Labels

Minggu, 06 September 2015

FILM DOKUMENTER "NGAGOROWOKKEUN GAOK"

“Ngagorowokkeun Gaok” adalah film dokumenter tentang bagaimana menyelamatkan tradisi lisan Gaok dari kepunahan. Jalan Teater melakukan revitalisasi Gaok dengan melakukan riset, investigasi masalah, dan bermaksud mementaskannya kembali ke publik dengan melakukan transformasi dan interaksi dengan kesenian kontemporer. Bisakah hal itu terjadi? Bagaimana proses itu berlangsung dan apa kesulitan dan rintangan yang akan dihadapi? Semua kami bicarakan dalam film dokumenter ini. Film yang merekam sebuah proses transmisi seni tradisi, proses penciptaan seni, proses revitalisasi yang inspirasif bagi siapapun yang peduli terhadap kesenian tradisi.
Di Indonesia, kesenian tradisi banyak ditinggalkan sebab aktifitas masyarakat telah berubah. Globalisasi lambat laun telah membuat masyarakat meninggalkan budaya lokal. Beberapa kesenian tradisi mencoba bertransformasi, berubah, menyesuaikan dengan zamannya dan begitu banyak kesenian tradisi yang dilupakan, ditinggalkan, dan akhirnya punah tak terselamatkan.
Kesenian tradisi Gaok salah satu yang terancam punah. Tradisi lisan asal Majalengka Jawa Barat ini telah tercerabut dari aktifitas masyarakatnya. Gaok adalah tradisi lisan yang mementaskan sebuah wawacan (cerita berima) yang dilantunkan dengan pupuh. Teks cerita tersebut dibawakan oleh seorang dalang dengan dinyanyikan. Berbeda dengan nyanyian pupuh lainnya, seni Gaok memiliki ciri khas pada suara melengking (ngagaok) dan saling balas alukan (komentar atau improvisasi suara) yang dilakukan oleh hampir 18 orang. Musik yang mengiringinya pun hanya sebilah bambu yang ditiup pada lubang dandang.
Bentuk pertunjukan yang tidak lagi kontekstual untuk zaman sekarang membuat kesenian ini tidak lagi digemari dan dipentaskan. Akibatnya penurunan ilmu (transmisi) pada anak muda (generasi selanjutnya) menjadi sulit dilakukan. Kini hanya tinggal satu orang yang bisa memainkan kesenian Gaok, yakni Abah Rukmin (70th) yang tinggal di Ds. Kulur Kec. Majalengka Kab. Majalengka. Abah Rukmin menjadi satu-satunya juru Gaok yang tersisa di Majalengka. Sehingga dapat dikatakan bahwa Gaok berstatus hampir punah. Sementara kesenian ini sebenarnya merupakan ikon kesenian khas Majalengka yang memuat kearifan masyarakat dan sejarah kota Majalengka.
Dari sana, Jalan Teater melakukan upaya revitalisasi pada kesenian tradisi ini. Kami mencoba mementaskan Gaok dengan sajian yang lebih menarik. Gaok sebagai kesenian tradisi akan berinteraksi dengan kesenian kontemporer. Kesenian kontemporer yang dihadirkan adalah hasil transformasi dan modifikasi dari Gaok. Hal ini dimaksudkan agar Gaok dapat dihadirkan kembali kehadapan publik dengan kemasan yang menarik, dan substantif.
Proses revitalisasi terhadap kesenian tradisi menjadi sulit dilakukan sebab tidak adanya metode dan contoh yang kontekstual dan komprehensif. Dari peluang ini, Jalan teater akan mendokumentasikan proses revitalisasi Gaok melalui film dokumenter. Film ini akan merekam proses riset dan pendalaman Gaok, proses transmisi (penurunan) Gaok, serta transformasi, eksplorasi, dan modifikasi Gaok. Sehingga diharapkan film dokumenter menumbuhkan kesadaran publik pada seni tradisi, dan menjadi referensi untuk menjawab pertanyaan tentang bagaimana cara menyelamatkan tradisi dari kepunahan.
Gaok menyimpan sejarah dan kearifan lokal masyarakat Majalengka. Kesenian tradisi ini patut kita selamatkan.

NGAGOROWOKKEUN GAOK: SIMBAR KANCANA NGADEG RAJA



KONSEP GARAP

Gaok dan Inovasi
Gaok adalah kesenian Majalengka Jawa Barat yang hampir punah. Memasuki tahun 2000-an, Gaok sudah jarang dipentaskan. Masyarakat tak lagi menganggap Gaok sebagai sebuah kesenian yang menghibur. Selain itu, para penutur Gaok sudah mulai berkurang. Para penutur Gaok sudah banyak yang meninggal, sebagian masih hidup tetapi sudah tidak aktif lagi karena faktor usia yang sudah sangat tua, berusia 70 tahun lebih. Di desa Kulur, tempat Gaok berkembang, penuturnya hanya sekitar 3 orang lagi. Menurut Rukmin, sang dalang Gaok, generasi muda sekarang tidak ada yang memiliki keinginan untuk melanjutkan. Selain itu anak muda juga mengaku tidak bisa mempelajari Gaok karena susah.
Gaok adalah seni membaca atau menyanyikan wawacan. Dalam wawacan tersebut banyak nilai-nilai yang dapat diambil pelajaran oleh masyarakat. Wawacan yang dibawakan dalam seni gaok berbentuk pupuh yang berjumlah tujuh belas. Namun yang lebih banyak dinyanyikan adalah Kinanti, Sinom, Asmarandana, dan Dangdanggula. Wawacan yang sering dibawakan adalah Cerita Umar Maya, Sulanjana, Barjah, Samun, Nyi Rambutkasih dan Talagamanggung.
Gaok merupakan kesenian partisipatif dan komunal. Pertunjukan rakyat yang komunal. Gaok memiliki ciri khas dalam menyampaikan makna cerita di dalam keseniannya. Dari sini celah untuk menyelamatkan Gaok dari kepunahan menjadi sangat memungkinkan.
Gaok mempunyai sistem tersendiri dari mulai cerita dan cara menyampaikannya. Rukunnya itu dari doa pembuka, gamelan pembuka/tatalu, kalimat pembuka, lagu pembuka, baca cerita, aluk dan bodoran, kalimat penutup dan doa penutup.
Metode partisipatif di dalam Gaok diwujudkan dalam bentuk metode penyampaian makna dari para pemain Gaok yang dibagi menjadi empat peran sebagai berikut.
  1. Tukang Ngilo, berperan membaca wawacan syair demi syair dalam tempo sedang dengan artikulasi yang jelas,
  2. Tukang Ngajual, berperan untuk mengulang syair wawacan yang dibacakan oleh Tukang Ngilo,
  3. Tukang Meuli, berperan untuk melanjutkan syair wawacan yang dibacakan oleh Tukang Ngajual dengan tambahan ornamen-ornamen,
  4. Tukang Naekeun, berperan untuk melanjutkan syair Wawacan yang dibacakan oleh Tukang Meuli, dengan improvisasi suara melengking dan meliuk-liuk disertai dengan ornamentasi yang lengkap, sehingga artikulasi syair yang disajikan Tukang Meuli agar terdengar sayup sayup.
Metode tersebut bersifat repetitif dan improve. Metode itu akan diterapkan pada penonton, sehingga penonton bukan lagi sebagai ‘audience’ yang memiliki jarak dengan pementasan, melainkan menjadi ‘listener’ yang terlibat dalam pementasan. Penonton akan ditransformasi menjadi penonton aktif; menjadi pemusik, terlibat sebagai pembangun peristiwa, serta berperan memperkuat konstruksi artistik.
Tantangannya terkait inovasi di dalam teater adalah bagaimana metode ngilo, ngajual, meuli, naekeun itu menjadi metode partisipatif penonton dalam pementasan.
Pementasan ini nantinya akan dikembangkan secara bentuk dan metode dari cerita wawacan Simbar Kancana Ngadeg Raja: Fragmen Talaga Manggung (1999). Selain menembangkan cerita, visual gerak akan ditampilkan untuk mendukung pergelaran ini. Visual gerak hadir untuk menciptakan imaji peristiwa yang ditembangkan. Ruang penonton akan menjadi bagian dari konstruksi artistik sehingga ruang panggung dan ruang penonton menjadi kesatuan ruang peristiwa. Tujuan yang ingin dicapai dari pergelaran ini adalah terciptanya penyampaian cerita secara langsung, tubuh mengalami, dan partisipatif.
Pementasan ini berupaya untuk memperkenalkan Gaok kepada masyarakat Jawa Barat dan mengaktualisasikan kembali fungsinya sebagai kesenian yang partisipatif. Metode peran berupa Ngilo, Ngajual, Meuli, dan Naekeun yang menempatkan pemain dan penonton sebagai unsur pembangun pementasan, memungkinkan kesenian ini menjadi mudah dipahami. Teater sebagai sebuah bingkai dapat menciptakan transmisi dan transformasi kesenian Gaok pada masyarakat.


CATATAN SUTRADARA

Interaksi Tradisi Lisan Gaok dan Teater Kontemporer
Karya inovatif ini berjudul “Simbar Kencana Ngadeg Raja”. Sebuah pertunjukan yang menginteraksikan tradisi lisan Gaok dengan teater kontemporer.
Sifat interaksi adalah saling melakukan aksi. Hadirnya beriringan. Wujudnya bisa saling berhubungan bisa tidak, bisa saling memengaruhi juga bisa tidak. Hal-hal yang dualistik ada kalanya tetap berdiri sendiri, keduanya bisa diakui keberadaanya secara bersamaan. Secara substansial berupaya tidak saling mereduksi satu sama lain. Melainkan, saling menguatkan atau menawarkan ruang ekspansi pemaknaan. Ada kalanya, dalam beberapa peristiwa, hal-hal yang dualistik (tradisi & modern) melebur menjadi entitas baru.
Berdasar pada pemikiran Prof. Jakob Sumardjo ikhwal elaborasi seni tradisi dengan seni modern; menghadirkan kontradiksi antara seni Gaok (tradisi) dan Teater (modern) bisa beragam cara. Setidaknya, ada dua cara yang bisa ditempuh. Pertama, sepenuhnya dengan cara berpikir modern. Kedua, dengan cara berpikir primordial yang paradoks.
Cara pertama menggunakan logika Aristotelian. Menolak adanya kemungkinan ketiga dari suatu kontradiksi yang menjadi dasar berpikir modern. Dualisme kebenaran yang saling bertentangan harus diambil tunggal dari salahsatunya. 
Sedangkan cara kedua, merupakan cara berpikir primordial yang paradoks. Yang tradisional dan modern tetap diakui keberadaannya juga kebenarannya. Tidak ada yang diunggulkan, tidak ada yang dikalahkan, tidak ada yang dimenangkan, tidak ada yang ditolak.
Berdasarkan pemahaman itu, saya lebih memilih cara yang kedua. Melakukan upaya transformasi sekaligus menyertakan hipogramnya. Dalam proses penciptaan karya ini, seni Gaok (tradisi) dan teater kontemporer (modern), berpotensi memunculkan kreasi baru (kemungkinan ketiga, yaitu paradoks). Entitas baru yang paradoksal itu, modern-tradisional atau tradisional-modern; sakral yang profan atau profan yang sakral, keduanya hadir beriringan. 
Bertolak dari sana, saya ingin menawarkan konsep pertunjukan yang di dalamnya terdiri dari hipogram berikut transformasinya. Keduanya hadir beriringan. Hipogramnya adalah seni tradisi gaok yang terdiri dari teks (wawacan), konteks (ritual: syukuran, hajatan, ruwatan) dan koteksnya (nembang: auditif, partisipatif). Sedangkan transformasinya adalah teater kontemporer yang terdiri dari teks (laku peristiwa, verbal/non verbal tubuh), konteks (relasi cerita dengan situasi kekinian: simpati, refleksi, argumentasi, negasi), koteks (audio dan visual: empati, alienasi, partisipatif). 
Dalam pementasan ini, berharap seni tradisi tidak sepenuhnya tercerabut dari akarnya. Melainkan, seni tradisi akan dibiarkan tumbuh sambil menerima bentuk-bentuk seni pertunjukan modern.


SINOPSIS
Naskah wawacan Simbar Kancana Ngadeg Raja: Fragmen Talaga Manggung (1999), mengisahkan peristiwa kerajaan Talaga Manggung yang mulanya damai dan sejahtera harus mengalami kekisruhan. Kerajaan Talaga Manggung ini adalah salahsatu kerajaan yang menjadi cikal bakal kabupaten Majalengka. Kerajaan Talaga Manggung (Kerajaan di bawah Galuh) dipimpin oleh seorang Raja yang tersohor. Ia memiliki dua orang anak yaitu Raden Panglurah dan Putri Simbar Kancana.
Cerita bermula dari adegan sayembara adu sakti yang ditujukan untuk mencari pasangannya Simbar Kancana. Pemenangnya adalah Palembang Gunung. Setelah menikah, Palembang Gunung berkhianat, ia melakukan upaya pembunuhan terhadap Raja Talaga Manggung melalui Centang Barang seorang penjaga benda pusaka kerajaan. Centang Barang yang sudah termakan bujuk rayupun membunuh Raja dengan senjata bernama “Cis”, senjata pusaka Raja.

Kejadian tersebut membuat kerajaan bersedih. Palembang Gunung mengumumkan bahwa yang membunuh Raja adalah Centang Barang.  Centang Barang pun lari ketika dirinya hendak ditangkap. Tak lama kemudian misteri yang sebenarnya terungkap, bahwa otak pembunuhan adalah Palembang Gunung. Akhirnya Simbar Kancana bersiasat untuk menjebak Palembang Gunung. Jebakan itu berhasil, dibunuhlah Palembang Gunung oleh Simbar Kancana. Simbar Kancana pun memimpin kerajaan dan menikah lagi dengan pejabat kerajaan Galuh, seorang pangeran yang menolong Simbar Kancana ketika menangkap Centang Barang.   

KONSEP NEO-TRADISI: INTERAKSI GAOK DAN TEATER “SIMBAR KANCANA NGADEG RAJA”

TANDA VERBAL
(Kata, Dialog)
Dialog
Penggunaan fungsi dialog secara konvensional, yaitu sarana primer penyampai peristiwa, memperlihatkan kontrakdiksi pikiran, sikap dan tujuan antar watak tokoh. Melalui dialog, rangkaian plot digerakan oleh konflik dan perkembangannya dibingkai oleh kausalitas yang tegas.
Poetical
Sebuah bentuk penyandian pesan melalui ekspresi puitik, sebagai cara untuk mensublimasi pernyataan atau pesan yang bersifat diskursif. Ini sebuah upaya untuk menyelaraskan kekuatan pertunjukan yang lebih bersifat ekspresi rupa, bukan ruang wacana. Cara mengubah pernyataan verbal ke dalam bentuk metaforis. Di dalam realitas pertunjukan, berfungsi untuk mengubah sinyal verbal menjadi suasana kontemplasi. Hal ini juga ditandai oleh perubahan tanda fisikal, visual, piktorial, dan aural. Pada momen “poetical” cahaya menjadi lebih sublim dan gerak tubuh menjadi lebih intens.
TANDA FISIKAL
(Wajah, Tubuh, Gerak)
Atributif Tubuh
Tubuh aktor ditampilkan sebagai representasi sifat. Misal: tubuh perempuan ditampilkan dengan gestur lembut, gemulai, ritmik, juga sebagai tubuh seduktif (menggoda); tubuh laki-laki ditampilkan melalui gestur kuat, kasar, agresif, juga sebagai tubuh posesif (menguasai).
Bahasa Piktografik
Komposisi gambar melalui aksi performatif aktor, sebagai representasi dari sintaksis kalimat. Pertunjukan piktografik menunjukan sebuah strategi pemanggungan untuk menyampaikan informasi verbal melalui persuasi piktorial. Aksi performatif aktor menunjukan dua lapis makna: makna manifest dan makna laten. Makna manifest adalah arti harfiah; makna laten adalah lapisan asosiatif gambar yang menumbuhkan sublimasi makna.
TANDA VISUAL
(Kostum, Props)
Distorsi Bentuk
Berupa pembesaran, pemiripan, pemilihan material, pengubahan proporsi dan penganehan rupa, yang diterapkan untuk menampilkan ketidaklaziman visual, serta menajamkan sifat bentuk sebagai objek tontonan.
TANDA PIKTORIAL
(Tata Cahaya)
Theatricalizing
Penggunaan warna-warna kontras dengan intensitas cahaya yang melebihi kebutuhan proporsi visual yang selaras. Teknik ini digunakan untuk meningkatkan efek teatrikal adegan yang sudah dikondisikan oleh kekuatan aural dan komposisi piktorial. Yang ditekankan oleh teatrikalisasi cahaya ini adalah menarik kesadaran penonton secara terus menerus, untuk melihat ruang pertunjukan sebagai realitas tontonan ‘hic et nunc’ (kini dan di sini).
TANDA AURAL
(Musik, Bunyi, Suara)
Geographical Quality
Menggunakan asumsi bahwa bunyi dan suara mencerminkan rasa budaya suatu masyarakat. Dalam konteks ini, komposisi musik yang digunakan dalam pertunjukan mempertimbangkan pemilihan ciri-ciri bebunyian yang akrab dengan telinga penonton setempat, sehingga makna auditifnya dapat dipahami menurut kesadaran geografis penonton. 
Logos Pertunjukan
Musik berfungsi sebagai pengarah pengadegan, juga menjadi tanda perubahan intensitas dramatik dan peralihan suasana. Musik juga dibaca oleh para aktor dan awak artistik sebagai ‘petunjuk utama’ dalam membangun respons, relasi, intensitas dan aksentuasi peristiwa dramatiknya.




Sabtu, 20 Desember 2014

PENTAS TEATER "MORITO DAN DUA PELAYAN DI RASHOMON"

Selasa (16 Desember 2014), kami telah menggelar pertunjukan teater "Morito dan Dua Pelayan di Rashomon" di Japan Foundation, Jakarta. Cerita ini ditulis oleh Zulfa Nasrulloh hasil adaptasi dua cerpen karya Ryonosuke Akutagawa berjudul "Rashomon" dan "Kesha dan Morito".Berikut susunan lengkap tim pentas yang mendukung pementasan ini.

Sutradara             : Ridwan Saidi dan Sahlan Bahuy
Penulis naskah    : Zulfa Nasrulloh
Aktor                   : Rangga Rahadian Diaguna (Morito), Fuad Jouharudin (Pelayan 1), Yokeu Darisman (Pelayan 2)

Penata Artistik     : Dwi Aryanto Arnando
Penata Lampu      : Surya Dwi Shanty
Penata Musik       : Gugum
Tim Dokumentasi: Farid Shobri
Tim Produksi       : Femia Yamaniastuti, Sisil dan Acil


Foto latihan "Morito dan Dua Pelayan di Rashomon"


Mengingat wacana yang diusung di pementasan ini sangat relevan dengan konteks kekinian maka rencananya tahun depan kami akan mementaskan kembali karya ini di beberapa kota di Indonesia. Berikut sekilas pengantar tentang karya ini yang ditulis oleh penulis naskah.

Bagaimana moral dibentuk? Setiap komunal akan dihadapkan pada diri dan keadaan yang menderanya. Kualitas subyek memengaruhi bagaimana sikap dalam menghadapi keadaan (ideologi abstrak). Ide bagi saya adalah proses dialektis ruang dan subyek. Pada bagian ini saya merasakan benturan hebat antara sejarah, subyek, dan ruang hidup. Dalam sudut pandang orang Indonesia, kebudayaan Jepang adalah ruang dialektis, ide yang perlu diproduksi dalam ruang hidup saya (present context). Di sinilah benturan moralitas saya dan moralitas sejarah Jepang berbenturan secara dialektis.  

Morito dan Dua Pelayan di Rashomon adalah naskah yang dibuat dari benturan itu. Saya membaca kumpulan cerpen Rashomon karya Ryonosuke Akutagawa dan menemukan moralitas di dalamnya. Dua cerpen itu adalah cerpen Kesha dan Morito dan Rashomon. Dua cerpen ini saya kembangkan setiap tokohnya dan mempertemukannya dalam satu cerita, latar, dan waktu yang sama. Ajaibnya tokoh-tokoh yang saya hidupkan itu memuculkan ide Akutagawa dalam mengangkat problema sosial Jepang masa kehancuran Kyoto.

Kehancuran yang dimaksudkan Akutagawa bukan sekedar material. Tapi juga kehancuran eksistensi dan moral masyarakat Kyoto saat itu. Seorang perempuan yang tercerabut eksistensinya ketika tubuh dan nafsu kemanusiaannya diketahui oleh orang lain. Seorang lelaki yang mendapatkan ketegangan eksistensi saat berhadapan dengan janji (human useful), cinta (human basic), dan kemanusiaan (humanities). Seorang pelayan yang tercerabut eksistensinya saat pekerjaannya (moral grip) tercuri dan keadaan mendera tubuh, pikiran dan hatinya.

Tokoh-tokoh yang saya hidupkan kembali itu, mengajak saya berkaca pada kondisi masyarakat kekinian. Mereka hidup di ruang saya (present context) dan anggapan saya mereka pun akan hidup di ruang pembaca. Di mana tegangan sejarah dan kekinian sebenarnya hanya pengulangan. Moralitas di ruang yang berbeda itu sebenarnya sama-sama bergeser, semua menjadi bermoral saat berhadapan dengan tekanan-tekanan kehancuran.