Labels

Minggu, 13 Oktober 2013

Tentang Anumerta Nandang Aradea, Anumerta Wan Anwar, dan Hikmah Besar

Doddi Ahmad Fauzi

13 Oktober 2013 pukul 14:31
Tuhan yang Maha Ajaib, pemaaf, dan pemurah, maka maafkanlah segala khilaf dan kesalahan yang telah diperbuat oleh dua ciptaan-Mu itu yang kebetulan Kau memberiku kepercayaan untuk menjadi karibnya menurut versiku. Semua orang punya hak memiliki perasaan sebagai sahabat terdekat dari dua insan yang telah purna itu. Pun aku, merasakan demikian.

Ya Allah yang Maha Pelita, yang telah menciptakan matahari untuk menyiangi kegelapan hati kami, maka nyalakanlah obor terang-benderang di peristirahatan kedua sahabatku yang telah anumerta dalam membela seni-budaya. Di mataku, keduanya adalah pahlawan kebudayaan yang sahid di tengah keriuhan panggung, dikeheningan telaga suksma nir apresiasi, tan honor yang layak.

Tuhanku yang Maha Pemurah lagi Maha Pengasih, maka limpahilah kedua sahabatku dengan seluruh keadilanMu yang tak berhingga, sehingga kedua sahabatku dimaafkan kesalahannya, diampuni kekhilafan-kekhilafannya, diganjar berlipat ganda segala pahala yang telah ditunaikannya.

Pada akhirnya memang, tak ada gading yang tak retak: mulih ka jati mulang ka asal, sirna seperti sedia kala.
Aku, Doddi atau Berto, bersama Nandang Aradea dan Wan Anwar, adalah tiga serangkai yang dapat diibaratkan seperti Xavi Hernandes, Andres Iniesta, dan Lionel Messi yang merumput di lapangan hijau. Tetapi kami berhibuk di arena yang liyan. Pengibaratan ini tentu saja terlalu peyoratif, tetapi biarlah hatiku yang tengah terpukul mengeluh dan mengadu dengan lugunya, katro, bombastis, mungkin juga sinis. Kami bertiga seringkali merasa mencapai kesuksesan yang besar dalam ukuran kami. Mungkin kami kurang bersyukur sehingga sering ditegur. Bukan hanya Nandang Aradea dan Wan Anwar yang mudah diradang endmik, tetapi aku juga. Dalam hidupku, tak bisa kuingat berapa kali pernah berobat ke dokter, tabib, ahli akupunktur, hingga tukang pijit. Yang jelas, dua kali aku terbantal lemas di rumah sakit sambil merenungi lelakon hurip yang kata pepatah Jawa “mung wungkul mampir ngombe” (sekedar mampir untuk minum).


Anumerta Nandang Aradea adalah penggila teater dan organisatoris yang mumpuni. Ide-idenya “gila” bagi semesta, tentu tidak bagi Tuhan. Aku juga suka teater dan senang berorganisasi. Aku pernah jadi aktor dan Nandang Aradea jadi sutradaranya untuk naskah yang ditulis oleh Deden A. Azis berjudul “Reportase Ladang-ladang”, dan dipentaskan di taman PKM tahun 1996, di bawah ricik hujan yang menggebu, sampai kulit ketekku lecet karena kurang cekatan menggenggam tali tambang. Nandang adalah Ketua TMIB (Teater Mahasiswa IKIP Bandung, sekarang Teater Lakon namanya), dan aku jadi sekretarisnya. Menurut versiku, inilah pasangan pengurus TMIB paling ideal, karena yang satu ingin lari kencang, dan satunya lagi dapat mengikutinya meski tergopoh-gopoh.

Aku dan Nandang, seperti Bebeto dan Romario yang menghajar pertahanan kukuh catennazio tim Azurri. Bebeto lebih banyak sebagai pemberi assist, pengumpan yang jitu, dan Nandang adalah striker Romario yang mencetak goal. Maka di masa kamilah untuk pertama kalinya TMIB ikut festival teater hingga ke Australia. Juga di masa kepengurusan kami –lah TMIB bisa membuat sintetron walau hanya bisa satu episode. Kami merasa dimanfaatkan oleh orang yang ingin jadi Rektor, dan ia berkampanye dengan membuat sinetron pendidikan. Setelah ia jadi Rektor, sinetron episode berikutnya tidak pernah dibicarakan lagi. Stagnanlah kami. Hahahaha lugu benar duet maut Bebeto dan Romario itu.

Keberhasilan kami akan dipandang sombong lagi membagakan diri, layaknya sifat iblis ketika diminta oleh Tuhan untuk sujud pada kefanaan: Adam. Iblis mangkir. Ia abba was takbaro wa kana minaddolimin (sombong lagi membagakan diri, dan keadaannya itu berkecimpung dalam kegelapan: QS Albaqoroh lupa lagi ayat berapa). Tapi menurutku, akan dipandang sombong oleh mereka yang iri dengki jahil-kaniyaya. Namun bagi orang-orang yang mencapai kesuksesan jauh ke depan, apa yang kami capai belumlah apa-apa. Kami sudah coba apa yang kami bisa, tapi kerja belum selesai, belum apa-apa (Chairil Anwar: Antara Karawang Bekasi). Ya, di hadapan Kabumi, sepertinya prestasi kami itu bisa jadi bahan cibiran. Keun we lah, kumaha aing. Da Pesib ge nu aing. SBY nu maneh mah!

Suatu hari, aku chatting di YM memasuki Room Indonesia. Di situ aku bertemu ID yang menyebut dirinya Nandang Aradea. Kawankukah ia?

Ternyata benar, dialah Romario-ku. Lalu kami saling sapa, berbagi cerita, dan tak ada nestapa yang kami ceritakan meski kami bergelimang kepedihan. Hanya bahagia yang ingin kita bagi. Dertia biarlah kami endapkan dalam-dalam di kedalaman sanubari. Sudah kudengar sebenarnya kabar dari Wan Anwar bahwa Nandang tengah melanjutkan S2 di Moskwa, Rusia. Tetapi melalui chatting itulah semua kabar jadi benderang.

“Kau mainlah ke sini,” Katanya.

“Bagaimana caranya?”

“Kau baca puisi di sini, di Moscow Government University, macam UI nya Indonesia,” lagi-lagi katanya.

Aku percaya ia seorang Romario yang tendangannya maut, sundulannya jitu. Dan aku yakin diriku adalah Bebeto yang bekerja di belakang meja, lalu menyodorkan assist mataang kepada sang striker untuk lahirnya goal yang akan kami kenang sebagai keindahan tiada tara. Bagi musuh, goal itu adalah disaster. Bagi orang yang tidak menyukai kami, kesuksesan kami itu memang menjadi sumber iri-dengki berkepanjangan yang membuat hatinya jadi paceklik. Ya salah elo dong ngapain juga iri sampai segitunya.

Kuceritakan rencana Nandang Aradea itu kepada Benny Benke (wartawan Suara Merdeka). Dalam kesebelasan Jogobonito, posisi Benke itu ibarat Carlos Dunga, jadi ia setuju saja kepada Romario dan Bebeto, walau ia sanksi, apa benar dengan puisi bisa ke Rusia? Ya benar dong, bukannya dengan puisi Rendra keliling bangsa? Bukankah dengan puisi Tradji menjadi-jadi? Soalnya memang, aku belum sebesar Rendra atau Sutardji.

Aku terangkan kepada Benny, di negeri Tirai Besi itu ada striker handal, dan aku adalah sekretaris yang siap menjabarkan seluruh konsep yang berbelit-belit sekalipun, ke dalam proposal yang jelas dan tegas. Kita akan diundang baca puisi di MGU dan St. Petersburg University. Seperti sudah jadi fitrahnya, sang Dunga setuju dan mengikuti. Rival kami tentu berujar, mimpi kali mau baca puisi di universitas se-agreng itu.

Lalu aku diperkenalkan Nandang kepada Prof. Lyudmila Demidyuk (Ketua Jurusan Bahasa Indonesia di MGU), diperkenalkan kepada Prof. Skorsky (Ketua Sanggar Nusantara Rusia), juga kepada Henny N Suja’i guide Indonesia yang menguasai 9 bahasa Eropa. Nah loh, lihatlah pergerakan striker itu begitu jauh, tak terjengkal oleh alam pikirku yang berkutat di sakit hati, iri, ngedumel di belakang, seraya menebar kebencian atau menjadi provokator dalam keburukan.

“Jangan lupa, catat pesanku ini: Beli cengek, bawang putih, terasi, petai dan jengkol, asin peda. Nanti kita bikin performance yang heboh di Rusia,” kantanya.

Bebeto pun mencatat pesan itu dengan teliti, dan menjabarkannya dengan sangat rapi. Kami kemas serapi-rapinya supaya lolos di pintu detector bandara.  Soal baru tiga hari sebelum berangkat kami baru dapat tiket, itu hal biasa dalam keyakinanku bahwa Tuhan yang Maha Seniman itu sering memberikan kejutan-kejutan kepadaku. Benny benke yang Carlos Dunga itu, mungkin belum terbiasa. Jadi sempat ia uring-uringan dan menganggap aku penghayal.

Singkat cerita, mendaratlah kakiku di Domodidovo, dan di luar sana, Nandang Aradea ditemani Alexander Poronkov telah menunggu duta budaya bangsa yang hendak menggebrak 14 profesor dari paguronan terpenting di Rusia. Dalam bahasa ABG, pasti aku update status di FB: Russiya I’m coming! Untung weh saat itu belum ada FB.

“Mana pesananku?” begitu kami sampai di apartemen Nandang. Kubuka hati-hati karena ini adalah property untuk performance yang akan menghebohkan. Kuserahkan kepadanya. Spontan ia mengambilnya, membongkarnya, menyalakan kompor, memanggang peda, dan memasak sambel goang. Lalu makan dengan lahap.

Oh rupanya Bebeto terkena improve Romario. Tapi ada benarnya juga, ada tetangga aparetemen yang mengetuk pintu, mengabarkan harum ikan asin peda beuleum telah mengganggu penciumannya!

Dua tahun kemudian, terjadi badai dalam rumah tangga Nandang. Aku tidak berhasil menjadi penengah, ketika aku – Nandang – Mala duduk bertiga di TIM. Aku berusaha netral. Mala adalah adikku, dan Nandang tetap sang Romario yang agung. Aku tidak punya hak memasuki wilayah privasi yang paling sensitif bagi manusia. Maka ketika ia sudah kembali ke Untirta (tempatnya mengajar), dan membentuk grup Studio Teater, lalu Aradea mengadopsi konsep Meyerhold, dramawan dari Rusia yang mencetuskan teater biomekanik melalui pertunjukan bicaralah tanah, ia mengundangku sebagai kawan, partner, sekaligus juru warta. Aku pun memenuhi undangan tersebut, lalu me-review pertunjukannya di Tabloid Kontail (alhamrhum). Dokumentasi tulisannya saya simpan di http://gugahjanari.blogspot.com/2011/10/teater-geger-cilegon.html.

Sebelum berguru teater ke Rusia, pertunjukan “Reportase Ladang-ladang” yang disutradarinya pada 1996 itu, menjadi indikasi bahwa konsep teater yang diusung Nandang adalah “terror” estetik yang bikin bulu kuduk merinding dan anak-anak menangis ketakutan. Meyerhold ikut memberikan “pembenaran” pada jalan teater yang dipilihnya. Maka pertujukan Bicaralah Tanah yang dinukil dari sejarah pemberontakan petani Banten terhadap Kompeni Belanda, dimana aku nonton di barisan paling depan, adalah menjadi pertunjukan untuk mempertegas kredo yang dipilihnya.  Aku terpukau sekaligus meringis melihat parang dihunus para aktor yang lengannya belepotan lumpur. Aku takut parang itu lepas dari genggaman tangan karena licin. Tapi ini pertunjukan berlangsung di Serang Banten, di negeri para jawara, negeri yang menghibur rakyat dengan debus. Nonton teater Nandang, ieu hate jadi degdegan.

Pertunjukan bicaralah tanah itu dipentaskan lagi di Keduataan Besar Rusia, di kawasan Menteng Jakarta Pusat, sebelum akhirnya diboyong ke Bandung. Instingku berkata, pertunjukan ini pasti sangat disukai oleh Dindon dari Teater Kubur, dan Seno Joko Suyono (wartwan Tempo). Sang Bebeto berusaha menghadirkan kedua orang tersebut. Seno yang sempat uder estimate, datang dan berdecak kagum: “Iki apik re, apik tenan!” katanya. Soal Dindon aku lupa siapa yang meyakinkannya, tetapi Ketua Komite Teater DKJ itu hadir malam itu, dan melayangkan apresiasinya.

Instingku benar. Seno jadi keranjingan, malah ikut berkecimpung di sela kesibukannya, di Studi Teater. Bersama Seno, juga Bagus Bageni yang ikut memfasilitasinya, Studio Teater Indonesia kemudian ikut festival di Polandia dan Tokyo. Tahun ini, mereka berencana kembali ikut festival teater di Tokyo. Malah tahun ini, garapan pertunjukan untuk ke Tokyo itu diperkuat oleh guru kami, Godi Suwarna, dan Otong Durahim yang sangat piawai dalam urusan tali-temali. Aku bahagia mendengarnya.

Saking bahagaianya, aku menelepon Seno, karena saat mau menelepon Nandang, nomor HP nya tidak ada, lenap bersama BB-ku yang dicolong maling di rumah mertua. Dari Seno aku kemudian mendapatkan nomor Nandang.

Seingat saya, sore hari sekira hari Senin, aku menelepon Nandang. Ia nampak riang dan membicarakan rencana-rencananya. Aku yang baru kembali dari pertapaan, ingin menghibur diri. “Milu lah,” kataku. Ia menjawab, “Susah euy dapat visa Jepang. Aktorku juga dua orang terpaksa tidak ikut. Gini aja, ntar kita bikin rencana gila bersama Seno,” katanya, menghiburku.

Tentu aku iyakan, dan entah untuk keberapa kalinya aku menceritakan sahabat-sahabat sekasur sepetiduran macam Nandang Arade dan Wan Anwar. Aku juga bercerita kepada istriku tentang lima sekawan yang terdiri dari Dedden A Azis, Saful FL, Rudianto, Wan Anwar, dan aku. Adapun Nandang, ia adalah aktivis teater yang berkantor di PKM, sedangkan lima sekawan tadi, adalah bohemian yang berumah di Pentagon.

Tetapi Nandang dan Wan Anwar, bagiku kedua orang ini adalah mata kanan dan mata kiri untuk memandang dunia yang sebesar daun kelor. Berkat pergumulan dengan mereka aku bisa merasakan seperti yang sekarang kudapatkan. Aku bersyukur, Nandatang telah menawarkan ide-ide gila, dan aku bersyukur Wan Anwar telah mengajariku menulis puisi dan esai yang membuatku memilih di jalan pena di mana untuk pertama kalinya aku bekerja sebagai wartawan Media Indonesia. Tanpa mereka, mungkin aku kini jadi guru di kecamatan terpencil karena aku ini lulusan IKIP, bukan berarti guru tiada arti. Sungguh besar peran penting guru, dan aku merasa melalui penaku aku tengah menadi guru, setidaknya bisa kalian lacak kenapa tulisanku cenderung berkhotbah, menggurui, membucah-buncah, penuh vitalitas, dan bisa memabukkan bagi yang tidak suka membaca.

Betapa girang aku ketika mata kanan dan mata kiriku itu berhimpun dalam satu naugan sebagai staf pengajar di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Serang, Banten. Keduanya diajak oleh Yoyo Mulyana, dosen di IKIP yang juga mengajar di Untirta.

Kupikir, mata kakan dan mata kiri akan bekerjasama dengan baik dan apik, likat dan kuat, seperti gula dan manisnya, ibarat api dan panasnya. Lalu Wan Anwar menulis naskah teater, dan Nandang Aradea menyutradarainya, dan aku diundang untuk menyaksikan pertunjukannya. Tetapi pertunjukan teater dengan aktor dan infrasruktur yang terbatas itu, hanya menyuguhkan pertunjukan yang membuatku ngantuk. Dalam hitung-hitunganku, belum layak untuk ditiulis di Media Indonesia. Mungkin ke depan, dari kolaborasi keduanya akan lahir masterpiece yang akan dikenang sepanjang jaman.

Banyak manfaatnya aku memenuhi undangan malam itu. Setidaknya aku bertemu dan kenal Golagong, penulis cerita adventure yang membuatku selalu iri (ingin bisa menulis seperti dia). Golagong meminta tandatangan kepadaku, pada antologi puisiku yang tipis-tipis macam keluaran FSB, yang ikut diedarkan oleh Wan Anwar di Serang. Setelah usai nandatangan, aku bertanya kepada Nandang, siapa dia?

“Itu Golagong,” kata Nandang.

Oh, kebalik dong, aku yang harusnya minta tandatangan kepadanya. Tapi karena sudah kadung, ya sudahlah, peristiwa lucu itu biar jadi kenangan saja.

Wan Anwar menikah dengan Reihan, aku ikut jadi comblangnya. Ini tertu rahasia, tapi aku benar-benar ikut berbahagia.

Sampai akhirnya di tahun 2009, ada kabar Wan Amwar sakit keras. Kulihat di FB, di antara ditulis dalam status penyair Jamal D. Rahman tentang sakitnya Wan Anwar itu. Aku berpikir positif kepada Tuhan, bahwa Wan Anwar akan pulih seperti sedia kala. Toh waktu kuliah juga ia pernah sakit ginjal dan harus cuti kuliah. Berkali-kali ia cuci darah.

Esoknya, masih pagi, aku dapat SMS mengabarkan Wan Anwar meninggalkan. Aku terhenyak. Tak percaya. Kukontak ke Serang untuk memastikan. Dari Arip Senjaya aku dapat kepastian. Aku diam, karena ia adalah salah satu mataku. Dia yang mengasahku. Setumpuk puisi waktu kami masih semester 2 kuserahkan kepadanya untuk dianalisis. Dengan kepiawaian serorang Pak Tino Sidin, ia membedah puisiku, menguraikan kelebihan dan kekuranganb-kekurangannya. Ia yang mengajariku cara memilih dan memilah diksi. Ia yang puisinya pertama dimuat di PR dengan judul Tentang Ketika, dan aku iri. Tapi aku berguru kepadanya. Setumpuk puisi, mungkin 150-an judul, kusodorkan kepadanya. Mataku telah membuatku dapat melihat kedalaman puisi, keheningan sanjak, dan pada semester ketiga akhirnya untuk pertama kalinya puisiku dapat dimuat Bandung Pos (almarhum) yang digawangi almarhum Suyatna Anirun. Salah satu puisiku yang dimuat perdana itu judulnya Malam Lailatul Qodar.

Aku menyesali tindakan bodohku telah melalaikan sakitnya Wan Anwar. Semestinya aku langsung ngadurugug dari Jakarta ke Serang untuk menjenguknya yang terbantal lemas di rumah sakit. Memang sih, perkariban aku dengan Wan Anwar yang karena seusiaan dan seangkatan, terjadi antara benci dan rindu. Kami saling merindu karena kami sering bekerjasama mengukir prestasi (menurut ukuran kami tentunya). Aku adalah Oratio yang mendudukan Wan Anwar sebagai Julius Caesar pada singgasananya. Aku jadi juru kampanye dan ketua tim sukses ketika Wan Anwar akhirnya bersedia maju sebagai kandidat Ketua HMJ Diksatrasia yang secara hitung-hitungan kertas, harusnya kalah oleh saiangannya. Tetapi karena kampanye kami cukup retoris, Wan Anwar pun menang jadi Ketua HMJ Diksatrasia, dan untuk tahun berikutnya tahta yang kering-kerontang itu diwariskan kepadaku. Terimakasih Kak atas warisannya!

Kami saling merindu untuk saling berjabat erat, termasuk berjabat erat saat mengibuli salah seorang kawan kami dalam bisnis T-Shirt untuk mahasiswa baru. Tetapi kami kadang saling membenci dan saling kritik untuk prestasi yang kami torehkan. Ia mencibirkan tulisan-tulisanku yang dianggapnya dangkal di Media Indonesia, dan aku meremehkan puisi-puisinya dalam antologi S3 (Sebelum Senja Selesai).


Ketika Wan Anumerta, rasa saling rindu saling benci itu kian menggebu, sebab belum ketemukan kawan yang bisa menggantikannya, dan jelas tidak akan tergantikan.

Wan Anwar didera sakit ginjal sudah sejak mahasiswa, yang membuatnya diinapkan di rumah sakit, dan cuti kuliah setahun. Gangguan ginjal itu kembali muncul di tengah obsesinya yang menggebu. Ia ingin FKIP di Untirta naik kasta menjadi FIB. Tetapi syaratnya, di FKIP itu harus ada 3 doktor (Dr) dan 3 Professor. Maka Anwar pun melanjutkan S3 di UI. Kala itu, ia sedang rajin ikut kegitan bersama tim Horison yang dipimpin Taufik Ismail. Terlalu sibuk, terlalu diporsir, sehingga tubuh protes.

Hal serupa juga terjadi pada Nandang. Sejak mahasiswa Nandang harus cuti kuliah setahun karena diserang paru-paru basah. Ketika pindah dari Ledeng yang ngungun ke Serang yang terik, paru-paru basahnya sembuh. Namun perawat yang menjaga ruangan ICU mengabarkan, paru-paru dan nafasnya sudah tidak aktif.

Ketika aku dikabari Eriyandi Budiman tentang sakitnya Nandang sampai Koma, padahal tiga hari sebelumnya aku telepon-teleponan, aku langsung ngagurug, takut hal buruk seperti menimpa Wan Anwar akan terulang. Malam itu juga aku mencari kontak kawan-kawan di Serang. Aku telepon Arip dan Atip, kutanyai Ahmad S. Rumi dan Odin Rosidin (tapi HP Odin tidak aktif). Aku tidak mau kehilangan sebalah mataku lagi.

Dalam pada itu, sebenarnya aku baru pulih dari depresi berat yang membuatku bertindak seperti orang gila. Mungkin Matdon ingat pernah melihatku berjalan kaki di Jalan Rajawali seperti orang linglung ketika ditanya. Mungkin Ahda Imron heran ketika aku ditawari apakah akan ikut PPN VI di Jambi aku menolak dengan kalimat-kalimat frustatif. Mungkin Ahmadun Yosi Herfanda kaget kenapa aku yang biasanya menggebu bila diajak berkegiatan, tiba-tiba epes-meer. Mungkin kalian yang mengenalku juga heran, ke manakah selama ini si anak yang hiperaktip dan selalu antusias itu, apakah ia lenyap ditelan bumi?

Aku sudah ke rumah sakit dank e dokter klinik gara-gara dihajar tipes untuk kedua kalinya. Aku sudah kenyang minum jamu cacing kalung, menenggak apace yang baunya tidak karuan, ditusuk akupuntur lebih dari 15 kali. Dibekam dua kali, dan dirukiyah 2 kali oleh orang Persis dan NU. Bahkan yang paling menyiksa dan menderita, aku disengat lebah hingga 81 titik. Tetapi hatiku tak kunjung bangkit.

Sampai akhirnya aku dipartemukan dengan seseorang yang mendapatkan mimpi disuruh memijit ketika perekonomian keluarga begitu melilit. Begitu bangun tidur, tangan kanan dan kirinya bergantian menggelapar seperti kena strum. Lalu ia penasaran. Maka ia memanggil putrid bungsunya yang terkena serangan kanker payudara. Diusapnya buah dada perawan yang tengah kenyal-kenyalnya itu, dan tentu awalnya anaknya heran, ada apa ini. Setelah diraba-raba buah dada itu, kenker pun lenyap.

Lalu ayah sang calon pemijit itu sakit sudah parna karena usianya sudah 90-an tahun. Sudah koma dan dikelilingi keluarga. Lalu sang calon pemijit itu memandikan ayahnya, dan tentu di saat memandikan itu, ia pun meraba-raba tubuh ayahnya. Usai dimandikan, ayahnya yang sudah koma itu malah bangkit, dan seperti orang siuman ia bertanya, di mana ini? Setelah itu, cucunya yang pincang sejak lahir, coba dipijitnya dalam waktu seminggu. Minggu kedua, sudah diantarkan pulang ke Karawang bisa jalan sendiri, normal.

Barulah ia memijit orang lain.  Berderet kisah suksesnya. Termasuk memikitku yang sedang terpuruk depresi. Lima kali aku harus dipijit. Tiga hari setelah dipijit pertama, tiba-tiba tumbuh semangat dan langsung membersihkan rumah, kompor, dan mulai banyak ngomong lagi sebagaimana biasanya. Soal banyak omong ini memang sudah cacat bawaan. Cidera dari sananya. Tapi aku akan memperbaikinya. Aku akan belajar bicara seperlunya.

Dipijit kedua, aku sudah berani ke Jakarta. Air mataku menetes saat turun dari gerbong kereta di Stasiun Cikini untuk memenuhi undangan  peluncuran buku Iwan Setiawan (wartawan Media Indonesia). Aku dijemput oleh Frans Ekodhanto (wartawan Koran Jakarta), dan malamnya aku nonton pameran besar 100 tahun S. Soedjojono di Galeri Nasional Indonesia yang kehadiranku di GNI, difasilitasi oleh Koko Sondari. Aku bertemu Rudi Setia Darma, Isa Perkasa, Suwarno Wisetrotomo, Melani Setiawan, Ivan Haiyanto, dan semua menanyakan, ke mana kamu selama ini, kok seperti lenyap ditelan bumi.

Dipijit ketiga, aku insya Allah akan memenuhi undangan Made Wianta di Bali yang akan membeberkan konsep pameran mengenang tukar guling antara Bandaneira (Belanda) dengan Manhattan (milik Inggris). Wianta percaya kepadaku sebagaimana aku juga percaya kepadanya. Ia kutempatkan sebagai Bapak setelah Sutardji Calzoum Bachri, karena itulah aku memanggil Romo untuk wong Balimule itu.

Ketika Nandang terkapar, aku ngagurug membawa tukang pijit itu, dan sopir yang bisa aman membawaku di perjalanan Cicalengka – Serang. Tentu sebelum berangkat, aku sudah kontak Teh Lina (isteri Nandang) dan menanyakan pendapatnya. Teh Lina mengatakan yang terbaik untuk Kang Nandang, silakan. Aku juga bertanya kepada Kang Godi, guru kami. Kang Godi tidak mengiyakan dan tidak menidakan, namun mengatakan kondisinya sudah parah namun dia kan tangguh. Dari Atip dan Arip aku beroleh informasi, dolter sudah memperilakan keluarga untuk membawa pulang.

Tetapi apa salahnya berusaha. Memperhatikan portopolio sang pemijit yang memulihkan depresiku, maka aku pun pergi ke Serang. Bertemu teh Lina dan berdiskusi dengan ayah Nandang, Bagus Bageni, Atip, dan yang lainnya. Semua panik dan semua tidak tahu apa yang harus dilakukan kecuali pasrah dan berdoa. Maka aku jelaskan begini:

“Dokter sudah menyerah, tetapi apa salahnya mencoba. Kita lihat saja kondisinya, apabila menurut tukang pijit memungkinkan, maka dipijit saja, bila tidak, maka tak bisa dipijit.”

Atip dan yang lain memberikan persetujuan.

Kami pun masuk ruangan sekitar pukul 11.30. Perawat dan Kepala penjaga perawat langsung beraksi, tentu akan mencegah kami karena begitulah prosedur baku di ruang ICU. Lalu aku ngobrol dengan kepala perawat. Ia mengatakan, berbarengan dengan Nandang, ada satu lagi pasien yang sama persis deritanya. Ia meninggal duluan dari Nandang, padahal yang divonis akan meninggal duluan, adalah Nandang. Maksud kalimatnya, sudah lah wahai tukang pijit, dokter saja sudah menyerah.

Tapi kukatakan begini: bukankah dokter sudah mengatakan iklaskan saja, dan mempersilakan bila keluarga hendak membawa pasien pulang? Apa salahnya bila kami mencoba, bukankah keajaiban datang dari Tuhan? Saya tahu prosedur baku di rumah sakit, karena saya wartawan, jadi izinkan kami memijit.

Maka mulailah beraksi tukang pijit dengan memeriksa kaki yang sudah memucat, lengan sudah kaku, dan seluruh anggota kepala tidak beraktivitas. Kata perawat, ini bukan nafas asli, tapi bantuan dari mesin, dan paru-paru sudah tidak berfungsi.

Lalu dirabalah bagian belakang kepala, dan tukang pijit berkata kepadaku: Hanya keajaiban Allah jika pasien ini bisa disembuhkan, dan itupun mungkin akan cacat semisal buta permanen. Itupun fifty-fifty bisa dipulihkan. Maka aku jadi besar harapan, jika dokter menyerah, ini masih ada harapan.

Tetapi tukang pijit takut beraksi, takut dipersalahkan, ia membutuhkan saksi. Maka kupanggil Teh Lina, dan tukang pijit menjelaskan kepada Teh Lina, rabaan yang dilakukannya adalah dosis untuk bayi karena pasien tidak kuat dan reaktif.

Bila reaktif berarti sebenarnya tidak koma 100%. Tapi Teh Lina bilang, tidak tega melihat Nandang terbantal, maka Teh Lina keluar ruangan. Kupanggil yang lain, yaitu saya lupa namanya, tapi mantan Dekan FKIP Untirta. Tukang pijit dengan pak Mantan Dekan nyambung pembicaraannya, malah meminta bila bisa, Ibu tinggal dua atau tiga hari di Serang untuk melakukan terapi.

Lalu kupanggil Bagus Bageni supaya menjadi saksi. Dan Bagus pun semakin tumbuh harapan setelah melihat lengan Nandang bergerak-gerak di atas seperti tengah menari, dan kedua kakinya menggeliat, malah betisnya selalu ditarik ketika jari-jarinya dipijit. Artinya, memang tidak koma 100%. Tetapi seluruh anggota di kepala seperti telinga, mata, lidah, hidung, sudah lumpuh total. Tapi masih tersisa harapan.

Selesai mijit, kami langsung pulang. Bertolak dari Serang kira-kira pukul 13.30. Dua jam kemudian, ketika kami terjebak macet di tol, HP ku berdering tak ada namanya. Saya Dwi, kata yang menelepon, mau mengabarkan Kang Nandang sudah pulang. Innalillahi wa inna ilaihi Rojiun.

Saya lihat, sudah ada SMS yang masuk pula dari Teh Lina mengatakan, “Kang barusan nndg dah meninggak jam 3.30.”

Kubakas SMS itu, dan lima menit kemudian kutelepon Teh Lina untuk mengucapkan bela sungkawa, sing sabar. The Lina mengucapkan terimakasih sudah datang dan mau ikut berusaha.

Giliran tukang pijit yang stress. Bagaimana dengan saya, apa saya akan disalahkan? Karena setelah saya pijit pasien meninggal?
Aku menghiburnya, setidaknya sambil memijit kita berulang-ulang mengucapkan kalimat Allahu Akbar dan Laa Ilaaha illallah. Dokter kan sudah menyerah, kita mencoba berusaha. Jika memang sudah ajalnya, tak seorang pun dapat mempercepat atau menundanya.
Mata kanan dan mata kiriku telah menjadi anumerta yang ikut mengharumkan seni-budaya bangsa, tentu dengan tingkat pencapain kami yang alumni mahasiswa IKIP, mahasiswa kelas ketiga secara ekonomi, inteletual, kesempatan, dan akses

Aku yang sudah dua kali masuk rumah sakit, sekarang akan memperbanyak istirahat dan minum air jernih, walau aku tahu ajal itu urusan Gusti Allah!

Aku akan menghabiskan sisa usia ini untuk meneruskan jejak dan cita-cita mata kanan dan mata kiriku, tentu dengan caraku sendiri, dan dengan versi setelah aku digodok di kawah candradimuka bernama depresi!

Clk, 2013


Bebeto

1 komentar:

  1. Sungguh berbahagia, sebagai orang yang pernah menggawangi rubrik budaya media lokal, sy bisa mengikuti proses kreatif kalian. Terutama bagi Beni R. Budiman, Wan Anwar, Nandang Aradea, yang telah mendahului kita, semoga dilapangkan jalan ke surga yang mahaindah. Toh di dunia fana ini, kalian telah menebarkan keindahan dengan karya-karya mumpuni kalian. Amin.

    BalasHapus