Oleh Toni Shapiro-Phim
Penari dan organisasi kesenian di Kamboja bereaksi terhadap konteks kontemporer yang meliputi perkembangan pesat dan juga kenangan akan masa lalu penuh kekerasan yang berakibat fatal. Semasa rezim Khmer Rouge (1975-1979) nyaris sepertiga penduduk Kamboja tewas. Banyak penari yang terlatih secara profesional menemui ajal; hanya 10-20 persen selamat dari genosida tersebut. Akibat begitu banyaknya pengetahuan yang turut lenyap, selama 30 tahun terakhir instansi pemerintah yang bertanggung jawab atas bidang kesenian memusatkan perhatian pada pelestarian warisan seni tari tradisional Kamboja. Di mata mereka, inovasi gaya merupakan ancaman terhadap upaya menghidupkan kembali kesenian Kamboja. Karena itu, sumber utama kreativitas di lingkungan penari profesional di Kamboja kini dapat ditemukan di kalangan penari dari generasi yang lebih muda, yang berguru kepada orang-orang yang selamat dari genosida – yang telah menari sebelum perang – dan pengikut mereka. Meskipun beragam kegiatan tari terus berlangsung di pusat-pusat kesenian lingkungan, upacara desa maupun festival, tinjauan ini terfokus semata-mata kepada upaya-upaya seniman profesional di Phnom Penh dewasa ini.
Repertoar tradisional dan tema-tema lama
Di luar bidang pendidikan dan pertunjukan khazanah tradisional karya-karya klasik dan kerakyatan, kegiatan seni tari yang mendapat bantuan pemerintah meliputi pementasan kembali dan upaya melengkapi karya-karya yang semula belum rampung serta penyusunan koreografi tari baru untuk kegiatan upacara kenegaraan dan festival. Tarian-tarian ini terutama mengacu kepada perbendaharaan gerakan klasik dan kerakyatan, dan menampilkan tema-tema berdasarkan adat-istiadat. Fokus kepada nirwana, monarki atau konteks mitologis-historis pada repertoar klasik maupun karakter desa, permainan dan ritual pada tarian rakyat sama-sama tertampung. Ini berarti bahwa meskipun karya-karya kontemporer tetap diproduksi di lembaga-lembaga kesenian milik negara, termasuk di Universitas Kerajaan untuk Seni Rupa, biasanya hanya adegan dan kisah tertentu saja yang memang 'baru'.
Robam Sahasamay – seni tari kontemporer
Sampai baru-baru ini diskusi di dalam negeri mengenai seni tari Kamboja terutama menyoroti “tradisi”. Meskipun pembaharuan merupakan ciri bahkan pada praktik pementasan tradisional sekali pun, para penari Kamboja baru pada tahun-tahun terakhir mulai menerjemahkan istilah “tari kontemporer” sebagai sahasamay (modern/masa kini) robam (tari). Dengan demikian mereka menekankan bahwa ini mewakili suatu rekaan baru yang didukung oleh mereka. Namun para koreografer Kamboja beserta lembaga-lembaga yang mendukung pekerjaan mereka masih sering berkonsentrasi pada permasalahan seputar identitas dan sejarah nasional, dan dipengaruhi oleh wacana tradisionalis.
Permasalahan identitas dan ketegangan di antara tradisi dan inovasi bahkan mempengaruhi keputusan artistik seniman asing yang berkolaborasi dengan penari-penari Kamboja. Pada tahun 2008, misalnya, penari Emmanuèle Phoun yang tinggal di Brussel membuat koreografi Khmeropedies, yang menyoroti elemen-elemen tari klasik Khmer dari berbagai sudut pandang dan meliputi dialog antargenerasi mengenai pelestarian dan keaslian dalam kaitan dengan tari. Sutradara teater asal Belanda Bob Ruijzendaal meminta penari-penari profesional Kamboja berusia awal dua puluhan menyampaikan keinginan artistik masing-masing kepada sidang penonton – sebagai bagian pertunjukan utama (Look at Us Now, 2009) yang diawali dengan ikatan simbolis di antara para seniman muda itu dengan masa lalu mereka. Para penari pria mengubah pasangan perempuan mereka menjadi patung-patung penari surgawi seperti yang terlihat pada relief candi peninggalan kerajaan Angkor (abad ke-9 sampai abad ke-15).
Kedua karya itu melibatkan konvensi-konvensi yang telah dikenal dari tari kontemporer Barat, misalnya pakaian dan gerak-gerik pejalan kaki, iringan musik yang bergonta-ganti, pola koreografi yang tidak lazim, proyeksi dan penuturan. Keduanya menyoroti kecemasan dan kekhawatiran generasi muda dianggap tidak loyal terhadap warisan seni sendiri jika membuka wawasan kreatif baru, dan mengangkatnya sebagai tema sentral.
Titik tolak yang sama sekali berbeda dipilih oleh pasangan penari Eiko dan Koma yang tinggal di New York dan selama beberapa tahun bekerja sama dengan sekelompok perupa muda Khmer untuk mengembangkan Cambodian Stories (2005). Produksi itu menggabungkan gerak dan seni lukis, menjelajahi pertemuan antara tubuh, lansekap Kamboja beserta suara-suara masa lalu dan masa kini lansekap tersebut dengan pengaruh kuat dari wujdu penyajian estetik Eiko dan Koma.
Memperluas kemungkinan: Generasi pertama
Pendekatan khas lainnya adalah koreografi neo-klasik oleh Sophiline Cheam Shapiro, yang memperoleh ilham dari tema-tema di luar pembedaan antara tradisi dan inovasi dan tidak terikat kepada prinsip-prinsip teknik maupun konvensi Barat. Ansambel Khmer Arts pimpinannya, yang didirikannya pada tahun 2007 di Kamboja, mementaskan baik karya-karya kontemporer Sophiline maupun koreografi dari khazanah klasik.
Sophiline memiliki landasan kuat sebagai penari yang berhasil dan guru tari tradisional dan termasuk generasi pertama yang mendalami tari secara profesional setelah kejatuhan rezim Khmer Rouge – di samping Kim Sathia dan Mao Tipmony, yang kini lebih terfokus pada penciptaan karya terpadu untuk penari cacat dan tidak cacat, atau Sek Sophea, yang memimpin Association for the Conservation of Arts and Culture. Di antara para penari yang selamat dari rezim Khmer Rouge dan kemudian mulai mengajar lagi di Phnom Penh tercatat Chea Khan, Chea Samy, Chum Hun, Kim Sophon, Na Ton, Em Theay, Menh Kossony, Pen Sokhuon, Peng Yom, Proeung Chhieng, Ros Kong, Sim Munta, Sin Samatikchho, Un Bo, Yith Sarin dan lain-lain.
Sejak 1999 Sophiline Cheam Shapiro telah memperluas kemungkinan tari klasik dengan memperkenalkan drama-drama tari khas, yang melanggar pakem gerakan dan alur cerita tradisional melalui eksperimen dengan gerak-gerik dan kostum – dua hal yang secara resmi sering dianggap tidak boleh dilanggar. Keistimewaan lain adalah kepeloporannya dalam memanfaatkan aransemen musik tradisional dan kolaborasi artistik dengan komponis dan ansambel musik dari AS.
Menyingkirkan prasangka
Menyusul pengalaman pelatihan dengan seniman tamu dan keikutsertaannya pada lokakarya koreografi di luar negeri kini terbentuk sekelompok koreografer muda berusia dua puluhan. Beberapa di antara seniman tersebut terlibat dalam pembentukan ansambel tari Compass pada tahun 2006, ansambel tari pertama Kamboja yang semata-mata berorientasi kontemporer. Mereka dan orang lain – sekali pun semula dilatih sebagai penari klasik atau kerakyatan – memiliki peluang kreatif untuk menemukan pendekatan individual dalam gerak dan musik dengan secara main-main membiarkan diri terilhami oleh sastra, biografi dan otobiografi masing-masing, oleh emosi, alam dan politik. Mereka mengesampingkan prasangka berdasarkan pembatasan dan definisi mengenai gaya dan tema, meskipun harus menerima kritik dari guru dan kolega mereka karena menyimpang dari penyajian yang sepenuhnya “berciri Kamboja”.
adalah etnolog tari yang menyandang gelar Doktor antropologi budaya dari Cornell University (USA). Titik berat penelitiannya mencakup tari Kamboja, penggusuran/migrasi, gender, hak asazi manusia dan keadilan sosial. Ia ko-pengarang “Dance in Cambodia” (Oxford 1999) dan ko-penerbit “Dance, Human Rights, and Social Justice: Dignity in Toni Shapiro-Phim
Motion” (Scarecrow 2008). Dewasa ini ia memimpin Khmer Arts Research and Archiving in Takhmao, Kamboja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar