Di Lembah Lembang
akar rumput liar tumbuh menjalar
seolah mengajarkan kesabaran
pada tanah lembah yang tabah
hembus angin dan desis tonggeret
mengisi udara penuh ketulusan
sedari pagi hingga petang hari
kala petang diam-diam jadi malam
derik jangkrik dalam liang gelap
setia menjaga dingin kesunyian
Di Teluk Batukaras
di sunyi teluk batukaras
aku duduk memeluk lutut
menahan dahsyat arus rindu
yang terus bergetar
pada hamparan pasir
juga batu-batu karang
seperti hempasan gelombang
perlahan pasang laut petang
menerjang sebagai kau
berhembus sekencang angin
meruntuhkan keheningan
dan meluruhkan daun-daun
menyerahkan segalanya
hanya kepadamu
Di Loteng Negla 48A
melewatkan setiap petang bersamamu
adalah memperlambat putaran masa
sejenak meredakan perasaan diburu
oleh peradaban yang berlari kencang
sekencang angin musim pancaroba
menyusup ke celah jendela juga pintu
di mana kita bisa senantiasa tertawa
menertawakan tingkah polah sendiri
dan tak sanggup membendung tangis
lantaran begitu sedih pada kegagalan
mewujudkan impian-impian kecil kita
yang seringkali jadi mimpi dalam tidur
di kamar tempat kita menata cita-cita
Rindu Matahari
seperti jalaluddin ketika ditinggalkan syams
sahabatnya paling tercinta
ia meradang mendambakan sinar matahari
memekarkan bunga kembali
begitulah aku saat ini sangat rindu kepadamu
duhai penguasa cahaya
dalam diriku yang rapuh bunga-bunga layu
tanpa sentuhan hangatmu
Pesan untuk Asya
kekasih yang telah memilih asya
seperti syams bagi jalaluddin rumi
kau hembuskan terlalu banyak cinta
sehingga membuatku begitu cemburu
pada kehendaknya untuk bertualang
demi menemuimu dengan jalan cinta
sedangkan aku dibiarkan terlantar
terus menari-nari dan berputar-putar
di setiap pusara hidup paling maksiat
Kepada Langit Siang
demi langit yang dihiasi awan putih tipis
kuredam segala amarah juga kesedihan
yang kelabu di dalam dada sendiri
demi cahaya yang menentramkan jiwa
di balik segala ketergesaan-gesaan
yang seakan melulu lantaran waktu
Petang Itu, Kawanku
bulan paling pucat menyayat pohon
menjadi siluet
sementara bayangan tubuh di tanah
semakin redup
perlahan kenangan terus memburu
sebagai angin
dari riuh penjuru waktu mengusung
segala kisah
berdesak-desakan memasuki tubuh
mengusik kesadaran
Solilokui
sebab tak usai-usai kudengar
deru kota senantiasa gusar
hingga tak sempat kunikmati
nyanyian alam yang manis
sebab lebih sering kukenang
langit yang selalu murung
maka tak dapat kuceritakan
senja penuh pesona
hari-hari senantiasa gelisah
jalan-jalan disesaki amarah
terus memaksaku mencatat
dengan tangan gemetar
2013
Di Lantai 16 Sebuah Apartemen
setiap malam
menata kesunyian
seperti lembaran buku harian
sesekali telepon berdering
menyampaikan pesan kekasihku
yang tabah merawat rindu
sementara dinding
memantulkan keheningan
tanpa sedikit pun kata-kata
2013
Ode untuk Sebatang Kretek
setiap batang kretek
adalah sehimpun kalimat
sejauh kembali pada kenangan
dan betapa indahnya
masih terbangun hari ini
secangkir kopi kental
burung-burung tetangga
berkicau dalam sangkar
angin pagi menyusup
melalui jendela terbuka
cinta tak pernah tergesa
ia mekar perlahan-lahan
seperti cahaya matahari
rindu merawat diri
sabar bagaikan waktu
2013
Lagu untuk Ihung
masihkah kau punya sisa-sisa ganja
kalau masih ada mari hisap bersama
sampai ke dasar hati paling kelam
kita persembahkan asapnya kepada tuhan
misalkan dunia adalah tempat tertawa
bagi hidup yang sangat karib dengan duka
barangkali badan tak perlu bekerja keras
jika sekadar untuk menarik nafas
hari-hari ini langit seolah sangat setia
merawat setiap kesunyian dalam diri
hujan senantiasa membasahi bumi
membasuh wajah lusuh kita
2013
Pada Setiap Kepulangankau sambut aku
selalu dengan gerimis
serupa taburan bunga
2013
Ketika Hujan Badai Reda di Jakarta
jalan-jalan menjadi kali
mengalirkan kesedihan panjang
sebagai banjir bandang
sungai-sungai meluap
tak kuasa menampung airmata
orang-orang yang tak henti menangis
pohon-pohon tumbang
bahkan hingga akarnya tercabut
dari bumi yang selama ini jadi pijakan
2013
Hujan Badai di Jakarta
diterpa angin kencang
gedung-gedung tinggi gemetar
halilintar terus bersahutan
berkilatan di langit jakarta
hujan berat yang berjatuhan
menciptakan gema mengerikan
o, apakah ini hanya fenomena
atau isyarat bencana
2013
Ode untuk Sebuah Peta
siapa pemilikmu sesungguhnya
jika kami memang tak memiliki
kota, sungai, gunung, selat, laut
juga pulau-pulau itu
lalu siapakah kami sebenarnya
yang setiap saat mesti mencatat
serta merawat nama-nama
yang tertera padamu
2013
Jakarta Pagi II
masih dalam sebuah flat
di lantai enam belas
jakarta telah terbungkus
entah oleh kabut
entah polusi memburu langit
hanya pada secangkir kopi
aku bisa menitip pagi
meski perut ingin mengamuk
2013
Dalam Sebuah Flat
dalam sebuah flat di lantai 16
aku terkurung sangat kesepian
peradaban jadi sekadar berita
sekilas kubaca di dunia maya
atau gemuruh kendaraan
juga suara orang-orang
melambung memenuhi udara
di dalam flat sesak gerah ini
aku berusaha terus menulis
mencoba mempertahankan hidup
dengan menjadikan puisi
sebagai nafas yang masih kuhirup
sebab waktu diam-diam merampok
segala keliaran dari diriku
2013
Jakarta Pagi
jakarta pagi
adalah sebungkus nasi uduk
dan gadis-gadis bermasker
barangkali udara pagi di kota ini
sudah seperti pencopet
memberi rasa takut yang akut
sedangkan sebungkus nasi uduk
sebagai upaya menjaga perut
daripada menjadi amuk
2013
Catatan Harian Pekerja Borongan
tak ada hari libur. bahkan di hari minggu
akal kami adalah tenaga. tenaga akal kami
cukup kasih nasi. kerja sungguh-sungguh
sebab keringat punya harga. daripada darah
sepanjang hari. tubuh kami terus basah
tak ada waktu tidur. selain menutup mata
sekejap melupakan kerja. lalu siap-siap
kembali menjadi ujung jari pembangunan
2009
Lagu untuk Para Pekerja
tidurlah, malam adalah kawan. bagi lelah
hidup adalah kerja. tak pernah selesai
tak usai-usai dipikirkan
2009
Di Sungai Cikaengan
di antara batu bocah-bocah riang telanjang
berenang memecah sungai. menangkap ikan
dengan tangan. sinar matahari seperti sorot
mata mereka yang terang. menembus muka
sungai yang berkilauan. sepanjang arus
hembus angin. pada batang-batang bambu
juga desis alir air. membentur batu-batu
adalah musik yang terus mengiringi waktu
2011
Di Bordes Harina
di bordes yang jadi penyambung sekaligus
juga sebagai pemisah gerbong baja. sunyi
di atas kereta yang terus melaju. menjauh
dari kota tempat kita berciuman. di dalam
hujan paling deras. dan paling mengerikan
pada asap rokok kretek yang kuhisap. lalu
kuhembuskan seperti bernafas. di batas
antara kesadaran dan kelelahan. hanyalah
namamu yang masih mampu kuingat jelas
2011
Pertapa Gunung Lagadar
tebing-tebing batu adalah pertapa
senantiasa tetap tenang terjaga
meski eskavator terus menderap
lalu perlahan-lahan mengeruknya
tak ada yang mampu mengganggu
keteguhan semedi dalam mereka
walau mesin-mesin pengangkut
hilir mudik menggotong tubuhnya
2012
Dalam Hujan
dari langit
sajak-sajak turun
sebagai juru selamat
bagi setiap kesunyian
2012
Penyerahan Diri
saat dini hari hanya ada aku
dan gema yang kau ciptakan
dari sebutir air jatuh ke bumi
2013
Gerimis
gerimis itu, cintaku
menuliskan segala kenangan
pada jalan-jalan yang pernah kita lalui
dan jika esok lusa
matahari menguapkan setiap kenangan
ingatlah bahwa ia akan kembali sebagai hujan
Dalam Hujan
dari langit
sajak-sajak turun
sebagai juru selamat
bagi setiap kesunyian
Di Jalan Surya Sumantri
padi tiba di jalan surya sumantri
burung-burung bercicit menyambut
diiringi deru kendaraan mengantri
orang-orang berjalan gontai
pada trotoar yang menyempit
jadi tiang reklame dan lahan parkir
matahari perlahan-lahan meninggi
orang-orang menyipitkan matanya
menghalau silau cahaya dari langit
Di Bukit Jayagiri
hujan tak juga reda
jajaran pohon cemara
tegar terbungkus kabut
pada dedaunan
juga tanah basah
hanya aroma hujan
debar di balik dada
menggemakan namamu
pada bumi yang dipijak
Di Perempatan Jalan Sunda-Naripan
sementara para pengendara lain memacu kendaraan
lebih kencang dari hujan yang mulai deras berjatuhan
aku memilih menepi di perempatan jalan sunda-naripan
tepat di samping sebuah toko telepon seluler
aku memesan segelas kopi dan setengah bungkus rokok
dari sebuah kios kaki kaki lima yang menempati trotoar
bukan untuk sebuah kesenangan dalam hujan
melainkan cara yang dramatis menantinya reda
di emperan toko telepon seluler yang ekslusif itu
seorang tunawisma meracau tentang keadilan
ia mengutuk-ngutuk kadang seperti bernyanyi balada
dan aku terpukau sekaligus miris mendengarkannya
Mukadimah Tahun Baru
dalam ricik hujan petang
gema ledakan kembang api
sisa perayaan tahun baru semalam
terdengar dari tempat yang jauh
mengapa aku di sini
menulis sajak muram
pada sebuah kamar kosong
di bawah cahaya bohlam temaram
ricik hujan petang itu
seperti ucapan selamat tahun baru
dari orang-orang dekat
yang berada di tempat-tempat jauh
mengapa aku masih di sini
terus menuliskan kesunyian
diam-diam membungkus tubuh
dengan segala dingin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar