Oleh: Sahlan Bahuy*
“Kampungku Dikepung Tamu” merupakan seni instalasi karya Dedi Warsana yang dibangun di pelataran CCL (Celah-Celah Langit), belakang terminal Ledeng-Bandung (29-06-2013). Instalasi yang dikonstruksi oleh dominasi bambu ini kemudian menjadi sebuah pertunjukan yang mengandung tensi dramatik dengan dilibatkannya masyarakat sekitar, termasuk mahasiswa dan anak-anak kecil dalam bagian seni instalasi tersebut. Dan, instalasi tersebut kemudian menjadi sarana primer dalam menyampaikan imaji ruang dan peristiwa sebuah kampung yang semakin sesak, terancam, terhimpit dan tergusur oleh misioner kapitalis.
Dengan lebih dari 500 batang bambu bekas pembangunan seni instalasi itu hadir dalam kontruksi pelbagai imaji bentuk dan ruang, seperti: gedung-gedung, mesin-mesin, pohon besar, kerangka manusia, pakaian yang dijemur sembarangan, dan perkampungan padat penduduk. Di segala penjuru, beberapa bambu yang runcing dibiarkan merepresi ke pelbagai arah. Dan, di bagian bawah dan atas tampak berserakan sampah plastik.
Semua material yang membangun instalasi oleh Dedi Warsana ditegaskan sebagai penanda penolakan penggunaan alat teknologi. Hal itu dilakukan untuk mengimpresikan pertarungan tradisi versus modern. Seolah ingin mengafirmasi kontradiksi antara tradisi yang bersifat teguh pada adat dan norma nenek moyang mesti bertarung dengan sesuatu yang senantiasa menyandarkan pada keterbatasan logika.
Diantara material yang menegasikan teknologi, televisi menjadi satu-satunya pengecualian. Di jaman sekarang, televisi menjadi metafora dari pusat kuasa narasi di dunia ini. Televisi bukan lagi layar kaca yang memantulkan narasi melainkan manusia sendirilah yang menjadi layar dari pantulan narasi televisi. Pada akhirnya pelbagai informasi diserap dan mampu mengkonstruksi tubuh manusia. Barangkali karena alasan itu Dedi Warsana menggunakan televisi sebagai alat kuasa untuk melawan wacana industrialisasi. Hal itu dapat dilihat dari video orasi budaya tentang kampung halaman yang diputar berulang-ulang.
Masyarakat hadir merespons instalasi “Kampungku Dikepung Tamu” sehingga instalasi tersebut mendapat sentuhan “teatrikal”. Sentuhan “teatrikal” itu dapat disaksikan dari awal pertunjukan. Seseorang (Dedi Warsana) menyalakan televisi. Ia membawa linggis lalu mulai menggali beton. Istri (Uchan) dan anaknya (Syahla) terkurung dalam pohon besar yang berbuah bambu yang runcing sebagai tempat berlindung. Menyiratkan pemaknaan bahwa rumah telah beralih fungsi menjadi tempat yang senantiasa mengancam, tidak memberikan ketentraman. Beberapa saat, orang-orang tumpah ruah melakukan pelbagai aktivitas; orang-orang memasang batang bambu, mengikat balon plastik yang berjatuhan dari atas, Menjemur pakaian, menggerakan mesin bambu, anak-anak kecil berseragam sekolah dasar dan berkepala kardus berlalu-lalang, kerangka manusia digerakan menyerupai robot. Tampak juga orang-orang memukul-mukul bambu di atas lisung. Lisung, alat tradisional penumbuk padi, dihadirkan sebagai simbol pusat pangan primordial yang kian terancam. Lalu, setelah selesai menggali beton, Dedi Warsana kemudian menanam pohon yang diselimuti bendera merah-putih di bagian bawahnya. Pertunjukan pun berakhir. Teks dasar dari pertunjukan ini tidak berupa naskah tulisan melainkan teks rupa, yakni instalasi. Instalasi bambu hadir lebih dulu kemudian dibuat rangkaian alur untuk membangun peristiwa.
Persoalan utama yang diangkat dari rentetan peristiwa itu adalah semakin tergesernya sumber daya lokal baik alam, lingkungan, maupun budaya pasca ekspansi industri yang kian masif. Hutan dan lahan pertanian telah berubah menjadi gedung-gedung yang menggunung. Disadari atau belum bahwa fenomena itu sudah menjadi bagian dari hiruk-pikuk kota dan berpotensi memberikan dampak buruk yaitu terancam punahnya akar sosial dan budaya yang telah membentuknya.
Diakui Dedi Warsana, inspirasi lahirnya instalasi ini dari keterlibatan emosional dirinya terhadap kampung halamanya, Ledeng, yang kian hari diagresi eskalasi urbanisasi dan industrialisasi tanpa henti. Pembangunan hotel, apartemen, dan factory outlet terus tumbuh tanpa mengacuhkan dampak lingkungan. Sehingga, kampung tidak lagi berelasi dengan sumber daya alam yang melimpah, lokalitas, tanah warisan leluhur, tradisi, adat dan budaya; melainkan telah berubah menjadi lahan eksotis untuk dieksploitasi dengan dalih kepentingan ekonomi.
Selain dampak lingkungan, pengkultusan pembangunan pada orientasi ekonomi juga telah mereduksi kearifan lokal. Terciptanya kultur sentralisasi ekonomi mendorong tingkat urbanisasi yang tinggi, kemudian plural kultural “beradu” dan perlahan budaya lokal tersisihkan. “Dulu di sini (Ledeng), ada budaya Ngabungbang, mandi di tujuh pancuran/mata air, dilakukan malam hari semacam ritual, penyucian diri. Lalu ada Ngagondang, helaran setelah panen, biasanya oleh warga dijadikan ajang pencarian jodoh. Seru, pokona mah! Tapi sekarang budaya itu sudah hilang”, ujar Dedi Warsana mengenang masa kecilnya yang telah terkubur seperti halnya anak-anak jaman sekarang yang kehilangan tempat bermain.
Bumi ini memiliki sumber daya alam yang melimpah. Sudah sepatutnya manusia memelihara, merawat dan memanfaatkan alam dengan bijaksana supaya keduanya terjadi hubungan yang saling menguntungkan. Kearifan lokal diperlukan untuk merawat bumi. Masyarakat lokal maupun pendatang mesti menjaga lingkungan karena bagaimana pun hidupnya akan tergantung pada lingkungannya. Demikian sebaliknya, sumber daya alam lokal akan memberikan sesuatu bagi makhluk hidup yang ada di sekitarnya. Sesungguhnya bumi ini mampu memenuhi seluruh kebutuhan manusia tetapi tidak akan mampu mencukupi keserakahan manusia.
Persoalan yang terjadi di negeri ini adalah terputusnya hubungan antara sumber daya alam dengan orang lokal sekitarnya. Orang lokal tidak punya hak lagi atas sumber daya lokalnya. Seperti ada perselingkuhan antara pemerintah dan pemlik modal dalam mengintervensi kebijakan dengan mengatas-namakan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi untuk siapa? Entahlah, jawabannya masih bias, namun yang pasti kearifan lokal semakin tersisihkan, para petani selalu terpinggirkan.
Realitas saat ini menunjukan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak sepenuhnya bermanfaat bagi manusia. Kebijakan ekonomi memang diperlukan tetapi mekanisme yang tidak jelas akan menambah parah persoalan. Segala kebijakan pemerintah bermental modal telah membentuk paradigma berpikir: menggunakan uang untuk menciptakan uang bagi orang yang memiliki uang.
Instalasi seni “Kampungku Dikepung Tamu” mengajak kita untuk waspada bahwa Industri, kapitalis, kini datang bukan lagi sebagai tamu. Tapi sudah menjajah, berumah, dan ingin merampas alam, lingkungan, akar dan budaya. Dan Ledeng dengan masyarakat yang urban kemudian harus pontang-panting: antara memilih-memilah, bertahan atau menyerah, gugur atau menjadi bagian.
Babakan Siliwangi, Ledeng dan kawasan Bandung Utara, tiga diantara sekian banyak tempat di kota Bandung yang terancam agresi industri. Dampak buruk kerusakan lingkungan di pelupuk mata telah nyata. Jika dibiarkan maka kita sedang menabung bencana. Tanah yang kaya sumber daya alam akan berubah menjadi tanah yang kaya bencana. Banjir dan longsor sudah telampau cukup memberikan penderitaan. Sedangkan polusi udara dan kemacetan belum juga terselesaikan.
Barangkali Dedi Warsana, satu diantara seniman lain di kota Bandung, telah berkontribusi menunjukan kepeduliannya pada lingkungan tidak sekedar lewat karya seni. Ia menyadari bahwa seni dengan segala keterbatasannya adalah sesuatu yang niscaya. Oleh karena itu, selain berkarya perlu ada sikap konkret, seperti yang masih ia perjuangkan selama ini yaitu menolak dengan tegas pembangunan yang tidak memiliki keharmonisan dengan budaya kearifan lokal.
Masing-masing dalam hidup ini mesti berkontribusi. Banyak hal di bumi ini yang bisa kita lakukan tanpa peduli siapa yang mendapatkan pujian. Omong kosong besar jika sekedar bicara “Oh, saya cinta lingkungan!” tanpa sikap nyata melaksanakan kata-kata. Barangkali penulis pun belum bisa berbuat apa-apa. Tapi setidaknya menulis menjadi bagian dari proses berpikir dan tidak lebih buruk daripada sekedar berdiam diri. Tabik!
*Aktor dan sutradara teater asal Cianjur. Bergiat di Mainteater, Teater Lakon dan ASAS. Pendiri Jalan Teater.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar