Labels

Minggu, 27 Oktober 2013

Menawarkan Realisme Magis dan Dark Comedy



Kritik Pertunjukan "KEMBALI" Karya Fredrik Brattberg 
Oleh Langgeng Prima Anggradinata

Kehidupan sepasangan suami-istri itu berubah setelah Gustav, anaknya, menghilang entah ke mana. Sejak saat itu, sang ayah selalu berdiri di muka jendela, memerhatikan anjing tetangga yang selalu lepas dari ikatannya. Sementara, sang ibu hanya merajut tetapi tak sepenuhnya paham untuk apa ia merajut. Kedua pasang suami-istri itu nampak mengalami depresi yang berat setelah kepergian anak lelaki tunggalnya itu. Hingga pada suatu masa, terdengar ketukan pintu.

Gustav kembali. Ia menceritakan apa yang terjadi pada dirinya persis dengan apa yang disangkakan orang tuanya itu. Ia naik gunung. Sebuah longsor besar menghempaskannya. Ia pun tak sadarkan diri, begitulah cerita Gustav. Kehidupan keluarga itu pun normal kembali. Hingga pada suatu masa, Gustav hilang lagi. Namun, ia kembali lagi dan hilang lagi, kembali dan hilang lagi. Begitu seterusnya.

Akhirnya, kedua pasang suami-istri itu pun menolak kepulangan Gustav. Mereka sudah lelah mengenang. Mereka sudah lelah mengingat-ingat. Gustav hanyalah bayangan belaka. Gustav telah mati. Hingga pada titik itu, mereka membunuh kenangan mereka sendiri. Mereka membunuh Gustav.

Itulah secuplik lakon yang berjudul “Kembali” (“The Returning”) yang disutradarai oleh Sahlan Bahuy dan dipentaskan di Institute Francais Indonesia (IFI) Bandung (17-18/10/2013). Lakon yang diproduksi Mainteater, Jalan Teater, dan Common Room tersebut berangkat dari naskah Norwegia karangan Fredrik Brattberg yang diterjemahkan dari bahasa Inggris oleh Syarah Meidiana. Naskah “Kembali” meraih dua penghargaan bergengsi, yaitu Gledesglasset dari Writers Guild of Norway (2011) dan The Ibsen Award (2012)


Realisme magis dan dark comedy membangun lakon ini menjadi sebuah pertunjukan yang menarik. Dua unsur tersebut saling memperkuat cerita itu sendiri. Kesan aneh dan mistis dilahirkan dari realisme magis. Sementara, dark comedy membuat kesan aneh dan mistis itu nampak jenaka sekaligus mengerikan. Kedua hal ini yang belakangan jarang muncul.

Kebanyakan teater di Indonesia masih mengeksplorasi simbolisme, ekspresionisme, surealisme, dan realisme (murni atau sosialis). Padahal, meski bukan barang baru, realisme magis dan dark comedy memberi tawaran yang lain, yaitu memperlihatkan kepahitan dari kehidupan sehari-hari yang dikemas dengan cara yang berbeda dari teater biasanya. 

Realisme Magis

Peristiwa dalam lakon ini sesungguhnya sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari, namun beberapa adegan memperlihatkan sesuatu yang berada di luar realitas. Hal tersebut tidak berarti lakon ini mengarah pada surealisme sebab imajinasi, fantasi, atau sesuatu yang di luar realitas tersebut masih berada pada garis realis. Franz Roh dalam Magic(al) Realism (Bower: 2004) menerangkan bahwa fokus realisme magis terletak pada objek material dan realitasyang diambil dari kehidupan di dunia, sementara surealis mengeksplorasi realitas.


Dalam lakon ini ada dua hal yang saling berpadu, yaitu realis dan magis. Seperti apa yang dikatakan Maggie Ann Bower (2004), bahwa realisme magis menggabungkan dua aspek yang berlawanan oksimoron (magis dan realis) secara bersamaan untuk membentuk satu perspektif baru.

Realitas yang supranatural menjadi perspektif baru itu. Perspektif baru atau realitas fiksi baru itu sangat memungkinkan untuk terjadinya sebuah keajaiban, misteri, dan kengerian. Dalam realisme magis, supranatural dikompromikan menjadi sesuatu yang dapat dirasionalisasikan dan direalisasikan. Karena sesungguhnya realisme magis itu sendiri memungkinkan untuk melakukan pendobrakan atas logika. Lois Zamora dan Wendy B. Faris (Bower: 2004) memberi penjelasan bahwa realisme magis memungkinkan terjadinya pendobrakan, pelanggaran batas—baik logika, politik, geografis, dll.

Seperti yang telah diceritakan di awal, Gustav yang telah (dianggap) mati, tiba-tiba hidup lagi, berkali-kali hidup. Itulah yang mengindikasikan bahwa kejadian itu bukanlah peristiwa riil, namun merupakan peristiwa supranatural. Meski supranatural, peristiwa tersebut masih dapat dijelaskan dari sudut pandang psikologi.

Dalam lakon ini, secara bersama-sama tokoh suami-istri tersebut mengalami delusi. Tentu saja dalam kerangka psikoanalisa, peristiwa dalam lakon ini tidak lazim terjadi. Hal tersebut dikarenakan pada umumnya delusi bersifat personal. Namun, lakon ini nampaknya mencoba menggabungkan tokoh suami dan istri ke dalam satu fenomena dan momen psikologis yang sama. Lakon ini menggabungkan dua delusi dan kegilaan secara bersama-sama dalam satu ruang dan waktu. Hal ini bertujuan agar cerita menghasilkan konflik yang lebih komplikatif dan menunjukan bahwa peristiwa tersebut benar-benar riil.

Seperti yang disebutkan di atas bahwa adegan kembalinya Gustav terjadi berulangkali. Keberulangan atau repetisi itu menjadi penegas kegilaan sekaligus harapan pasangan suami-istri. Peristiwa repetitif ini mengarahkan pada pemaknaan tertentu, yaitu bahwa kenangan dan harapan hadir secara berkesinambungan dalam benak tokoh suami-istri. Di tahap ini, Gustav juga hadir sebagai metafora. Di tahap ini ia mewakili kenangan dan harapan.

Untuk sementara, Gustav nampaknya memiliki tiga dimensi. Pertama, ia hadir sebagai sosok yang riil. Kedua, Gustav hadir sebagai delusi. Ketiga, ia hadir sebagai metafora. Ketiga dimensi ini membentuk Gustav sebagai tokoh yang penuh makna dan bentuk. Di satu sisi makna Gustav sangat denotatif, di sisi lain ia menjadi sebuah konotasi dari kenangan dan harapan. Di satu sisi bentuk Gustav menjadi sangat riil, di sisi lain ia menjadi sangat metafisik. Kedua sisi tersebut berpadu membentuk realitas fiksi baru, yaitu realitas magis.

Dalam lakon ini, tata cahaya tidak terlalu berfungsi pembentuk ruang fisik, maupun ruang psikologis. Pencahayaan hanya menjadi penanda waktu. Kadang-kadang ia menjadi ruang ekspresi ketika seorang tokoh melakukan aside. Pencahayaan dalam lakon ini tidak menjadi penanda adegan supranatural dan realis yang biasa dilakukan pada lakon-lakon ekspresionis dan surealis. Hal ini menunjukan bahwa apa yang terjadi di atas panggung hampir sepenuhnya ditampung dalam wadah realisme. Dari sana dapat disimpulkan bahwa peristiwa-peristiwa yang terjadi di atas panggung dianggap sebagai peristiwa yang riil.


Dark Comedy

Seperti yang telah disebut, lakon ini mengetengahkan kehidupan sehari-hari dengan sisi gelapnya. Kematian dipilih lakon ini untuk mewakili kegelapan itu. Lakon ini memperlihatkan kematian sebagai suatu yang mengerikan, ajaib, imajinatif, dan misterius. Kematian yang ditampilkan menjadi salah satu penanda bahwa dark comedy telah bekerja di dalam lakon ini.

Kematian bisa menjadi titik masuk untuk memahami dark comedy dalam lakon ini. Dalam dark comedy, kematian dikonstruksi menjadi peristiwa yang lucu, namun kelucuan itu tidak hadir begitu saja secara langsung.

Dark comedy dalam lakon ini lebih mengarah pada kematian yang dikemas dalam bungkus humor yang bertujuan untuk memperlihatkan keasingan dan kepahitan hidup. Sehingga, humor yang dihasilkan merupakan efek dari peristiwa, bukan sebuah kesengajaan. Humor dalam dark comedy berjalan secara natural juga terselubung. Peristiwa dalam dark comedy tidak diciptakan untuk ditertawakan tetapi humor itu muncul sebagai efek.


Dalam lakon ini, peristiwa kembalinya Gustav dari kematian untuk pertama kalinya, boleh jadi dianggap sebagai hal yang mengharukan. Namun, pada peristiwa kembalinya Gustav dari kematian untuk kedua kali dan seterusnya, menjadi suatu peristiwa yang berkesan aneh, mistis, mengerikan, (mungkin) sekaligus jenaka. Repetisi peristiwa tersebut pun berlanjut hingga menimbulkan kesan yang semakin kuat. Hingga pada puncaknya Gustav dibunuh oleh tokoh suami-istri. Pada taraf ini kesan jenaka, aneh, dan mengerikan berjalan beriringan.

Adegan pembunuhan Gustav sangat berhasil ditampilkan oleh aktor dalam lakon ini. Tokoh ibu-ayah melakukan “pembunuhan” (simbolik) terhadap Gustav. Mereka nampak ringan melakukan pembunuhan itu. Mereka menganggap itu sebagai hal yang sepele. Penyepelean terhadap kematian itulah yang membuat persitiwa menjadi jenaka. Mereka tidak menampilkan laku jenaka, namun efek kejenakaan itu timbul begitu saja. Mereka hanya menampilkan laku yang tak lazim. Dalam adegan ini, manusia dibentuk menjadi mahluk yang tak lazim dan asing. Dari sanalah kelucuan timbul.

Mungkin terjebak pada kata komedi, beberapa adegan nampak dibuat lucu. Spontanitas aktor dalam berlaku jenaka membuat beberapa adegan dalam lakon ini terkesan murah. Misalnya, perubahan emosi yang drastis dari marah ke jenaka atau spontanitas lainnya, membuat komedi dalam lakon ini terkesan tidak cerdas, fisikal, dan menjadi lelucon yang temporal. Mungkin perilaku labil itu bermaksud untuk memperkuat kegilaan tokoh, tetapi nampaknya malah menjadi terlalu berlebihan. Aktor memang memiliki kuasa atas terjadinya humor, tetapi semestinya mereka tidak punya motivasi ke arah humor.

Demikianlah, dan pada akhirnya rasa hormat patut diberikan pada lakon ini. Untuk sementara, mungkin dark comedy bisa disebut sebagai sesuatu yang jarang dalam drama Indonesia. Bisa juga menyebutnya sebagai sesuatu yang segar. Boleh juga menyebutnya sebagai sesuatu yang biasa saja. Namun, nampaknya penting menganggap bahwa lakon ini memberi sebuah tawaran. Apa yang dilakukan lakon ini bisa menjadi tawaran yang menarik untuk khazanah drama Indonesia.

Kepahitan hidup bukan barang langka di negeri ini. Kematian mungkin bukan lagi menjadi peristiwa luar biasa di negeri ini. Kebobrokan dan kepahitan hidup banyak terjadi di realitas. Dan teater masih punya tempat untuk menampilkannya kembali.[]

Penulis—Pemerhati sastra.












1 komentar:

  1. jadi, sebenarnya realisme magis itu seperti apa? *gagal paham*

    BalasHapus