Labels

Sabtu, 07 September 2013

[Indonesia] Pemikiran konseptual sebagai proses dalam koreografi

Oleh Thomas Lehmen
Peragaan pribadi non-linear oleh koreografer Thomas Lehmen pada Temu Tari “Transforming Tradition” di Goethe-Institut Jakarta, 5 Agustus 2009

“Kedalaman proses dan wacana artistik biasanya disepelekan.<0} {0><}0{>Setiap seniman menggunakan elemen-elemen di dalam suatu kesatuan yang terdiri dari semua elemen pembentuknya:<0} {0><}0{>Tema, teknik tari, gagasan, musik, dan sebagainya. Setiap elemen yang dapat dikenali sebagai suatu elemen harus dipertanyakan dalam hal bentuk, hakikat, fungsi, juga kegunaan bagi gagasan sang seniman, apapun gagasan itu.”

Perlengkapan: Satu meja, 3 kursi, satu mikrofon berikut kabel bebas, satu papan tulis, satu proyektor, sambungan kabel ke komputer, sambungan internet

Halo. Terima kasih Anda telah datang untuk mendengarkan pemaparan saya. (...)
Pertama-tama saya seniman, bukan ahli sejarah tari maupun ilmuwan dalam bidang ilmu lain. Karena itu saya akan mengambil sudut pandang pribadi dalam ceramah saya. (...)

Segala sesuatu berlandaskan gagasan

Sudah jelas bahwa setiap karya seni memiliki gagasan atau konsep. Secara faktual tidak ada apa pun yang tidak berlandaskan atau merepresentasikan gagasan, atau paling tidak: yang tidak dapat diberi arti oleh manusia. Segala sesuatu berlandaskan gagasan, baik disadari maupun tidak. Apakah hal ini akan diangkat dalam suatu karya, atau tidak, diserahkan kepada seniman bersangkutan, tetapi ini penting untuk pemahaman seni. Cara kita mengartikan, atau “membaca”, sebuah karya seni hampir merupakan suatu bahasa tersendiri. Dengan menekankan cara membaca suatu karya seni, kita merangsang publik untuk merenungkan cara berpikirnya sendiri (cara berpikir tentang seni, seni tentang berpikir, seni tentang seni, berpikir tentang berpikir). (...)

Ketika tema “konsep” mulai muncul dalam seni tari, katakanlah sekitar tahun 1995 sampai 2005, ada banyak komponen yang menentukan konteks tari di Eropa: Pertukaran gagasan secara ekstrem, medialisasi semua informasi, festival dan program pertukaran internasional, sumber daya finansial yang masih memadai, penelitian ilmiah dan kerja sama dengan seniman, diskusi dan wacana, dsb. Salah satu hasil adalah tingginya frekuensi dan kualitas refleksi diri serta refleksi mengenai komponen-komponen tradisional dalam tari.

Suatu kreasi yang secara prinsip selalu jalan

Tradisional dalam pengertian: Elemen-elemen digunakan tanpa dipertanyakan dan tanpa melihat apakah berguna untuk gagasan sang seniman (...). Tradisional juga dalam pengertian: Sistem ini telah dikonfirmasi, sehingga mengkonfirmasi keberfungsiannya. Seperti roda. Kreasi seperti ini secara prinsip selalu jalan; hanya diperlukan beberapa perubahan saja agar dapat digunakan di dalam lingkungan yang baru. Roda untuk jalan raya, misalnya, berbeda dengan roda untuk gurun. Tradisi selalu berfungsi. Orang harus kreatif jika masyarakat membutuhkan jawaban lain terhadap perkembangan yang dilalui oleh masyarakat bersangkutan dalam kaitan dengan sistem-sistem lain.

Bahasa, objek dan pemahaman

Sebenarnya saya selalu menahan diri untuk berkomentar mengenai tema tari konseptual, dan saya tidak pernah membayangkan akan memberikan ceramah untuk tema “tari konsep”. Karena itu saya mengubah judul ceramah ini: Dari “Tari konsep” ke “Pemikiran konseptual sebagai proses dalam koreografi”.

Persoalan universalia

Untuk memperlihatkan bahwa persoalan seputar bahasa, benda dan pemahaman bukan temuan baru, saya ingin menunjuk contoh dari ranah filsafat Barat (...), yaitu mazhab skolastik awal sekitar tahun 1000 sampai 1300. Dari apa yang dikenal sebagai ‘sengketa universalia’, yaitu perselisihan antara faham realisme dan nominalisme, muncul suatu perkembangan yang belakangan juga disebut konseptualisme.

Inti diskusinya menyangkut apa yang disebut ‘universalia’, dalam konteks ini ‘istilah umum’ atau entitas yang mengelompokkan, misalnya saja kata ‘benda’, atau samudra, kuda, banteng, angka, manusia, orang Jerman, dan seterusnya – apakah universalia tersebut 1) hadir sebagai fakta yang terlepas dari kata atau bahkan dari deskripsi terkait (posisi realisme) atau apakah 2) istilah umum sekadar kata yang merangkum tanpa realitas sendiri, jadi apakah hanya benda yang ada sebagai fakta dan selebihnya adalah pemikiran (posisi nominalisme).

Makna berlandaskan benda

Suatu solusi sementara diajukan oleh Abälard. Ia merumuskan sintesis bahwa universalia terdapat DI DALAM benda. ‘Kebantengan’ terdapat di dalam banteng itu sendiri. ‘Universalia’ tidak mendahului benda riil, sebagaimana diyakini oleh pengikut realisme, tetapi juga tidak berada di balik benda yang terdapat di alam nyata, seperti dipahami oleh penganut nominalisme. ‘Universalia’ ada di dalam benda itu sendiri, ‘kebantengan' ada di dalam banteng. Realitas bukan kebantengan itu dan bukan pula semata-mata kata banteng. Gagasan apa yang menjadikan, misalnya, manusia ada di dalam manusia itu sendiri. Gagasan suatu benda dipahami sebagai makna yang berakar di dalam benda tersebut. Sebagai proses abstraksi, hakikat atau isi dipahami sebagai faktor inheren. (…)

Paham yang dikenal sebagai konseptualisme mengambil posisi bahwa ‘universalia’ sesungguhnya merupakan suatu konsep, suatu struktur pemikiran independen, suatu gagasan. William von Ockham merupakan wakil terkemuka paham ini. Ia merumuskan bahwa yang ada itu hanya benda yang khusus, tersendiri, individual. Bukan benda, melainkan kata semata-mata yang dikategorisasi. Logika adalah ilmu tanda-tanda. (…)

Penyederhanaan melalui kategorisasi

Penamaan dan kategorisasi historis pada umumnya tidak dilakukan oleh orang yang bekerja dengan tema-tema yang dikategorisasikan itu. Dalam kasus ‘tari konseptual’ sekitar tahun 1995 sampai 2005 proses itu bahkan kontraproduktif karena penamaan tersebut berlangsung hampir bersamaan dengan proses penciptaan, sehingga tidak ada lagi yang tertarik untuk bertanya tentang elemen-elemen dalam karya para seniman yang beragam dan terdiferensiasi, beserta motivasi masing-masing. Penyederhanaan melalui kategorisasi merupakan kunci untuk melakukan pembandingan dan kontekstualisasi, namun sekaligus menghalangi pemahaman yang memadai mengenai keberagaman pertanyaan yang diajukan. (…)

Kedalaman proses dan wacana artistik biasanya disepelekan. Setiap seniman menggunakan elemen-elemen di dalam suatu kesatuan yang terdiri dari semua elemen pembentuknya: Tema, teknik tari, gagasan, musik, dsb. Setiap elemen yang dapat dikenali sebagai suatu elemen harus dipertanyakan dalam hal bentuk, hakikat, fungsi, dan juga kegunaan bagi gagasan sang seniman, apapun gagasan itu. (…)

Tanpa artikulasi bahasa dalam bentuk apapun tidak mungkin ada kebebasan memilih.

Saya meyakini bahwa seni pertama-tama harus mewujudkan gagasan sang seniman, tanpa memandang apakah sesuai dengan gambaran umum yang ada atau tidak. Jika seseorang ingin berkarya dengan bentuk-bentuk tradisional, maka itulah keputusan dan konsep sang seniman, dan ini menarik karena saya dapat mengamati apa yang ada di sekeliling seniman itu. Dan itulah satu-satunya yang penting. (…)

Tanpa artikulasi bahasa dalam bentuk apapun tidak mungkin ada kebebasan memilih. Karena itu, langkah yang logis adalah memberi suara kepada sang penari berikut pengetahuan mengenai semua elemen: yaitu struktur, konten, diri sendiri, dan filosofi. Dengan demikian orang itu diberi kesempatan untuk tampil sebagai pihak yang menentukan sendiri semua hal, sebagai manusia bebas. (…)

Di samping semua aspek formal, yang sering ditiru, pemikiran konseptual yang secara konsekuen mempertanyakan mekanisme ini beserta faktor-faktor pembentuknya. Pemikiran konseptual bukan saja menentukan sikap mengenai apa itu seni, tetapi juga mengambil risiko menjadi lengkap hanya jika dipahami, dalam arti dicerap sebagai sesuatu yang memberi makna. Mengembangkan ide atau konsep untuk sebuah karya sudah sulit. Namun mempertanyakan diri sendiri dan proses kreatif jauh lebih sulit lagi. Tetapi tanpa refleksi mendalam serta pemahaman mengenai komponen-komponen kerja kita rasanya nyaris mustahil mengembangkan gagasan sejati untuk sebuah karya seni.

Bersama-sama merenungkan konstruksi

Seniman, khususnya koreografer, yang menggunakan konsep transparan pada koreografi masing-masing, tidak pernah berniat memisahkan diri dari tubuh dan fungsinya, termasuk perasaan dan sensasi. Tetapi terlepas dari hal-hal tersebut mereka memicu perkembangan melalui kesadaran akan fungsi mental, gagasan linguistik dan fenomenologi. Pengaitan yang dengan disengaja tidak dilakukan mengakibatkan penonton semakin menyadari pengaitan yang telah ada dalam diri masing-masing. (…)

Saya tidak pernah menganggap pendekatan kritis dan refleksif terhadap tari ini sebagai saingan yang menggantikan dan menafikan bentuk-bentuk lain. (...) Refleksi konsepsional dalam tari menurut saya alat yang sempurna agar orang-orang dari berbagai latar belakang etnis dan geografis menjadi sadar akan tanggung jawab bersama mereka, dan merenungkan konstruksi. Bagi saya, memiliki konsep lebih penting dibandingkan menciptakan seni konsepsional. Adalah lebih penting untuk bertanya kepada diri sendiri dan orang lain tentang gagasan yang digarap daripada gaya yang digunakan.
Versi singkat ceramah dalam bahasa Inggris yang disampaikan oleh koreografer Thomas Lehmen pada temu tari "Transforming Tradition" di Goethe-Institut di Jakarta, 5 Agustus 2009.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar