Labels

Sabtu, 07 September 2013

Ekspresi Musik: Catatan Seusai Konser Kitaro

RIZALDI SIAGIAN

Di akhir konsernya, melalui jaringan sosial saya tulis: “Kitaro yang kutangkap adalah kelelahan yang amat sangat, kehilangan semangat, meski tertolong dentum taiko/ timpani dan impresi sakuhachi.“ Tak lama, muncul sejumlah tanggapan. Tapi bahasanya terasa menyembunyikan kekecewaan. Lalu saya tulis catatan berikut:

Saya menyaksikan Kitaro sebagai subjek bukan objek. Sebagai subjek seni berbicara, mengungkap atau mengekspresikan keadaan dirinya, keadaan yang dipengaruhi konteks dimana dia hidup, didalam situasi (termasuk saat) yang bagaimana karya itu dimainkan dan disajikan, … Pernyataan saya diatas sebenarnya menunjukkan kaliber kesenimanan seorang Kitaro … mengeks-presikan situasi kontemporer bangsanya yang sedang hancur luluh melalui konser dan perasaan yang berkecamuk dalam dirinya. Kondisi psikologis, kegelisahan, sedih, kehilangan, kelelahan yang dirasakan terungkap dalam permainannya. … Kitaro lebur dalam … kegalauan bangsa Jepang saat ini.

Dugaan saya benar. Dari komen-komen berikutnya terbersit kelegaan. Tapi persoalan konsep di belakang penafsiran makna sebuah konser, atau penolakan terhadap penafsiran itu masih belum terungkap dibalik basa-basi jejaring sosial itu. Mungkin catatan ini bisa memberi gambaran untuk mengidentifikasikan dimana sebenarnya posisi kita dalam mengapresiasi musik di tengah hiruk-pikuk industri hiburan negeri ini. Saya ingin memulainya melalui tinjauan sosio-musikologis yang menempatkan musik sebagai ekspresi dan kegiatan ekspresif yang memperlihatkan situasi dan hubungannya dengan masyarakat. Sedangkan pandangan dalam perpektif struktural yang membuka ruang interpretasi untuk membandingkan struktur musik dengan struktur sosio-kultural; serta pendekatan kontekstual dalam kaitan dimana musik disajikan serta bagaimana masalah sosial bisa mempengaruhi musik dan konstruksinya, akan saya tuangkan dalam tulisan terpisah.

***

Dag Österberg (2005:19) berargumen musik sebagai ekspresi dan kegiatan ekspresif berhubungan dengan sifat-sifat alami tubuh manusia yang berfungsi sebagai media ekspresi yang potensil dan bawaan lahir. Seperti perasaan senang, marah, takut, sedih, bisa diekspresikan melalui sinar mata, senyuman, atau gerakan anggota tubuh lainnya. Ekspresi yang diwarnai kekhasan budaya ibu ini pun sejak kecil sudah kita kenal dan ketika ekspresi ini dilakukan, ia tidak berlangsung asal-asalan; bahkan upaya mengelaborasinya adalah bertujuan untuk mengentalkan dan memperkaya makna yang hendak diungkapkan itu. Ekspresivitas adalah hubungan internal antara apa yang diekspresikan dan ekspresi itu sendiri. Teori dan konsep inilah yang mendasari sosio-musikolog Barat dalam menginterpretasikan ekspresi musik.

Dalam sejarah musik Barat, musik sudah dianggap sebagai ekspresi perasaan, paling tidak, setelah jaman Barok, 1750. Tapi pendekatan ini sesungguhnya sudah dimulai sejak renaisance. Di jaman Rococo dikaitkan dengan emosi, dan puncaknya adalah di jaman Romantik: jaman kejayaan musik instrumental yang juga disebut jaman peluapan emosi tak terbatas. Di awal abad 20, ekspresivitas digegerkan oleh pandangan Stravinsky yang menyatakan “musik tidak mengekspresikan apa-apa.” Sejak itu sejarah musik Barat berusaha menggayuti “objektivitas baru.” Tetapi anti-romantisme ini tak pernah sukses. Sampai saat ini budaya musik Barat masih dalam domain ekspresivitas ini. Tetapi di balik sejarah itu, pertanyaan besarnya adalah bagaimana cara masyarakat dan budaya Barat mengapresiasi ekspresi musik ini? Bagaimana para ahli (sosiolog, musikolog) melihat hubungan ekspresi musikal dengan struktur sosialnya. Situasi dan struktur sosial seperti apakah yang bisa diekspresikan melalui musik, atau musik seperti apakah yang bisa dikatakan mewakili struktur sosial itu?

Pendekatan para ahli untuk menjelaskan pertanyaan-pertanyaan ini adalah melalui musik itu sendiri. Yaitu melalui rekaman bunyi yang dicatat dalam simbol-simbol, pengkodean, teori musik Barat. Susunan bunyi yang bisa diidentifikasikan melalui kode-kode musik itu dimaknai mewakili suasana dan perasaan hati pada saat musik itu dimainkan atau diperdengarkan—tentu dalam konsep budaya musik Barat. Nada minor dipersepsikan mewakili suasana/rasa sedih. Konsep blue note dalam musik blues adalah nada sedih, yaitu nada ters minor dalam akor mayor. Sedangkan nada-nada mayor dimaknai sebagai suasana hati gembira, ceria.

Sekedar membandingkannya dengan musik orang Toba, misalnya, nada mayor sebaliknya mengekspresikan melodi yang pedih memilukan. Terutama tradisi ratapan (lamenta) dalam upacara kematian yang disebut mangandung. Lompatan nada ters minor —dalam akor dasar minor—tidak dikenal pada musik vokal ini. Dengan meminjam teori musik Barat mendeskripsikannya, dapat dipastikan melodi sedih yang menyayat hati itu menggunakan kualitas tangga nada mayor. Ini bukan mengada-ada, tetapi ciri-ciri dan warna budaya musik Toba itu sendiri. Kalau penyeteman (tuning) alat musik hasapi juga dideskripsikan melalui teori musik Barat, misalnya, maka dua dawai yang terdapat pada alat musik ini menghasilkan interval ters mayor: nada do pada tali kedua, dan nada mi pada tali satu (E – G#). Contoh lain, kalau anda punya rekaman lagu-lagu Toba berirama sedih, seperti Inang (Charles Hutagalung), itu bukan dari tangganada minor, tapi “mayor.”

Akor konsonan, yaitu susunan tiga nada vertikal yang konvensional—seperti do, mi, sol, (c, e, g) dalam konsep harmoni tradisional—dikonotasikan keselarasan, kemapanan, dan kerukunan sosial, sedangkan akor-akor disonan (harmoni modern yang bersuara miring seperti akor jazz, misalnya) dikonotasikan sebagai konflik, perselisihan, dan permusuhan. Benturan nada-nada yang rapat berjarak setengah langkah (100 cent) pada akor disonan dianggap mewakili konfilk sosial. Dalam komposisi musik Barat, pergeseran antara tangga-nada mayor dan minor sengaja diciptakan dan direkayasa terus menerus. Begitu pula kombinasi akor atau bentuk harmoni konsonan, disonan, serta modulasinya terjadi secara terus menerus.

***

Melalui pandangan ini pula, sosio-musikologis menginterpretasikan karya-karya musik klasik Barat tiga abad lampau sebagai ekspresi yang merepresentasikan solidaritas sosial, mengekspresikan bagaimana perjuangan hidup bisa diatasi, keselarasan sosial bisa dibangun dan dimatangkan. Saat itu musik konsonan mendominasi musik disonan. Ini dimaknai bahwa keharmonisan sosial lebih diutamakan daripada konflik sosial. Melalui perspektif ekspresi inilah interpretasi musik Barat dilakukan. Cukup lama. Lalu, melalui pendekatan intelektual Beethoven pun “dinobatkan” menjadi “raja” musik Romantik karena kejeniusannya menyusun konflik, ketegangan, dan klimaks yang mewakili simbol-simbol keselarasan sosio-musikal Barat. Dunia Barat memuji-muji musik Beethoven sangat ekspresif, punya kekuatan heroisme dan semangat menghadapi kehidupan. Karyanya dianggap teladan karena menggerakkan masyarakat (Barat) bertarung untuk keadilan dan kebenaran.

Memasuki awal abad 20 musik klasik Barat cenderung berbunyi “sumbang”, miring, dan disonan. Bentuk harmoni ini semakin dikaitkan dengan kondisi sosial. Ia diinterpretasikan sebagai gambaran meningkatnya konflik sosial. Catatan sejarah semakin tebal oleh munculnya dua tokoh musik abad dua puluh, Igor Stravinsky dan Arnold Schoenberg yang mengedepankan bentuk-bentuk harmoni disonan di tahun 1910-an. Di Jerman Schoenberg yang juga dikenal sebagai pelukis berbakat ini didaulat sebagai tokoh gerakan seni ekspresionisme yang diakui sejarah mengakar di jaman Romantik (Apel, 1969:302). Musik disonan yang dikembangkannya diklaim sebagai musik sesungguhnya, karena mewakili konflik dan ketegangan sosial.

Dampaknya memunculkan pandangan bahwa musik yang hamonis dianggap menghindari dan menyembunyikan konflik kehidupan sosial. Ekspresinya dianggap ingin mempertahankan kekuasaan dan kemapanan. Musik seperti ini sering dianggap musik ideologis yang oleh paham Marxist dituduh tak ingin menjadi korban ilusi sosial. Tetapi, musik untuk ilusi seperti ini justru sangat ramai di dunia Barat. Contoh radikalnya adalah musik yang disebut muzak. Musik ini diproduksi untuk menciptakan suasana selaras, adem ayem, dan muzak diputar melalui plafon-plafon mall, merekayasa suasana tenang dan merangsang orang untuk merogoh kantong untuk membeli.

Namun demikian banyak juga musik yang karakternya bertentangan dengan muzak. Dalam perpektif ini, misalnya, musik rock ditafsirkan mengekspresikan kekerasan, memperlihatkan perilaku agresif suatu masyarakat. Tuduhan tak bermoral pun dilontar terhadap sejumlah genre musik musik lain. Bahkan musik jazz tahun 1920-an pun dimasukkan kategori ini. Ia dianggap mengekspresikan perilaku yang tak diinginkan; bisa berakibat demoralisasi pada pendengarnya. Mungkin pandangan ini muncul sejalan dengan rasialisme yang terjadi pada masa itu.

***
Konsep sosio-musikologis yang mengisi ruang-ruang interpretasi musik Barat ini mewarnai komentar saya setelah menyaksikan konser Kitaro di Jakarta (JCC Senayan), tanggal 7 April 2011 yang lalu. Suara seruling Jepang, sakuhachi, mendominasi warna bunyi synthesizer malam itu. Tak ada yang baru. Tapi disonansi akor dan efeknya merangsang ingatan visual yang ditayangkan Al Jazeera saat Jepang diterjang tsunami tanggal 11 Maret 2011 lalu. Lalu, pertunjukan itu pun terasa lesu. Kegarangan permainan dan dentuman suara Taiko, gendang besar disebut “thunder drum” itu menggelegar mendorong semangat sesaat, tapi kembali lesu. Malam itu Kitaro bukan seorang selebritis, tapi seniman Jepang yang jujur berekspresi. Ia sukses mengekspresikan kesusahan bangsanya melalui konser itu.

RS
Jakarta, 13 April 2011.

Apel, Willi. 1969, Harvard Dictionary of Music, 2nd Edition, Revised and Enlarged, Cambridge, Massachusetts, The Belknap Press of Harvard University Press.

Österberg, Dag. 2005. “General Socio-musicological Concepts: Expression, Structure, and Context” in Hammarlund, Anders, Olsson, Tord, and Özdalga, Elisabeth. 2005. Sufism, Music and Society in Turkey and The Middle East. Swedish Research Institute in Istanbul

Tidak ada komentar:

Posting Komentar