Pengantar
Setahun lalu, 2009, melalui facebook, Gideon Momongan mengangkat kegelisahannya terhadap musik anak yang bergema di seputar kehidupan kita. Mungkin pemikiran dalam makalah yang saya sajikan untuk lokakarya festival musik nasional, 2006, dalam konteks tradisi musik masyarakat adat nusantara ini bisa bermanfaat untuk secara bersama memikirkan strategi yang paling pas dalam mencari solusi yang menjadi kegelisahan Gideon dan juga kita semua. RS
Permasalahan Dasar
Anak-anak adalah seorang individu. Subjek, bukan objek. Sesederhana apapun kreasinya, anak-anak juga mencipta, menggunakan, menyenangi dan menggemari musik di lingkungannya, terutama bila sesuai dengan dunianya.
Mencipta, menggubah, melatih, menggarap, atau membuat musik untuk dimainkan anak-anak adalah berbeda dengan membuat musik untuk didengar anak. Yang pertama melibatkan pertimbangan terhadap sistem penyerapan pengetahuan, potensi daya penghayatannya, dan kemampuan anak untuk mengekspresikan-nya dalam kegiatan konkrit: memainkannya. Yang kedua, menempatkan anak sebagai subjek (bisa juga objek) yang diharapkan sebagai pendengar musik; aktivitas responsif yang diharapkan dari anak bukanlah untuk memainkan musik yang didengarnya.
Seorang komposer yang mencipta komposisi musik untuk dimainkan anak-anak idealnya berfikir dan bertindak seperti guru. Ia diharapkan menyadari bahwa musik yang dibuatnya adalah untuk dimainkan anak-anak dengan eksistensinya sebagai individu. Ini merupakan komitmen ideal dan titik awal sebelum menentukan langkah-langkah berikutnya. Selanjutnya adalah membuat program latihan dalam upaya untuk mendorong perkembangan individu si anak dalam musik, dan masing-masing individu diberi kesempatan untuk mencapai tingkat kemampuan paling tinggi bisa diraihnya.
Perhatian terhadap anak sebagai individu sangat penting dalam musik atau jenis kesenian lain. Karena musik merupakan salah satu aspek dari kebudayaan, maka dimensi sosial kegiatannya harus menjadi perhatian. Dalam konteks ini para etnomusikolog yakin bahwa penggarapan komposisi musik dan proses pengajarannya semestinya tidak hanya ”berdasarkan musik saja,” atau hanya berorientasi kepada tehnik memproduksi bunyi-bunyian saja, tetapi juga ”didasari oleh konteks masyarakat dan konteks kebudayaannya” (Nketia, 1974:40). Seorang guru, pengajar, atau pelatih dalam konteks kebudayaan musikal, seyogianya tidak hanya mengajarkan keterampilan atau menyusui aspek-aspek kreativitas kepada anak-anak didiknya, tetapi juga memberi kontribusi untuk menggairahkan dan mengembangkan kepribadian si anak yang bakal menjalani kehidupannya sebagai individu sekaligus sebagai anggota masyarakat di dalam kebudayaannya.
Seandainya seorang komposer, pelatih, atau guru, memperhatikan perkembangan sosio-musikal individu anak-anak dalam kegiatan pelatihannya, maka hasilnya tidak hanya perkembangan responsif dalam bermusik, atau pemahaman dan kepekaan anak terhadap aspek keindahan musik, tetapi juga akan mengembangkan kesadaran kritis terhadap kompleks nilai-nilai yang berhubungan dengan situasi, tempat dan masyarakat dimana musik itu dipraktikkan. Dalam hal inilah seorang pelatih harus menyiasati berbagai cara, sekurang-kurangnya, untuk membantu anak-anak berperilaku sehat terhadap musik , dan memupuk keinginan anak-anak untuk berpartisipasi dalam kehidupan musikal masyarakatnya. Hanya dengan proses pembinaan dan pendekatan pendidikan seperti inilah sebuah festival–yang pada hakekatnya adalah kegiatan untuk tujuan pencerahan—saya yakini dapat dijadikan sebagai wadah evaluasi yang membuahkan hasil bagi kehidupan masa depan atau masa dewasa anak-anak yang dilibatkan dalam kegiatannya, meliputi: peserta, penonton, dan bagi anak-anak di lingkungan mana proses persiapan dilakukan.
Paradoks Antara Pengetahuan dan Kemampuan
Di level praktis, para pelatih idealnya menyadari bahwa pengetahuan musik tak pernah ada habisnya. Dinamis dan melaju sesuai jaman. Bahkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini sangat membantu perkembangan musik. Teknologi komputer yang mampu secara virtual menyajikan fenomena bunyi-bunyian musik tradisi dari seluruh dunia atau bahkan menciptakan bunyi-bunyian baru dan belum pernah dikenal sebelumnya memperluas kemungkinan bereksplorasi dalam musik.
Paradoksnya adalah kenyataan bahwa proses pencapaian kemampuan dan keterampilan bermusik seorang individu tidak bisa terjadi serta-merta (secara instant). Manusia tidak seperti ikan: begitu menetas langsung berenang. Tidak pula seperti burung yang memerlukan waktu relatif pendek untuk langsung bisa berkicau dengan nyanyian-nyanyian alamnya. Manusia memerlukan waktu yang sangat panjang untuk belajar dan menguasai kompleksitas yang terdapat di dalam dirinya. Ini hukum alam. Kemampuan bermain musik pun mutlak memerlukan satu unsur utama yang tak dapat direkayasa manusia melalui metode apapun, yaitu: bakat. Kondisi yang bersifat alami ini harus menjadi pertimbangan dalam menetapkan kegiatan-kegiatannya.
Oleh sebab itu pelatih, pengajar, guru, atau bahkan penyelenggara festival ini, jangan bermimpi-mimpi anak didiknya atau peserta festival bisa langsung berpenampilan baik, apalagi ”hebat” seperti legenda ”anak ajaib”, Mozart, yang dimitoskan bapaknya konon bisa mengingat semua detail bunyi dari komposisi musik yang didengarnya dan langsung menuliskannya ke dalam notasi. Yang kita hadapi adalah sebuah kenyataan yang menjadi kodrat rata-rata manusia bahwa proses pengembangan keterampilan, termasuk, bermain musik adalah bersifat gradual, perlahan. Karena itu, sejumlah hal penting layak dipertimbangkan, yaitu: (1) kualitas persiapan yang akan diberikan dalam pelatihan, pengajaran kepada anak-anak, terutama, adalah untuk diserap sebagai budaya musikal yang sejalan dengan pertumbuhannya; (2) persiapan-persiapan diproyeksikan agar terjadi kesinambungan pertumbuhan musikal di sepanjang hidup si anak, serta (3) persiapan-persiapan yang bisa mendorong keyakinan anak-anak untuk berpartisipasi dalam kehidupan musikal masyarakat.
Permasalahan Praktik Pertunjukan
Tentu sudah sama kita ketahui bahwa bentuk tradisi musik di tengah-tengah masyarakat yang berakar dari multi-kultur seperti Indonesia adalah berbeda-beda, tidak sama. Tingkat kegiatannya pun sangat bervariasi. Ada yang kegiatan musiknya demikian tinggi, seperti di Jawa dan di Bali, dan ada pula daerah yang kegiatannya terbatas. Di daerah-daerah yang memiliki sekolah kejuruan kesenian, sistem pengayoman yang meliputi kegiatan pengajaran musik terorganisir berdasarkan sistem kurikulumnya. Sedangkan mereka yang tidak memiliki fasilitas ini, pengayoman dilakukan secara tradisional, yaitu oleh lembaga adat, lembaga keagamaan, atau sanggar; dan repertoir yang tersedia akan sangat tergantung kepada konsep dan kebutuhan adat bersangkutan. Dengan latar belakang yang berbeda-beda ini, dapat dibayangkan bahwa musik yang akan disajikan oleh anak-anak perserta festival ini akan sangat bervariasi: tidak hanya bentuknya tetapi juga pencerminan tingkat pemeliharaan dan pembinaannya.
Di dalam tradisi yang tingkat kegiatan musiknya tinggi, anak-anak sejak lahir sudah bersentuhan dengan bunyi-bunyian tradisional. Cara mereka belajar musik bergulir bersama tradisi, yaitu dengan cara melihat, menirukan, dan mempraktikkannya. Semua berlangsung dan mengalir secara alami. Dalam tradisi yang memiliki sistem musik canggih, seperti terdapat di tengah-tengah masyarakat di sekitar Laut Jawa, stratifikasi lagu-lagu sudah tertata dengan jelas. Gending-gending yang diperuntukkan untuk orang yang baru belajar, termasuk untuk anak-anak sudah tersedia, demikian seterusnya. Tetapi di dalam tradisi-tradisi lain, aturan-aturan seperti ini belum tentu ada, atau berbeda. Sebagai contoh masyarakat Mandailing Angkola, Tapanuli Selatan, di Sumatera Utara. Secara adat kegiatan-kegiatan yang diperuntukkan untuk ”muda-mudi” yang disebut na poso bulung melibatkan ensambel musik yang disebut gondang boru. Akan tetapi organisasi musikalnya, repertoir yang disajikan, adalah sama dan sebangun dengan sebuah melodi yang dipakai untuk semua kegiatan adat yang ada, onang-onang. Meski judulnya berbeda-beda tetapi secara melodis judul lagu yang berbeda itu adalah onang-onang. Orang akan mengatakan bahwa tradisi ini ”miskin” atau sering disebut ”monoton”. Sesungguhnya tidak demikian: konsepnya berbeda. Masyarakat Mandailing Angkola mengutamakan teks, bukan melodi. Dengan melodi yang sama mereka mengkomunikasikan gagasan-gagasan melalui teks yang disusun dan menurut mereka sedemikian indah. Teks yang diakomodasikan melalui melodi onang-onang itu membuat orang bisa menangis, tersenyum, mengangguk-angguk, merespon dengan berteriak dan bahkan tertawa terbahak-bahak. Dalam etnomusikologi, meminjam istilah yang ditawarkan Curt Sachs, tradisi musik seperti ini disebut logogenic (logika tekstual lebih diutamakan), sedangkan tradisi yang mengutamakan aspek melodis ia sebut melogenic (estetika melodis lebih diutamakan).
Dari kedua contoh di atas dapat dipahami bahwa di tengah-tengah masyarakat pemangku sistem budaya tradisional terdapat konsep organisasi musikal yang peruntukannya berdasarkan tingkatan usia. Tetapi di tengah-tengah interaksi musikal anggota masyarakatnya, konsep ini secara praktis saling tumpang-tindih (overlap). Ada lagu-lagu yang dinyanyikan anak-anak, ada juga lagu-lagu untuk anak tetapi dinyanyikan orang dewasa. Dalam pertunjukan-pertunjukan musik yang dimainkan orang-orang dewasa, anak-anak didorong untuk terlibat, terutama bagi yang memperlihatkan bakat musiknya. Anak-anak yang dinilai potensil memainkan instrumen, diajak bergabung dengan orang-orang dewasa. Demikian seterusnya tradisi itu bergulir.
Dalam konteks festival yang diarah untuk menampilkan musik tradisional yang dimainkan oleh anak-anak ini, saya asumsikan repertoirnya bersumber dari stok repertoir yang terdapat di dalam tradisi yang ilustrasinya saya bicarakan di atas. Meski tidak menutup kemungkinan untuk menciptakan repertoir baru bagi anak-anak, tetapi permasalahan praktik pertunjukan (keterampilan bermain musik) adalah kendala utama yang harus diperhitungkan. Bagi daerah-daerah yang tingkat kegiatan musik tradisionalnya tinggi, apalagi daerah yang sudah mempunyai institusi pendidikan formal di bidang kesenian, permasalahan-permasalahan teknis yang menyangkut pengembangan kemampuan dan keterampilan bermain musik, mungkin sudah teratasi. Tetapi tidak demikian sebaliknya.
Menghadapi situasi ini, jalan terbaik menurut saya adalah melakukan intensifikasi sistem yang telah berlangsung dari generasi ke generasi di tengah-tengah adat budaya bersangkutan. Yang ahli dalam hal ini sudah tentu pemangku tradisinya. Upaya mencangkokkan sistem atau mengadopsi sistem di luar sistem musik yang terdapat di tengah-tengah masyarakat yang bersangkutan belum tentu mengatasi permasalahan. Sikap menunggu ada upacara baru latihan musik, seperti terdapat pada tradisi Gordang Sambilan, di Tapanuli Selatan, tidak menguntungkan bagi perkembangan pemusik dan musik itu sendiri.
Memang, masalahnya jenis-jenis musik yang menjadi bagian dari sistem adat sangat bergantung kepada kegiatan upacara yang ditentukan adat. Kalau tidak ada upacara maka tidak ada musik dan pemusik pun kembali ke asalnya, petani. Keadaan ini sudah menjadi sifatnya, karena konsep bermusik bukan untuk berkarir sebagai pemusik. Ini tidak dikenal. Dalam situasi seperti inilah perlu peran pemerintah untuk merekayasa kegiatan yang dapat melibatkan pemusik tradisi menjadi aktif. Kegiatan itu akan membantu meningkatkan kemampuan melalui praktik pertunjukan yang tidak bergantung pada satu saluran adat saja.
Kalau permasalahan praktik pertunjukan musik tradisi di daerah-daerah tak terpecahkan, festival nasional musik tradisional untuk anak ini pun menjadi tak masuk akal. Sebaliknya, bila festival ini bisa diharapkan sebagai wadah untuk mengevaluasi dinamika gerak pertumbuhan dan perkembangan musik tradisional di seluruh nusantara, maka kreativitas dan inovasi-inovasi yang mampu menggerakkan kegiatan dan prestasi para pelakunya semestinya dirangsang, didukung dan digalakkan. Tetapi sejarah menunjukkan kebanyakan kreativitas dan inovasi keburu mati karena birokrasi. Mudah-mudahan kali ini tak begitu. Tapi, siapa yang tahu?
Jakarta, 19 April 2006
Rizaldi Siagian
Daftar bacaan:
Nketia, Prof. J.H. Kwabena, ”The Place of the Young Musician in Community Life” dalam Music Education in the Modern Life; Materials of the Ninth Conference of the International Society for Music Education, Moscow, Progress Publisher, 1974.
Sachs, Curt, The Wellsprings of Music, Ed. Jaap Kunst, New York, Da Capo Press, 1962.
Sloboda, John A, The Musical Mind: The Cognitive Psychology of Music, Oxford, Clarendo Press, 1985.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar