Labels

Sabtu, 07 September 2013

Catatan Orientasi Komposisi Musik “Opera-Esai” Tan-Malaka

RIZALDI SIAGIAN

Dodecaphony (baca: dodekafoni). Ini terminologi yang digunakan untuk menyebut bentuk komposisi musik Tony Prabowo dalam libreto (teks opera) Tan Malaka, karya Goenawan Muhamad. Sekalipun Tony mengombinasinya dengan tekstur polifonis lainnya, dodecaphony adalah orientasi utama komposisinya. Istilah lain terhadap musik yang mengabaikan nada dasar dan harmoni triadis yang konvensional ini adalah “atonal”, “atonalitas” atau “serialism”. Pendekatan ini juga disebut sistem 12 nada yang dikembangkan dari 12 nada kromatis yang terdapat di dalam sistem tangga nada diatonis, pada musik Barat itu. Tokoh utama pengembang tehnik atonal ini adalah komponis Jerman, Arnold Schoenberg, pada tahun 1917-1923. Schoenberg berpendapat dodecaphony adalah jalan keluar paling pas terhadap pengembangan konsep kromatis, yaitu 12 tingkatan nada setengah yang kompleks dan dikembangkan selama 120 tahun terakhir di Eropah Barat.

Serialisme menurut sejarahnya adalah derivasi dari tradisi musik Romantik yang berkembang akhir abad 19. Terutama gaya Romantik Jerman yang diwakili para komponis seperti Beethoven, Wagner, Mahler, dan Schoenberg. Gaya Jerman ini melangkah ke pengembangan motif mikro dan supratonal pada konsep tangganada kromatis yang rumit itu. Sedangkan para komponis Rusia-Perancis, seperti Debussy, Ravel, dan Stravinsky termasuk etnomusikolog Bela Bartok mengembangkan konsep ini lebih cair, tidak kaku pada sistematika, dan lebih efektif ketika diaplikasikan secara bebas. Pendekatan terakhir ini yang terkesan diikuti Tony Prabowo pada komposisi opera Tan Malaka yg saya tonton (22/4/’11). Sekalipun, dalam dunia akademis, metode yang dikembangkan Schoenberglah yang dijadikan acuan. Dalam tulisan ini saya ingin menggambarkan tingkat kerumitan penulisan musik yang disebut dodecaphony, serialisme, atau sistem 12 nada ini terutama untuk bisa memahami dan mengapresiasi para komposer yang mencipta dengan pendekatan ini.

Metode awal penulisan komposisi musik atonal ini adalah dengan menciptakan deret-nada (susunan 12 nada) yang disebut row. Deret 12 nada yang disusun dalam row terdiri dari semua nada-nada yang terdapat pada tangga-nada kromatis. Jumlahnya harus 12 nada, tak kurang dan tak lebih, ditata berdasarkan kriteria-kriteria tertentu. Nada-nada kromatis masing-masing diberi nomer, dari angka 0 s.d. 11. Row (deret-nada) menurut metode Schoenberg adalah menghindar dari susunan yang terkesan membentuk nada dasar. Setelah row tersusun/tercipta, deretan 12 nada yang kemudian disebut prime (prima) ini dimainkan dengan variasi sbb: Yang pertama memainkan deret nada aslinya, misalnya spt karya Schoenberg berikut: Bb-E-Gb-Eb-F-A-D-Db-G-Ab-B-C. Retrograde, deretan 12 nada (row) dimainkan dari susunan nada yang paling belakang ke depan, contoh C-B-Ab-dstnya. Inversion, memainkan deret-12 dengan penempatan nada kebalikannya; inversion-retrograd, memainkan deret-nada (row) secara terbalik dan dibaca dari belakang. Informasi lebih lanjut bisa lihat pada http://en.wikipedia.org/wiki/Twelve-tone_technique

Dengan pendekatan ini maka nada-nada yang muncul dari komposisi atonal seperti ini, akan terasa janggal dan aneh. Para pemusik, terutama vokalis yang tidak terlatih akan kesulitan menyanyikan musik atonal ini. Bagi pendengar musik yang tidak mengenal konsep ini, atonal menjadi tak mudah dicerna. Menurut saya meski Tony tak sepenuhnya menggunakan metode ini, tapi saya yakin membuat nanar kuping mereka yang tak terlatih. Tapi, pilihan Tony ini berhasil mempertajam tensi libreto GM tentang teka-teki Tan Malaka dalam sejarah. Begitupun, kelemahan yang menonjol adalah justru datang dari upaya untuk menutupi kelemahan dalam penyajian bunyi. Hal ini ada kaitannya dengan potensi akustika gedung dan kapasitas pemain, terutama kekuatan suara penyanyi. Dimensi sumber bunyi yang secara visual tampak di pentas pindah ke speaker mono di kiri-kanan pentas. Sumber bunyi yang muncul di sebuah sudut pentas tak terdengar. Akibatnya antara kuping dan mata, antara yang dilihat dan yang didengar letaknya tak sinkron. Seorang ahli tata suara dari CBS pernah memberi saran tentang hal ini. Gunakan jenis mikrofon yang disebut PZM (presure zone microphone). Tentu sekarang lebih canggih. Tapi, yang paling dasar adalah kekuatan suara (istilah populernya power) si penyanyi itu sendiri, selain musicianship-nya.

Jakarta, 25 April 2011.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar