Oleh Irene Sieben
Para koreografer masa kini jatuh hati kepada garda depan zaman dahulu. Dalam upaya menelusuri semangat zaman, mereka bagaikan arkeolog berusaha menggali bayang-bayang suatu kesenian yang serba sementara, dan dengan demikian sekaligus mempertanyakan sepak terjang artistik mereka sendiri. Tari ekspresi Jerman pun muncul ke permukaan. Rekonstruksi dan rekreasi cocok dengan hibriditas yang mencirikan tari modern.
Tanzstudio Mary Wigman, Berlin 1959; Copyright: Deutsches Bundesarchiv / B 145 Bild P047333 / Creative Commons Attribution ShareAlike 3.0 Germany License (CC-BY-SA), Foto: Klaus Schuetz
Masa depan terkuak di hadapan kabut masa lampau. Pada titik temu keduanya tercipta tari yang kita sebut “kontemporer”. Tak ada seni lain yang seradikal seni tari melepaskan diri dari manifestasinya. Foto, teks, film, bahkan notasi gerak yang paling terperinci sekalipun tidak sanggup menangkap hakikat karya seni yang bernapas. Penampakan gerakan spasial beserta esensi imajinernya mempercepat proses pelupaan. Berbeda dengan teknik balet yang diteruskan dari generasi ke generasi, suatu kreasi personal padam bersama orang yang menciptakannya – sebab memori mengenai proses kreatifnya tersandikan di dalam sel-sel tubuh.
Haruskah kreasi tari benar-benar padam? Berkat keberadaan ilmu pengetahuan tari yang terus berkembang, minat para seniman konsep terhadap analisis dan refleksi, penjalinan jaringan arsip tari, serta penggabungan pengetahuan melalui kongres tari, kesadaran akan sejarah menjadi semakin kuat. Berbagai dokumentasi kini lebih mudah diakses. Kabut masa lalu semakin transparan, pertanyaan seputar hak cipta semakin mendesak dan mengerucut.
Memisahkan pecahan dan dempul
Tanzstudio Mary Wigman, Mary Wigman und englische Meisterschuelerin, Berlin 1959; Copyright: Deutsches Bundesarchiv / B 145 Bild P047336 /Creative Commons Attribution ShareAlike 3.0 Germany License (CC-BY-SA), Foto: Klaus Schuetz Mary Wigman menggambarkan tari sebagai “bahasa hidup yang melambung di atas dasar realitas”. Pada awal abad ke-20 sepak terjang Wigman tergolong revolusioner, dan ia menjadi pelopor juga di Amerika Serikat. Karyanya yang berjudul Hexentanz (Tarian Penyihir) dari tahun 1926 dapat ditemukan di World Wide Web sebagai karya seni yang mewakili zamannya. Siapakah yang memegang hak ciptanya? Apakah karya itu boleh diambil dan dibawakan kembali begitu saja? Para ahli warisnya berpendapat tidak. Mereka memberi izin hanya jika seseorang, yang masih membawa pesan Wigman di dalam dirinya, juga memberikan pengarahan dari segi gaya. Saksi sejarah masih ada, namun tidak ada sekolah atau teknik untuk seni yang dikembangkan oleh Wigman. Karena itulah bahasanya terdengar asing sekarang. Medium film tidak mampu menangkap dimensi ketiga, yaitu ranah sensual dan spiritual: Soal “bagaimana”, soal untaian gerakan, zat halus yang di mata Wigman “mengalir” dan “berembus” dan memproyeksikan diri ke dalam ruang. Banyak orang telah mencoba menggali harta karun ini, dan tidak semuanya berpegang pada etos kerja para arkeolog yang ketat, yang bertujuan memisahkan pecahan dari dempul.
'A Mary Wigman Dance Evening', Fabian Barba, K3 / Tanzplan Hamburg; Copyright: Bart Grietens Pelacak jejak yang paling terkenal adalah balerina Sylvie Guillem. Pada tahun 1998, di awal kariernya setelah meninggalkan dunia balet, ia menggeluti karya Wigman Hexentanz dan Sommerlicher Tanz, yang memiliki modernitas yang mengejutkannya. Ia mengabaikan hal tertentu, dan menambahkan hal-hal yang dirasakan penting olehnya, sebab: “agar dapat menari seperti Wigman, saya harus menjadi dirinya, menjalani hidupnya, memiliki imajinasi visualnya serta kepekaan yang sama mengenai waktu”. Dengan demikian Guillem menyatakan bahwa pelestarian bukan sekadar peniruan, tetapi menuntut keterlibatan pribadi.
Variasi berdasarkan gejolak emosi sendiri
Koreografer Fabián Barba dari Ekuador adalah orang terakhir yang melakukan kilas balik. Pendidikannya di P.A.R.T.S. di Brussel dirampungkannya dengan tiga tari Wigman dari siklus Schwingende Landschaft (Bentang Alam Yang Bergaung), yang digarapnya dalam rangka kunjungan kerja di K3-Zentrum für Choreografie/Tanzplan Hamburg. Penuh rasa ingin tahu dan dedikasi ia mencoba menangkap gema, yang terasa akrab dari tanah airnya, dan mengikuti arahan dari para saksi sejarah. Mengapa dan bagaimana ia menjadi terpesona, ditunjukkannya pada Kongres Tari bulan November 2009: Dengan suatu pertunjukan panjang yang disertai ceramah.
'Urheben Aufheben', Martin Nachbar;Copyright: Susanne Beyer Sama halnya dengan Barba, Martin Nachbar pun lulusan Brussel. Sejak tahun 2000 ia menyelami siklus tari Affectos Humanos karya Dore Hoyer dari tahun 1962 dengan dibimbing oleh Waltraud Luley, yang menjadi penjaga peninggalan pembawa bendera terakhir tari ekspresi. Namun ia menyerah di hadapan teknik, dinamika dan ketajaman bentuk yang fenomenal yang dimiliki Hoyer – teknik release yang dipelajarinya pun tidak dapat membantu. Di dalam karyanya Urheben Aufheben (Menciptakan Membatalkan), Nachbar mengangkat kegagalan sebagai tema. Ia bertanya tentang identitas dan kepenciptaan, dan menunjukkan bagaimana suatu korpus gagasan baru terbentuk dari pelestarian sebagai kegiatan pemicu budaya.
Dalam rekonstruksi Hoyer mereka, Susana Linke dan Arila Siegert – yang satu murid Wigman, yang satu murid Palucca – berbenturan secara langsung, meskipun dengan bentuk antisipasi fisik yang spesifik, dengan kelajuan karya aslinya. Linke, yang masih sempat menyaksikan Hoyer menari, mampu mendekati secara mengesankan gaya tarik saling bertentangan pada torso yang tipikal, sementara Siegert terpukau oleh siluet Hoyer yang serba memanjang. Siegert dan Linke masih memiliki hubungan langsung dengan ekspresionisme. Kedua penari memutuskan pada waktu berbeda untuk mengembangkan koreografi solo sendiri mengenai pergolakan jiwa manusia, agar emosi masing-masing yang timbul saat menggarap siklus Affectos Humanos karya Hoyer dapat tersalurkan secara kreatif.
Akademi Seni di Berlin terus memelihara budaya pengenangan ini. Melalui rangkaian pertunjukan Politische Körper (Tubuh-Tubuh Politis), pihak akademi melestarikan kenangan leluhur dan pewaris, agar pengetahuan mengenai tubuh tidak hilang dan agar seni tari memperoleh landasan yang kokoh dalam hal sejarah kebudayaan.
Napas sejarah tari dewasa ini
'Im (Goldenen) Schnitt I', Dancer: Cesc Gelabert, Sculptures: Vera Rohm; Copyright: Ros Ribas Cesc Gelabert dari Katalunia berupaya agar penari dan koreografer Gerhard Bohner yang meninggal pada tahun 1992 tidak terlupakan. Sejak 1996 Gelabert keliling dunia dengan solo Im (Goldenen) Schnitt karya Bohner dari tahun 1989, dan terus tumbuh bersamanya. Dengan demikian ia pun menjaga hakikat karya besar yang diilhami oleh aliran Bauhaus, dan sekaligus belajar: “Mekanika ditentukan oleh ketelitian”. Mareike Franz juga menerapkan presisi ketika melacak struktur fisik dan pembentukan gagasan di antara pori-pori. Susanne Linke sejak sekarang sudah meneruskan karya solonya Wandlung kepada generasi penerus. Dengan demikian kelangsungan sebuah bahasa yang merasuki dan menyaring arus pengetahuan para kreator beserta para leluhur mereka pun tetap terjaga.
Sabine Gehm, Pirkko Husemann, Katharina von Wilcke (Ed.): Wissen in Bewegung: Perspektiven der künstlerischen und wissenschaftlichen Forschung im Tanz. Bielefeld: Transcript 2007, 355 Seiten.
Irene Sieben
adalah murid Mary Wigman, guru Feldenkrais, jurnalis lepas dan penulis yang berfokus kepada tema sejarah tema dan cara pembelajaran somatis.
Penerjemahan: Hendarto Setiadi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar