Labels

Rabu, 04 September 2013

Ayat-Ayat Api: Kumpulan Sajak Sapardi Djoko Damono

Oleh John Ferry Sihotang

Selain duka-Mu abadi dan Hujan Bulan Juni, Ayat-ayat Api adalah buku kumpulan puisi Sapardi Djoko Damono yang paling kusuka. Boleh jadi ini satu-satunya buku puisi Sapardi yang khusus mendedah komentar sosial, seperti peristiwa bakar-binakar tragedi Mei 1998 yang terjadi di Jakarta dan di sejumlah kota lain menjelang Sang Jendral lengser keprabon.

Kata “ayat” — yang akrab dalam kitab suci agama Islam dan Kristen itu — bukan lagi sekadar berarti “kalimat”. Ayat sudah menjadi tanda. Ayat-ayat api pun menjadi tanda-tanda kehidupan (bdk. Bakdi Soemanto, 2006). Seperti bunyi puisi Sapardi ini: “Api adalah lambang kehidupan, itu sebabnya kita luluhlantak/ dalam kobarannya (p.133).” Itulah ayat-ayat Sapardi, mengusung ambiguitas dan ironi tak terampuni.

Buku antologi ini terdiri dari tiga bab: Ayat-ayat Nol, Ayat-ayat Arloji, dan Ayat-ayat Api – sebagai tema sentralnya.

Ayat-ayat Nol

Bab ini berbicara tentang keberadan manusia yang adalah dari nol, dan kembali menjadi nol, menjadi seorang anak kecil; seperti nada puisi “Catatan Masa Kecil” berikut:

“Ia tak sempat bertanya kenapa dua kali dua hasilnya sama dengan dua tambah dua sedangkan satu kali satu lebih kecil dari satu tambah satu dan tiga kali tiga lebih besar dari tiga tambah tiga. Sejak semula ia sayang pada angka nol. Dan setiap kali menghitung dua tambah tiga kali empat kurang dua ia selalu teringat waktu terjaga malam-malam ketika ibunya sakit keras dan ayahnya tidak ada di rumah dan di halaman terdengar langkah-langkah bakiak almarhumah neneknya dan ia ingin kencing tetapi takut ke kamar kecil yang dekat sumur itu dan lalu kencing saja di kasur.

“Sungguh, sejak semula ia hanya mempercayai angka nol.” (1984)

Puisi yang sangat cair di atas mengembalikan kenangan pada masa kecil yang polos dan jujur itu, masa-masa ngompol itu. Tak ada memang yang lebih nikmat dari “kencing saja di kasur” itu. Perilaku si anak kecil yang “menjadi Nol” itu seolah hendak mengatakan: Hidup ini seperti hitungan yang memiliki ketidakpastian (kebetulan) dalam kepastianya. Tentu, situasi ini membingungkan, bagi orang dewasa sekalipun. Tak heran kalau dia hanya percaya angka “nol”, pada hati nuraninya.

Ayat-ayat Arloji

Sedangkan bab Ayat-ayat Arloji ini berbicara tentang waktu yang kerap terlupa. Amat kuat terlihat dalam “Dongeng Marsinah” (1993-1996) yang terkenal itu. “Marsinah buruh pabrik arloji,/ mengurus presisi:/ merakit jarum, sekrup, dan roda gigi…” tulis sapardi di pada bagian /1/ membuka puisi ini. “Marsinah itu arloji sejati,/ tak lelah berdetak memintal kefanaan/ yang abadi:/ “kami ini tak banyak kehendak,/ sekedar hidup layak,/ sebutir nasi (p.27).”

Puisi satu ini memang begitu sadis dan ironis. Pada bagian /3/ dan /4/ berbunyi: “Di hari baik bulan baik,” Marsinah dijemput, lalu kemudian disiksa. Bahkan di hari baik dan bulan baik itu, “Marsinah diseret/ dan dicampakkan –/ sempurna, sendiri (p.29-30).” Duh.

Puisi protes sosial Dongeng Marsinah begitu lekat di hati. Bahkan saya anggap sebagai puisi terbaik sapardi dalam buku kumpulan ini. Patutlah pula kita mengenang Marsinah, buruh pabrik arloji itu. “Marsinah itu arloji sejati/ melingkar di pergelangan/ tangan kita ini (p.32),” tulis Sapardi, menutup kisah tentang ketidakadilan, kekejaman, dan keserakahan manusia.

Ayat-Ayat Api

Ayat-ayat api merupakan salah satu judul puisi Sapardi dalam buku ini, dan diangkat menjadi judul buku. Menjadi pertanyaan tentunya: mengapa Sapardi mengangkat “api” menjadi tema sentral buku ini. Padahal mungkin lebih dari 35.7% puisi-puisi Sapardi, sejak awal, senantiasa menyinggung tentang hujan, tulis Bakdi. Boleh jadi, keheranan itu menjadi daya tarik tersendiri dalam buku ini.

Buku Ayat-ayat Api berhasil menghadirkan puisi-puisi imajis profesor tua ini tentang merahnya api pada tragedi Mei yang masih meninggalkan trauma panjang bagi kita, khususnya bagi Etnis Cina atau Tionghoa. Peristiwa berdarah ini menjadi salah satu sejarah terkelam republik ini. Di mana lorong-lorong kota menjelma tarian naga meliuk merah diiringi pekik anak dara yang belum lulus esde, tulis Hanna Fransisca dalam Konde Penyair Han.

Rupanya peristiwa itu bukan sekadar lakon Anoman obong dalam dongengan Ramayana, namun benar-benar terjadi di negeri ini. Kisah pewayangan ini sangat kuat digambarkan romo Sindhunata dalam novel terkenalnya, Anak Bajang Menggiring Angin.

Alkisah, Anoman, si kerah putih itu, diutus oleh Prabu Ramajaya untuk melihat keadaan Dewi Sinta yang ditawan Rahwana di negeri Alengka. Setelah berhasil menjenguk Sinta, Anoman tertangkap. Tumpukan kayu disediakan di alun-alun Alengka. Anoman hendak dibakar di sana. Namun begitu api menyala, Anoman melepaskan diri. Kera sakti itu lalu terbang, dan membakar semua rumah di Alengka.

Juga pada tahun 1997, mungkin masih lekat dalam ingatan kita akan lagu Anoman Obong yang digubah oleh Ranto Edi Gudel, dan menjadi hit terlaris saat itu — melebihi lagu pop lain. Boleh jadi lagu ini sebagai isyarat akan datangnya tragedi besar. Menyata pula ‘ramalan’ dalam lagu ini setahun kemudian, yakni pada Mei kelabu 1998. Kota Jakarta, Solo, Surakarta dan kota-kota lain benar-benar menjadi lautan api, seperti Alengka yang kobong; terlihat dalam lirik Anoman Obong berikut:

Anoman, si kethek putih/ sowan taman, Sinta diajak mulih/ konangan Indrajit lan putih/ ning Anoman ora wedi getih.// Ela… ladalah Ngalengka diobong/ Togo Bilung padha pating ndomblang/ omah gedhe padha dadi areng/ Dasamuka kari gereng-gereng… (Anoman, si kera putih/ datang ke taman, mengajak Sinta pulang/ Ketahuan Indrajit dan patihnya/ namun Anoman tiada takut akan darah./ Ela… ladalah Alengka dibakar/ Togog Bilung jadi linglung/ rumah-rumah besar jadi arang/ Dasamuka tinggal marah geram).

Namun penyair selalu saja punya cara tersendiri mengintensifkan pengalamannya tentang satu peristiwa atau satu fenomen. Sapardi sangat kontras dengan cara Rendra berpuisi untuk menyampaikan protes sosial. Misalnya dalam Blues untuk Bonnie, Rendra menuliskan satu sajak: “Bersatulah Pelacur-Pelacur Jakarta”. Melihat judul ini saja sudah membawa semangat yang getir, pemberontakan bernada putus-asa. Sedangkan pada Sapardi, dalam komentar sosialnya, dia masih tetap membawa keteduhan, ketenangan bengawaninya, menyentuh wilayah kedalaman pengalaman manusia.

Bisa-bisanya profesor Sapardi ini menulis puisi tanpa menyertakan emosi. Tidak menjadi budak amarah akan ungkapan kebrengsekan dan kerusuhan zaman. Seperti biasa, dia sangat paham betul dengan kekuatan kata. Terlihat dari pada bagian /1/. “mei, bulan kita itu, belum ditinggalkan penghujan,” tulis Sapardi membuka puisi Ayat-ayat Api (p.115-145), menggigilkan tubuh kita dengan bermain-main di medan perlambangan dan ironi.

Saat belum ditinggal musim penghujan itu pula, seperti tergambar pada bagian/2/: “seorang anak laki-laki/ menoleh ke kiri ke kanan/ lalu cepat-cepat menyelinap/ dalam kerumunan itu/ dan tidak kembali.” Si anak masuk ke dalam kerumunan yang sedang menjarah toko yang terbakar (atau sengaja dibakar), dan tak pernah kembali karena terpijak atau mati terpanggang. Sementara itu, “tiga orang lelaki separo baya/ bergegas menyusulnya/ dan tidak kembali.” Semua terbakar saat mencoba ikut menjarah teve, radio, kulkas dll. Lebih mengerikan lagi, “lima enam tujuh perempuan/ meledak bersama dalam api/ dan, tentu saja,/ tidak kembali.”

Pada sore hari, seperti terlukis pada bagian /10/, “ia berubah juga/ menjadi abu sepenuhnya,” dan menjadi berita koran-koran pagi (bagian /12/); ia menjadi tokoh khayali “digeser ke sana/ ke mari di halaman koran, di layar televisi,/ dan sulapan bunyi-bunyian di radio.” Padahal ia sudah menjadi abu, tak berhak mondar-mandir lagi, sebab “ini bukan lakon Anoman Obong,” sambung Sapardi pada bagian /13/.

Korban-korban tragedi Mei jatuh bergelimpangan, hingga tak ada tempat untuk mengubur (/15/). Karena itu, “mungkin satu-satunya basa-basi yang tersisa/ adalah menguburmu sementara dalam ingatan kami. (p.145).” Sungguh malang nasib mereka. Biarlah kita tetap mengubur mereka dalam kenangan, dalam ingatan tentang peristiwa itu: menjadi sesuatu yang abadi.

Kekhasan sapardi dengan kata-kata sihir, menjelma, gaib, tak terlihat mewarnai baris-baris puisi dalam buku ini. Justru Sapardi kerap menghadirkan kata sulapan, yang berarti tipuan. Dan kita sama-sama tahu siapa Tukang Sulap itu. Kata sulapan itu pun menjadi, meminjam istalah A. Teeuw, pasemon: sindiran sangat halus, bagai lebah tanpa sengat.

Meski tak seheboh Ayat-ayat-Cinta (yang konon katanya nyaris terkenal itu), buku Ayat-ayat Api ini akan meninggalkan kesan yang mendalam bagi pembacanya. Selain itu, setidaknya bagi saya, ayat-ayat api ini telah menjelma ayat-ayat yang menyadarkan: ayat-ayat yang mengajak kita melawan lupa.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar