Labels

Minggu, 29 September 2013

TUBUH PLASTIK DARI RAHIM HARAPAN, MIMPI DAN CITA-CITA


(Resensi Pementasan Vortex L’apres-Midi D’un Foehn Version 1 di IFI Bandung 26, 27, 28 Sep 2013)
Oleh: Sahlan Bahuy*

Tapal batas normalitas dan abnormalitas meretas. Bayang-bayang hegemoni kebudayaan menemui ajal. Pilar modernitas yang bersifat progresif nan utopis berubah jadi nisan, sedangkan kelompok marginal bangkit dari kuburnya.   

Narasi overdosis. Realitas hiruk pikuk. Kebudayaan retak. Bahasa, komunikasi, dan informasi berperan memainkan politik ke arah ketidakberaturan. Pemujaan pada ragam tanda, ungkapan, citra, dan gaya yang nirmakna berpotensi menciptakan kehancuran budaya. Di sisi lain, upaya menggiring ke arah dogma radikal, spirit fundamentalis, pengkultusan pada patron dan tradisi kaku berpotensi menciptakan stagnasi bahkan kemunduran.

Pada situasi dilematis itulah, tubuh menjadi korban. Tubuh dihadapkan pada dua arus besar, antara memilih-memilah, kritis atau apatis, represif atau resistan, selektif atau permisif, lenyap atau diserap. Bayang-bayang pertarungan atas situasi di atas tergambar pada pertunjukan Vortex L’apres-Midi D’un Foehn Version 1 (tafsir penulis: Pusaran Angin Gunung Kala Senja ) yang dipentaskan di Auditorium IFI Bandung (26, 27, 28, September 2013).

Seseorang (Phia Menard) bermantel hitam berjalan pelan mengelilingi area lingkaran berdiameter lebih kurang  5 meter. Di garis lingkaran terdapat 7 kipas angin sedikit menunduk ke arah lantai. Langkah-langkah kecil tetap berlangsung, sunyi, tanpa ekspresi. Tatapannya kosong, mengimpresikan pelbagai ruang pemaknaan, kesepian, kebimbangan dan kegelisahan. Pertanyaan mulai menyergap, apa yang hendak dilakukan? Demikianlah, pertunjukan sudah dimulai sejak penonton memasuki ruang pertunjukan.

Area penonton berbentuk tapal kuda telah terisi. Kesunyian hidup kembali. Seseorang itu mengambil tempat, duduk di salahsatu tepi lingkaran. Dua kantong plastik merah muda terlentang di hadapannya. Beberapa saat ia menatapnya, lalu ia merogoh sesuatu di dalam mantelnya. Geraknya lembut dan lambat. Gunting menyembul. Kantong plastik mulai digunting menjadi beberapa potong, membentuk persegi panjang, segi empat, dan lingkaran kecil. Potongan-potongan plastik tersebut kemudian diplester satu sama lain, menjadi susunan tangan, kaki, tubuh dan kepala.

Tubuh plastik pun tercipta. Berwujud namun tidak hidup. Kelahiran yang bukan buah dari pertumbuhan sel telur dan sperma. Kelahiran yang berasal dari rahim citraan semangat, harapan, mimpi, dan cita-cita si pencipta. Barangkali ini menjadi narasi penting dalam proses kelahiran Vortex L’apres-Midi D’un Foehn Version 1. Sebuah transformasi tubuh sekaligus identitas di tengah erosi alam semesta yang kian kentara. Seperti yang dialami si empunya ide, Phia Menard, dalam perjuangannya melakukan transgender dari laki-laki menjadi perempuan.  


Suasana masih sunyi. Desau tetes air nyaring berbunyi. Tubuh plastik itu dilipat kembali, lalu diletakkan di tengah lingkaran. Seseorang berjalan menyusuri garis lingkaran, satu persatu kipas angin dinyalakan. Sebuah transformasi roh ke dalam jasad (tubuh plastik) sedang terjadi. Angin berhembus. Jasad masih saja mati. Musik berganti. Suasana alam semesta mulai meniti. Area lingkaran berubah mistis dan magis. Pelan namun pasti, tubuh plastik perlahan berdiri. Di kejauhan, di atas meja kerja, seseorang khidmat mengamati.


Ketika angin dan waktu bersinergi, tubuh plastik serta merta berdiri. Imaji bayi tumbuh menjadi anak kecil. Kini, tubuh plastik telah hidup. Dalam kesendirian, ia mulai meliuk-liukan tubuhnya, memutar, melayang, dan menari. Selang beberapa saat, seseorang melemparkan plastik lain berwarna hijau sehingga tampak dua sejoli tubuh plastik intim menari menciptakan koreografi organis. Kebebasan telah mendapatkan tempatnya dalam visual koreografi. Koreografi yang tidak direpresi oleh ritme dan ketukan musik. Koreografi yang melepaskan diri dari gerak mekanik seperti umumnya penari robot yang senantiasa melayani ritme dan ketukan. 



Kesepian mulai sirna. Seseorang tidak lagi sendiri. Semakin lama semakin banyak tubuh plastik melayang di area lingkaran. Sesekali ia menggapai tubuh plastik dan melepaskannya lagi. Seseorang itu kini dikelilingi materi tubuh plastik berwarna-warni. Terciptalah visualisasi yang halus, lembut, dan indah. Peristiwa ini berhasil memerangkap penonton masuk pada pelbagai imajinasi ruang dan waktu, seperti mengajak penonton menapaki kembali jejak-jejak realitas yang semakin disesaki ragam citraan. Komposisi musik karya Debussy turut berkontribusi menciptakan suasana plural, riang, murung, duka dan bahagia hadir beriringan.

Peristiwa penting dari narasi itu berlangsung ketika seseorang memakai payung besar, berjalan di tengah tubuh-tubuh plastik yang melayang. Seolah-olah mulai tersadar bahwa dirinya sudah tidak lagi tunggal. Dirinya kini telah dikelilingi pelbagai materi (tubuh plastik), maka konsep “diri” pun dirasa tak jelas lagi substansinya. Payung menjadi wujud simbolik yang memiliki relasi sebagai pelindung dari represi destruktif di luar dirinya. Payung tidak lagi pasif menahan terpaan tubuh plastik. Payung lalu digerakan, bagian dalamnya coba menjaring tubuh-tubuh plastik yang kian massif melayang.

 
Seseorang mulai tak berdaya. Dia kehilangan kendali karena telah dikepung oleh materi. Payung tidak lagi cukup melindungi dirinya. Diri yang tunggal telah berbaur menjelma kolase, dipaksa memahami beragam serpihan “teks” (tubuh plastik) yang kian tak jelas lagi konteksnya, aneka relasi yang kian kabur maknanya. Ketidakberaturan terjadi. Ia mulai berontak, meraih satu persatu tubuh plastik yang melayang, merobek dan menghancurkannya. Kekecewaan tampak menyergap, dirinya seolah-olah telah terjebak dalam pusaran angin beserta tubuh-tubuh plastik. Satu-satunya cara untuk menghentikannya adalah menghentikan putaran kipas angin. Pada saat itulah, seseorang dihadapkan pada batas-batas antara bertahan atau menyerah.

Pertempuran aneh itu bergeser ke tahap konklusi. Pusaran angin dihentikan. Pada tahap ini menyembul sebuah perenungan bahwa pertempuran tidak bisa dijinakkan dalam badai. Dibutuhkan ruang sunyi perasaan, sirkulasi kecerdasan akan ingatan atau lewat penghayatan pengalaman dan sebagainya. Pertunjukan ini menghasilkan wacana: tubuh dilematis yang merupakan bagian dari kian kaburnya identitas.

Dalam wacana itu, realitas panggung berhasil menampilkan pergulatan seseorang melawan pusaran angin dan tubuh plastik sebagai simbol transformasi tubuh sekaligus identitas yang membebaskan. Namun dalam realitas kehidupan, pergulatan itu sulit tuntas. Pembebasan mungkin sesuatu yang fana. Karena di era pluralisme mutakhir, pencarian identitas adalah petualangan tanpa batas.  

Sebagai sebuah tontonan, Vortex L’apres-Midi D’un Foehn Version menghidangkan visualisasi yang asyik. Phia Menard mempresentasikannya dengan baik. Penonton diajak larut dalam keajaiban pusaran angin. Sebuah kerja kreatif dari Non Nova (Prancis) yang secara konsisten selalu menawarkan transdisiplin kreasi dari pelbagai latar belakang ilmu pengetahuan.

Sebuah karya inovatif yang patut diapresiasi, namun bukan sesuatu yang asing jika kini pertunjukan teater kian memperlihatkan bergesernya material sebagai media primer dalam mengungkapkan peristiwa.

* Apresiator teater asal Cianjur. Bergiat di Mainteater. Pendiri Jalan Teater.

Kamis, 12 September 2013

Shakespeare's The Tempest, presented by The Connie Company

UVU: Theatrical Arts for Stage and Screen production of William Shakespe...

Machinal (daftar putar)

Machinal Florida Players

Machinal Part 3 "To Business" Part 2

Machinal Part 2 "To Business" Part 1

Alternative/Experimental Contemporary Theatre OLD (daftar putar)

Alternative/Experimental Contemporary Theatre OLD (daftar putar)

Contemporary dance theatre "Sergey Boorlak's Art Modern Line"

Stomp Live (2009)

Stomp Live - Part 6 - Dance & Fight

Senin, 09 September 2013

The Best of Schubert

The Best of Debussy

The Best of Baroque

The Best of Chopin

The Best of Wagner

Richard Wagner - Der Ring des Nibelungen

The Best of Beethoven

The Best of Bach

The Best of Mozart

Symphony No. 9 ~ Beethoven

Kritik Seni Rupa Kosmologis (Resensi Buku)

 Judul:
Wacana Kritik Seni Rupa Di Indonesia
Penulis:
Mamannoor
Pengantar:
DR. Bambang Sugiharto
Penerbit:
Yayasan Nuansa Bandung,
Cetakan Pertama, Oktober 2002
Tebal:
212 halaman

Photo Exhibition "Relatives" by Tino Djumini
at Rumah Seni Yaitu, January 2007. (Photo: Ferintus Karbon)

BUKU "Wacana Kritik Seni Rupa di Indonesia - Sebuah Telaah Kritik Jurnalistik dan Pendekatan Kosmologis" yang ditulis oleh Mamannoor mengisi kekosongan langkanya buku kritik seni rupa Indonesia. Buku ini sebenarnya merupakan tesis S2 dari penulisnya di Jurusan Seni Rupa FSRD- ITB pada semester genap tahun akademik 1997-1998. Penulisnya selama ini dikenal pula sebagai kritikus seni rupa.

Mamannoor, selama beberapa tahun, menjabat sebagai salah satu Kurator di Galeri Nasional Jakarta. Kritikus seni yang sempat memberikan lokakarya kreatif seni rupa di Semarang itu meninggal dunia tahun lalu, Minggu (7/10). Almarhun menderita sakit kelenjar getah bening.

Selayaknya tesis, Mamannoor menulis dengan pendekatan dan pola akademis yang ketat. Isi bukunya memaparkan penelitiannya – selama 3 tahun: awal 1993 hingga akhir 1995 (hlm. 13) – mengenai seluk-beluk kritik jurnalistik seni rupa modern yang bertebaran di sejumlah penerbitan, majalah maupun koran, dalam kurun waktu 1950-an hingga 1997 (hlm. 30). Penelitian terbatas pada kritik yang ditulis oleh kritikus Indonesia terhadap kegiatan dan karya para seniman Indonesia.

Mamannoor membagi tulisannya menjadi dua bagian besar, yakni: Bagian Pertama: Kritik Jurnalistik Seni Rupa Indonesia (Bab I-V) dan Bagian Kedua: Metode Pendekatan Kritik Seni Rupa Berdasarkan Penghayatan Kosmologis (Bab VI).

Kritik Jurnalistik
Kritik diartikan sebagai "pembicaraan langsung mengenai seni dalam rangka menganalisis, menginterpretasi, dan menilai karya seni" (hlm. 39). Mengutip Edmund Burke Feldman, kritik jurnalistik seni rupa dinyatakan dalam kategori berita, namun ia juga berupa tulisan analisis secara sistematis tentang suatu karya seni rupa yang akan, sedang, atau telah dipamerkan (hlm. 44).

Umumnya paparan kritik seni rupa akan menunjukkan tahapan deskripsi sebuah karya seni rupa, analisis formal, proses apresiasi, dan terakhir disodorkan hasil evaluasinya. Namun, paparannya itu tidak selalu harus tampil berurutan. Sedangkan penilaian kritik atas karya seni rupa berdasarkan pertimbangan Formalisme, Ekspresivisme, dan Instrumentalisme.

Selama ini kritik seni rupa di Indonesia, menurut Mamannoor, meminjam perangkat pengkajian/teori asal Barat. Teori kritik seni rupa modern Barat membaginya menjadi Kritik Jurnalistik, Pedagogik, Akademik, dan Populer. Keempatnya membawa berbagai konsekuensi penelaahan dan sasaran yang berbeda.

Perangkat pinjaman itu diyakini tidak mampu secara lengkap membaca karya seni rupa yang dihasilkan oleh seniman Indonesia. Sebab, seni rupa modern Indonesia berbeda secara signifikan dengan seni rupa modern pada umumnya di dunia Barat. Seni rupa Indonesia tumbuh dengan nilai-nilai historisitasnya sendiri dan tidak selalu berpadanan linear dengan sejarah seni rupa modern Barat.

Begitu juga seniman Indonesia tumbuh dan dibesarkan dalam kultur serta nilai-nilai kosmologis yang tidak sama pula dengan seniman modern Barat. Inilah pokok persoalan yang menimbulkan keyakinan Mamannoor, perlunya suatu pendekatan kritik seni rupa modern Indonesia berdasar nilai-nilai lokalitasnya sendiri, sehingga dia menawarkan suatu metode pendekatan kritik seni rupa berdasar penghayatan kosmologis (uraian lengkap pada Bagian Kedua, Bab VI).

Pada Bab I-V Mamannoor memaparkan penelitiannya tentang kritik jurnalistik seni rupa di berbagai media penerbitan. Pada umumnya, disimpulkan bahwa kritik jurnalistik itu dapat meningkatkan apresiasi pembaca/masyarakat awam terhadap karya seni rupa. Keyakinan itu juga diamini oleh para senimannya. Namun, sebagian besar seniman meragukan kualitas tulisan kritik seni rupa yang ada selama ini. Bahkan Jim Supangkat - kritikus seni rupa terkemuka - menilai "sebagian tulisan kritik seni rupa kita adalah ulasan yang buruk bahkan menyesatkan" (hlm. 108).

Apa latar belakang sinyalemen Jim di atas? Kembali Mamannoor mencangkok pendapat Jim Supangkat dan Edmund Burke Feldman, bahwa pada umumnya penulis kritik jurnalistik seni rupa itu adalah para wartawan, yang terkadang wartawan umum, yang tidak mafhum tentang seni rupa (hlm. 108).

Padahal, menurut kritikus Almarhum Sanento Yuliman, "Sesungguhnya kritik itu sendiri suatu karya seni". Untuk itu pada seorang kritikus tidak saja dibutuhkan intuisi dan intelegensi, tetapi juga kecakapan penggunaan bahasa (hlm. 76).

Penghayatan Kosmologis
Photo Exhibition "Relatives" by Tino Djumini
at Rumah Seni Yaitu, January 2007. (Photo: Ferintus Karbon)

Istilah "kosmologis" dimaksudkan sebagai "permasalahan kesemestaan, keduniaan, atau kejagatan yang bersifat fisik dan metafisik" (hlm. 133). Dengan begitu Mamannoor "memberi tekanan berat pada konstruksi "dunia" di balik seniman maupun di balik karya" (Pengantar DR. Bambang Sugiharto, hlm. 8).

"Dunia" makrokosmos dan mikrokosmos peradaban seni rupa modern Barat diyakini Mamannoor berbeda dengan "dunia" dalam penghayatan seniman Indonesia. Baginya, seniman Indonesia memiliki nilai-nilai spiritualitas dan kosmologis nusantara di mana seniman itu hidup di dalamnya. Itulah mengapa untuk menelaah suatu karya seni rupa Indonesia, tidak bisa begitu saja meminjam semua pola pengkajian dan pisau analisis model Barat.

Metode pendekatan yang ditawarkan mengacu kepada pemahaman kosmologis yang bersifat metafisik, yang merupakan pelanjutan dan perluasan filsafat manusia. Prototipe objek formal dalam kosmologi metafisik dan titik pangkal penelitian adalah manusia, sejauh dia secara sadar berkorelasi dengan masyarakat dan dunia; atau pula sejauh dia merupakan bagian dunia dan sejauh dia adalah duniawi (hlm. 133).

Dan dalam penghayatan kosmologis seniman Indonesia tidak bisa dilepaskan dari pembicaraan mengenai unsur spiritualitasnya. Mamannoor menandai dua macam spiritualitas, yakni religius dan sekuler. Menurutnya, dalam suatu fase, seni rupa modern Barat meninggalkan spritualitas religiusnya, maka lahirlah wacana "art for art sake" yang lebih menitikberatkan pembahasan estetika formal saja (hlm. 137).

Pembahasan suatu karya seni tidak bisa lepas dari kreatornya, sehingga posisi seniman menjadi sentral. Ia menekankan penelaahan kosmologis senimannya yang meliputi pendekatan genetis, biografis, juga pernyataan seniman bersangkutan (hlm. 166). Disamping itu juga harus dibicarakan kosmologis proses karya si seniman berikut kosmologis karya seninya itu sendiri. Mamannoor menggambarkan seniman, proses berkarya, dan hasil karya dalam suatu lingkaran mikrokosmos. Sedangkan stimulus/rangsangan dan apresiator berada dalam lingkaran makrokosmos.

Catatan
Photo Exhibition "Relatives" by Tino Djumini
at Rumah Seni Yaitu, January 2007. (Photo: Ferintus Karbon)

Ada beberapa hal yang perlu dikritisi pada buku ini, misal waktu dan materi penelitian yang tidak sinkron (lihat alinea 2 bahasan ini). Disadari pula bahwa salah satu kelemahan kritik jurnalistik seni rupa, ialah keterbatasan waktu tenggat muat dan halaman media/penerbitan termaksud. Oleh sebab itu, tawaran metode kritik berdasar penghayatan kosmologis tidak memberikan solusi ideal. Kita tahu, metode itu memerlukan waktu dan bahan penelaahan yang komprehensif, sehingga hasil telaah itu sendiri menjadi lebih panjang. Belum lagi penelaah yang menyiratkan orang yang kompeten atas persoalan seni rupa.

Pada kenyataannya, metode yang ditawarkan bisa melengkapi kecenderungan pengkajian, yang marak akhir-akhir ini, seperti pendekatan fenomenologi, postrukturalisme, ataupun hermeneutik. Mamannoor mengingatkan kita betapa pentingnya pembahasan mengenai subjek senimannya.

Kendati buku ini tidak menyodorkan teknik yang aplikatif seperti halnya keharusan suatu metode/disiplin ilmu, tetapi tetap saja menarik untuk dicermati oleh penekun/peminat seni rupa, mahasiswa seni rupa, juga para wartawan budaya pada umumnya. Tuturan bahasanya lancar dan dilengkapi sejumlah diagram yang membantu pemahaman. (Tubagus P. Svarajati)

XXL: Melihat Seni Rupa Indonesia dengan Perspektif Ukuran


Teks & foto: Jaya Liem | Editor: Intan Larasati

Dalam setahun dua tahun belakangan ini, ada kecenderungan baru di kalangan pemilik museum pribadi di dunia untuk mengakuisisi karya-karya seni berukuran besar sembari membangun ruang pamer yang mampu mengakomodasi karya-karya itu. Alasan di balik kecenderungan ini, menurut mereka, adalah untuk memberi kesempatan kepada publik untuk bisa menikmati karya-karya seni berukuran besar. Hal ini dikarenakan kebanyakan museum-museum konvensional tidak memiliki koleksi karya seni berukuran besar akibat ruang pamer yang tidak memadai untuk mempresentasikan karya-karya tersebut.

Permasalahan ruang pamer yang memadai, dalam artian ukurannya, memang sering menjadi permasalahan dalam perhelatan seni rupa kontemporer saat ini. Karya seni semakin lama semakin besar, namun kebanyakan ruang pamer masih berukuran sama. Untuk mengatasi permasalahan ruang pamer itu, seringkali akhirnya karya-karya berukuran besar dipamerkan di ruang-ruang publik seperti mal, gedung perkantoran, bandara, bahkan gudang. Sekilas memang masalah ini terpecahkan, namun jika karya tersebut membutuhkan perlakuan khusus, baik dalam segi materialnya ataupun keamanan karena sifatnya yang rapuh, maka penggunaan ruang publik ini tidak bisa menjadi solusi. Apalagi kondisi di ruang publik yang biasanya ramai, bisa jadi juga akan mengganggu publik yang ingin menikmati karya tersebut.


Selama satu bulan penuh, mulai dari tanggal 12 Agustus sampai 12 September 2012 lalu, Jogja Contemporary menyelenggarakan pameran bertema “XXL: State of Indonesian Art” di Sangkring Art Space, Yogyakarta. Sesuai dengan temanya, pameran yang dikuratori oleh Valentine Willie ini memang menghadirkan karya-karya seni berukuran besar dari 15 seniman kontemporer terkemuka Indonesia yaitu: Agus Suwage, Arahmaiani, Budi Kustarto, Eko Nugroho, Handiwirman, Heri Dono, Jumaldi Alfi, M. Irfan, Mella Jaarsma, Nasirun, Nindityo Adipurnomo, Putu Sutawijaya, Tisna Sanjaya, Ugo Untoro, dan Yusra Martunus.

Alasan utama Valentine Willie untuk mengadakan pameran ini adalah karena beberapa tahun belakangan ini sangat jarang publik bisa melihat karya-karya para seniman ini dipamerkan di Yogyakarta akibat padatnya jadwal pameran mereka di luar Yogyakarta dan/atau di luar negeri. Alasan kedua adalah karena jarang sekali seniman-seniman tersebut berkesempatan untuk berpameran bersama-sama, sehingga jarang juga terlihat karya mereka dipamerkan berdampingan. Sedangkan alasan ketiga adalah karena ruang pamer besar yang dimiliki Sangkring memberi kesempatan bagi para seniman yang terlibat untuk membuat karya-karya berukuran besar dan bisa dipamerkan.

Kesempatan untuk membuat karya berukuran besar rupanya sudah ditunggu oleh beberapa seniman. Jumaldi Alfi menyatakan bahwa kesempatan untuk membuat lukisan yang berukuran besar merupakan sebuah tantangan besar karena dalam proses pembuatannya dibutuhkan kemampuan khusus dalam hal penguasaan areal kanvas. Budi Kustarto juga menyatakan merasa senang mendapat kesempatan membuat karya berukuran besar, karena terakhir kali dia membuat karya berukuran besar adalah pada tahun 1998 ketika mengerjakan lukisan dinding untuk sebuah klub di Swiss.


Karya-karya berukuran besar yang dipamerkan dalam pameran ini memang tidak semuanya karya baru yang dibuat khusus untuk pameran ini. Karya Agus Suwage yang berjudul “Monumen yang Menjaga Hankamnas” sebelumnya pernah dipamerkan dalam pameran tunggalnya di Galeri Nadi, Jakarta bulan April lalu. Demikian juga dengan karya obyek Handiwirman yang pernah dipamerkan di Galeri Nasional Jakarta pada akhir Maret tahun lalu, karya Mella Jaarsma yang pernah dipamerkan di ART|JOG|12, karya Nindityo Adipurnomo yang pernah dipamerkan di Galeri Semarang, dan karya Eko Nugroho, serta karya Yusra Martunus yang juga pernah dipamerkan sebelumnya.

Dalam tulisan pengantar pameran, Valentine Wilie menyatakan bahwa ukuran telah memainkan bagian yang penting dalam sejarah seni rupa, dan sensasi dari karya seni monumental mencerminkan kualitas kreativitas yang luar biasa mengagumkan dalam merepresentasikan pengalaman manusia. Karya-karya demikian melalui bentuknya yang sangat fisik mampu menunjukkan pernyataan dan kritik yang sangat kuat mengenai sistem kontrol, dominasi, dan otoritas yang seringkali dalam konteks agama, spiritualitas, pemerintah dan rakyat.

Pameran XXL mengambil peran sebagai titik awal kemampuan karya-karya tablo dan bernarasi besar untuk mengobservasi, mewakili, dan menginterogasi keadaan bangsa. Untuk mengantisipasi berbagai pendekatan yang merangkai kritik pribadi dan publik, humor, idealisme, peringatan, dan observasi mengenai ide-ide kebangsaan, komunitas dan realitas politik, pameran ini ditujukan untuk menghadirkan percakapan visual tentang situasi kontemporer Indonesia saat ini.


Dalam salah satu esai yang dimuat di katalog pameran, Amir Sidharta mengatakan bahwa pameran ini tidak hanya menghadirkan karya-karya dengan ukuran/skala fisik yang monumental. Ada banyak ukuran/skala lain yang bisa dibaca seperti skala kesejarahan dalam lukisan Budi Kustarto yang berjudul “War”, skala leluhur dalam karya bordir Eko Nugroho yang berjudul “My Father’s Portrait” dan “Fighter”, skala kognitif dalam seri karya obyek Handiwirman yang berjudul “Tak Berakar, Tak berpucuk”, skala moral dalam lukisan Heri Dono yang berjudul “The loyal Barong”, skala binatang dari karya instalasi Mella Jaarsma yang berjudul “Animals Have No Religions – Indra I”, skala informasi dari karya Nasirun yang berjudul “Mbah Google”, dan seterusnya.

Pameran XXL direncanakan akan diselenggarakan setiap tahun pada bulan Agustus yang merupakan bulan monumental dalam sejarah bangsa Indonesia. Dengan pameran ini diharapkan akan semakin dipahami bahwa Indonesia merupakan negara yang besar, yang sarat dengan keragaman dan kekayaan budaya. Selain itu, dalam jangka panjang, diharapkan juga dapat dilihat dialog yang terbentuk di antara para seniman yang terlibat dalam pameran ini dalam hal ide, kompetisi, dan sebagainya.

Jaya Lim Jaya Lim
Lulus dari Fakultas Hukum UGM program kekhususan HaKI. Aktif terlibat dalam skena musik lokal dan gerakan DIY pada pertengahan 90-an sampai awal 2007, sementara juga bekerja sebagai sound engineer, perancang grafis, kontributor zine, dan pemilik clothing label. Sejak tahun 2007 bekerja sebagai manajer proyek seni rupa lepas dan sound designer.

KRITIK SENI RUPA DI MEDIA MASSA

Esai Seni Rupa Seruni Bodjawati di koran Merapi.

Media massa seperti koran dan majalah telah memberikan ruang luas untuk peliputan berbagai peristiwa seni rupa di Indonesia. Hal ini membuat perkembangan seni rupa kita melesat sangat pesat dalam satu dasawarsa terakhir. Indonesia menjadi salah satu pusat seni rupa Asia berdampingan dengan China, India dan Vietnam. Diakui atau tidak, ibu kota seni rupa Indonesia adalah Yogyakarta. Di kota berhati nyaman ini ribuan perupa lahir dan bersaing keras untuk eksis. Daya kreativitas menggelegak. Inovasi dan terobosan baru dalam penciptaan dan publikasi karya berjalan jauh lebih intens dan memukau.

Apa pun bentuknya, setiap tulisan di media massa pastilah memberi rangsangan ke semua pihak untuk lebih memerhatikan seni rupa. Para seniman lebih tergugah, galeri dan pedagang tambah nafsu, kolektor dan konsumen mimpinya lebih indah, dan masyarakat luas lebih ingin memahami seluk beluknya. Namun jarang ada pihak yang mengerti secara bijak mengenai karakteristik dan posisi jurnalistik seni rupa di media massa. Termasuk para perupa sendiri. Seringkali terlontar berbagai keluhan mengenai bobot dan cakupan tulisan serta detail dan kedalaman kritiknya. Tentunya hal ini terjadi akibat tiadanya pemahaman memadai tentang berbagai persoalan yang ada.

Jurnalistik seni rupa di media massa punya bentuk beragam. Ada yang berupa laporan sekilas pandang, mirip berita biasa, acapkali ditulis oleh wartawan bukan ahli seni rupa dan karenanya lebih mengutamakan hal-hal yang bersifat informatif atas data-data faktual belaka. Mungkin juga akan ditambah sedikit komentar sederhana untuk mempermanis tulisan agar enak dibaca. Tentu saja tulisan semacam ini tidaklah mendalam. Sebab memang tidak dimaksudkan sebagai sebuah tinjauan seni. Ada pula jenis tulisan panjang, cukup komplit dan mendalam yang biasa dimuat di rubrik khusus budaya. Seringkali dibuat oleh penulis lepas yang sengaja mengirimkannya ke redaksi. Kebanyakan orang lantas menganggapnya sebagai tinjauan seni bahkan kritik seni.




Seyogyanyalah, yang paling berkompeten melakukan kritik seni adalah ahli seni. Tapi tidak setiap ahli seni dapat menjadi kritikus seni. Ada berbagai prasyarat yang harus dimiliki untuk menjadi kritikus seni, apalagi kritikus seni di media massa. Salah satu yang mutlak adalah kemampuan menulis yang baik dan benar, enak menyajikannya, sesuai tuntutan media massa dalam melayani kebutuhan pembaca yang terdiri dari berbagai lapisan masyarakat.

Ahli seni yang pintar menulis tidaklah banyak. Yang ada itupun belum tentu mau (bisa) produktif. Padahal kebutuhan media massa akan tulisan berupa kritik seni amatlah banyak. Akibatnya ruang kosong yang ada sering dimasuki oleh siapa saja. Penulis ahli yang bukan ahli seni adalah yang paling berpeluang mengisi kekosongan tersebut. Kadangkala dengan modal pengetahuan seni tidak seberapa justru bisa bebas berbicara panjang lebar mengenai seni. Celakanya, cara bertuturnya amat sangat enak dibaca, gurih dan renyah serta penuh gairah dan menggugah emosi, meski kelemahannya sungguh mendasar yakni tidak menyentuh esensi. Padahal yang paling dibutuhkan dalam kritik seni adalah pembicaraan mengenai esensinya.

Tidak mudah dan bahkan cukup berat menulis kritik seni rupa di media massa. Disamping dihadang keterbatasan ruang dan deadline, masih dibebani keharusan untuk mencerdaskan dan mencerahkan pembaca. Sementara pengejaran terhadap aktualitas membuat waktu merenung tak bisa berpanjang-panjang. Perlu kecerdikan tertentu dalam bekerja agar kelemahan mendasar yang tak mungkin dihindari bisa teredam. Belum lagi risiko moralitasnya, semakin banyak mengkritik berarti semakin banyak menambah musuh. Secantik apa pun tampilan sebuah kritik tetap tak akan gampang diterima dengan lapang dada oleh pihak sang seniman. Konon seniman adalah makhluk paling manja di dunia. Cepat cemberut kala dikritik dan segera meledak bahagia kala dipuja. Bergurau pula, bahwa kritikus itu hanyalah orang lumpuh yang gemar menghardik orang agar berlari kencang. Tak aneh jika kemudian lebih banyak kritikus seni pensiun dini hari.

Kritik jurnalistik seni rupa yang termuat dalam jurnal berkala atau majalah khusus seni rupa lebih mungkin memberikan kepuasan dari segi kedalaman tinjauannya. Sebab disamping halaman yang tersedia lebih luas juga segi aktualitas peristiwanya tak terlalu dipusingkan. Di sini kritikus bisa lebih mengendapkan hasil perenungan dan pemikirannya sebelum menuangkan ke dalam tulisan. Aturan penuturan yang dikehendaki teoritikus Joseph Darracott bisa diterapkan yaitu deskripsi, interpretasi dan evaluasi. Dengan ini kritikus menempuh ujiannya sendiri berkaitan dengan penguasaan terhadap seluk beluk elemen-elemen estetika, teori-teori seni rupa dan tuturan bahasa. Mampukah mengajak pembaca turut memasuki kesadaran kritis terhadap karya kreatif seniman?

Kritik seni hanyalah bagian gejala dari persoalan besar dunia seni rupa. Kritik hanya bersifat membantu (memandu) pemahaman dan tanggapan masyarakat terhadap karya seni rupa. Tak boleh dianggap mutlak kebenarannya. Sangat boleh tidak dipercaya, disangsikan, digugat dan dipertanyakan kembali. Kritik yang baik selalu membuka pintu untuk mendapat serangan balik. Dengan begitu dialog panjang akan terjadi untuk menemukan kemungkinan terbaik. Pada akhirnya memang mutu muatan tulisan sangat bergantung pada kapasitas dan kualitas pengetahuan (pengalaman) dari sang kritikus sendiri. Jadi, kritikus hanya akan matang kalau juga mendapat banyak kritik.
-Seruni Bodjawati

Dari Sebuah Huru-hara “SENI KEPRIBADIAN APA”

Oleh : Bonyong Munny Ardhie
Spirit dan kemunculan.

Berawal dari rasa resah,galau,dengan meledaknya aktifitas Gerakan Seni Rupa Baru (1975) di Jakarta. Dimana dianggap oleh kawan-kawan Jogyakarta, waktu itu telah bersama menghantar awal dari sebuah kegelisahan sebelumnya ( sekitar th. 1973-1974).
Mari kita melihat ke belakang sebentar saat teman-teman selalu berkumpul, berbincang, berdiskusi di kompleks Gampingan (kampung dekat kampus). Dimana kawan-kawan ingin melepaskan belenggu konsep lama  yang selalu dieluelukan oleh para   establishment, yaitu para Dosen pengajar kami. Dari hari ke hari terbentuklah sebuah kelompok, sebuah komunitas Gampingan.
Dari awal mempersoalkan kesenian, saya menyodorkan sebuah rencana aktifitas di Parangtritis (pantai di Jogyakarta). Aktifitas tersebut dengan judul “Konsep Alam Terbuka”. Saya sengaja memakai istilah “Konsep” pada karya ini, sebab sebetulnya saya lebih ingin menonjolkan persoalan-persoalan yang berada didalamnya. Kegelisahan pada sentuhan angin; ruang yang luas (pantai); serta pasir yang bertebaran. Sedangkan plastik yang saya tebarkan hanya mampu bertahan  sekitar 10 menit saja. Hancur oleh dahsyatnya angin, gerak taburan pasir dan lemahnya plastik yang cepat robek. Konsep-konsep itu include dalam persiapan dialog dengan alam. Rasa ingin menaklukan alam dengan estetika, dan gejolak kepuasan pribadi.
Dengan menggelar karya tersebut terjadi antara obyek dan subyek maka lahirlah konsep – konsep individual seniman,sehingga keindahan itu terbentuk dari persepsi-persepsi sensitivitas yang menjadi pemikiran kontemporer. Penjelajahan pada relung-relung rasio menembus batas-batas seni konvensional saat itu.
Dimana konsep itu sudah saya siapkan berbulan-bulan dengan bahan-bahan yaitu beberapa puluh gulungan plastik; tali-tali plastik; rafia dan lain-lain. Maka berangkatlah “Komunitas Gampingan” tersebut dengan naik apa saja hingga sampai Parangtritis. Kami tidak mengundang siapapun selain teman-teman, dimana telah kami bagi  dalam team work. Antara lain penulisan; pemotretan serta hasil diskusi.
Terpancangnya plastik-plastik yang bersentuhan dengan angin,  juga  dengan digelarkannya plastik panjang (line art) pada ruang yang luas, serta angin yang kencang , menjadikan sebuah  persoalan yang mempunyai efek logis maupun psikologis .  Ini akan menjadi  nilai-nilai  estetika yang kita pelajari dalam perkuliahan, harus diperhitungkan kembali.
Hal ini merupakan awal  dari Komunitas Gampingan membesarkan “api” yang ada di dada, kepala, otak  kami masing-masing yang selalu membicarakan kesenian.
Pada suatu saat , kami disodori kembali oleh ide Gendut Riyanto (almarhum), yaitu membuat  rencana karya dengan judul “ Aku dan Sawah” (th.1979). Gendut bekerja lebih rinci, ia mempersiapkan katalog dengan konsep – konsep seninya  bahkan sempat membagikan kaos yang di print  “Aku dan Sawah”. Selama  seminggu, Komunitas Gampingan  berada di lokasi sawah yang tak jauh dari kampung Gampingan.
Karya “Aku dan Sawah” berupa tali – tali rafia/plastik yang di pasang  di pematang sawah dengan digantungi kain – kain, tas plastik (kresek) serta bahan-bahan lain. Bila  rangkaian tali tersebut  di tarik akan  bergerak  juga karena ada hembusan angin yang dapat menimbulkan suara. Gendut  menempati sebuah gardu kecil dipinggir pamatang sawah yang biasa di pakai Pak Tani melepaskan lelah. Disitulah kami berdiskusi/dialog tak henti-hentinya membicarakan masalah estetika. Aktivitas seperti ini, oleh para Akademisi/Dosen – dosen/Pengajar/Tokoh-tokoh seni, hanya disambut hambar. Bahkan  hanya dianggap bermain – main yang tidak pernah serius.
Salah satu aktivitas kesenian lain  yang saya ingat yaitu pameran kami bertiga, saya, FX. Harsono dan Nanik Mirna (almarhumah). Pameran kami  saat itu merespon Dosen kami (Fadjar Sidik), yang menyatakan  bahwa:  suatu bentuk – bentuk  jadi (bulatan, lingkaran, setengah lingkaran, segi empat, segi tiga, jajaran genjang dlsb.) adalah bukan seni. Karena bisa dibuat  lewat ukuran-ukuran sehingga menjadi  persis/sama.
Kami bertiga membuat karya yang didalamnya  mempunyai unsur-unsur bentuk selesai tersebut, dengan unsur-unsur warna  primer. Saat itu tanpa di duga , kami bertemu dengan saudara Sanento Yuliman (almarhum), yang kebetulan berada di Jogyakarta. Sebagai awal dari pertemuan tersebut, kami  menyatakan : “kami hanya main” ; kami ingin menjawab istilah seni atau “batasan seni” dari pernyataan  Dosen kami, bahwa barang-barang  jadi itu bukan seni. Tetapi apa jawab Sanento saat itu : “Karya Anda ini adalah menolak nilai-nilai estetik  sekarang ini (pada saat itu). Karya ini merupakan karya yang ‘non liris’”. Karya-karya yang rasional; yang berawal dari sesuatu yang matematis cenderung dari otak, bukan dari emosi.
Dari pameran bentuk-bentuk jadi ini kami telah merasakan seberapa besar peran rasio  yang kami sodorkan pada karya kami ini, sehingga peran emosi sudah menjadi peran yang nomor sekian bukan  nomor satu lagi.
Rasa ini telah menjadi awal kami meninggalkan suatu ekspresi, suatu greget yang selalu didengung – dengungkan saat itu. Kami sudah berani meninggalkan karakter/spesifik kami. Kami sudah mulai bebas menerobos batas-batas konvensional yang selalu dicanangkan  di Akademi kami.
Kami selalu ingat, bahwa lontaran kritik untuk Komunitas Gampingan ini dari Bapak Kusnadi (almarhum). Kritik seni yang kami dapatkan adalah kecaman keras , kesenian yang main-main, kesenian yang tidak serius. Itu bukan kesenian!
Inilah awal dari teman-teman mulai resah, mulai tak enak badan , meriang, dalam mengerjakan tugas karya-karya dalam perkuliahan. Karya-karya kami banyak berceloteh, menghujat batas-batas seni. Sampai membodohkan diri/naïf dengan mengeja dan merumuskan batas-batas seni yang konvensional yang  sudah  mulai kami buang.

Sebuah gerakan

Apabila kita menyimak berita saat itu, membaca majalah atau  koran,  kita selalu disuguhi berita-berita yang memilukan, sedih, bahkan ada rasa putus asa tentang masalah – masalah sosial saat itu. Muaranya pada kemiskinan yang ada  pada sebagian  besar masyarakat kita. Tokoh-tokoh kita di negeri ini selalu memperlihatkan kekayaannya, dengan mobil mewah, rumah mewah dengan gaya hidup yang  hedonis. Jurang perbedaan kaya miskin  sangat  tajam, sehingga menimbukan sikap sensitif  serta menimbulkan  ketidakpercayaan pada  masalah politik pemerintahan  negara ini.
Ada sebuah anekdot dari kami, bahwa: “Pegawai negeri  bisa kaya, apabila korupsi”. Artinya pasti mengambil uang rakyat. Jadi komunitas kami ini memang berawal dari rasa sakit hati, sehingga karya-karya kami semua adalah suara  keprihatinan dan sakit hati  pada Pemerintahan       ini. Karya kami adalah  menyuarakan  rakyat kecil yang miskin , terpinggirkan dan terhimpit. Tidak heran bila kami  selalu berpikir bahwa Kepala Negara adalah biang keroknya.
Rasa gelisah/resah dan berkeinginan bergerak secara langsung dengan pameran dimana persoalan – persoalan komunitas ini lama kelamaan menyatu dalam selesainya diskusi di  studio – studio Komunitas Gampingan.  Yang akhirnya  Komunitas  Gampingan  menjadi kental dengan nama Kelompok  “Seni Kepribadian Apa”.  Dengan anggota:  Gendut Riyanto (almarhum), Winardi(almarhum), Redha Sorana (almarhum), Sapto Rahardjo (almarhum), Jack Body (Australia), Bram (Swiss),  Tulus Warsito, Ronald Manulang, Didit Riyanto, Ivan Haryanto, Iskandar Syahputra, Budi Sulistyo, Djoko Sulistyo Kahhar, Haris Purnomo, Pudji Basuki, Dede Eri Supriya, Umbu  Tangela, Bambang Darto, Bonyong Munny Ardhie, Slamet Riyadi.
Kenapa kami memilih nama “Seni Kepribadian Apa (PIPA)“, karena nama ini mengandung kekompleksan persoalan-persoalan kita pada lingkungan, kehidupan, pada kesenian yang harus  “kreatif” saat itu.
Awal dari rasa terusiknya  kesenian  pada saat itu merupakan sebuah kenyataan bahwa, mazab realisme terhimpit/terpojokkan. Karena  ada komunitas lain dari kampus kami menyatakan yang  dihargai adalah  seni dekoratif. Realisme  di era tersebut hampir tidak ada.
Itu dapat dilihat pada karya Dede Eri Supriya yang menggambarkan  Bung Karno dalam format yang besar. Pada saat itu lukisan Realis yang melebihi obyek sesungguhnya berarti bukan seni lukis melainkan sebuah Poster (bukan  seni murni tetapi merupakan sebuah desain). Komunitas kami masih mengagungkan Bung Karno. Dede Eri Supriya juga membuat karya  secara realis  wajah Idi Amin. Tetapi  dibuat dengan teknik puzzle. Karya tersebut terasa gampang rontok karena teknik penataanya  terdiri dari susunan puluhan puzzle. Ada juga lukisan Hari Budiono secara realis dengan obyek Suharto (Presiden pada waktu itu) yang memakai kaos oblong yang robek.  Karya tersebut tidak boleh dipamerkan karena dianggap menghina.
Karya kolaborasi antara Bambang Darto dan Redha Sorana (almarhum) dengan judul Monalisa,  dengan wajah Ibu Tien Suharto. Piguranya terdiri dari bunga anggrek yang pada saat  itu, Ibu Tien sedang membeli lahan luas untuk proyek kebun anggreknya di Jogyakarta.
Karya Slamet Riyadi  yang membuat kartu remi motif King yang wajahnya diganti wajah Suharto. Secara politik kami merespon habis-habisan keberadaan Suharto saat itu, dengan mengkritisi kepemimpinannya. Seperti karya yang saya buat, dengan judul “Hotel Asean Tower”. Menggambarkan rencana  pembangunan  Hotel tersebut . Ini merupakan ambisi Suharto membangun sebuah hotel  terbesar di Asia dengan menghabiskan biaya trilyunan rupiah, tanpa melihat dan merasakan adanya kemiskinan di Indonesia. Maka lengkaplah pameran “Seni Kepribadian Apa” ditutup polisi.
Rasa “sakit” dalam  menanggapi masalah politik saat itu secara langsung terlampiaskan pada aparat kepolisian, yang selalu berhadapan dengan kami pada masalah perijinan. Sikap – sikap ini yang rasanya saat itu menghantam kita. Ini terungkap pada karya – karya yang paling halus sampai paling jorok, menjijikan, bahkan obyek- obyek yang tanpa sentuhan/kedalaman ini kita sah-kan dalam karya – karya tersebut. Misalkan seekor sapi sungguhan kita masukkan ke dalam ruang pameran (karya Didit Riyanto). Sapi itu membuang kotoran (berak) di ruang pameran.
Karya saya sendiri yang mengusung bagian – bagian dari kepala sapi (mata, mulut, kepala) yang mentah. Menjadikan bau yang menyengat dan banyak belatung yang keluar dari daging tersebut.
Slamet Riyadi yang membakar kasur dan amben di depan ruang pameran sambil berteriak – teriak, “Selamat tinggal malas! Mari kita buang kemalasan jauh – jauh!”
Jack Body yang mengusung kereta dorong (gerobak) yang menjual es dan berbagai balon yang diisi helium, yang nantinya disulut rokok hingga meledak dan memekakkan telinga.
Akhirnya pameran tidak jadi dibuka (pada detik – detik jam pembukaan  ternyata ijin belum turun). Sedangkan para undangan sudah datang, mereka menunggu boleh tidaknya ijin dari kepolisian. Pada saat – saat menunggu tiba-tiba empat peserta pameran  dengan kostum hitam-hitam naik ke  atas gedung Seni Sono  (tempat pameran). Ke empat seniman tersebut mencoret  spanduk pameran (tanda silang). Ditulis oleh mereka “Dilarang Polisi”.  Seniman tersebut adalah Tulus Warsito, Iskandar, Budi Sulistyo dan Pudji Basuki.
Pada pertengahan pameran (±19.30 wib), kami juga membuat sebuah happening art. Dalam situasi ruangan yang masih penuh dengan penonton, lampu di ruang pameran mendadak kami matikan dari sekering pusat. Sehingga gelap gulita. Kami merencanakan dialog tanpa mengetahui siapa yang berbicara. Tetapi hasilnya karena kami sangat muak dengan kepolisian (saat itu di dalam ruang banyak polisi yang tanpa seragam) maka teman – teman peserta pameran secara spontan memakai moment itu untuk berteriak – teriak menghujat kepolisian. Suasana saat itu sangat mencekam. Selama sekitar 3 menit moment itu berlangsung, setelah itu lampu menyala kembali.
Beberapa tahun kemudian kepedihan kawan-kawan ini berlanjut, muncul karya Haris Purnomo, dengan judul “Luka”, yaitu pawai di jln. Malioboro dengan atribut orang sakit, yang di balut dengan perban di sekujur tubuhnya; bahkan sepeda motor yang digunakan  juga di perban. Pada waktu melewati Jln. Malioboro, para performance menaburkan kapur di sepanjang  jalan tersebut.
Gendut Riyanto  juga membuat karya dengan judul “Rumah Sakit” yang menggambarkan tempat tidur putih dengan dilengkapi selang infus persis penggambaran kamar di rumah sakit.
Dari persoalan-persoalan yang berada di PIPA tersebut, yang secara organisasi kesenian merupakan gerombolan yang bersifat terbuka. Dengan  tambahnya personal, menjadikan  bertambah  terbukanya ide/konsep-konsep yang menjadi aspirasi kami masing-masing. Akhirnya tanpa terasa kami sudah bisa memisahkan antara kawan-kawan yang bersikap/berfikir/berkarya yang berbeda dari kami, mereka menyingkir atau kami tolak. Maka saat kami akan pameran, kami selalu dibantu oleh penulis/kritikus/Dosen kami yaitu Bapak Sudarmadji (almarhum).
Aktivitas PIPA, selalu di Jogyakarta, pernah satu kali di undang  ke Bandung , juga dibubarkan  militer, karena karya kami selalu merespon situasi politik.

Hubungan Dengan Gerakan  Seni Rupa Baru Indonesia

Komunitas Seni Kepribadian Apa, memang berbeda dengan Komunitas Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia (GSRBI). Komunitas Seni Kepribadian Apa (PIPA) berada di Jogyakarta. Yang aktivitasnya terakhir sebagian  anggota  berada di luar Jogyakarta, antara lain di  Jakarta: Gendut Riyanto (almarhum), Haris Purnomo, M.Cholid, Umbu Tangela, Dede Eri Supriya, Ronald Manulang , Winardi (almarhum), Iskandar, Budi Sulistyo, Slamet Riyadi, sedangkan di Bandung: Bambang Darto, Redha Sorana (almarhum), di Surabaya ada Ivan Haryanto dan Didit Riyanto.
Tetapi hubungan  antara GSRBI dengan PIPA seakan-akan merupakan kesatuan, karena dalam proses berkesenian kami saling berhubungan. Tidak heran apabila pada akhir gerakan GSRBI di Jakarta, personel-personel PIPA langsung bergabung dengan  GSRBI.
Saya masih ingat, di Ancol, GSRBI besama-sama PIPA (FX. Harsono, Mulyono, Gendut Riyanto (almarhum), Haris Purnomo,Bonyong Munny Ardhie) mengadakan pameran  yang bertajuk “Lingkungan”.

Relevansinya Dengan Masa Kini

Seni Kepribadian Apa sampai sekarang masih relevan, karena  ternyata kehidupan sekarang masih sama dan tidak berbeda dengan masa lalu.  Artinya kita masih merasakan kehancuran  sistem politik kita, dimana tokoh – tokoh sebagai wakil rakyat justru mengkhianati rakyatnya sendiri dan larut  memperkaya diri dengan korupsi besar-besaran. Keadaan ekonomi yang selalu melonjak, membuat jurang antara si kaya dan miskin. Hal ini menjadikan “Kredo” PIPA, kembali menguak pada komunitas kami. Kondisi dunia kesenian saat ini yang dikuasai pasar, kita semua bisa melihat nama –nama dari komunitas PIPA yang berada di hingar bingarnya pasar tersebut, misalnya Dede Eri Supriya, Haris Purnomo, Ronald Manulang, Bambang Darto, Ivan Haryanto, Umbu Tangela, dan saya sendiri.
Keberadaan kami ini hampir selalu ada dalam setiap event pameran dalam negeri maupun luar negeri. dari yang berada di Kolektor maupun Pasar seni, Bazaar ataupun Balai Lelang  .

Solo, 15 Maret 2013

SENI RUPA PENYADARAN

Oleh: Moelyono

Proses Seni Rupa Penyadaran

Tahun 1965 saya kelas 3 Sekolah Dasar di Tulungagung, Jatim, seingat saya, bersama teman-teman bermain mendorong dengan ranting tubuh-tubuh terapung yang tersangkut di pepohonan perdu agar hanyut ke tengah sungai terseret banjir.  Magrib, Bapak naik tangga menara masuk ke tampungan air yang kosong, Ibu mengambil tangga, menutup pintu rumah dengan palang bambu, menyalakan lampu minyak dan mengaji, saya tiduran.

Saat SMP, saya dapat cerita, bapak sembunyi takut tetangga yang jadi sakerah yang setiap saat bisa menebas  siapapun yang dicap PKI. Bapak, seingat saya tidak pernah memakai tanda PKI, tetapi dari kantor membawa majalah Soviet yang saya suka foto fotonya.

Semester 3 di FSRD STSRI “Asri” Yogyakarta, jurusan seni lukis kost bersama ‘kakak kelas’ kelompok Seni Kepribadian Apa (PIPA) diajak pameran tahun 1979. Melukis realis tema sosial membawa kegundahan, ternyata tidak menyelesaikan persoalan sosial.  Kala pulang ke Tulungagung, tertarik masuk ke dusun-dusun problem sosial, misalnya ke desa ‘Waung’ yang selalu jadi rawa. Ikut-ikutan membuat lahan apung dari enceng gondok yang dibalik diberi tanah ditanami bayam, jagung, cabe. Tahun 1985 kegiatan di rawa Waung dibuat karya “KUD” – Kesenian Unit Desa – sebagai syarat ujian S1, berujud paparan 12 lembar tikar merah, tiap tikar ada pincuk tempat nasi daun pisang berisi tanah dengan tunas kangkung, kacang, bayam, cabe, jagung, ubi, satu dangau pendek berisi tikar dengan sketsa wajah konglomerat, di ujung deretan tikar dipasang podium dengan mike untuk suara gelombang gemerisik radio transistor. Di sudut paparan tikar diletakkan speaker bersuara gemerisik gelombang radio. Sidang ujian dibuka ketua dewan penguji dengan peryataan bahwa karya  tidak memenuhi syarat sebagai karya seni lukis, maka ujian dinyatakan ditolak. Saya mengangkat tangan akan menjelaskan karya, tapi langsung oleh panitia diajak keluar sidang.

Tahun 1985 data keterlibatan di desa Waung dipamerkan bersama kelompok Proses ’85 terdiri dari Gendut Ryanto, Harris Purnomo, Bonyong Munni Ardhie, Harsono, Moelyono dengan judul pameran Seni Rupa Lingkungan di Galeri Ancol, Jakarta. Pemikiran dasar dari pameran adalah berkarya  tidak  berangkat dari rasa trenyuh atau keharuan romantis,  produk ekspresi perasaan semata. Karya berangkat dari data obyektif dan  akurat. Guna mendapatkan data dan analisis yang obyektif tentang persoalan lingkungan, dilakukan kerjasama dengan Walhi –Wahana Lingkungan Hidup dukungan  Erna Witoelar, pameran dibuka menteri Lingkungan Hidup: Emil Salim, data pencemaran limbah industri di Teluk Jakarta  dari Dr. Meizar dan A.N. Hafild untuk analis problem kehutanan.

Tahun 1986  di Tulungagung, masuk ke Teluk Brumbun, 260 warga, satu SD. kecil, murid 23 anak, guru 4 orang, pak guru Katiran saja yang  aktif karena beliau adalah Kepala SD. Waktu jalan kaki  bersama ibu pedagang ikan, ditanya nama, pekerjaan, saya jawab guru gambar. Tiba di Dukuh ditemui Kepala SD dan diajak ke kelas 1 untuk mengajar gambar, pak Katiran dapat laporan dari ibu penjual ikan katanya ada guru gambar baru datang. Saya bingung di depan anak-anak kecil kelas 1, mau mengajar gambar apa? Diberi contoh gambar ikan tidak ada anak-anak yang gambar karena tidak ada buku gambar, saya tambah bingung. Seorang anak berteriak, pak gambar di pasir saja. Teriakan yang menyelamatkan kebingungan. Menggambar dilakukan hari Sabtu dan Minggu di bulan Maret 1987, sekitar  100 gambar anak-anak dipamerkan di dinding rumah pak Jono – almarhum,  agar  warga tahu hasil gambar anak-anak.  Proses gambar anak-anak dari gambar coretan garis dengan tumit kaki, telunjuk jari, ranting, kerang, membuat rumah-rumahan, mancing, tarik jaring, dapat burung, menyelam, nyamuk malaria, sakit demam, juga di kertas dengan pensil, pulpen menggambar  sejarah pemukiman orang tua anak-anak,  tanah pantai  milik siapa, mengapa warga miskin, mengapa tidak ada bantuan pembangunan, mengapa petugas kesehatan jarang datang, bapak setor kelapa ke mandor, bapak cari kayu ditangkap mandor hutan; sampai  gambar menjadi awal berbincang dengan bapak ibunya dan warga membahas bagaimana mengaktifkan guru SD, bagaimana menyalurkan air minum, ke mana anak-anak bermain, mengapa ikan mulai susah ditangkap, warga sudah punya KTP atau belum.

Kegiatan menggambar intensif hari sabtu dan minggu didukung dengan tenaga sukarela dari murid SMAK Tulungagung dimana saya mengajar, antara lain: Wibowo, Maryoko, Agus Kucing, Madu, Wardhani. Bulan Juli 1987 gambar, jaring, dayung, serpihan perahu, penguras air perahu  dipamerkan di Bentara Budaya Yogya.

Jakarta, awal 1988, diundang  API – Asosiasi Peneliti Ilmu Sosial Indonesia – ceritakan kegiatan di Brumbun, ini adalah perkenalan pertama kali dengan kalangan aktivis dan LSM, dan mendapatkan wawasan ilmu-ilmu sosial untuk kerangka pemahaman kerja dengan seni rupa  bersama anak-anak dan warga di dusun.

1988, ke Brumbun bersama tim dari Walhi –Jakarta dan Harsono untuk dokumentasi  mempersiapkan pameran ke Jakarta. Tiba di Brumbun saya langsung diajak petugas Kecamatan masuk rumah Pak RT. yang sudah ada Babinsa, Polsek dan petugas Kecamatan – Muspika Kecamatan – Babinsa bertanya:  nama lengkap, tanggal dan tempat lahir, pekerjaan, nama orang tua, pekerjaan orang tua, partai politik orang tua, waktu tahun 1965 umur  berapa, masih ingat peristiwa 65, mengapa sebagai sarjana  masuk ke dusun miskin, apa tujuannya, kegiatan  ini mirip yang dilakukan  PKI masuk ke desa-desa miskin di sepanjang pantai selatan, apa tujuan gambar anak  dipamerkan ke Jakarta, siapa  panitia orang-orang dari Jakarta yang ikut dalam rombongan ke Brumbun ini, apakah kegiatan di Brumbun sudah punya ijin dari Muspida? Soal ijin kegiatan saya Gambar  anak-anak dan warga dewasa digunakan  membahas persoalan keseharian: sejarah pemukiman, tanah pantai milik siapa, mengapa warga miskin, mengapa tidak ada bantuan pembangunan, mengapa petugas kesehatan jarang datang, bagaimana  mengaktifkan guru SD, bagaimana menyalurkan air minum, kemana anak-anak bermain, mengapa ikan mulai susah ditangkap, warga sudah punya KTP atau belum.a tidak bisa menjawab. Babinsa memerintahkan: kegiatan harus dihentikan sekarang juga, jika tidak semua rombongan diangkut truk yang sudah disiapkan, dibawa ke koramil. Dilarang ke Brumbun tanpa surat ijin dari Muspida dan rekomendasi Muspika.

Surat ijin kegiatan untuk Brumbun proses pembuatannya diuruskan oleh   pak Ema  Kusmadi – Kasi Kebudayaan kota, dengan cara dibuatkan Kartu Induk Organisasi Kesenian sebagai surat ijin resmi kegiatan kesenian, kemudian dibuatkan  surat pengantar ijin kegiatan pendidikan gambar  di Brumbun dengan stempel dan tanda tangan dari Kantor Depdikbud, Polres dan Kodim kabupaten Tungagung.  Surat  diserahkan ke  komandan Koramil yang langsung menerangkan bahwa   kekuasaan teritori militer pantai selatan  dipegang oleh Koramil. Pantai selatan adalah lokasi pembantaian orang-orang PKI serta kemungkinan kapal asing dapat menyelundup. Pengawasan keamanan pantai selatan dijaga ketat demi stabilitas negara dari para pelarian dan orang – orang yang mau menghidupkan  PKI.

Menggambar dengan anak-anak diijinkan dilanjutkan oleh Koramil, dengan catatan dilarang lagi kumpulkan warga untuk  berbincang-bincang, apalagi bicara politik.

Agustus 1988 didukukung API, Yayasan Karti Sarana, LIPI diselenggarakan pameran di Lingkar Mitra, Jakarta dengan judul “Pameran Seni Rupa: Dialogis Transformatif”. Pameran disertai diskusi dengan pembicara: Sanento Yuliman, Toeti Herati, Ratna Saptari.  Siti Adiyati menulis pameran di harian Kompas pada 4 September 1988 dengan judul “Seni Rupa Penyadaran”.

Dana dari penyelenggaraan pameran disisihkan sebagian untuk membeli buku sekolah, seragam pramuka dan selang plastik untuk saluran air minum.

Katalogus pameran diserahkan ke bupati Tulungagung; bupati  kunjungi teluk Brumbun, dengan  Bappeda memutuskan membangun jalan aspal untuk   obyek pariwisata. Dibangunnya jalan aspal membuat  mobil colt angkutan desa  masuk ke teluk Brumbun, warga nelayan bisa langsung menjual ikan atau udang Lobster ke pasar kota, warga buka warung,  jawatan perikanan meminjami kredit perahu , mobil puskesmas keliling semprot sarang nyamuk Malaria, Departemen Pendidikan mengganti gedung SD.

Kerjasama dengan API, menjalar perkawanan dengan para aktifis mahasiswa Jakarta, Yogya, Solo, Salatiga, Surabaya, Bandung. Tahun 1989-1991 para  aktifis  LSKBH-Surabaya, Sanggar Suka Banjir-Solo, FDPY, FKMY, SMID-Solo, Yayasan Geni-Salatiga menyelenggarakan pameran  karya integratif anak-anak Brumbun dan moelyono dengan judul “Seni Rupa Penyadaran” dilakukan keliling: Surabaya, Solo, Salatiga, Yogya. Agenda pameran diisi diskusi dengan pembicara: Harsono, Dede Oetomo, HB. Soetopo, Bonyong Munni Ardhie, Aries Mundayat, Mochtar Maseod, Goerge Aditjondro. Pameran selalu diawali pembukaannya dengan Wiji Thukul membacakan puisinya.

Proses Menyusun  Konsep Seni Rupa Penyadaran:

API memberikan perspektif  pemikiran Ilmu Sosial Transformatif  dengan metode  riset partisipatori atau Partisipatory  Research – yaitu kombinasi  penelitian sosial, kerja pendidikan dan aksi politik yang  dilakukan oleh masyarakat sendiri. Seni rupa coba diposisikan secara metodologi sebagai media riset partisipatori dengan    alur pemahaman, setiap orang bisa menguasai, mendayagunakan seni rupa sebagai media analisis, dialog dan berpikir kritis, mencari solusi tentang problem sosial di komunitasnya.

Penelitian partisipatori memberikan wawasan, rakyat menciptakan peluang dan ruang  untuk terlibat dan mengontrol proses penelitian maupun menghasilkan pengetahuan, dengan menempatkan dirinya sebagai subyek,  karena rakyat sebagai pusat trasformasi.

Pemahaman ditajamkan lagi dengan pembelajaran teori dan metodologi Paulo Freire yang disebut dengan  “penyadaran” (conscientization ) 9 yaitu: belajar memahami kontradiksi sosial politik dan ekonomi serta mengambil tindakan untuk melawan unsur-unsur yang menindas dari realitas tersebut.

Penyadaran dilakukan dengan metode dialog , yang merupakan hubungan antara pribadi-pribadi. Dialog berinduk pada sikap kritis, dialog menularkan sikap kritis. Dialog memungkinkan komunikasi sejati. Dalam kepercayaan, dialog memiliki kekuatan dan makna: kepercayaan kepada setiap orang dan kemampuan-kemampuannya, keyakinan bahwa setiap orang dapat menjadi jati dirinya sendiri yang sejati bila orang lain juga menjadi sejati.

Dalam proses dialog, semua orang didudukkan sebagai subyek , yang mempunyai posisi sejajar untuk melakukan dialog. Dengan demikian, pada hakekatnya, rakyat bawah sebagai subyek adalah pencipta kebudayaan.10

Teman-teman dari API memberikan lagi referensi yang lebih nyata dari pemikiran “penyadaran” untuk aplikasi teori dan metodologi di bidang seni, yaitu draft naskah terjemaham buku  Augusto Boal:  “Teater Pembebasan” (Theater of the Oppresed).

Teater Pembebasan menguraikan tujuan utamanya adalah mengubah masyarakat -“para penonton”-, mahluk-mahluk pasif dalam gejala teater  -menjadi subyek, aktor, transformer dari tindakan dramatis.

Penonton tidak menyerahkan kekuasaan kepada si tokoh –atau aktor- entah untuk bertindak ataupun berpikir mewakilinya; sebaliknya, ia sendiri mengambil  peranan protagonis, mengubah tindakan dramatis, mencoba jalan keluar, mendiskusikan rancangan-rancangan untuk perubahan. Singkatnya: melatih diri untuk tindakan yang sesungguhnya. Dalam hal ini, mungkin benar teater itu sendiri tidak revolusioner, tetapi jelas merupakan suatu latihan –rehearsal- untuk revolusi tersebut.

Penonton yang dibebaskan, sebagai manusia yang utuh, bergerak untuk bertindak. Betapapun tindakan  itu fiktif; yang penting ialah bahwa ia merupakan aksi.

Boal menegaskan, semua kelompok teater yang benar-benar revolusioner harus menyampaikan kepada rakyat alat-alat produksi dalam teater teater sehingga rakyat sendiri dapat mendayagunakannya.11

Eugene van Erve dalam  wawancara dengan “Citra Yogya”, 002/Th.I/1998  menegaskan tujuan utama dari Teater pembebasan  adalah menumbuhkan daya  dan kekuasaan kelompok tertindas agar mereka punya suara dan sarana  untuk memperbaiki nasib lewat upaya komunal yang kreatif dan kooperatif dan tanpa kekerasan.

Teater digunakan sebagai media non-hirarkis dan sepenuhnya dikendalikan oleh rakyat, untuk mengungkapkan aspirasi komunitas pedesaan dan pinggiran perkotaan ke arah kemandirian, keadilan sosial, serta kekuatan kooperatif, kolektif dan komunal.

Teater pembebasan berupaya memerlukan kegiatan artistik di kalangan massa untuk:

    Menjebol gagasan konservatif bahwa seni adalah wilayah eksklusif para praktisi yang istimewa, berbakat tinggi dan trampil, yang berkarya demi kenikmatan segelintir elit, dan
    Memperkaya kehidupan dan memberi wawasan yang penuh arti mengenai realitas eksistensial sebagian terbesar masyarakat, yakni lelaki dan perempuan kelas bawah dari semua sektor 12.

Dengan demikian Teater Pembebasan, membuat pemikir sosial dan organisator menjadi seniman, atau Teater Pembebasan membuat rakyat kebanyakan menjadi seniman, pemikir sosial, organisator dan individu yang mandiri, percaya diri, dan sadar serta prihatin terhadap  komunitasnya. Teater Pembebasan ditegaskan, bukan hendak menelorkan slogan-slogan radikal. Justru manusia bermartabat, santun memikat, mampu dan mau berpikir dengan menaruh hormat pada diri sendiri.

Menurut Eugene, di Filipina para pekerja teater sudah mulai meninggalkan sebutan ACTOR, dan mulai menyebut diringan dengan ATOR yaitu singkatan dari Artist-Teacher-Organizer-Researcher, dengan pengertian bahwa ke-empat unsur funsional itu sama pentingnya. Selain diperhatikan dan dijaga benar agar tetap ada ruang dan waktu yang memadai untuk mengembangkan segi kesenian dan kesenimanan masing-masing.

Dengan demikian, Teater Pembebasan membuat pemikir sosial dan organisator menjadi seniman; atau Teater Pembebasan membuat rakyat kebanyakan menjadi seniman, pemikir sosial, organisator dan individu yang mandiri, percaya diri dan sadar serta prihatin akan komunitasnya.

Teater Pembebasan ditegaskan, bukan hendak menelorkan sosok-sosok revolusioner yang mengacungkan senjata, mengkoarkan slogan-slogan radikal; justru adalah manusia yang bermartabat, santun memikat, mampu dan mau berpikir dengan menaruh hormat pada diri sendiri.6

Referensi di atas jadi acuan kerangka pikiran “Seni Penyadaran” yang dalam proses pameran keliling diperkaya, dipertajam dan dikritisi pada forum diskusi. (lihat catatan pokok-pokok makalah).

Aplikasi metodologi “Seni Rupa Penyadaran” dilakukan bersama anak dan warga dewasa di komunitas berdasar referensi tahap penguasaan media seni rupa berbasis potensi budaya dan material lokal.

1992 hidup di kawasan buruh industri di Rungkut, Surabaya. Mengajar gambar anak-anak buruh serta para buruh perempuan. Tahun 1993  bersama 11 buruh kawan Marsinah dan KSUM-Komite Solidaritan Untuk Marsinah- dibantu LSKBH dan LBH Surabaya, kerjasama dengan Dewan Kesenian Suabaya, mengadakan “Pameran Seni Rupa untuk Marsinah” di Surabaya, memperingati 100 hari terbunuhnya Marsinah. Karya yang dipamerkan berupa: hardboard cut karya 11 buruh, patung figure Marsinah, cetakan semen prasasti gapura jalan dan patung dari jerami figur 12 orang buruh saat interogasi militer yang dibuat bersama 5 mahasiswa seni upa STKW Surabaya. Saat akan pembukaan, pameran  dilarang dibuka oleh pihak militer.

Sejak tahun 2002 sampai 2013, “Seni Rupa Penyadaran” diaplikasikan dengan teori dan metodologi program ECCD –Early Chilhood Care for Development” Holistik  bekerjasama dengan  lembaga swadaya nasional diterapkan di daerah: NTT: Atambua, Kefa, Alor, Rote, Kupang, Maliana –Timor Leste, Papua: Jayapura, Wamena; Kalbar: Sungai Pinyu, Singkawang, Bengkayang, Sambas; Sulawesi: Tentena, Poso, Luwu; Ambon, Masohi-Pulau Seram; Pulau Nias; Sumatera: Aceh, Meulaboh; Jawa: Desa Kebonsari-Pacitan, Desa Sumber-Ponorogo, Pesantren ‘ Arrosyaad’, Balong, Kediri.

Moelyono –pelukis, instalatir,  konsultan partikelir program ECCD Holistik.

Pustaka:

    Katalogus Pameran Seni Rupa Lingkungan “Proses’85” Galeri Ancol, Jakarta, 1985
    Dr.Mansour Fakih: Aksi Kultural untuk Transformasi Sosial, Kata Pengantar buku Seni Rupa Penyadaran, Moelyono, Bentang Budaya Yogya, 1997
    Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas, Jakarta, LP3ES, 1985
    Paulo Freire, Pendidikan Sebagai Praktek Pembebasan, Jakarta: P.T.Gramedia, 1984
    Eugene van Erven, Teater Pembebasan, Citra, Yogya, 1988. Lihat pula Augusto Boal, Theater of The Oppressed, 1974
    Ratna Saptari: “Seni Rupa Dialogis Transformatif”: Beberapa Catatan, Makalah Diskusi, Jakarta, 1988.
    Katalogus: Pameran Seni Rupa Dialogis Transformatif, Yayasan API dan LIPI, Yayasan Kartisarana, Gedung Lingkar Mitra Budaya, Jakarta, 1988.
    Draft naskah: Teater Pembebasan, Augusto Boal, tanpa tahun

Catatan garis bawah dari  makalah-makalah diskusi Pameran Seni Rupa Penyadaran

 I. Makalah Dede Oetomo: Peranan Seni Rupa dalam melepaskan diri dari hegemoni global

    Pendekatan strukturalis dalam ilmu-ilmu sosial (Edward dll) membagi struktur masyarakat menjadi dua:

    1.       Infrastruktur –bangunan bawah : merupakan struktur dasar sosial-ekonomi dari suatu sistem

masyarakat

    2.       Suprastruktur –bangunan atas: terdiri dari pranata-pranata seperti ideologi, hukum, politik, bahasa, budaya dan seni

Bangunan atas dan bawah saling terkait dalam hubungan yang kompleks, masing-masing dengan dinamikanya sendiri. Untuk memahami kompleksitas itu, sebelumnya perlu dipahami bahwa pendekatan strukturalis pada dasarnya menganalsa sistem masyarakat berdasarkan bagaimana proses produksi diatur dalam masyarakat itu. Dasar pemikirannya begini:

    1.       Manusia berprodukdi dengan mengubah suatu benda, bahan mentah dari alam, menjadi obyek lain, dengan menggunakan berbagai macam alat atau sarana produksi.
    2.       Dalam berproduksi itu, manusia sekaligus saling terlibat dalam hubungan sosial tertentu

    Hubungan sosial diantara manusia-manusia dalam suatu masyarakat, gagasan-gasan mereka tentang dirinya sendiri dan dunia di sekitarnya (kesadarannya), dan juga hukum, moralitas, etika dan relijinya hanya dapat dipahami dalam kaitannya dengan cara mereka mengatur kegiatan produksi dan reproduksinya.
        Secara lebih rinci, hubungan sosial produksi dapat dijabarkan sebagai:

    1.       Siapakah yang memilki atau menguasai alat-alat atau sarana produksi ?
    2.       bagaimanakah hubungan langsung di dalam proses produksi antara mereka yang mengerjakan produksi dan mereka yang menikmati surplus hasil produksi ?
    3.       Cara apakah yang ditempuh oleh kelompok yang menikmati surplus itu untuk memperolehnya ?
    4.       Apakah benda-benda diproduksi untuk langsung dipakai ataukah dipasarkan ?

    Suprastruktur dan Infrastruktur saling berkait dengan memahami kecenderungan dalam budaya yang terkait dengan keadaan hubungan sosial-ekonomi masyarakat.
    Ajuan tesis: bahwa seni rupa di dalam suatu masyarakat pun tidak dapat lepas dari hubungan sosial produksi yang ada. Standard seni rupa kerapkali ditentukan oleh mereka yang berkuasa secara sosial-ekonomi di suatu masyarakat. Penentuan standard itu bisa secara mikro dan makro.
    Antonio Gramsci (1891-1937) mengemukakan suatu konsep yang menjelaskan penguasaan baik proses produksi itu sendiri dan sekaligus hal-hal non-fisik : ideologi, hukum, seni dll, yaitu: hegemoni.
    Dalam dunia budaya saat ini terdapat hegemoni dan mereka yang menguasai sarana dan proses produksi sekaligus menguasai hal-hal non fisik.
    Persoalan intinya adalah: kalau diperhatikan salng keterkaitan infrastruktur dan suprastruktur atas hegemoni yang mana dulu dilepaskan ? Ide Gramsci mengandaikan suatu perubahan sosial ekonomi di bangunan bawah dengan kemungkinan bangunan atas –suprastruktur- dipakai untuk mengubah infrastruktur.
    Melalui budaya orang dapat disadarkan akan tidak adilnya hubungan sosial produksi yang ada di bangunan infrastruktur.  Tentu saja orang tidak berhenti pada sadar saja, tetapi kemudian melakukan sesuatu. Namun dalam masyarakat modern yang serba spesialis, mungkin tugas pekerja seni memang terbatas di situ; yaitu mengubah kesadaran, membuat mereka yang terhegemoni menyadari adanya hegemoni tu dan barulah melepaskannya.

II. Makalah Goerge Junus Aditjondro: Pendidikan bersama anak-anak atau pendidikan tentang anak-anak? Pendidikan bersama orang miskin atau tentang orang miskin?

    Antonio Gramsci: ……“karena semua tindakan manusia punya nilai politis, tak dapatkah kita simpulkan bahwa filosofi seseorang secara utuh tersirat dalam tindakan-tindakan politisnya”
    Pedagogi Paulo Freire: Kodifikasi: representasi visual yang sangat sederhana dan mudah ditangkap, yang dapat dianalisa bersama oleh seluruh warga.
    Dalam metode asli Freire:  Kodifikasi berbentu gambar karya seniman Brasil: Francisco Brenand, yang ditransfer ke slide. Pemilihan tema-tema pokok yang akan dijadikan bahan kodifikasi, si calon pendidik harus melakukan penelitian dibantu beberapa ahli ilmu-ilmu sosial dan asisten peneliti dari warga desa. Barulah kemudian dibuat proses thematic investigation.
    Proses selanjutnya dari kodifikasi dalam bentuk slide adalah tahap “pendidikan yang mempermasalahkan” –problem posing education- atau problematizing pedagogi-
    Pembahasan (hasil) kodifikasi ini yang disebut dekodifikasi bukanlah sekedar pembahasan pemecahan masalah –problem solving- secara teknis.
    Kodifikasi itu diperlukan supaya orang-orang yang terlibat dalam masalah itu, dapat mengambil jarak dari permasalahan itu, kemudian mengupas struktur permukaan –surface structure- dan struktur dalam –deep structure-nya, serta dialektika dan kesatuan diantara struktur permukaan dan struktur dalam itu.
    Dekodifikasi berbeda dari tes-tes proyektif yang dikenal dalam penelitian antropolog. Sebab tujuannya bukanlah sekedar mengungkapkan taksonomi atau menggali persepsi-persepsi masyarakat tentang suatu masalah, melainkan merangsang serangkaian diskusi yang mendalam untuk menggali akar-akar permasalahan, kemudian merencanakan aksi.
    Seringkali diskusi-diskusi dekodifikasi ini hanya berhenti di “struktur permukaan” dan tidak terus menggali “struktur dalam”. Menghadapi “kemacetan” begini, Freire menganjurkan penggunaan proyeksi simultan dari bebera slide yang saling berhubungan.
    Freire mengingatkan: si pendidik dilarang keras memaksakan agendanya kepada kelompok masyarakat di mana ia bekerja. Gejala ini yang disebut manipulasi atau “invasi budaya” –cultural invation”, merupakan penyakit kronis dari para intelektual kelas menengah yang secara tidak sadar sudah terbiasa dengan pola “atas-bawah” selama pendidikan mereka sendiri di rumah maupun di sekolah. Juga bahaya manipulasi yang lain: manipulasi laki-laki dan perempuan dan bahaya manipulasi antar budaya.
    Mahatma Gandhi yang masih memikirkan dan mempraktekkan suatu pola pendidikan dasar yang tidak mengasingkan anak-anak didik dari total produktifitas keluarga, desa dan bangsa.
        Dalam ashram yang dirintis dan dibangun oleh Gandhi, mulai dari Pertanian Komunal “Burung Merak” yang didirikannya di Natal, Afrika selatan, tahun 1904 sampai dengan di Ashram Sabarmati di luar kota Ahmedabad di india, pekerjaan tangan menjadi inti atau ‘poros’ dari seluruh kurikulumnya. Khususnya kerajinan memintal benang dan menenun kain belacu India yang sederhana (khadi), yang dibarengi dengan penanaman kapas. Dengan cara itu, ada beberapa sasaran yang dicapai Gandhi, yakni:

    1.       Penggemblengan mental para anak didik itu sendiri, peluluh kesenjangan penghargaan pada pekerjaan tangan dibanding dengan pekerjaan otak
    2.       Pembebasan ketergantungan India pada kain impor Inggris
    3.       Serta pendidikan dasar-dasar  perjuangan politik yang berlandaskan prinsip-prinsip Ahimsa –tanpa kekerasan- dan Satyagraha –pembangkangan sipil-

    Pelajaran menanam kapas, memintal benang dan menenun kain dijadikan batu loncatan Gandhi untuk mengembangkan pengetahuan berhitung, pengetahuan tentang kemampuan tanah, pengetahuan tentang jenis-jenis kapas, pengetahuan tentang bagaimana maskapai-maskapai multinasional tekstil Inggris  di Manchester yang merajai  pasaran tekstil dunia, serta pengetahuan tentang etika dan taktik politik untuk membangun kekuasaan rakyat (lokimiti) sebagai pengimbang kekuatan negara (rajiniti).