Labels

Minggu, 29 September 2013

TUBUH PLASTIK DARI RAHIM HARAPAN, MIMPI DAN CITA-CITA


(Resensi Pementasan Vortex L’apres-Midi D’un Foehn Version 1 di IFI Bandung 26, 27, 28 Sep 2013)
Oleh: Sahlan Bahuy*

Tapal batas normalitas dan abnormalitas meretas. Bayang-bayang hegemoni kebudayaan menemui ajal. Pilar modernitas yang bersifat progresif nan utopis berubah jadi nisan, sedangkan kelompok marginal bangkit dari kuburnya.   

Narasi overdosis. Realitas hiruk pikuk. Kebudayaan retak. Bahasa, komunikasi, dan informasi berperan memainkan politik ke arah ketidakberaturan. Pemujaan pada ragam tanda, ungkapan, citra, dan gaya yang nirmakna berpotensi menciptakan kehancuran budaya. Di sisi lain, upaya menggiring ke arah dogma radikal, spirit fundamentalis, pengkultusan pada patron dan tradisi kaku berpotensi menciptakan stagnasi bahkan kemunduran.

Pada situasi dilematis itulah, tubuh menjadi korban. Tubuh dihadapkan pada dua arus besar, antara memilih-memilah, kritis atau apatis, represif atau resistan, selektif atau permisif, lenyap atau diserap. Bayang-bayang pertarungan atas situasi di atas tergambar pada pertunjukan Vortex L’apres-Midi D’un Foehn Version 1 (tafsir penulis: Pusaran Angin Gunung Kala Senja ) yang dipentaskan di Auditorium IFI Bandung (26, 27, 28, September 2013).

Seseorang (Phia Menard) bermantel hitam berjalan pelan mengelilingi area lingkaran berdiameter lebih kurang  5 meter. Di garis lingkaran terdapat 7 kipas angin sedikit menunduk ke arah lantai. Langkah-langkah kecil tetap berlangsung, sunyi, tanpa ekspresi. Tatapannya kosong, mengimpresikan pelbagai ruang pemaknaan, kesepian, kebimbangan dan kegelisahan. Pertanyaan mulai menyergap, apa yang hendak dilakukan? Demikianlah, pertunjukan sudah dimulai sejak penonton memasuki ruang pertunjukan.

Area penonton berbentuk tapal kuda telah terisi. Kesunyian hidup kembali. Seseorang itu mengambil tempat, duduk di salahsatu tepi lingkaran. Dua kantong plastik merah muda terlentang di hadapannya. Beberapa saat ia menatapnya, lalu ia merogoh sesuatu di dalam mantelnya. Geraknya lembut dan lambat. Gunting menyembul. Kantong plastik mulai digunting menjadi beberapa potong, membentuk persegi panjang, segi empat, dan lingkaran kecil. Potongan-potongan plastik tersebut kemudian diplester satu sama lain, menjadi susunan tangan, kaki, tubuh dan kepala.

Tubuh plastik pun tercipta. Berwujud namun tidak hidup. Kelahiran yang bukan buah dari pertumbuhan sel telur dan sperma. Kelahiran yang berasal dari rahim citraan semangat, harapan, mimpi, dan cita-cita si pencipta. Barangkali ini menjadi narasi penting dalam proses kelahiran Vortex L’apres-Midi D’un Foehn Version 1. Sebuah transformasi tubuh sekaligus identitas di tengah erosi alam semesta yang kian kentara. Seperti yang dialami si empunya ide, Phia Menard, dalam perjuangannya melakukan transgender dari laki-laki menjadi perempuan.  


Suasana masih sunyi. Desau tetes air nyaring berbunyi. Tubuh plastik itu dilipat kembali, lalu diletakkan di tengah lingkaran. Seseorang berjalan menyusuri garis lingkaran, satu persatu kipas angin dinyalakan. Sebuah transformasi roh ke dalam jasad (tubuh plastik) sedang terjadi. Angin berhembus. Jasad masih saja mati. Musik berganti. Suasana alam semesta mulai meniti. Area lingkaran berubah mistis dan magis. Pelan namun pasti, tubuh plastik perlahan berdiri. Di kejauhan, di atas meja kerja, seseorang khidmat mengamati.


Ketika angin dan waktu bersinergi, tubuh plastik serta merta berdiri. Imaji bayi tumbuh menjadi anak kecil. Kini, tubuh plastik telah hidup. Dalam kesendirian, ia mulai meliuk-liukan tubuhnya, memutar, melayang, dan menari. Selang beberapa saat, seseorang melemparkan plastik lain berwarna hijau sehingga tampak dua sejoli tubuh plastik intim menari menciptakan koreografi organis. Kebebasan telah mendapatkan tempatnya dalam visual koreografi. Koreografi yang tidak direpresi oleh ritme dan ketukan musik. Koreografi yang melepaskan diri dari gerak mekanik seperti umumnya penari robot yang senantiasa melayani ritme dan ketukan. 



Kesepian mulai sirna. Seseorang tidak lagi sendiri. Semakin lama semakin banyak tubuh plastik melayang di area lingkaran. Sesekali ia menggapai tubuh plastik dan melepaskannya lagi. Seseorang itu kini dikelilingi materi tubuh plastik berwarna-warni. Terciptalah visualisasi yang halus, lembut, dan indah. Peristiwa ini berhasil memerangkap penonton masuk pada pelbagai imajinasi ruang dan waktu, seperti mengajak penonton menapaki kembali jejak-jejak realitas yang semakin disesaki ragam citraan. Komposisi musik karya Debussy turut berkontribusi menciptakan suasana plural, riang, murung, duka dan bahagia hadir beriringan.

Peristiwa penting dari narasi itu berlangsung ketika seseorang memakai payung besar, berjalan di tengah tubuh-tubuh plastik yang melayang. Seolah-olah mulai tersadar bahwa dirinya sudah tidak lagi tunggal. Dirinya kini telah dikelilingi pelbagai materi (tubuh plastik), maka konsep “diri” pun dirasa tak jelas lagi substansinya. Payung menjadi wujud simbolik yang memiliki relasi sebagai pelindung dari represi destruktif di luar dirinya. Payung tidak lagi pasif menahan terpaan tubuh plastik. Payung lalu digerakan, bagian dalamnya coba menjaring tubuh-tubuh plastik yang kian massif melayang.

 
Seseorang mulai tak berdaya. Dia kehilangan kendali karena telah dikepung oleh materi. Payung tidak lagi cukup melindungi dirinya. Diri yang tunggal telah berbaur menjelma kolase, dipaksa memahami beragam serpihan “teks” (tubuh plastik) yang kian tak jelas lagi konteksnya, aneka relasi yang kian kabur maknanya. Ketidakberaturan terjadi. Ia mulai berontak, meraih satu persatu tubuh plastik yang melayang, merobek dan menghancurkannya. Kekecewaan tampak menyergap, dirinya seolah-olah telah terjebak dalam pusaran angin beserta tubuh-tubuh plastik. Satu-satunya cara untuk menghentikannya adalah menghentikan putaran kipas angin. Pada saat itulah, seseorang dihadapkan pada batas-batas antara bertahan atau menyerah.

Pertempuran aneh itu bergeser ke tahap konklusi. Pusaran angin dihentikan. Pada tahap ini menyembul sebuah perenungan bahwa pertempuran tidak bisa dijinakkan dalam badai. Dibutuhkan ruang sunyi perasaan, sirkulasi kecerdasan akan ingatan atau lewat penghayatan pengalaman dan sebagainya. Pertunjukan ini menghasilkan wacana: tubuh dilematis yang merupakan bagian dari kian kaburnya identitas.

Dalam wacana itu, realitas panggung berhasil menampilkan pergulatan seseorang melawan pusaran angin dan tubuh plastik sebagai simbol transformasi tubuh sekaligus identitas yang membebaskan. Namun dalam realitas kehidupan, pergulatan itu sulit tuntas. Pembebasan mungkin sesuatu yang fana. Karena di era pluralisme mutakhir, pencarian identitas adalah petualangan tanpa batas.  

Sebagai sebuah tontonan, Vortex L’apres-Midi D’un Foehn Version menghidangkan visualisasi yang asyik. Phia Menard mempresentasikannya dengan baik. Penonton diajak larut dalam keajaiban pusaran angin. Sebuah kerja kreatif dari Non Nova (Prancis) yang secara konsisten selalu menawarkan transdisiplin kreasi dari pelbagai latar belakang ilmu pengetahuan.

Sebuah karya inovatif yang patut diapresiasi, namun bukan sesuatu yang asing jika kini pertunjukan teater kian memperlihatkan bergesernya material sebagai media primer dalam mengungkapkan peristiwa.

* Apresiator teater asal Cianjur. Bergiat di Mainteater. Pendiri Jalan Teater.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar