Labels

Senin, 09 September 2013

XXL: Melihat Seni Rupa Indonesia dengan Perspektif Ukuran


Teks & foto: Jaya Liem | Editor: Intan Larasati

Dalam setahun dua tahun belakangan ini, ada kecenderungan baru di kalangan pemilik museum pribadi di dunia untuk mengakuisisi karya-karya seni berukuran besar sembari membangun ruang pamer yang mampu mengakomodasi karya-karya itu. Alasan di balik kecenderungan ini, menurut mereka, adalah untuk memberi kesempatan kepada publik untuk bisa menikmati karya-karya seni berukuran besar. Hal ini dikarenakan kebanyakan museum-museum konvensional tidak memiliki koleksi karya seni berukuran besar akibat ruang pamer yang tidak memadai untuk mempresentasikan karya-karya tersebut.

Permasalahan ruang pamer yang memadai, dalam artian ukurannya, memang sering menjadi permasalahan dalam perhelatan seni rupa kontemporer saat ini. Karya seni semakin lama semakin besar, namun kebanyakan ruang pamer masih berukuran sama. Untuk mengatasi permasalahan ruang pamer itu, seringkali akhirnya karya-karya berukuran besar dipamerkan di ruang-ruang publik seperti mal, gedung perkantoran, bandara, bahkan gudang. Sekilas memang masalah ini terpecahkan, namun jika karya tersebut membutuhkan perlakuan khusus, baik dalam segi materialnya ataupun keamanan karena sifatnya yang rapuh, maka penggunaan ruang publik ini tidak bisa menjadi solusi. Apalagi kondisi di ruang publik yang biasanya ramai, bisa jadi juga akan mengganggu publik yang ingin menikmati karya tersebut.


Selama satu bulan penuh, mulai dari tanggal 12 Agustus sampai 12 September 2012 lalu, Jogja Contemporary menyelenggarakan pameran bertema “XXL: State of Indonesian Art” di Sangkring Art Space, Yogyakarta. Sesuai dengan temanya, pameran yang dikuratori oleh Valentine Willie ini memang menghadirkan karya-karya seni berukuran besar dari 15 seniman kontemporer terkemuka Indonesia yaitu: Agus Suwage, Arahmaiani, Budi Kustarto, Eko Nugroho, Handiwirman, Heri Dono, Jumaldi Alfi, M. Irfan, Mella Jaarsma, Nasirun, Nindityo Adipurnomo, Putu Sutawijaya, Tisna Sanjaya, Ugo Untoro, dan Yusra Martunus.

Alasan utama Valentine Willie untuk mengadakan pameran ini adalah karena beberapa tahun belakangan ini sangat jarang publik bisa melihat karya-karya para seniman ini dipamerkan di Yogyakarta akibat padatnya jadwal pameran mereka di luar Yogyakarta dan/atau di luar negeri. Alasan kedua adalah karena jarang sekali seniman-seniman tersebut berkesempatan untuk berpameran bersama-sama, sehingga jarang juga terlihat karya mereka dipamerkan berdampingan. Sedangkan alasan ketiga adalah karena ruang pamer besar yang dimiliki Sangkring memberi kesempatan bagi para seniman yang terlibat untuk membuat karya-karya berukuran besar dan bisa dipamerkan.

Kesempatan untuk membuat karya berukuran besar rupanya sudah ditunggu oleh beberapa seniman. Jumaldi Alfi menyatakan bahwa kesempatan untuk membuat lukisan yang berukuran besar merupakan sebuah tantangan besar karena dalam proses pembuatannya dibutuhkan kemampuan khusus dalam hal penguasaan areal kanvas. Budi Kustarto juga menyatakan merasa senang mendapat kesempatan membuat karya berukuran besar, karena terakhir kali dia membuat karya berukuran besar adalah pada tahun 1998 ketika mengerjakan lukisan dinding untuk sebuah klub di Swiss.


Karya-karya berukuran besar yang dipamerkan dalam pameran ini memang tidak semuanya karya baru yang dibuat khusus untuk pameran ini. Karya Agus Suwage yang berjudul “Monumen yang Menjaga Hankamnas” sebelumnya pernah dipamerkan dalam pameran tunggalnya di Galeri Nadi, Jakarta bulan April lalu. Demikian juga dengan karya obyek Handiwirman yang pernah dipamerkan di Galeri Nasional Jakarta pada akhir Maret tahun lalu, karya Mella Jaarsma yang pernah dipamerkan di ART|JOG|12, karya Nindityo Adipurnomo yang pernah dipamerkan di Galeri Semarang, dan karya Eko Nugroho, serta karya Yusra Martunus yang juga pernah dipamerkan sebelumnya.

Dalam tulisan pengantar pameran, Valentine Wilie menyatakan bahwa ukuran telah memainkan bagian yang penting dalam sejarah seni rupa, dan sensasi dari karya seni monumental mencerminkan kualitas kreativitas yang luar biasa mengagumkan dalam merepresentasikan pengalaman manusia. Karya-karya demikian melalui bentuknya yang sangat fisik mampu menunjukkan pernyataan dan kritik yang sangat kuat mengenai sistem kontrol, dominasi, dan otoritas yang seringkali dalam konteks agama, spiritualitas, pemerintah dan rakyat.

Pameran XXL mengambil peran sebagai titik awal kemampuan karya-karya tablo dan bernarasi besar untuk mengobservasi, mewakili, dan menginterogasi keadaan bangsa. Untuk mengantisipasi berbagai pendekatan yang merangkai kritik pribadi dan publik, humor, idealisme, peringatan, dan observasi mengenai ide-ide kebangsaan, komunitas dan realitas politik, pameran ini ditujukan untuk menghadirkan percakapan visual tentang situasi kontemporer Indonesia saat ini.


Dalam salah satu esai yang dimuat di katalog pameran, Amir Sidharta mengatakan bahwa pameran ini tidak hanya menghadirkan karya-karya dengan ukuran/skala fisik yang monumental. Ada banyak ukuran/skala lain yang bisa dibaca seperti skala kesejarahan dalam lukisan Budi Kustarto yang berjudul “War”, skala leluhur dalam karya bordir Eko Nugroho yang berjudul “My Father’s Portrait” dan “Fighter”, skala kognitif dalam seri karya obyek Handiwirman yang berjudul “Tak Berakar, Tak berpucuk”, skala moral dalam lukisan Heri Dono yang berjudul “The loyal Barong”, skala binatang dari karya instalasi Mella Jaarsma yang berjudul “Animals Have No Religions – Indra I”, skala informasi dari karya Nasirun yang berjudul “Mbah Google”, dan seterusnya.

Pameran XXL direncanakan akan diselenggarakan setiap tahun pada bulan Agustus yang merupakan bulan monumental dalam sejarah bangsa Indonesia. Dengan pameran ini diharapkan akan semakin dipahami bahwa Indonesia merupakan negara yang besar, yang sarat dengan keragaman dan kekayaan budaya. Selain itu, dalam jangka panjang, diharapkan juga dapat dilihat dialog yang terbentuk di antara para seniman yang terlibat dalam pameran ini dalam hal ide, kompetisi, dan sebagainya.

Jaya Lim Jaya Lim
Lulus dari Fakultas Hukum UGM program kekhususan HaKI. Aktif terlibat dalam skena musik lokal dan gerakan DIY pada pertengahan 90-an sampai awal 2007, sementara juga bekerja sebagai sound engineer, perancang grafis, kontributor zine, dan pemilik clothing label. Sejak tahun 2007 bekerja sebagai manajer proyek seni rupa lepas dan sound designer.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar