Labels

Senin, 09 September 2013

Puisi Yopi Setia Umbara

Di Lembah Lembang

akar rumput liar tumbuh menjalar
seolah mengajarkan kesabaran
pada tanah lembah yang tabah

hembus angin dan desis tonggeret
mengisi udara penuh ketulusan
sedari pagi hingga petang hari

kala petang diam-diam jadi malam
derik jangkrik dalam liang gelap
setia menjaga dingin kesunyian

Di Teluk Batukaras

di sunyi teluk batukaras
aku duduk memeluk lutut
menahan dahsyat arus rindu
yang terus bergetar
pada hamparan pasir
juga batu-batu karang
seperti hempasan gelombang

perlahan pasang laut petang
menerjang sebagai kau
berhembus sekencang angin
meruntuhkan keheningan
dan meluruhkan daun-daun
menyerahkan segalanya
hanya kepadamu


Di Loteng Negla 48A

melewatkan setiap petang bersamamu
adalah memperlambat putaran masa
sejenak meredakan perasaan diburu

oleh peradaban yang berlari kencang
sekencang angin musim pancaroba
menyusup ke celah jendela juga pintu

di mana kita bisa senantiasa tertawa
menertawakan tingkah polah sendiri
dan tak sanggup membendung tangis

lantaran begitu sedih pada kegagalan
mewujudkan impian-impian kecil kita
yang seringkali jadi mimpi dalam tidur

di kamar tempat kita menata cita-cita


Rindu Matahari

seperti jalaluddin ketika ditinggalkan syams
sahabatnya paling tercinta

ia meradang mendambakan sinar matahari
memekarkan bunga kembali

begitulah aku saat ini sangat rindu kepadamu
duhai penguasa cahaya

dalam diriku yang rapuh bunga-bunga layu
tanpa sentuhan hangatmu


Pesan untuk Asya

kekasih yang telah memilih asya
seperti syams bagi jalaluddin rumi
kau hembuskan terlalu banyak cinta

sehingga membuatku begitu cemburu
pada kehendaknya untuk bertualang
demi menemuimu dengan jalan cinta

sedangkan aku dibiarkan terlantar
terus menari-nari dan berputar-putar
di setiap pusara hidup paling maksiat

Kepada Langit Siang

demi langit yang dihiasi awan putih tipis
kuredam segala amarah juga kesedihan
yang kelabu di dalam dada sendiri

demi cahaya yang menentramkan jiwa
di balik segala ketergesaan-gesaan
yang seakan melulu lantaran waktu


Petang Itu, Kawanku

bulan paling pucat menyayat pohon
menjadi siluet

sementara bayangan tubuh di tanah
semakin redup

perlahan kenangan terus memburu
sebagai angin

dari riuh penjuru waktu mengusung
segala kisah

berdesak-desakan memasuki tubuh
mengusik kesadaran

Solilokui

sebab tak usai-usai kudengar
deru kota senantiasa gusar
hingga tak sempat kunikmati
nyanyian alam yang manis

sebab lebih sering kukenang
langit yang selalu murung
maka tak dapat kuceritakan
senja penuh pesona

hari-hari senantiasa gelisah
jalan-jalan disesaki amarah
terus memaksaku mencatat
dengan tangan gemetar

2013

Di Lantai 16 Sebuah Apartemen
setiap malam
menata kesunyian
seperti lembaran buku harian

sesekali telepon berdering
menyampaikan pesan kekasihku
yang tabah merawat rindu

sementara dinding
memantulkan keheningan
tanpa sedikit pun kata-kata

2013

Ode untuk Sebatang Kretek
setiap batang kretek
adalah sehimpun kalimat
sejauh kembali pada kenangan
dan betapa indahnya
masih terbangun hari ini

secangkir kopi kental
burung-burung tetangga
berkicau dalam sangkar
angin pagi menyusup
melalui jendela terbuka

cinta tak pernah tergesa
ia mekar perlahan-lahan
seperti cahaya matahari
rindu merawat diri
sabar bagaikan waktu

2013

 Lagu untuk Ihung
masihkah kau punya sisa-sisa ganja
kalau masih ada mari hisap bersama
sampai ke dasar hati paling kelam
kita persembahkan asapnya kepada tuhan

misalkan dunia adalah tempat tertawa
bagi hidup yang sangat karib dengan duka
barangkali badan tak perlu bekerja keras
jika sekadar untuk menarik nafas

hari-hari ini langit seolah sangat setia
merawat setiap kesunyian dalam diri
hujan senantiasa membasahi bumi
membasuh wajah lusuh kita


2013

Pada Setiap Kepulangankau sambut aku
selalu dengan gerimis
serupa taburan bunga

2013

Ketika Hujan Badai Reda di Jakarta
jalan-jalan menjadi kali
mengalirkan kesedihan panjang
sebagai banjir bandang

sungai-sungai meluap
tak kuasa menampung airmata
orang-orang yang tak henti menangis

pohon-pohon tumbang
bahkan hingga akarnya tercabut
dari bumi yang selama ini jadi pijakan

2013

Hujan Badai di Jakarta
diterpa angin kencang
gedung-gedung tinggi gemetar

halilintar terus bersahutan
berkilatan di langit jakarta

hujan berat yang berjatuhan
menciptakan gema mengerikan

o, apakah ini hanya fenomena
atau isyarat bencana

2013

Ode untuk Sebuah Peta
siapa pemilikmu sesungguhnya
jika kami memang tak memiliki
kota, sungai, gunung, selat, laut
juga pulau-pulau itu

lalu siapakah kami sebenarnya
yang setiap saat mesti mencatat
serta merawat nama-nama
yang tertera padamu

2013

Jakarta Pagi II
masih dalam sebuah flat
di lantai enam belas
jakarta telah terbungkus
entah oleh kabut
entah polusi memburu langit
hanya pada secangkir kopi
aku bisa menitip pagi
meski perut ingin mengamuk

2013

Dalam Sebuah Flat
dalam sebuah flat di lantai 16
aku terkurung sangat kesepian
peradaban jadi sekadar berita
sekilas kubaca di dunia maya
atau gemuruh kendaraan
juga suara orang-orang
melambung memenuhi udara


di dalam flat sesak gerah ini
aku berusaha terus menulis
mencoba mempertahankan hidup
dengan menjadikan puisi
sebagai nafas yang masih kuhirup
sebab waktu diam-diam merampok
segala keliaran dari diriku

2013

Jakarta Pagi
jakarta pagi
adalah sebungkus nasi uduk
dan gadis-gadis bermasker

barangkali udara pagi di kota ini
sudah seperti pencopet
memberi rasa takut yang akut


sedangkan sebungkus nasi uduk
sebagai upaya menjaga perut
daripada menjadi amuk

2013

Catatan Harian Pekerja Borongan
tak ada hari libur. bahkan di hari minggu
akal kami adalah tenaga. tenaga akal kami
cukup kasih nasi. kerja sungguh-sungguh
sebab keringat punya harga. daripada darah
sepanjang hari. tubuh kami terus basah
tak ada waktu tidur. selain menutup mata

sekejap melupakan kerja. lalu siap-siap
kembali menjadi ujung jari pembangunan

2009

Lagu untuk Para Pekerja
tidurlah, malam adalah kawan. bagi lelah
hidup adalah kerja. tak pernah selesai
tak usai-usai dipikirkan

2009

Di Sungai Cikaengan
di antara batu bocah-bocah riang telanjang
berenang memecah sungai. menangkap ikan
dengan tangan. sinar matahari seperti sorot
mata mereka yang terang. menembus muka
sungai yang berkilauan. sepanjang arus
hembus angin. pada batang-batang bambu
juga desis alir air. membentur batu-batu
adalah musik yang terus mengiringi waktu

2011

Di Bordes Harina
di bordes yang jadi penyambung sekaligus
juga sebagai pemisah gerbong baja. sunyi
di atas kereta yang terus melaju. menjauh
dari kota tempat kita berciuman. di dalam
hujan paling deras. dan paling mengerikan
pada asap rokok kretek yang kuhisap. lalu
kuhembuskan seperti bernafas. di batas
antara kesadaran dan kelelahan. hanyalah
namamu yang masih mampu kuingat jelas

2011

Pertapa Gunung Lagadar
tebing-tebing batu adalah pertapa
senantiasa tetap tenang terjaga
meski eskavator terus menderap
lalu perlahan-lahan mengeruknya

tak ada yang mampu mengganggu
keteguhan semedi dalam mereka
walau mesin-mesin pengangkut
hilir mudik menggotong tubuhnya

2012

Dalam Hujan
dari langit
sajak-sajak turun
sebagai juru selamat
bagi setiap kesunyian

2012

Penyerahan Diri
saat dini hari hanya ada aku
dan gema yang kau ciptakan
dari sebutir air jatuh ke bumi

2013

Gerimis
gerimis itu, cintaku
menuliskan segala kenangan
pada jalan-jalan yang pernah kita lalui

dan jika esok lusa
matahari menguapkan setiap kenangan
ingatlah bahwa ia akan kembali sebagai hujan

Dalam Hujan
dari langit
sajak-sajak turun
sebagai juru selamat
bagi setiap kesunyian



Di Jalan Surya Sumantri
padi tiba di jalan surya sumantri
burung-burung bercicit menyambut
diiringi deru kendaraan mengantri

orang-orang berjalan gontai
pada trotoar yang menyempit
jadi tiang reklame dan lahan parkir

matahari perlahan-lahan meninggi
orang-orang menyipitkan matanya
menghalau silau cahaya dari langit



Di Bukit Jayagiri
hujan tak juga reda
jajaran pohon cemara
tegar terbungkus kabut

pada dedaunan
juga tanah basah
hanya aroma hujan

debar di balik dada
menggemakan namamu
pada bumi yang dipijak




Di Perempatan Jalan Sunda-Naripan
sementara para pengendara lain memacu kendaraan
lebih kencang dari hujan yang mulai deras berjatuhan
aku memilih menepi di perempatan jalan sunda-naripan
tepat di samping sebuah toko telepon seluler

aku memesan segelas kopi dan setengah bungkus rokok
dari sebuah kios kaki kaki lima yang menempati trotoar
bukan untuk sebuah kesenangan dalam hujan
melainkan cara yang dramatis menantinya reda

di emperan toko telepon seluler yang ekslusif itu
seorang tunawisma meracau tentang keadilan
ia mengutuk-ngutuk kadang seperti bernyanyi balada
dan aku terpukau sekaligus miris mendengarkannya


Mukadimah Tahun Baru
dalam ricik hujan petang
gema ledakan kembang api
sisa perayaan tahun baru semalam
terdengar dari tempat yang jauh

mengapa aku di sini
menulis sajak muram
pada sebuah kamar kosong
di bawah cahaya bohlam temaram

ricik hujan petang itu
seperti ucapan selamat tahun baru
dari orang-orang dekat
yang berada di tempat-tempat jauh

mengapa aku masih di sini
terus menuliskan kesunyian
diam-diam membungkus tubuh
dengan segala dingin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar