Labels

Senin, 09 September 2013

SENI RUPA PENYADARAN

Oleh: Moelyono

Proses Seni Rupa Penyadaran

Tahun 1965 saya kelas 3 Sekolah Dasar di Tulungagung, Jatim, seingat saya, bersama teman-teman bermain mendorong dengan ranting tubuh-tubuh terapung yang tersangkut di pepohonan perdu agar hanyut ke tengah sungai terseret banjir.  Magrib, Bapak naik tangga menara masuk ke tampungan air yang kosong, Ibu mengambil tangga, menutup pintu rumah dengan palang bambu, menyalakan lampu minyak dan mengaji, saya tiduran.

Saat SMP, saya dapat cerita, bapak sembunyi takut tetangga yang jadi sakerah yang setiap saat bisa menebas  siapapun yang dicap PKI. Bapak, seingat saya tidak pernah memakai tanda PKI, tetapi dari kantor membawa majalah Soviet yang saya suka foto fotonya.

Semester 3 di FSRD STSRI “Asri” Yogyakarta, jurusan seni lukis kost bersama ‘kakak kelas’ kelompok Seni Kepribadian Apa (PIPA) diajak pameran tahun 1979. Melukis realis tema sosial membawa kegundahan, ternyata tidak menyelesaikan persoalan sosial.  Kala pulang ke Tulungagung, tertarik masuk ke dusun-dusun problem sosial, misalnya ke desa ‘Waung’ yang selalu jadi rawa. Ikut-ikutan membuat lahan apung dari enceng gondok yang dibalik diberi tanah ditanami bayam, jagung, cabe. Tahun 1985 kegiatan di rawa Waung dibuat karya “KUD” – Kesenian Unit Desa – sebagai syarat ujian S1, berujud paparan 12 lembar tikar merah, tiap tikar ada pincuk tempat nasi daun pisang berisi tanah dengan tunas kangkung, kacang, bayam, cabe, jagung, ubi, satu dangau pendek berisi tikar dengan sketsa wajah konglomerat, di ujung deretan tikar dipasang podium dengan mike untuk suara gelombang gemerisik radio transistor. Di sudut paparan tikar diletakkan speaker bersuara gemerisik gelombang radio. Sidang ujian dibuka ketua dewan penguji dengan peryataan bahwa karya  tidak memenuhi syarat sebagai karya seni lukis, maka ujian dinyatakan ditolak. Saya mengangkat tangan akan menjelaskan karya, tapi langsung oleh panitia diajak keluar sidang.

Tahun 1985 data keterlibatan di desa Waung dipamerkan bersama kelompok Proses ’85 terdiri dari Gendut Ryanto, Harris Purnomo, Bonyong Munni Ardhie, Harsono, Moelyono dengan judul pameran Seni Rupa Lingkungan di Galeri Ancol, Jakarta. Pemikiran dasar dari pameran adalah berkarya  tidak  berangkat dari rasa trenyuh atau keharuan romantis,  produk ekspresi perasaan semata. Karya berangkat dari data obyektif dan  akurat. Guna mendapatkan data dan analisis yang obyektif tentang persoalan lingkungan, dilakukan kerjasama dengan Walhi –Wahana Lingkungan Hidup dukungan  Erna Witoelar, pameran dibuka menteri Lingkungan Hidup: Emil Salim, data pencemaran limbah industri di Teluk Jakarta  dari Dr. Meizar dan A.N. Hafild untuk analis problem kehutanan.

Tahun 1986  di Tulungagung, masuk ke Teluk Brumbun, 260 warga, satu SD. kecil, murid 23 anak, guru 4 orang, pak guru Katiran saja yang  aktif karena beliau adalah Kepala SD. Waktu jalan kaki  bersama ibu pedagang ikan, ditanya nama, pekerjaan, saya jawab guru gambar. Tiba di Dukuh ditemui Kepala SD dan diajak ke kelas 1 untuk mengajar gambar, pak Katiran dapat laporan dari ibu penjual ikan katanya ada guru gambar baru datang. Saya bingung di depan anak-anak kecil kelas 1, mau mengajar gambar apa? Diberi contoh gambar ikan tidak ada anak-anak yang gambar karena tidak ada buku gambar, saya tambah bingung. Seorang anak berteriak, pak gambar di pasir saja. Teriakan yang menyelamatkan kebingungan. Menggambar dilakukan hari Sabtu dan Minggu di bulan Maret 1987, sekitar  100 gambar anak-anak dipamerkan di dinding rumah pak Jono – almarhum,  agar  warga tahu hasil gambar anak-anak.  Proses gambar anak-anak dari gambar coretan garis dengan tumit kaki, telunjuk jari, ranting, kerang, membuat rumah-rumahan, mancing, tarik jaring, dapat burung, menyelam, nyamuk malaria, sakit demam, juga di kertas dengan pensil, pulpen menggambar  sejarah pemukiman orang tua anak-anak,  tanah pantai  milik siapa, mengapa warga miskin, mengapa tidak ada bantuan pembangunan, mengapa petugas kesehatan jarang datang, bapak setor kelapa ke mandor, bapak cari kayu ditangkap mandor hutan; sampai  gambar menjadi awal berbincang dengan bapak ibunya dan warga membahas bagaimana mengaktifkan guru SD, bagaimana menyalurkan air minum, ke mana anak-anak bermain, mengapa ikan mulai susah ditangkap, warga sudah punya KTP atau belum.

Kegiatan menggambar intensif hari sabtu dan minggu didukung dengan tenaga sukarela dari murid SMAK Tulungagung dimana saya mengajar, antara lain: Wibowo, Maryoko, Agus Kucing, Madu, Wardhani. Bulan Juli 1987 gambar, jaring, dayung, serpihan perahu, penguras air perahu  dipamerkan di Bentara Budaya Yogya.

Jakarta, awal 1988, diundang  API – Asosiasi Peneliti Ilmu Sosial Indonesia – ceritakan kegiatan di Brumbun, ini adalah perkenalan pertama kali dengan kalangan aktivis dan LSM, dan mendapatkan wawasan ilmu-ilmu sosial untuk kerangka pemahaman kerja dengan seni rupa  bersama anak-anak dan warga di dusun.

1988, ke Brumbun bersama tim dari Walhi –Jakarta dan Harsono untuk dokumentasi  mempersiapkan pameran ke Jakarta. Tiba di Brumbun saya langsung diajak petugas Kecamatan masuk rumah Pak RT. yang sudah ada Babinsa, Polsek dan petugas Kecamatan – Muspika Kecamatan – Babinsa bertanya:  nama lengkap, tanggal dan tempat lahir, pekerjaan, nama orang tua, pekerjaan orang tua, partai politik orang tua, waktu tahun 1965 umur  berapa, masih ingat peristiwa 65, mengapa sebagai sarjana  masuk ke dusun miskin, apa tujuannya, kegiatan  ini mirip yang dilakukan  PKI masuk ke desa-desa miskin di sepanjang pantai selatan, apa tujuan gambar anak  dipamerkan ke Jakarta, siapa  panitia orang-orang dari Jakarta yang ikut dalam rombongan ke Brumbun ini, apakah kegiatan di Brumbun sudah punya ijin dari Muspida? Soal ijin kegiatan saya Gambar  anak-anak dan warga dewasa digunakan  membahas persoalan keseharian: sejarah pemukiman, tanah pantai milik siapa, mengapa warga miskin, mengapa tidak ada bantuan pembangunan, mengapa petugas kesehatan jarang datang, bagaimana  mengaktifkan guru SD, bagaimana menyalurkan air minum, kemana anak-anak bermain, mengapa ikan mulai susah ditangkap, warga sudah punya KTP atau belum.a tidak bisa menjawab. Babinsa memerintahkan: kegiatan harus dihentikan sekarang juga, jika tidak semua rombongan diangkut truk yang sudah disiapkan, dibawa ke koramil. Dilarang ke Brumbun tanpa surat ijin dari Muspida dan rekomendasi Muspika.

Surat ijin kegiatan untuk Brumbun proses pembuatannya diuruskan oleh   pak Ema  Kusmadi – Kasi Kebudayaan kota, dengan cara dibuatkan Kartu Induk Organisasi Kesenian sebagai surat ijin resmi kegiatan kesenian, kemudian dibuatkan  surat pengantar ijin kegiatan pendidikan gambar  di Brumbun dengan stempel dan tanda tangan dari Kantor Depdikbud, Polres dan Kodim kabupaten Tungagung.  Surat  diserahkan ke  komandan Koramil yang langsung menerangkan bahwa   kekuasaan teritori militer pantai selatan  dipegang oleh Koramil. Pantai selatan adalah lokasi pembantaian orang-orang PKI serta kemungkinan kapal asing dapat menyelundup. Pengawasan keamanan pantai selatan dijaga ketat demi stabilitas negara dari para pelarian dan orang – orang yang mau menghidupkan  PKI.

Menggambar dengan anak-anak diijinkan dilanjutkan oleh Koramil, dengan catatan dilarang lagi kumpulkan warga untuk  berbincang-bincang, apalagi bicara politik.

Agustus 1988 didukukung API, Yayasan Karti Sarana, LIPI diselenggarakan pameran di Lingkar Mitra, Jakarta dengan judul “Pameran Seni Rupa: Dialogis Transformatif”. Pameran disertai diskusi dengan pembicara: Sanento Yuliman, Toeti Herati, Ratna Saptari.  Siti Adiyati menulis pameran di harian Kompas pada 4 September 1988 dengan judul “Seni Rupa Penyadaran”.

Dana dari penyelenggaraan pameran disisihkan sebagian untuk membeli buku sekolah, seragam pramuka dan selang plastik untuk saluran air minum.

Katalogus pameran diserahkan ke bupati Tulungagung; bupati  kunjungi teluk Brumbun, dengan  Bappeda memutuskan membangun jalan aspal untuk   obyek pariwisata. Dibangunnya jalan aspal membuat  mobil colt angkutan desa  masuk ke teluk Brumbun, warga nelayan bisa langsung menjual ikan atau udang Lobster ke pasar kota, warga buka warung,  jawatan perikanan meminjami kredit perahu , mobil puskesmas keliling semprot sarang nyamuk Malaria, Departemen Pendidikan mengganti gedung SD.

Kerjasama dengan API, menjalar perkawanan dengan para aktifis mahasiswa Jakarta, Yogya, Solo, Salatiga, Surabaya, Bandung. Tahun 1989-1991 para  aktifis  LSKBH-Surabaya, Sanggar Suka Banjir-Solo, FDPY, FKMY, SMID-Solo, Yayasan Geni-Salatiga menyelenggarakan pameran  karya integratif anak-anak Brumbun dan moelyono dengan judul “Seni Rupa Penyadaran” dilakukan keliling: Surabaya, Solo, Salatiga, Yogya. Agenda pameran diisi diskusi dengan pembicara: Harsono, Dede Oetomo, HB. Soetopo, Bonyong Munni Ardhie, Aries Mundayat, Mochtar Maseod, Goerge Aditjondro. Pameran selalu diawali pembukaannya dengan Wiji Thukul membacakan puisinya.

Proses Menyusun  Konsep Seni Rupa Penyadaran:

API memberikan perspektif  pemikiran Ilmu Sosial Transformatif  dengan metode  riset partisipatori atau Partisipatory  Research – yaitu kombinasi  penelitian sosial, kerja pendidikan dan aksi politik yang  dilakukan oleh masyarakat sendiri. Seni rupa coba diposisikan secara metodologi sebagai media riset partisipatori dengan    alur pemahaman, setiap orang bisa menguasai, mendayagunakan seni rupa sebagai media analisis, dialog dan berpikir kritis, mencari solusi tentang problem sosial di komunitasnya.

Penelitian partisipatori memberikan wawasan, rakyat menciptakan peluang dan ruang  untuk terlibat dan mengontrol proses penelitian maupun menghasilkan pengetahuan, dengan menempatkan dirinya sebagai subyek,  karena rakyat sebagai pusat trasformasi.

Pemahaman ditajamkan lagi dengan pembelajaran teori dan metodologi Paulo Freire yang disebut dengan  “penyadaran” (conscientization ) 9 yaitu: belajar memahami kontradiksi sosial politik dan ekonomi serta mengambil tindakan untuk melawan unsur-unsur yang menindas dari realitas tersebut.

Penyadaran dilakukan dengan metode dialog , yang merupakan hubungan antara pribadi-pribadi. Dialog berinduk pada sikap kritis, dialog menularkan sikap kritis. Dialog memungkinkan komunikasi sejati. Dalam kepercayaan, dialog memiliki kekuatan dan makna: kepercayaan kepada setiap orang dan kemampuan-kemampuannya, keyakinan bahwa setiap orang dapat menjadi jati dirinya sendiri yang sejati bila orang lain juga menjadi sejati.

Dalam proses dialog, semua orang didudukkan sebagai subyek , yang mempunyai posisi sejajar untuk melakukan dialog. Dengan demikian, pada hakekatnya, rakyat bawah sebagai subyek adalah pencipta kebudayaan.10

Teman-teman dari API memberikan lagi referensi yang lebih nyata dari pemikiran “penyadaran” untuk aplikasi teori dan metodologi di bidang seni, yaitu draft naskah terjemaham buku  Augusto Boal:  “Teater Pembebasan” (Theater of the Oppresed).

Teater Pembebasan menguraikan tujuan utamanya adalah mengubah masyarakat -“para penonton”-, mahluk-mahluk pasif dalam gejala teater  -menjadi subyek, aktor, transformer dari tindakan dramatis.

Penonton tidak menyerahkan kekuasaan kepada si tokoh –atau aktor- entah untuk bertindak ataupun berpikir mewakilinya; sebaliknya, ia sendiri mengambil  peranan protagonis, mengubah tindakan dramatis, mencoba jalan keluar, mendiskusikan rancangan-rancangan untuk perubahan. Singkatnya: melatih diri untuk tindakan yang sesungguhnya. Dalam hal ini, mungkin benar teater itu sendiri tidak revolusioner, tetapi jelas merupakan suatu latihan –rehearsal- untuk revolusi tersebut.

Penonton yang dibebaskan, sebagai manusia yang utuh, bergerak untuk bertindak. Betapapun tindakan  itu fiktif; yang penting ialah bahwa ia merupakan aksi.

Boal menegaskan, semua kelompok teater yang benar-benar revolusioner harus menyampaikan kepada rakyat alat-alat produksi dalam teater teater sehingga rakyat sendiri dapat mendayagunakannya.11

Eugene van Erve dalam  wawancara dengan “Citra Yogya”, 002/Th.I/1998  menegaskan tujuan utama dari Teater pembebasan  adalah menumbuhkan daya  dan kekuasaan kelompok tertindas agar mereka punya suara dan sarana  untuk memperbaiki nasib lewat upaya komunal yang kreatif dan kooperatif dan tanpa kekerasan.

Teater digunakan sebagai media non-hirarkis dan sepenuhnya dikendalikan oleh rakyat, untuk mengungkapkan aspirasi komunitas pedesaan dan pinggiran perkotaan ke arah kemandirian, keadilan sosial, serta kekuatan kooperatif, kolektif dan komunal.

Teater pembebasan berupaya memerlukan kegiatan artistik di kalangan massa untuk:

    Menjebol gagasan konservatif bahwa seni adalah wilayah eksklusif para praktisi yang istimewa, berbakat tinggi dan trampil, yang berkarya demi kenikmatan segelintir elit, dan
    Memperkaya kehidupan dan memberi wawasan yang penuh arti mengenai realitas eksistensial sebagian terbesar masyarakat, yakni lelaki dan perempuan kelas bawah dari semua sektor 12.

Dengan demikian Teater Pembebasan, membuat pemikir sosial dan organisator menjadi seniman, atau Teater Pembebasan membuat rakyat kebanyakan menjadi seniman, pemikir sosial, organisator dan individu yang mandiri, percaya diri, dan sadar serta prihatin terhadap  komunitasnya. Teater Pembebasan ditegaskan, bukan hendak menelorkan slogan-slogan radikal. Justru manusia bermartabat, santun memikat, mampu dan mau berpikir dengan menaruh hormat pada diri sendiri.

Menurut Eugene, di Filipina para pekerja teater sudah mulai meninggalkan sebutan ACTOR, dan mulai menyebut diringan dengan ATOR yaitu singkatan dari Artist-Teacher-Organizer-Researcher, dengan pengertian bahwa ke-empat unsur funsional itu sama pentingnya. Selain diperhatikan dan dijaga benar agar tetap ada ruang dan waktu yang memadai untuk mengembangkan segi kesenian dan kesenimanan masing-masing.

Dengan demikian, Teater Pembebasan membuat pemikir sosial dan organisator menjadi seniman; atau Teater Pembebasan membuat rakyat kebanyakan menjadi seniman, pemikir sosial, organisator dan individu yang mandiri, percaya diri dan sadar serta prihatin akan komunitasnya.

Teater Pembebasan ditegaskan, bukan hendak menelorkan sosok-sosok revolusioner yang mengacungkan senjata, mengkoarkan slogan-slogan radikal; justru adalah manusia yang bermartabat, santun memikat, mampu dan mau berpikir dengan menaruh hormat pada diri sendiri.6

Referensi di atas jadi acuan kerangka pikiran “Seni Penyadaran” yang dalam proses pameran keliling diperkaya, dipertajam dan dikritisi pada forum diskusi. (lihat catatan pokok-pokok makalah).

Aplikasi metodologi “Seni Rupa Penyadaran” dilakukan bersama anak dan warga dewasa di komunitas berdasar referensi tahap penguasaan media seni rupa berbasis potensi budaya dan material lokal.

1992 hidup di kawasan buruh industri di Rungkut, Surabaya. Mengajar gambar anak-anak buruh serta para buruh perempuan. Tahun 1993  bersama 11 buruh kawan Marsinah dan KSUM-Komite Solidaritan Untuk Marsinah- dibantu LSKBH dan LBH Surabaya, kerjasama dengan Dewan Kesenian Suabaya, mengadakan “Pameran Seni Rupa untuk Marsinah” di Surabaya, memperingati 100 hari terbunuhnya Marsinah. Karya yang dipamerkan berupa: hardboard cut karya 11 buruh, patung figure Marsinah, cetakan semen prasasti gapura jalan dan patung dari jerami figur 12 orang buruh saat interogasi militer yang dibuat bersama 5 mahasiswa seni upa STKW Surabaya. Saat akan pembukaan, pameran  dilarang dibuka oleh pihak militer.

Sejak tahun 2002 sampai 2013, “Seni Rupa Penyadaran” diaplikasikan dengan teori dan metodologi program ECCD –Early Chilhood Care for Development” Holistik  bekerjasama dengan  lembaga swadaya nasional diterapkan di daerah: NTT: Atambua, Kefa, Alor, Rote, Kupang, Maliana –Timor Leste, Papua: Jayapura, Wamena; Kalbar: Sungai Pinyu, Singkawang, Bengkayang, Sambas; Sulawesi: Tentena, Poso, Luwu; Ambon, Masohi-Pulau Seram; Pulau Nias; Sumatera: Aceh, Meulaboh; Jawa: Desa Kebonsari-Pacitan, Desa Sumber-Ponorogo, Pesantren ‘ Arrosyaad’, Balong, Kediri.

Moelyono –pelukis, instalatir,  konsultan partikelir program ECCD Holistik.

Pustaka:

    Katalogus Pameran Seni Rupa Lingkungan “Proses’85” Galeri Ancol, Jakarta, 1985
    Dr.Mansour Fakih: Aksi Kultural untuk Transformasi Sosial, Kata Pengantar buku Seni Rupa Penyadaran, Moelyono, Bentang Budaya Yogya, 1997
    Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas, Jakarta, LP3ES, 1985
    Paulo Freire, Pendidikan Sebagai Praktek Pembebasan, Jakarta: P.T.Gramedia, 1984
    Eugene van Erven, Teater Pembebasan, Citra, Yogya, 1988. Lihat pula Augusto Boal, Theater of The Oppressed, 1974
    Ratna Saptari: “Seni Rupa Dialogis Transformatif”: Beberapa Catatan, Makalah Diskusi, Jakarta, 1988.
    Katalogus: Pameran Seni Rupa Dialogis Transformatif, Yayasan API dan LIPI, Yayasan Kartisarana, Gedung Lingkar Mitra Budaya, Jakarta, 1988.
    Draft naskah: Teater Pembebasan, Augusto Boal, tanpa tahun

Catatan garis bawah dari  makalah-makalah diskusi Pameran Seni Rupa Penyadaran

 I. Makalah Dede Oetomo: Peranan Seni Rupa dalam melepaskan diri dari hegemoni global

    Pendekatan strukturalis dalam ilmu-ilmu sosial (Edward dll) membagi struktur masyarakat menjadi dua:

    1.       Infrastruktur –bangunan bawah : merupakan struktur dasar sosial-ekonomi dari suatu sistem

masyarakat

    2.       Suprastruktur –bangunan atas: terdiri dari pranata-pranata seperti ideologi, hukum, politik, bahasa, budaya dan seni

Bangunan atas dan bawah saling terkait dalam hubungan yang kompleks, masing-masing dengan dinamikanya sendiri. Untuk memahami kompleksitas itu, sebelumnya perlu dipahami bahwa pendekatan strukturalis pada dasarnya menganalsa sistem masyarakat berdasarkan bagaimana proses produksi diatur dalam masyarakat itu. Dasar pemikirannya begini:

    1.       Manusia berprodukdi dengan mengubah suatu benda, bahan mentah dari alam, menjadi obyek lain, dengan menggunakan berbagai macam alat atau sarana produksi.
    2.       Dalam berproduksi itu, manusia sekaligus saling terlibat dalam hubungan sosial tertentu

    Hubungan sosial diantara manusia-manusia dalam suatu masyarakat, gagasan-gasan mereka tentang dirinya sendiri dan dunia di sekitarnya (kesadarannya), dan juga hukum, moralitas, etika dan relijinya hanya dapat dipahami dalam kaitannya dengan cara mereka mengatur kegiatan produksi dan reproduksinya.
        Secara lebih rinci, hubungan sosial produksi dapat dijabarkan sebagai:

    1.       Siapakah yang memilki atau menguasai alat-alat atau sarana produksi ?
    2.       bagaimanakah hubungan langsung di dalam proses produksi antara mereka yang mengerjakan produksi dan mereka yang menikmati surplus hasil produksi ?
    3.       Cara apakah yang ditempuh oleh kelompok yang menikmati surplus itu untuk memperolehnya ?
    4.       Apakah benda-benda diproduksi untuk langsung dipakai ataukah dipasarkan ?

    Suprastruktur dan Infrastruktur saling berkait dengan memahami kecenderungan dalam budaya yang terkait dengan keadaan hubungan sosial-ekonomi masyarakat.
    Ajuan tesis: bahwa seni rupa di dalam suatu masyarakat pun tidak dapat lepas dari hubungan sosial produksi yang ada. Standard seni rupa kerapkali ditentukan oleh mereka yang berkuasa secara sosial-ekonomi di suatu masyarakat. Penentuan standard itu bisa secara mikro dan makro.
    Antonio Gramsci (1891-1937) mengemukakan suatu konsep yang menjelaskan penguasaan baik proses produksi itu sendiri dan sekaligus hal-hal non-fisik : ideologi, hukum, seni dll, yaitu: hegemoni.
    Dalam dunia budaya saat ini terdapat hegemoni dan mereka yang menguasai sarana dan proses produksi sekaligus menguasai hal-hal non fisik.
    Persoalan intinya adalah: kalau diperhatikan salng keterkaitan infrastruktur dan suprastruktur atas hegemoni yang mana dulu dilepaskan ? Ide Gramsci mengandaikan suatu perubahan sosial ekonomi di bangunan bawah dengan kemungkinan bangunan atas –suprastruktur- dipakai untuk mengubah infrastruktur.
    Melalui budaya orang dapat disadarkan akan tidak adilnya hubungan sosial produksi yang ada di bangunan infrastruktur.  Tentu saja orang tidak berhenti pada sadar saja, tetapi kemudian melakukan sesuatu. Namun dalam masyarakat modern yang serba spesialis, mungkin tugas pekerja seni memang terbatas di situ; yaitu mengubah kesadaran, membuat mereka yang terhegemoni menyadari adanya hegemoni tu dan barulah melepaskannya.

II. Makalah Goerge Junus Aditjondro: Pendidikan bersama anak-anak atau pendidikan tentang anak-anak? Pendidikan bersama orang miskin atau tentang orang miskin?

    Antonio Gramsci: ……“karena semua tindakan manusia punya nilai politis, tak dapatkah kita simpulkan bahwa filosofi seseorang secara utuh tersirat dalam tindakan-tindakan politisnya”
    Pedagogi Paulo Freire: Kodifikasi: representasi visual yang sangat sederhana dan mudah ditangkap, yang dapat dianalisa bersama oleh seluruh warga.
    Dalam metode asli Freire:  Kodifikasi berbentu gambar karya seniman Brasil: Francisco Brenand, yang ditransfer ke slide. Pemilihan tema-tema pokok yang akan dijadikan bahan kodifikasi, si calon pendidik harus melakukan penelitian dibantu beberapa ahli ilmu-ilmu sosial dan asisten peneliti dari warga desa. Barulah kemudian dibuat proses thematic investigation.
    Proses selanjutnya dari kodifikasi dalam bentuk slide adalah tahap “pendidikan yang mempermasalahkan” –problem posing education- atau problematizing pedagogi-
    Pembahasan (hasil) kodifikasi ini yang disebut dekodifikasi bukanlah sekedar pembahasan pemecahan masalah –problem solving- secara teknis.
    Kodifikasi itu diperlukan supaya orang-orang yang terlibat dalam masalah itu, dapat mengambil jarak dari permasalahan itu, kemudian mengupas struktur permukaan –surface structure- dan struktur dalam –deep structure-nya, serta dialektika dan kesatuan diantara struktur permukaan dan struktur dalam itu.
    Dekodifikasi berbeda dari tes-tes proyektif yang dikenal dalam penelitian antropolog. Sebab tujuannya bukanlah sekedar mengungkapkan taksonomi atau menggali persepsi-persepsi masyarakat tentang suatu masalah, melainkan merangsang serangkaian diskusi yang mendalam untuk menggali akar-akar permasalahan, kemudian merencanakan aksi.
    Seringkali diskusi-diskusi dekodifikasi ini hanya berhenti di “struktur permukaan” dan tidak terus menggali “struktur dalam”. Menghadapi “kemacetan” begini, Freire menganjurkan penggunaan proyeksi simultan dari bebera slide yang saling berhubungan.
    Freire mengingatkan: si pendidik dilarang keras memaksakan agendanya kepada kelompok masyarakat di mana ia bekerja. Gejala ini yang disebut manipulasi atau “invasi budaya” –cultural invation”, merupakan penyakit kronis dari para intelektual kelas menengah yang secara tidak sadar sudah terbiasa dengan pola “atas-bawah” selama pendidikan mereka sendiri di rumah maupun di sekolah. Juga bahaya manipulasi yang lain: manipulasi laki-laki dan perempuan dan bahaya manipulasi antar budaya.
    Mahatma Gandhi yang masih memikirkan dan mempraktekkan suatu pola pendidikan dasar yang tidak mengasingkan anak-anak didik dari total produktifitas keluarga, desa dan bangsa.
        Dalam ashram yang dirintis dan dibangun oleh Gandhi, mulai dari Pertanian Komunal “Burung Merak” yang didirikannya di Natal, Afrika selatan, tahun 1904 sampai dengan di Ashram Sabarmati di luar kota Ahmedabad di india, pekerjaan tangan menjadi inti atau ‘poros’ dari seluruh kurikulumnya. Khususnya kerajinan memintal benang dan menenun kain belacu India yang sederhana (khadi), yang dibarengi dengan penanaman kapas. Dengan cara itu, ada beberapa sasaran yang dicapai Gandhi, yakni:

    1.       Penggemblengan mental para anak didik itu sendiri, peluluh kesenjangan penghargaan pada pekerjaan tangan dibanding dengan pekerjaan otak
    2.       Pembebasan ketergantungan India pada kain impor Inggris
    3.       Serta pendidikan dasar-dasar  perjuangan politik yang berlandaskan prinsip-prinsip Ahimsa –tanpa kekerasan- dan Satyagraha –pembangkangan sipil-

    Pelajaran menanam kapas, memintal benang dan menenun kain dijadikan batu loncatan Gandhi untuk mengembangkan pengetahuan berhitung, pengetahuan tentang kemampuan tanah, pengetahuan tentang jenis-jenis kapas, pengetahuan tentang bagaimana maskapai-maskapai multinasional tekstil Inggris  di Manchester yang merajai  pasaran tekstil dunia, serta pengetahuan tentang etika dan taktik politik untuk membangun kekuasaan rakyat (lokimiti) sebagai pengimbang kekuatan negara (rajiniti).

1 komentar:

  1. Apa kabar, pak Mul. Baru saya lihat nih blog nya pak. :)

    BalasHapus