Labels

Sabtu, 07 September 2013

[Jerman] Adakah “profil nasional“ pada tari kontemporer?

Oleh Franz Anton Cramer

Copyright: picture-alliance/ dpaPenggalakan pertukaran internasional sudah menjadi bagian dari keseharian seniman tari kontemporer. Namun kepentingan-kepentingan politik semakin sering menjadi penghambat bagi proyek-proyek artistik.

Setiap tahun pada musim panas para peminat tari menghadapi kalender acara yang penuh sesak.  Ada banyak festival yang seluruhnya atau sebagian ditujukan untuk kegiatan tari kontemporer:  Dari Brussel sampai ke Uzès, Montpellier dan Marseille serta Avignon di Perancis; di Jerman dikenal InTransit dan Tanz im August di Berlin, dan Festival Musim Panas Kampnagel di Hamburg; Austria menawarkan ImPulsTanz.

Bukan suatu hal yang baru bahwa di dalam industri ini – rasanya istilah industri patut digunakan di sini – banyak nama muncul dalam banyak konteks:  Para seniman, baik perorangan maupun kelompok, dibawa dari satu acara ke acara berikutnya, nama banyak institusi selalu muncul dalam keterangan mengenai ko-produksi. Pertukaran di bidang seni sudah lama tidak mengenal perbatasan.

Pina Bausch memperoleh ilham dan bantuan biaya produksi dari negara-negara asing. Akram Khan, Sidi Larbi Cherkaoui, Felix Ruckert maupun Constanza Macras menjadikan kampung kumuh Brasil, kota film India, penari balet Vietnam atau biksu Cina sebagai kata kunci untuk riset mereka, serta negara-negara bersangkutan sebagai sponsor untuk karya mereka.  Dan di “kalangan dalam” koreografer yang digadang-gadang, nama-nama Eropa bercampur baur dengan nama-mana Amerika Serikat dan Afrika Selatan, Utara serta Barat.

Bagaikan di nirwana
Akram Khan Company / National Ballet Of China; Copyright: Hugo Glendinning Tampaknya satu impian umat manusia telah terwujudkan di bidang seni pertunjukan, khususnya seni tari:  Tampaknya satu impian umat manusia telah terwujudkan di bidang seni pertunjukan, khususnya seni tari: Semua ras dan warna kulit, semua negara, semua gender dan gaya bersatu padu dalam suasana persaudaraan, dinaungi dan dilindungi oleh iklim politik kebudayaan yang penuh kepedulian dan diasuh oleh para pengarah program dan pimpinan festival yang mahatahu.

Namun syarat untuk memasuki negeri impian ini adalah pengajuan proposal, sebagaimana ditentukan oleh politik kebudayaan.  Dan meskipun berbagai kunjungan kerja dalam rangka ko-produksi atau latihan mengutamakan aspek kreatif tanpa mengharapkan hasil tertentu, pada akhirnya tetap harus ada suatu produk yang dapat diperlihatkan. Tetapi pada waktu mengajukan permohonan untuk bantuan dana yang sangat diminati, sekonyong-konyong pihak pemohon menghadapi tembok pembatas dengan konteks nasional, regional, atau bahkan separatis.

Jika panduan permohonan bantuan dana, persyaratan pengajuan proposal, semboyan festival dan pemberitahuan penolakan dipelajari dengan saksama, kita akan mendapat kesan bahwa kita sedang berhadapan dengan dunia yang serba terkotak-kotak. Kota X menyediakan dana dengan syarat bahwa seniman Y mengadakan pertunjukan perdana di X. Festival Z, yang juga berminat, tetapi tidak seketat X, diharapkan menanggung sebagian besar biaya produksi, namun hanya akan disinggahi oleh sang seniman. (Argumen ini digunakan di Berlin untuk memangkas atau membatalkan pemberian dana bantuan kepada seniman.) Yayasan Kebudayaan F memang membantu seniman internasional, tetapi hanya jika mereka berjanji tampil di tingkat nasional atau regional. Seniman Denmark yang berkarya di Denmark jauh lebih tidak menarik dibandingkan seniman Denmark yang berkarya di Portugal. Kualitas karyanya sendiri tidak menentukan atau hanya berperan kecil.

Politik kebudayaan dan pembinaan kesenian tidak selalu bertujuan sama
Copyright: picture-alliance/ ZB Namun apa sesungguhnya yang dibina jika aspek-aspek nasional atau regional seperti itu turut menjadi pertimbangan? Sebab secara dialektik, kenasionalan sudah mencakup keinternasionalan, keregionalan mencakup yang kesupraregionalan dan yang keindividuan pun mencakup yang kekomunalan. Jika sebuah program beasiswa baru berskala nasional membiayai kunjungan seorang penari ke negara lain, hal itu sudah merupakan suatu pernyataan yang tegas: Ia tidak boleh belajar di negaranya sendiri.

Pertukaran internasional memang merupakan upaya yang mulia dan penting. Tetapi sejauh mana pertukaran itu terkait dengan ekspresi artistik? Apalagi dengan manfaat atau nilai tambah?

Barangkali terlalu naif untuk percaya bahwa politik kebudayaan pertama-tama berkaitan dengan pembinaan kesenian. Dan untuk tari berlaku hal yang sama seperti untuk semua bidang lain: Tidak ada cukup dana untuk semua, sehingga proses seleksi tidak terelakkan, sedangkan tidak ada seleksi yang bebas dari gugatan.  Dalam hal ini, kenasionalan sebagai suatu kriteria seleksi sama masuk akal atau sama sewenang-wenang dengan gender atau usia sang koreografer atau besar-kecil kelompoknya. Tetapi berapa banyak proyek bagus yang gagal semata-mata karena tidak memenuhi kriteria-kriteria “nasional”?   Dan berapa banyak karya tanggung dapat terwujud hanya karena cukup banyak jejaring di Eropa, persekutuan transnasional dan ansambel kosmopolitan diaktifkan?

Copyright: picture-alliance/ ZB Hal serupa berlaku juga dalam kaitan dengan muatan sosial-pedagogis pada tari. Begitu tari ditempatkan pada fungsi “ekstra-artistik” tertentu, maka tujuan semulanya hilang atau paling tidak terancam.  Menetapkan latar belakang nasional sebagai ciri estetis dan kemudian mengangkatnya secara budaya dan politik mungkin memang perlu dan bermanfaat di masa lalu. Tetapi bentuk-bentuk lama pembinaan seniman berdasarkan asal-usul nasional tampaknya telah ketinggalan zaman jika melihat proses penyatuan Eropa serta radikalisasi politik di bawah panji-panji keglobalan kapitalisme budaya.

Dengan latar belakang seperti ini, pertanyaan seputar “keterbukaan” atau “ketanpamrihan” tindakan politik kebudayaan perlu dirumuskan kembali: Bukan lagi asal-usul geografis maupun etnis yang patut menjadi ciri pembinaan yang liberal, melainkan kesungguhan artistiklah yang harus merupakan penentu. Menjadi penengah yang adil di antara pengotakan tema di segi administratif dan keberpihakan di segi artistik: Tugas itulah semakin mendesak bagi semua pelaku – baik di gedung teater, media, negara maupun studio.

Franz Anton Cramer
adalah peneliti tari, publisis dan kritikus. Kolaborasi proyek ilmiah pada Tanzarchiv Leipzig e. V. Dan di Centre National De La Danse, Perancis. Sejak 2006 anggota kelompok kerja pengembangan program studi “Tari Kontemporer, Konteks, Koreografi” dalam kerangka Pusat Tari Antaruniversitas Berlin. 2007 sampai 2013 ketua kelompok riset pada Collège International de Philosophie di Paris

Copyright: Goethe-Institut e. V., Internet-Redaktion
Penerjemahan: Hendarto Setiadi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar