Oleh: Arif Hidayat
kami rumput
butuh tanah
dengar!
Ayo gabung ke kami
Biar jadi mimpi buruk presiden!
(Sajak ”Nyanyian Akar Rumput”, Wiji Thukul)
Puisi-puisi Wiji Thukul diterbitkan oleh Indonesia Tera tahun 2000 dan diberi kata pengantar oleh Munir SH (aktivis HAM yang meninggal karena diracun). Wiji Thukul oleh kalangan luas banyak dikenal sebagai penggerak organisasi buruh, terutama melalui puisi ”Hanya ada satu kata: Lawan!” yang memberi gelora rasa bagi kalangan kecil. Dia dikenal sebagai ”aktivis dan seniman rakyat yang tergabung bersama buruh dan kaum miskin lainnya dalam semangat yang menguat”—begitu kata Munir SH dalam esai pengantar.
Namun, tak banyak yang memperhatikan bahwa Wiji Thukul dalam puisi juga banyak mewacanakan tanah sebagai kehidupan: tempat manusia menata segala aktivitas, juga akhirnya sebagai liang kubur (akhir kehidupan). Sajak ”Nyanyian Akar Rumput” yang ditulis pada Juli 1988 itulah contohnya. Sajak itu sudah membicarakan tentang potret orang kecil yang tersisih oleh pembangunan jalan, padahal butuh tanah. Dia, sebenarnya, tidak ingin disebut sebagai ”pahlawan karena berjasa memperjuangkan nasib rakyat kecil”, tetapi suara dari puisinya adalah representasi sosial yang menghadirkan pengalaman secara etnografis. Maka, walaupun secara penciptaan lama, tetap kontekstual dengan perkembangan modernitas di Indonesia, terutama dalam penataan kota, selagi kehidupan itu masih ada.
Orang kecil, katakanlah begitu, dianggap ”seperti rumput”. Namun, ada kesadaran yang mengentak dan begitu bergema bahwa rakyat sekecil apa pun—sekalipun ia rumput—juga butuh tanah. Ini terkait pemahaman eksistensi dan ekologi dalam penataan ruang yang seharusnya tidak hanya memperhitungkan pada untung dan rugi secara ekonomis saja, tetapi ruang kehidupan yang harus selaras dengan nilai-nilai kemanusiaan. Manusia hidup dalam suatu ruang—dengan segala perimbangan terjalin pada alam semesta. Ruang untuk orang kecil bukan sebatas obyek yang dapat diacuhkan dalam pengondisian untuk menghasilkan tatanan yang dinamis.
Kekuasaan dan kekayaan
Potensi tanah memberi kekuasaan dan kekayaan memang sudah teridentifikasi sejak zaman nenek moyang dulu, yaitu ketika perluasan wilayah harus dilakukan dengan penaklukan daerah lain. Rakyat tunduk sambil berdoa akan datang pemimpin adil atau paling-paling akan mengungsi ke daerah terpencil tanpa dapat dijangkau oleh aparatur kerajaan. Invasi penjajah ke Nusantara dan perang antarkerajaan terjadi untuk memperebutkan daerah kekuasaan. Keluasan tanah menjadi simbol dan status, sebelum akhirnya perjuangan dilakukan. Dan, merdeka.
Secara historis, Wiji Thukul mengingatkan dalam sajak ”Riwayat”—untuk r: demi hutan tanah air/ibu bumi kami/gagah berani/kakek nenek kami/menyerahkan riwayatnya/pada batang-batang pohon/sebesar seratus dekapan/pada sampah-sampah lincah/dari hulu ke hilir/memburu dada penjajah/bukan siapa-siapa/kakek nenek kamilah/yang merebut tanah air.
Tampak bahwa perjuangan untuk melawan penjajah begitu bergelora hingga mengorbankan nyawa, hanya untuk tanah: untuk kehidupan anak cucu di masa sekarang. Sejarah ini memberi arti yang dalam. Bukan sekadar ilusi abstrak. Bukan pula bualan fiktif dari berbagai informasi. Lebih pada usaha untuk hidup sejahtera, damai, dan tenteram menikmati gembur subur bagi kehidupan.
Pemerintah sebenarnya sudah berjanji bahwa: ”Bumi, dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran Rakyat”, seperti yang termaktub dalam UUD 1945 Pasal 33 Ayat 3. Namun, pernyataan itu hanya akan dikutip untuk menjadi pembenaran, bukan amalan. Tak semua orang hafal, tahu, apalagi memahami substansi secara detail.
Warisan itu menjadi rebutan. Tiap-tiap orang mengaku dengan ”kampung orang-orang kecil/yang dibikin bingung/oleh surat-surat izin dan kebijaksanaan/dibikin tunduk dan mengangguk/bungkuk//” dalam ”Sajak kepada Bung Dadi”. Peristiwa itu sudah terjadi sejak 1987. Dan, kini pun marak persengketaan tanah yang dimenangi oleh bukan pemilik, tetapi orang yang mampu membayar petugas pengurus tanah (agraria) untuk membuat sertifikat atas nama lain. Pemilik sah tergusur karena tidak tahu mekanisme hukum, yang kalah dalam persidangan. Mereka bodoh oleh wacana yang berputar seperti obat nyamuk. Memusingkan kepala, tentunya.
Tanah yang diimpikan menjadi kehidupan lambat laun berubah. Dari ia sebagai tempat bercocok tanam dan berdiam dengan membentuk jutaan kebahagiaan sampai harus diratakan menjadi kota yang diaspal oleh uang rakyat, tetapi yang menikmati adalah wakil rakyat dan orang-orang yang mengatasnamakan rakyat. Potret seperti itu sekarang seolah sudah jadi kelaziman—Wiji Thukul menemukan fenomena semacam itu sejak tahun 80-an, yang bila dijumlah dalam tahun, maka sudah sangat mengakar, bahkan jadi budaya. Ditambah lagi dengan globalisasi yang menjadikan negara ketiga sebagai sasaran para investor untuk mendirikan pabrik di sini—tentu dengan upah minim dan tempat yang masih terbuka. Maka, yang terjadi: ”//o tanah-tanah yang segera rata/ berubah menjadi pabrik-pabriknya//” hingga orang kecil menyerupai lumut, yang hanya hidup di pinggir, yang ”di musim kemarau kering” dan ”diterjang banjir” di musim hujan.
Kini, tanah harus menjadi perjuangan antara kelas petani dan kapitalis. Persengketaan berdarah. Korban berjatuhan. Kontrol dilakukan oleh keterlibatan aparat negara. Memandang warisan leluhur menjadi seperti ini, bukan sebatas tindakan, lebih sebagai tanda-tanda refleksi taksonomi atas fakta partikular dari sistem sosial. Hal ini akan makin membatasi individu kecil untuk makin tersisih dan harus mencari ruang kosong.
Masyarakat merespons dengan perlawanan berbaris dengan formasi ala kadarnya karena hukum seolah tidak berpihak dan pemerintah menyerupai kumpulan mesin yang digerakkan untuk melumat. Masyarakat dengan wacana yang minim membentuk hukum sendiri, yakni perlawanan. Tentu, ada ketidakberimbangan, terutama pada senjata dan keterlatihan. Korban berjatuhan.
Tanah yang kian padat oleh perumahan, pertokoan, jalan raya, dan pabrik-pabrik membuat sayur, buah-buahan dan biji-bijian harus impor: tanah mesti ditanami/ sebab hidup tak hanya hari ini/ jika sawah diratakan/ rimbun semak dirubuhkan/ apa yang kita harap/ dari cerobong asap besi. Kini sering diperingati hari hijau, tiap tahun sekali dengan usaha menanam tanaman muda. Itu muncul karena ketakutan akibat dampak pemanasan global, tetapi tak pernah ada solusi agar pendirian pabrik ramah lingkungan, agar ruang untuk orang kecil masih tersisa, agar kehidupan harmonis. Karena, sesungguhnya kita hidup dalam keberbedaan untuk satu tujuan.
Pembangunan dan modernitas bukan kita halangi, melainkan diarahkan agar efeknya tidak menindas dan menyengsarakan. Penataan sosial harus mampu memberdayakan dan menyuarakan untuk kebaikan Tanah Air, kebaikan bersama yang dipergunakan ”untuk kemakmuran rakyat”.
ini tanah airmu
di sini kita bukan turis
(dalam ”Sajak kepada Bung Budi”)
Kota, 26 Desember 2000
Arif Hidayat Penyair, Mahasiswa Pascasarjana Kajian Budaya Universitas Negeri Sebelas Maret, Solo
(Kritik Kompas, Minggu 18 Maret 2012)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar