan-bahan yaitu beberapa puluh gulungan plastik; tali-tali plastik; rafia dan lain-lain. Maka berangkatlah “Komunitas Gampingan” tersebut dengan naik apa saja hingga sampai Parangtritis. Kami tidak mengundang siapapun selain teman-teman, dimana telah kami bagi  dalam team work. Antara lain penulisan; pemotretan serta hasil diskusi.
Terpancangnya plastik-plastik yang bersentuhan dengan angin,  juga  dengan digelarkannya plastik panjang (line art) pada ruang yang luas, serta angin yang kencang , menjadikan sebuah  persoalan yang mempunyai efek logis maupun psikologis .  Ini akan menjadi  nilai-nilai  estetika yang kita pelajari dalam perkuliahan, harus diperhitungkan kembali.
Hal ini merupakan awal  dari Komunitas Gampingan membesarkan “api” yang ada di dada, kepala, otak  kami masing-masing yang selalu membicarakan kesenian.
Pada suatu saat , kami disodori kembali oleh ide Gendut Riyanto (almarhum), yaitu membuat  rencana karya dengan judul “ Aku dan Sawah” (th.1979). Gendut bekerja lebih rinci, ia mempersiapkan katalog dengan konsep – konsep seninya  bahkan sempat membagikan kaos yang di print  “Aku dan Sawah”. Selama  seminggu, Komunitas Gampingan  berada di lokasi sawah yang tak jauh dari kampung Gampingan.
Karya “Aku dan Sawah” berupa tali – tali rafia/plastik yang di pasang  di pematang sawah dengan digantungi kain – kain, tas plastik (kresek) serta bahan-bahan lain. Bila  rangkaian tali tersebut  di tarik akan  bergerak  juga karena ada hembusan angin yang dapat menimbulkan suara. Gendut  menempati sebuah gardu kecil dipinggir pamatang sawah yang biasa di pakai Pak Tani melepaskan lelah. Disitulah kami berdiskusi/dialog tak henti-hentinya membicarakan masalah estetika. Aktivitas seperti ini, oleh para Akademisi/Dosen – dosen/Pengajar/Tokoh-tokoh seni, hanya disambut hambar. Bahkan  hanya dianggap bermain – main yang tidak pernah serius.
Salah satu aktivitas kesenian lain  yang saya ingat yaitu pameran kami bertiga, saya, FX. Harsono dan Nanik Mirna (almarhumah). Pameran kami  saat itu merespon Dosen kami (Fadjar Sidik), yang menyatakan  bahwa:  suatu bentuk – bentuk  jadi (bulatan, lingkaran, setengah lingkaran, segi empat, segi tiga, jajaran genjang dlsb.) adalah bukan seni. Karena bisa dibuat  lewat ukuran-ukuran sehingga menjadi  persis/sama.
Kami bertiga membuat karya yang didalamnya  mempunyai unsur-unsur bentuk selesai tersebut, dengan unsur-unsur warna  primer. Saat itu tanpa di duga , kami bertemu dengan saudara Sanento Yuliman (almarhum), yang kebetulan berada di Jogyakarta. Sebagai awal dari pertemuan tersebut, kami  menyatakan : “kami hanya main” ; kami ingin menjawab istilah seni atau “batasan seni” dari pernyataan  Dosen kami, bahwa barang-barang  jadi itu bukan seni. Tetapi apa jawab Sanento saat itu : “Karya Anda ini adalah menolak nilai-nilai estetik  sekarang ini (pada saat itu). Karya ini merupakan karya yang ‘non liris’”. Karya-karya yang rasional; yang berawal dari sesuatu yang matematis cenderung dari otak, bukan dari emosi.
Dari pameran bentuk-bentuk jadi ini kami telah merasakan seberapa besar peran rasio  yang kami sodorkan pada karya kami ini, sehingga peran emosi sudah menjadi peran yang nomor sekian bukan  nomor satu lagi.
Rasa ini telah menjadi awal kami meninggalkan suatu ekspresi, suatu greget yang selalu didengung – dengungkan saat itu. Kami sudah berani meninggalkan karakter/spesifik kami. Kami sudah mulai bebas menerobos batas-batas konvensional yang selalu dicanangkan  di Akademi kami.
Kami selalu ingat, bahwa lontaran kritik untuk Komunitas Gampingan ini dari Bapak Kusnadi (almarhum). Kritik seni yang kami dapatkan adalah kecaman keras , kesenian yang main-main, kesenian yang tidak serius. Itu bukan kesenian!
Inilah awal dari teman-teman mulai resah, mulai tak enak badan , meriang, dalam mengerjakan tugas karya-karya dalam perkuliahan. Karya-karya kami banyak berceloteh, menghujat batas-batas seni. Sampai membodohkan diri/naïf dengan mengeja dan merumuskan batas-batas seni yang konvensional yang  sudah  mulai kami buang.

Sebuah gerakan

Apabila kita menyimak berita saat itu, membaca majalah atau  koran,  kita selalu disuguhi berita-berita yang memilukan, sedih, bahkan ada rasa putus asa tentang masalah – masalah sosial saat itu. Muaranya pada kemiskinan yang ada  pada sebagian  besar masyarakat kita. Tokoh-tokoh kita di negeri ini selalu memperlihatkan kekayaannya, dengan mobil mewah, rumah mewah dengan gaya hidup yang  hedonis. Jurang perbedaan kaya miskin  sangat  tajam, sehingga menimbukan sikap sensitif  serta menimbulkan  ketidakpercayaan pada  masalah politik pemerintahan  negara ini.
Ada sebuah anekdot dari kami, bahwa: “Pegawai negeri  bisa kaya, apabila korupsi”. Artinya pasti mengambil uang rakyat. Jadi komunitas kami ini memang berawal dari rasa sakit hati, sehingga karya-karya kami semua adalah suara  keprihatinan dan sakit hati  pada Pemerintahan       ini. Karya kami adalah  menyuarakan  rakyat kecil yang miskin , terpinggirkan dan terhimpit. Tidak heran bila kami  selalu berpikir bahwa Kepala Negara adalah biang keroknya.
Rasa gelisah/resah dan berkeinginan bergerak secara langsung dengan pameran dimana persoalan – persoalan komunitas ini lama kelamaan menyatu dalam selesainya diskusi di  studio – studio Komunitas Gampingan.  Yang akhirnya  Komunitas  Gampingan  menjadi kental dengan nama Kelompok  “Seni Kepribadian Apa”.  Dengan anggota:  Gendut Riyanto (almarhum), Winardi(almarhum), Redha Sorana (almarhum), Sapto Rahardjo (almarhum), Jack Body (Australia), Bram (Swiss),  Tulus Warsito, Ronald Manulang, Didit Riyanto, Ivan Haryanto, Iskandar Syahputra, Budi Sulistyo, Djoko Sulistyo Kahhar, Haris Purnomo, Pudji Basuki, Dede Eri Supriya, Umbu  Tangela, Bambang Darto, Bonyong Munny Ardhie, Slamet Riyadi.
Kenapa kami memilih nama “Seni Kepribadian Apa (PIPA)“, karena nama ini mengandung kekompleksan persoalan-persoalan kita pada lingkungan, kehidupan, pada kesenian yang harus  “kreatif” saat itu.
Awal dari rasa terusiknya  kesenian  pada saat itu merupakan sebuah kenyataan bahwa, mazab realisme terhimpit/terpojokkan. Karena  ada komunitas lain dari kampus kami menyatakan yang  dihargai adalah  seni dekoratif. Realisme  di era tersebut hampir tidak ada.
Itu dapat dilihat pada karya Dede Eri Supriya yang menggambarkan  Bung Karno dalam format yang besar. Pada saat itu lukisan Realis yang melebihi obyek sesungguhnya berarti bukan seni lukis melainkan sebuah Poster (bukan  seni murni tetapi merupakan sebuah desain). Komunitas kami masih mengagungkan Bung Karno. Dede Eri Supriya juga membuat karya  secara realis  wajah Idi Amin. Tetapi  dibuat dengan teknik puzzle. Karya tersebut terasa gampang rontok karena teknik penataanya  terdiri dari susunan puluhan puzzle. Ada juga lukisan Hari Budiono secara realis dengan obyek Suharto (Presiden pada waktu itu) yang memakai kaos oblong yang robek.  Karya tersebut tidak boleh dipamerkan karena dianggap menghina.
Karya kolaborasi antara Bambang Darto dan Redha Sorana (almarhum) dengan judul Monalisa,  dengan wajah Ibu Tien Suharto. Piguranya terdiri dari bunga anggrek yang pada saat  itu, Ibu Tien sedang membeli lahan luas untuk proyek kebun anggreknya di Jogyakarta.
Karya Slamet Riyadi  yang membuat kartu remi motif King yang wajahnya diganti wajah Suharto. Secara politik kami merespon habis-habisan keberadaan Suharto saat itu, dengan mengkritisi kepemimpinannya. Seperti karya yang saya buat, dengan judul “Hotel Asean Tower”. Menggambarkan rencana  pembangunan  Hotel tersebut . Ini merupakan ambisi Suharto membangun sebuah hotel  terbesar di Asia dengan menghabiskan biaya trilyunan rupiah, tanpa melihat dan merasakan adanya kemiskinan di Indonesia. Maka lengkaplah pameran “Seni Kepribadian Apa” ditutup polisi.
Rasa “sakit” dalam  menanggapi masalah politik saat itu secara langsung terlampiaskan pada aparat kepolisian, yang selalu berhadapan dengan kami pada masalah perijinan. Sikap – sikap ini yang rasanya saat itu menghantam kita. Ini terungkap pada karya – karya yang paling halus sampai paling jorok, menjijikan, bahkan obyek- obyek yang tanpa sentuhan/kedalaman ini kita sah-kan dalam karya – karya tersebut. Misalkan seekor sapi sungguhan kita masukkan ke dalam ruang pameran (karya Didit Riyanto). Sapi itu membuang kotoran (berak) di ruang pameran.
Karya saya sendiri yang mengusung bagian – bagian dari kepala sapi (mata, mulut, kepala) yang mentah. Menjadikan bau yang menyengat dan banyak belatung yang keluar dari daging tersebut.
Slamet Riyadi yang membakar kasur dan amben di depan ruang pameran sambil berteriak – teriak, “Selamat tinggal malas! Mari kita buang kemalasan jauh – jauh!”
Jack Body yang mengusung kereta dorong (gerobak) yang menjual es dan berbagai balon yang diisi helium, yang nantinya disulut rokok hingga meledak dan memekakkan telinga.
Akhirnya pameran tidak jadi dibuka (pada detik – detik jam pembukaan  ternyata ijin belum turun). Sedangkan para undangan sudah datang, mereka menunggu boleh tidaknya ijin dari kepolisian. Pada saat – saat menunggu tiba-tiba empat peserta pameran  dengan kostum hitam-hitam naik ke  atas gedung Seni Sono  (tempat pameran). Ke empat seniman tersebut mencoret  spanduk pameran (tanda silang). Ditulis oleh mereka “Dilarang Polisi”.  Seniman tersebut adalah Tulus Warsito, Iskandar, Budi Sulistyo dan Pudji Basuki.
Pada pertengahan pameran (±19.30 wib), kami juga membuat sebuah happening art. Dalam situasi ruangan yang masih penuh dengan penonton, lampu di ruang pameran mendadak kami matikan dari sekering pusat. Sehingga gelap gulita. Kami merencanakan dialog tanpa mengetahui siapa yang berbicara. Tetapi hasilnya karena kami sangat muak dengan kepolisian (saat itu di dalam ruang banyak polisi yang tanpa seragam) maka teman – teman peserta pameran secara spontan memakai moment itu untuk berteriak – teriak menghujat kepolisian. Suasana saat itu sangat mencekam. Selama sekitar 3 menit moment itu berlangsung, setelah itu lampu menyala kembali.
Beberapa tahun kemudian kepedihan kawan-kawan ini berlanjut, muncul karya Haris Purnomo, dengan judul “Luka”, yaitu pawai di jln. Malioboro dengan atribut orang sakit, yang di balut dengan perban di sekujur tubuhnya; bahkan sepeda motor yang digunakan  juga di perban. Pada waktu melewati Jln. Malioboro, para performance menaburkan kapur di sepanjang  jalan tersebut.
Gendut Riyanto  juga membuat karya dengan judul “Rumah Sakit” yang menggambarkan tempat tidur putih dengan dilengkapi selang infus persis penggambaran kamar di rumah sakit.
Dari persoalan-persoalan yang berada di PIPA tersebut, yang secara organisasi kesenian merupakan gerombolan yang bersifat terbuka. Dengan  tambahnya personal, menjadikan  bertambah  terbukanya ide/konsep-konsep yang menjadi aspirasi kami masing-masing. Akhirnya tanpa terasa kami sudah bisa memisahkan antara kawan-kawan yang bersikap/berfikir/berkarya yang berbeda dari kami, mereka menyingkir atau kami tolak. Maka saat kami akan pameran, kami selalu dibantu oleh penulis/kritikus/Dosen kami yaitu Bapak Sudarmadji (almarhum).
Aktivitas PIPA, selalu di Jogyakarta, pernah satu kali di undang  ke Bandung , juga dibubarkan  militer, karena karya kami selalu merespon situasi politik.

Hubungan Dengan Gerakan  Seni Rupa Baru Indonesia

Komunitas Seni Kepribadian Apa, memang berbeda dengan Komunitas Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia (GSRBI). Komunitas Seni Kepribadian Apa (PIPA) berada di Jogyakarta. Yang aktivitasnya terakhir sebagian  anggota  berada di luar Jogyakarta, antara lain di  Jakarta: Gendut Riyanto (almarhum), Haris Purnomo, M.Cholid, Umbu Tangela, Dede Eri Supriya, Ronald Manulang , Winardi (almarhum), Iskandar, Budi Sulistyo, Slamet Riyadi, sedangkan di Bandung: Bambang Darto, Redha Sorana (almarhum), di Surabaya ada Ivan Haryanto dan Didit Riyanto.
Tetapi hubungan  antara GSRBI dengan PIPA seakan-akan merupakan kesatuan, karena dalam proses berkesenian kami saling berhubungan. Tidak heran apabila pada akhir gerakan GSRBI di Jakarta, personel-personel PIPA langsung bergabung dengan  GSRBI.
Saya masih ingat, di Ancol, GSRBI besama-sama PIPA (FX. Harsono, Mulyono, Gendut Riyanto (almarhum), Haris Purnomo,Bonyong Munny Ardhie) mengadakan pameran  yang bertajuk “Lingkungan”.

Relevansinya Dengan Masa Kini

Seni Kepribadian Apa sampai sekarang masih relevan, karena  ternyata kehidupan sekarang masih sama dan tidak berbeda dengan masa lalu.  Artinya kita masih merasakan kehancuran  sistem politik kita, dimana tokoh – tokoh sebagai wakil rakyat justru mengkhianati rakyatnya sendiri dan larut  memperkaya diri dengan korupsi besar-besaran. Keadaan ekonomi yang selalu melonjak, membuat jurang antara si kaya dan miskin. Hal ini menjadikan “Kredo” PIPA, kembali menguak pada komunitas kami. Kondisi dunia kesenian saat ini yang dikuasai pasar, kita semua bisa melihat nama –nama dari komunitas PIPA yang berada di hingar bingarnya pasar tersebut, misalnya Dede Eri Supriya, Haris Purnomo, Ronald Manulang, Bambang Darto, Ivan Haryanto, Umbu Tangela, dan saya sendiri.
Keberadaan kami ini hampir selalu ada dalam setiap event pameran dalam negeri maupun luar negeri. dari yang berada di Kolektor maupun Pasar seni, Bazaar ataupun Balai Lelang  .

Solo, 15 Maret 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar