Labels

Senin, 09 September 2013

SENI RUPA ‘PEMBERONTAKAN’ DAN ‘PASCA PEMBERONTAKAN’ DALAM SENI RUPA MODERN INDONESIA,


Telaah Seni Rupa Era 70-an dan 80-an

dalam Bingkai Biennale Jakarta IX.

Yustiono

Dalam menghadapi fenomena baru kesenian  –disini kita bicara tentang dunia seni rupa yang terkait dengan masyarakat industri, dunia seniman yang berkiprah demi pengakuan nasional dan internasional– kita sering mengeluarkan pendapat yang bernada membandingkan. Misalnya, ketika gaya Surealisme muncul ke permukaan pentas Seni Rupa Mmodern Indonesia sekitar pertengahan 1980-an, kita segera mengaitkan dan membandingkan dengan Surealisme Eropa yang telah tumbuh pada 1920-an, yang berarti berjarak 65 tahun. Demikian pula pada waktu Seni Rupa Baru pada pertengahan tahun 1970-an memperkenalkan idiom-idiom perupaan baru, ia dinilai sebagai gaung dari Seni Pop (Pop Art) Amerika yang meledak pada pertengahan 1950-an,1 kali ini memiliki selisih waktu 20 Tahun. Tidak heran, seorang penulis membuat pernyataan, bahwa perkembangan Seni Rupa Modern Indonesia nampak meloncat­-loncat secara tidak teratur dilihat dari urutan Sejarah Seni Rupa Modern Barat.2

Sejarah seni rupa, memang tidak lain meru­pakan catatan perubahan dan perkembangan gaya, dan dalam seni rupa abad 20, perubahan yang dipimpin seniman-seniman Avant-garde Barat berlangsung dengan akselerasi yang tinggi. Sementara itu, para seniman non-Barat cenderung mengikuti atau menyesuaikan diri dengan setiap perubahan yang terjadi. Penyesuaian itu ditentukan  oleh  berbagai faktor  seperti iklim semangat zaman, konteks sosial budaya setempat, sistem pendidikan, ketersediaan akses informasi dan kecenderungan personal seniman. Proses penyesuaian diri ini bisa berjalan secara teratur  seperti yang terjadi di Jepang,3 atau meloncat-loncat seperti halnya yang berlangsung di Indonesia, Malaysia, Thailand.4

Cara perbandingan seperti ini, meskipun banyak dipraktikkan, tentu menimbulkan berhagai keberatan. Akan tetapi apapun bentuk keberatan itu, ia tidak dapat menghilangkan adanya bukti yang jelas dalam perkembangan seni rupa tahun 1980-an yang dipamerkan dalam Bienniale Seni Rupa Jakarta IX. Biennale yang berlangsung dari 21 Desember 1993 – 17 Januari 1994 itu adalah upaya menangkap dan membingkai apa yang disebut sebagai “Seni Rupa Era 1980-an yang tidak lagi menentang Modernisme, tapi meninggalkannya. Seni Rupa ini dikenal  pula sebagai  seni  rupa  Postmodernisme.”5  Apabila cara perbandingan antara fenomena baru Seni Rupa Indonesia dengan Seni Rupa Barat itu sering dinyatakan oleh pihak luar –kritikus atau pengamat–, dalam peristiwa Biennale ini klaim “Postmodern” itu justru berasal dan pihak penyelenggara yang dengan panjang lebar menguraikan dasar-dasar kurasinya dalam katalog pengantar Biennale.

Lepas dari absah tidaknya klaim tersebut, pernyataan ini segera memancing tanggapan-tanggapan, baik dari mereka yang pro dan  kontra. Seorang penulis menyambut peristiwa Biennale itu dengan antusias: “Itulah agaknya pameran besar seni rupa yang paling kontroversial: dibikin dengan prinsip-prinsip “Postmodernisme” dan dengan demikian mau rnenggempur (sekali lagi) kriteria-kriteria Modernis Universalis yang lama tertanam dalam perjalanan seni rupa kita.”6

Tanggapan ini tidaklah terlalu berlebihan, bahkan pun apabila dibandingkan dengan kejadian-kejadian pada cabang seni lain. Sebab sejauh ini, klaim “Postmodern” dengan lingkup seperti Biennale ini tidak terdapat dalam Sastra, Teater, Tari, Film, bahkan Arsitektur sekalipun. Sehingga dipandang dari sudut ini, langkah Biennale itu nampak berani, mengagetkan dan oleh karena itu kon­troversial.

Kontroversi itu pada umumnya bergerak di seputar isu “Postmodern” dan ini dapat dimaklumi karena memang pameran ini  “dibikin dengan prinsip-prinsip Postmodernisme” seperti dikatakan Nirwan Dewanto, atau dengan bahasa Harsono, “Penyelenggara Biennale Seni Rupa IX, pemilihan karya dan peserta dilandasi oleh pemikiran Postmodern. Hal ini bisa kita amati dari sebuah tulisan pada katalog pameran yang ditulis Jim Supangkat sebagai landasan kurasi kegiatan tersebut. Dari landasan kurasi inilah kemudian seluruh kegiatan dilaksanakan.”7 Persepsi  bahwa pameran ini dilandasi  pemikiran Postmodern, nampaknya merata pada berbagai pihak.

Jadi, klaim dari pihak penyelenggara telah mendapat pengakuan meskipun respon baliknya berbeda. Di sam­ping dari mereka yang antusias menyambut, muncul pula respon berupa gugatan atau penentangan. Harsono, sesudah menggarisbawahi adanya dasar pemikiran pasca-modern yang menjadi pemilihan peserta berikut karyanya, menggugat praktik pelaksanaan yang justru bersifat “mendominasi” dan “totaliter”(Modernis).8  Seorang peserta pameran menyatakan penentangannya dengan menulis kalimat dengan huruf-huruf besar. “Anda masuk kawasan bebas gravitasi Posmo” pada dinding di depan pintu kavling ruang pamerannya. Seorang penulis yang sering mengulas pameran lukisan di koran, jauh-jauh hari sudah mensinyalir adanya. “leveransir Posmo di negeri ini”, kemudian memperingatkan “dan lalu seni rupa di Indonesia, negeri yang sesungguhnya jauh dari Postmodernisme, sedang berjalan menuju jurang bencana.”9

Kontroversi sekitar Biennale ini, memang segera usai begitu pameran ditutup sekitar pertengahan Januari 1994, karena media nampaknya tidak cukup murah hati menampung polemik yang berkepanjangan. Namun demikian kontroversi itu mening­galkan sejumlah pertanyaan yang belum terjawab secara  memadai.  Benarkah pemikiran yang melandasi  Biennale Jakarta IX dan juga karya  yang ditampilkan  menandakan  Postmodemisme? Apa kriterianya?  Bagaimana kita meletakkan klaim Postmodernisme itu dalam perkembangan dan sejarah Seni Rupa Modern Indonesia ?

Seni Rupa Era 1980-an:  Dari Avant-garde Radikal ke Postmodernisme?

Dari  berbagai  tulisan  tentang Bienniale Seni Rupa Jakarta IX, ada hal mendasar yang luput dari perhatian, yaitu dasar pemikiran pameran itu sendiri. Para penulis tentang pameran, baik yang bersikap mendukung ataupun menentang, pada umumnya mendasarkan diri pada asumsi bahwa klaim “Postmodernisme” dari kurator adalah sesuatu yang benar dan tidak perlu dipertanyakan lagi. Mempertanyakan dasar pemikiran pamer­an berarti mempertanyakan keberadaan pameran, kare­na, seperti yang dikatakan oleh Harsono, dari landasan kurasi inilah kemudian seluruh kegiatan dilaksanakan.

Bahan-bahan pameran dipilih  dan diseleksi sesuai dasar-dasar pemikiran  pameran. Sebagian besar karya seni rupa non- konvensional  yang disebut  instalasi, ditambah sejumlah karya yang dapat dikategorikan sebagai Seni Rupa Pertunjukan, Seni Video, Realisme Baru, Realisme Fotografis, Realisme Sosial, Seni Proses, Seni Fotografi, Seni Pop, dan Seni Bumi. Sebagian besar peserta pameran yang berjumlah 39 orang menampakkan muka-muka baru dan berada pada usia 30-an dengan beberapa perkecualian seperti Sudarisman dan FX. Harsono yang  di atas 40-an, atau beberapa seniman yang berada di bawah usia 30 seperti Melodia (27), lsa Perkasa (27) yang baru saja lulus sekolah tinggi seni rupa.10  Seni Rupa Era 1980-an yang ditampilkan dalam Biennale Seni Rupa Jakarta IX ini, sebagaimana kata kuratornya, “bukan satu-satunya kecenderungan Seni Rupa Kontemporer kita”,11 bahkan, seni rupa ini jauh dari pengamatan kritisi dan institusi seni rupa. Luput dari perhatian. Pada akhir 1980-an, atas prakarsa sendiri, seni rupa itu muncul. Dipamerkan di galeri-galeri  alter­natif  yang diorganisasikan para perupanya sendiri. Tapi  cara ini  berhasil menarik perhatian para kurator mancanegara dan dalam tiga tahun terakhir. Seni rupa ini tampil dalam pameran-parneran Internasional. Sementara itu di tanah air, kehadirannya bahkan belum diper­tanyakan.”12

Pada bagian lain terdapat penjelasan: ” tidak bisa disangkal, prinsip-prinsip Seni Rupa Postmodern itu mempengaruhi Seni Rupa Era 1980-an. Idiom-idiom yang menandakan era Postmodern—khususnya Instalasi dan Seni Rupa Pertunjukan (Perfomance) luas dipraktikkan di lingkaran seni rupa ini.”13

Penggunaan  istilah “Seni Rupa Kontemporer” nampaknya perlu mendapat perhatian khusus. Istilah itu, karena dianggap lebih netral dari istilah Seni Rupa Modern, dipakai sebagai penggantinya. Yang menarik adalah bahwa bila diterapkan di Indonesia, Seni Rupa Kontemporer dimulai dari kemunculan “Seni Rupa Pemberontakan” atau Seni Rupa Baru, sebagai pendahulu Seni  Rupa  Era 1980-an.

Pokok-pokok argumen dari dasar pemikiran pameran dapat dibedakan menjadi tiga premis yang oleh penulis­nya –Jim Supangkat–diajukan untuk memperkokoh korelasi antara Seni Rupa Era 1980-an dengan Seni Rupa Pemberontakan atau Seni Rupa Baru dan  prinsip  Postmodernisme.

Premis pertama, Seni Rupa Era 1980-an adalah fase lanjutan dari Seni Rupa fase 1970-an yang berupa Seni Pemberontakan. Seni Rupa dekade 1970-an ini diawali oleh protes sejumlah pelukis muda atas keputusan Dewan Juri pada Pameran Besar Seni Lukis Indonesia di TIM, Jakarta pada bulan Desember 1974. Protes itu muncul sebagai reaksi atas pemberian hadiah kepada lima pelukis terbaik yang karyanya menampakkan gaya ‘dekoratif’. Ketidakpuasan ini tertuju pada kelompok mapan yang memiliki kewenangan pengambilan keputusan di lembaga-lembaga seni yang bersifat strategis seperti TIM. Ketidakpuasan itu ternyata berlanjut dengan adanya penggabungan sejumlah seniman muda dari Yogyakarta dan Bandung dengan membentuk kelompok yang diberi nama Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia. Seni Rupa Baru ini menjadi fenomena Seni Rupa Era 1970-an melalui serangkaian pameran hingga tahun 1979.

Premis kedua, Seni Rupa Era 1970-an atau Seni Rupa Pernberontakan ini, dari kacamata sekarang, mempunyai program menentang seluruh tradisi Modernisme: “Karena itu baru pada dekade  1980-an, setelah munculnya Postmodernisme, dasar-dasar Seni Rupa Pem­berontakan menjadi jelas menentang prinsip Modernisme”. Sedangkan Seni Rupa Era 1980-an, “adalah seni rupa pasca pemberontakan itu, tidak lagi menen­tang Modernisme, tapi meninggalkannya. Seni rupa ini dikenali pula sebagai Seni Rupa Postmodern.”14

Argumen premis kedua ini didasarkan pada teori Avant-garde, yang ditulis oleh seorang Postmodernis terkemuka, Charles Jencks : “Mengikuti teori-teori baru tentang seni rupa Avant-garde. Seni Rupa Pemberontakan era 1970-an, masuk dalam kategori Avant-garde Radikal”. Dalam teori-teori itu, Avant-garde Radikal muncul sepanjang perkembangan Modernisme. “Meskipun dinyatakan sebagai muncul sepanjang perkembangan Modernisme,” Jim Supangkat, penulis katalog itu, memberi interpretasi yang bertolak belakang ketika menyatakan bahwa Avant-garde Radikal tidak berkaitan sama sekali dengan prinsip-prinsip Modernisme. “Dalam tulisannya, The Post Avant-garde (1987), Charles Jencks, menegaskan Avant-garde Radikal berbeda dengan dua Avant-garde lainnya, yaitu Avant-garde Heroik dan Avant-garde Pemurni. Dua yang terakhir adalah pembentuk Modernisme, sedang Avant-garde Radikal tidak berkaitan sama sekali dengan prinsip-prinsip Modernisme, malah menentangnya.”15  Dari sini lantas disimpulkan: “pan­dangan Jencks tentang hubungan Avant-garde Radikal dan Postmodernisme, menjelaskan hubungan Seni Rupa Pemberontakan Indonesia dekade 1970 dengan Seni Rupa Pasca Pemberontakan yang menandai perkernbang­an I980-an. Sekaligus kaitan kedua seni rupa ini dengan era Postmodern.”16

Premis ketiga, menggariskan kernbali kesamaan Seni Rupa Era 1980-an dengan Seni Rupa Pemberontakan, yaitu pada minatnya yang kuat pada masalah kemasyarakatan: “Perkembangan Seni  Rupa Era 1980-an, menunjukkan kembalinya seni rupa mempersoalkan masalah kemasyarakatan. Arus ini, dari sudut teoritis meneruskan gagasan-gagasan yang  dilemparkan  Seni  Rupa Pemberontakan dekade 1970. Masalah kemasyarakatan ini, pada Seni Rupa Era 1980-an meliputi iklan, teks, teknologi, produk dalam kehidupan sehari-hari dan seni rupa bawah.”17

Ketiga premis utama itu, dalam Biennale Seni Rupa Jakarta IX menjadi pilar-pilar argumen yang mendasari proses pemilihan peserta pameran, yaitu para seniman berikut karyanya. Selain itu, ketiga premis ini merupakan upaya rekonseptuliasi dan rekonstruksi makna dan peran “Seni Rupa Pemberontakan” atau Seni Rupa Baru dan apa yang disebut Seni Rupa Era 1980-an.



Dekonstruksi atas konstruksi: Avant-garde dan Postmodernisme

Istilah “Seni Rupa Pemberontakan” dalam tulisan  pengantar  Biennale Seni Rupa Jakarta IX nampaknya ditujukan pada serangkaian reaksi  seniman muda yang diawali dari 1974 dengan pernyataan  Desember Hitam, disusul terbentuknya Gerakan Seni Rupa Baru 1975  dan  beberapa kejadian  serupa  di Yogyakarta. Secara khusus  istilah  ini  dapat  diterapkan  pada  Gerakan Seni Rupa Baru, karena ketika ia menyatakan bahwa “Seni Rupa Pemberontakan” itu tidak berusia panjang yang dipakai sebagai contoh adalah “kematian” Gerakan Seni Rupa Baru pada 1979. Istilah itu tidak diterapkan pada Seni Rupa Era 1980-an, karena ia “lahir” tidak melalui pemberontakan.

Benarkah? Apabila kita membalik-balik  Sejarah  Seni  Rupa Modern di Indonesia, peristiwa “pemberontakan” seperti kejadian Seni Rupa Baru pernah terjadi lebih dari satu kali. Pertama kali oleh berdirinya Persagi (Persatuan Ahli  Gambar Indonesia) pada 1937. Pada saat itu melalui tokohnya,  S.Soedjojono,  Persagi menyatakan penentangan dan pemberontakan terhadap kelompok mapan yang disebutnya “Mooi Indie”. Dilihat dari tulisan-tulisan Soedjojono pada saat itu, kita dapat menilai bahwa pemberontakan kelompok ini tidak kalah garang, keras dan tanpa kompromi dibanding kelompok Seni Rupa Baru. Demikian pula, kejadian pada tahun-tahun menjelang 1960-an, muncul sekelom­pok pelukis muda yang menggoyahkan idiom-idiom  mapan  pada zamannya dan menimbulkan gelombang kontroversi  sehingga lahir istilah “Mazhab Bandung”. Kali ini, tokoh-tokoh mapan yang merasa menjadi sasaran pemberontakan itu adalah para mantan anggota Persagi yang mencap para “pelukis akademis” itu seba­gai antek Barat.

Pola “pemberontakan”. itu tidak hanya terjadi pada satu cabang Seni Modern saja, pola yang sama berlaku juga pada Sastra Modern seperti misalnya “pem­berontakan” Angkatan 1945 terhadap  Angkatan Pujangga Baru, atau Angkatan 1980-an terhadap Angkatan 1970-an. Bahasa yang dipakai, penuh dengan idiom-idiom “pernberontakan” yang lebih dekat pada kenyataan militer dibanding kenyataan kesenian.

Pola yang sama kiranya dapat ditemui pada Seni Teater Modern, Seni Musik maupun Seni Arsitektur.

Pola kesenian seperti itu adalah suatu pola yang menjadi karakteristik  Seni Modern, pola Avant-garde. Pola ini tidak berdiri sendiri, ia berkemnbang sebagai  akibat  logis dari  dasar pandangan Seni Modern yang dike­nal dengan istilah “Modernisme”. Untuk memahami arti dan posisi peristiwa Biennale Seni Rupa Jakarta IX, suatu studi komparatif antara perkembangan Seni Rupa Modern Indonesia dan sejarah perkembangan Seni Rupa Modern di Barat merupakan keniscayaan. Sebagaimana telah disinggung di awal tulisan ini, pada suatu tahap, Seni Rupa Modern Indonesia adalah “seni serapan” (untuk meminjam istilah almarhum Sanento Yuliman), yaitu suatu upaya penyesuaian atau dialog antara budaya Indonesia dan budaya Barat.

Modernisme yang lahir dipangkuan Barat adalah ideologi yang melandasi Seni Modern. Dalam sejarah kesenian Barat, era Modern dilapangan seni rupa itu dimulai dari semenjak masa Impresionisme pada tahun 1874 atau lebih dini lagi dari masa Realisme dipertengahan  abad-19 dan dari waktu itu –masuk abad 20– ia memasuki masa yang penuh dengan pembaharuan gaya seperti Fauvisme, Ekspresionisme, Kubisme, Seni Abstrak, Konstruktivisme, Dada, Surealisme, Ekspresionisme Abstrak hingga Minimalisme dan Seni Konsep di ujung 1960-an. Dibidang Arsitektur dan Desain, gaya yang dominan relatif lebih homogen yaitu gaya Fungsionalisme dan Gaya Internasional yang menjadi acuan para pendesain hingga tahun 1960-an.

Sebab-sebab munculnya Modernisme bisa dirunut ke masa yang lebih dini dalam perkembangan masyarakat modern semenjak zaman Pencerahan. Seorang konseptor gagasan  Modernisme yang berpengaruh, Clement Greenberg, menunjukkan bahwa Modernisme mencakup seluruh fenomena kebudayaan. Ia memberi pengertian Modernisme sebagai “Kecenderungan kritik diri yang intensif yang dimulai dari Kant.” Menurutnya, esensi Modernisme terletak pada penggunaan metoda khas suatu disiplin untuk mengkritik diri sendiri, bukan untuk menghancurkannya, tetapi justru untuk lebih memperkuatnya.

Diterapkan di bidang seni, maka inti Modernisme adalah upaya terus menerus untuk meningkatkan penetapan ukuran-ukuran estetik. Kata Greenberg : “dalam usaha yang tak terputus untuk mencegah ancaman kemerosotan standar estetik akibat demokratisasi budaya yang dibawa industrialisasi.” Dalam Modernisme, seni adalah otonom, mengutip Greenberg lagi : “pengalaman estetik tidak lagi memerlukan justifikasi dari sesuatu di luar dirinya. Seni adalah tujuan pada dirinya sendiri dan estetik menjadi nilai otonom yang terlepas dari agama, politik bahkan moralitas.”19 Dengan demikian, Modernisme bersifat reflektif, ia mengambil dirinya sendiri sebagai pokok masalah, sehingga perhatian utama terletak pada medium, proses dan teknik, penggunaan material secara jujur dan mengedepankan peralatan.

Dengan pijakan ini, Seni Modern menyatakan diri sebagai satu-satunya bentuk seni yang paling sah mewakilinya zamannya. Dari dasar itu, berkembang norma-norma yang menjunjung tinggi nilai kebaruan, keaslian dan kreativitas. Seperti halnya ilmu dan teknologi, Seni Modern meyakini akan adanya gerak maju ke arah kesempurnaan. Dalam sejarahnya yang telah berlang­sung satu abad lebih, ia telah melahirkan puluhan gaya seni yang berbeda. Lebih dari itu, Modernisme yang melandasi Seni Modern  juga  menyebar  dan  mendominasi kehidupan di Negara-Negara Berkembang. Ketika nilai-nilai Modernisme telah mengkristal dalam pranata seni seperti Museum of Modern Art (MOMA), dalam lembaga pendidikan seni rupa, teori estetik, kritik seni dan sejarah, maka praktik kesenian modern tak dapat mengelak dari pengaruhnya.

Karena dibayangi obsesi untuk terus menerus menjaga standar estetik tetap tinggi, maka Modernisme membedakan dan memisahkan secara tajam antara ‘Seni Tinggi’ dan ‘Seni Rendah’ yang tidak  lain adalah ‘Seni Murni’ dan ‘Seni Populer’. Dalam jalur Seni Murni itu, lahir pola Avant-garde yang memungkinkan lahirnya idiom-idiom  estetik  baru yang memperkaya dan memperluas batas-batas daerah estetik, sedangkan Seni Massa, justru hanya mengulang rumus  estetik yang ada dan cenderung untuk tunduk pada selera massa, sehingga disebut istilah “Kitsch” atau seni  sampah. Jadi Seni ‘Kitsch’ adalah lawan seni Avant-garde.

Seni Avant-garde adalah seni yang mendahului zamannya, paling depan dalam konsep dan lebih ekstrim dalam teknik. Richard Kostelanetz, seorang penulis seni dari Amerika, menguraikan ciri seni Avant-garde dalam esainya “An ABC of Contemporary Reading”. Menurut  Kostelanetz, karakterisik pertama adalah bahwa dalam merambah daerah (estetik) baru, seni Avant-garde menghancurkan pagar-pagar hukum yang menjadi benteng pertahanan konvensi lama. Ciri ini berasal dari ‘Premis-Premis’ yang keliru atau ‘asumsi-asumsi pemberontakan’. Ciri kedua, pada mulanya, seni Avant-garde sukar dipahami  sehingga ia terasing dan membutuhkan waktu sebelum memperoleh pengakuan. Sedang ciri ketiga, ia biasanya menyerang para seniman mapan dan baru kemudian membujuknya.

Pemahaman terhadap prinsip Modernisme dan pola Avant-garde sangat penting dilakukan, karena seperti telah diuraikan, premis-premis yang mendasari penye­lenggaraan Biennale Seni Rupa Jakarta IX itu berpijak pada teori Avant-garde yang diambil dari tulisan Charles Jencks. Namun demikian, permasalahan kedua hal tersebut masih perlu dilengkapi dengan pengetahuan yang akurat tentang perubahan dan perkembangan Seni Rupa Modern, baik yang telah terjadi di Barat maupun di Indonesia dan Negara Dunia Ketiga pada umumnya.

Melalui pemahaman akan konsep Avant-garde, maka penyebutan seni “pemberontakan” pada Seni Rupa Baru memperoleh pengertian yang lebih utuh. Penyebutan demikian terhadap Gerakan Seni Rupa Baru tidaklah keliru. Tetapi dalam Sejarah Seni Rupa Modern Indonesia, Gerakan Seni Rupa Baru bukan satu-satunya Seni Rupa Pemberontakan. Lagi pula, penggolongan  Gerakan  Seni  Rupa Baru sebagai Avant-garde Radikal pada premis kedua juga menunjukan suatu “kunci” yang penting untuk membuktikan apakah  Seni  Rupa  Era 1980-an a dalah  fase  lanjutan dari Seni Rupa Era 1970-an.

Lagi pula, premis kedua –bahwa Seni Rupa Era 1970-an atau Seni Rupa Pemberontakan mempunyai program menentang seluruh tradisi Modernisme dan tergolong sebagai Avant-garde Radikal– terasa kontradiktif apabila dihadapkan pada tulisan Jencks yang justru diacunya. Bagi Jencks, istilah Avant-garde adalah sinonim dari “Seni Modern” atau “Gerakan Modern” yang berpijak pada Modernisme. Kalimat pertama dari tulisan Jencks, The Post Avant-garde,  menunjukan hal itu;  “Istilah Avant-garde sebenarnya menyimpan pengertian yang aneh, untuk sebagian. Avant-garde adalah metafor yang diambil dari terminologi militer sebagai pengganti yang lebih lunak dari sebutan ‘Modern’ atau ‘Gerakan Modern’, sedang sebagian yang lain, secara sosiologis Avant-garde menggambarkan suatu kelas untuk individu-individu tanpa patronase.21

Dalam pandangan Jencks, pada dasarnya, ada empat tahap utama Avant-garde dari 1820 sampai sekarang, yakni Avant-garde Kepahlawanan, Avant-garde Pemurni, Avant-garde Radikal, dan PascaAvant-garde. Ketiga Avant-garde pertama mewakili kecenderungan “Dunia Modern” yang selalu haus akan penemuan dan penaklukan “Daerah Baru”, suatu kecenderungan yang tercermin secara tepat pada Modernisme. Kecenderungan ini juga sesuai dengan sistem Kapitalisme yang terus menerus memutar roda produksi untuk terus hidup. Yang disebut dengan “Dunia Modern” pada dasarnya bergantung pada siklus yang berlangsung antara sisi produksi dan penghancuran. Modernisme secara jelas mencerminkan berayunnya pendulum antar dua sisi tersebut. Berlangsunglah apa yang disebut Nietszche sebagai ‘transvaluasi nilai-nilai’, yakni penghancuran terhadap nilai-nilai yang sudah tercapai, mapan dan baku. Tiga macam Avant-garde yang sudah saya sebutkan tak pelak seperti perusahaan multinasional yang agresif menguasai pasar-pasar baru.Tak pernah merasa cukup terhadap apa yang sudah didapat dan selalu mencari tantangan baru: ‘berinovasi atau mati’, ‘berubah atau layu’ pendeknya selalu menghancurkan untuk mencipta.”22

Sedangkan tahap Avant-garde ke empat, Pasca Avant-garde sama sekali berbeda dari ketiga Avant-garde sebelumnya : “karena ia tidak menaklukkan daerah-daerah (estetis) baru. Alih-alih dari jargon shock of the new yang sudah kuno dari Duchamp. Ia justru berpijak pada shock of the old dari Mariani”.23  Apabila ketiga Avant-garde sebelumnya sehaluan dan bahkan merupakan inti Modernisme, maka Pasca Avant-garde justru kebalikan dari pola Avant-garde dan merupakan realisasi prinsip-prinsip Postmodernisme.  Dipandang dari penggunaan istilah “Avant-garde”. Pasca Avant-garde menampakkan paradoks, karena sama sekali tidak punya pretensi sebagai “mendahului zamannya” atau penakluk daerah baru. “Terdapat  suatu paradoks  yang lucu  dalam  Post Avant-garde ini: ia tidak hadir sebagai Avant-garde karena kemunculannya ada dimanapun tapi sekaligus tidak dimanapun, sedangkan seni Avant-garde yang lama percaya bahwa kemanusiaan menuju ke suatu arah tertentu dan menjadi tugas seni Avant-garde untuk menemukan lahan (estetis) baru sehingga orang bisa mencapainya. Sedangkan Seni Pasca Avant-garde percaya bahwa kemanusiaan berada dalam pelbagai arah yang berbeda-beda, sebagiannya lebih absah dari yang lainnya. Adalah tugas Seni Pasca Avant-garde untuk menjadi pengarah dan berperan kritis.”24

Jadi, ketiga Avant-garde yang pertama meyakini bahwa kemanusiaan menuju kesatu arah, sering diistilahkan dengan “Semangat Zaman” (Zeitgeist) atau “Gaya Zaman” (Zeitsteil). Oleh karena itu, ketiganya merupakan representasi Modernisme. Masing-masing dari ketiga jenis Avant-garde ini menampakkan titik perhatian yang berbeda. Pada Avant-garde Kepahlwanan, titik pusatnya adalah kemajuan sosial. Makna ini di perkenalkan oleh Henri  de Saint  Simon pada  1825.  Seorang  bekas tentara dan tokoh sosiologi terkemuka. Apabila di terapkan di dunia  seni, jenis Avant-garde ini  memberikan peran  seniman sebagai perintis  dan penunjuk arah kemanusiaan. Contoh seniman Avant-garde Kepahlawan yang disebut oleh Jencks adalah Gustave Courbert, pelukis Realisme pada abad 19, dan kecenderungan ini muncul dengan  kuat pada 1920-an pada tokoh-tokoh arsitek Modernis yaitu Gropius, Mies van der Rohe dan Le Corbusier. Mereka adalah arsitek yang mengembangkan Gaya Fungsionalisme dan Gaya Internasional yang indentik dengan Arsitektur Modern. Gagasan Sosialisme secara kuat tercemin dalam kedua gaya itu.

Jenis Avant-garde kedua, Avant-garde Pemurni terutama memiliki minat yang kuat  untuk membawa misi kemajuan artistik. Oleh karena itu, ciri dari karya para seniman ini adalah prinsip Formalisme dan penekanan pada teknik. Tokoh-tokohnya dapat disebut nama-nama seperti Piet  Mondriaan, Theo van Doesburg, Josef  Albers, Frank  Stella, yang semuanya pelukis, dan Buckminster Fuller, arsitek.

Sedangkan Avant-garde Radikal, bertujuan menghilangkan pembatas antara seni dan kehidupan. Termasuk dalam kategori Avant-garde ini adalah gerakan-gerakan seni seperti Futurisme,  Dada  dan  Konstruktivisme pada tahun 1920-an serta Pop-Art dan Happening pada 1960-an. Charles Jencks mensifati bahwa “gerakan ini tidak hanya radikal, tapi bahkan juga anti garda-depan. Seni berada di jalan-jalan, jalan-jalan berubah menjadi galeri-galeri seni Seni adalah kehidupan itu sendiri. Kehidupan merupakan kerja kesenian”.26 Jadi. ia merupakan jenis Avant-garde yang paling radikal dan sekaligus anti Avant-garde. Pernyataan ini nampaknya ditafsirkan oleh Jim Supangkat sebagai anti Modernisme. Ciri Avant-garde Radikal yang kontradiktif ini justru suatu cerminan ekstrim dari prinsip “penciptaan” dan “penghancuran” dari Modernisme. Bukan kebetulan tokoh yang menjadi panutan dan para seniman Futurisme seperti Marinetti, Boccioni, Balla, Carlo Carra dan seniman Dada adalah Nietzsche, yang terkenal dengan semboyan transvalua­tion of all values-nya.

Tokoh paling terkemuka dari jenis Avant-garde ketiga ini, tanpa diragukan lagi adalah Marcel Duchamp (1887-1968), seorang seniman dari gerakan Dada. Sebelum bergabung dengan gerakan Dada yang baru terbentuk pada 1916 di Zurich, Duchamp telah menggemparkan dua seni di Amerika dengan keikutsertaanya pada pameran yang diadakan pada 1912. Pada pameran itu, ia menyertakan lukisannya yang bejudul Nude Descending a Staircase, suatu lukisan yang bergaya Kubisme bercampur dengan Futurisme. Pada tahun berikutnya, ia menyertakan karya “ready made” yang pertama berupa roda depan sepeda yang dipasang pada bangku dapur tanpa tambahan apapun. Tahun 1914 ia memamerkan rak botol, dan pada 1917 ia menandatangani sebuah urinoir (wadah kencing) dengan tulisan R. Mutt dan memamerkannya sebagai karya seni. 

Selain Marcel Duchamp, tokoh-tokoh Dada lain adalah Hugo Ball, Hans Arp, Tristan Tzara, Marcel Janco dan tokoh lain yang merupakan gabungan dari pelukis, dramawan, dan sastrawan, mereka melakukan berbagai “eksperimen” yang aneh-aneh, menabrak dan melintasi batas-batas konvensi seni secara liar. Dari Zurich, Dada menyebar ke berbagai kota Eropa dan menyeberang ke benua Amerika. Seniman Dada Perancis, Man Ray, men­ciptakan sebuah karya seni berupa alat setrika yang bagian bawahnya dipasang dengan paku dan diberinya judul Cadeau. Fenomena seni Dada yang penuh dengan kontradiksi, anarki dan sikap anti seni (What is Dada? Dada is nothing! Dada is everything) justru melahirkan berbagai idiom seni yang sangat kaya dan menjadi khasanah yang “ditambang” oleh gerakan seni rupa di tahun 1950-an dan 1960-an, yaitu neo-Dada, Seni  Pop, Happening, Seni Rupa Pertunjukan  dan Seni Konsep. Kecenderungan Seni Instalasi pada tahun1970-an di Barat pun tidak lepas dari dari inspirasi Dada.

Hubungan  yang erat  antara Dada dan seni 1960-an seperti neo-Dada, Seni Pop, Seni Rupa Pertunjukan, Seni Bumi, Seni Video, dan Happening  menjadi  sebab Charles Jencks menggolongkan  seni 1960-an di Amerika sebagai Avant-garde Radikal. Kecenderungan Avant-garde Radikal ke arah penghilangan batas seni, antara seni dan kehidupan, dalam beberapa hal memang dekat dengan sejumlah ciri Postmodernisme.  Apa yang membedakan keduanya adalah Avant-garde Radikal masih didorong,oleh semangat pembaruan inovasi dan “penaklukan daerah baru”, sedang prinsip Postmodernisme tidak mempercayai semangat dan tujuan seperti itu.



Seni Rupa Kita: Kesejajaran dan Perbedaan

Teori Charles Jencks memang dapat membantu menjelaskan fenomena Seni Rupa Modern Indonesia, karena pada dasarnya, antara seni rupa modern yang berkembang di Barat dan di negara-negara lain yang melakukan dialog kebudayaan secara intensif dengan Barat, terdapat interaksi budaya yang pada fase tertentu melahirkan pola yang sama. Bila teori Avant-garde Charles Jencks itu diterapkan pada fenomena Seni Rupa Modern Indonesia, nampak bahwa masing-masing jenis Avant-garde itu paling sedikit dari 3 yang pertama menemukan manifestasinya. Jenis Avant-garde pertama, yaitu Avant-garde Kepahlawanan, termanisfestasikan dalam gerakan Persagi dan Seni Rupa Era 40-an. Seperti diketahui, Persagi yang dimotori Sudjojono memiliki program “pemberontakan” terhadap “ Mooi Indie”.

Demikian pula, gaya lukisan yang didominasi Gaya Realisme dan Ekspresionisme pada era 1940-an, banyak dipakai untuk melukiskan suasana perjuangan dan revolusi yang menjanjikan kemerdekaan dan tercapainya masyarakat yang telah lama diimpikan bangsa Indonesia. Sesudah kemerdekaan pun, gaya Ekspresionisme dan Realisme Sosial telah difungsikan oleh para seniman seperti Affandi, Hendra Gunawan,dan Sudjojono untuk meningkatkan nilai kemanusiaan universal (pada Affandi) dan perubahan sosial (pada Hendra Gunawan dan Sudjojono).

Berikutnya, jenis Avant-garde Pemurni nampak secara jelas pda gerakan yang disebut sebagai “Mazhab Bandung” pada dekade 1950-an, meskipun diserang dari berbagai penjuru; pejabat, seniman, budayawan (baik yang nasionalis dan humanis seperti Trisno Sumardjo, maupun orang-orang yang berasal dari LEKRA), para seniman Bandung pada waktu itu tetap teguh dan setia mengembangkan prinsip-prinsip Formalisme atau bahasa rupa murni seperti garis, warna, bidang, tekstur dan raut. Menjelang dan awal 1970-an Seni Rupa Abstrak mulai mendominasi dan menjadi fenomena seni yang telah mapan.

Pada fase berikutnya, pada pertengahan 1970-an, muncul jenis Avant-garde Radikal yang dimotori oleh Gerakan Seni Rupa Baru. Dari segi gagasan, tema-tema yang menjadi fokus perhatian, gaya, sikap dan teknik, Gerakan Seni Rupa Baru menampakkan adanya kedekatan dengan Seni Pop yang berkembang antara tahun-tahun pertengahan 1950-an dan dekade 1960-an di Barat. Misalnya, dalam soal gagasan untuk mendekatkan seni dengan masyarakat melalui tema-tema keseharian yang menjadi ciri zamannya, terutama budaya konsumsi dan rekreasi; perhatian pada hal-hal yang sensual; pengambilan unsur-unsur budaya massa kedalam arus ‘seni’,  pelecehan terhadap konsep seni murni. Begitu pula peniadaan batas antara seni tinggi dan seni rendah, penggabungan berbagai cabang seni yang dikenal dengan istilah intermedia (Dick Higgins) atau mixed media, dan penggunaan barang-barang jadi (ready made). Kesemua ciri-ciri itu menampakkan banyak kesamaan, sehingga pendapat yang mendudukkan Gerakan Seni Rupa Baru ke dalam jenis Avant-garde Radikal Jencks memang dapat diterima.

Bagaimana dengan jenis Post Avant-garde? Apabila Postmodernisme merupakan reaksi penentangan terhadap Modernisme, Post Avant-garde adalah juga penentangan terhadap Avant-garde. Berkebalikan dengan semangat Avant-garde yang selalu ingin mendahului zamannya dan merambah daerah-daerah baru, Post Avant-garde tidak berminat pada “penaklukan daerah baru”, semangatnya justru menghargai apa yang sudah ada,  melakukan pencampuran gaya, dan dengan demikian berciri eklektik hal, yang diharamkan oleh Modernisme.

Sebagai manifestasi Avant-garde, Gerakan Seni Rupa Baru tidak  menampakkan sikap anti-Modernisme. Pernyataan yang menyimpulkan bahwa Gerakan Seni Rupa Baru mempunyai  program  menentang  seluruh  tradisi Modernisme tidak memiliki dasar dalam  teori Jencks. Justru, Avant-garde Radikal menampakkan secara ekstrim prinsip Modernisme yang bereaksi pada dunia  modern  dan  dunia  Kapitalisme borjuis, yaitu  prinsip  produksi dan destruksi seperti yang  dapat dilihat  pada  siklus fashion atau konsep “ciptakan”  dan “musnahkan” dari Seni Modern.  Gerakan  Seni  Rupa  Baru, jika dikaitan dengan asal usul kemunculanya  berupa protes terahap keputusan Dewan  Juri pada 1974 yang  memenangkan lukisan gaya “dekoratif”,  juga  tidak  mendukung  kesimpulan diatas. Modernisme yang  berkembang  di  Barat,  secara  jelas  sangat  anti  pada hal yang  berbau dekoratif  atau  ornamen. Para pelukis, dan  terlebih-lebih  kalangan  arsitek Modernis,  memiliki anggapan bahwa  ornamen  sama dengan kejahatan. Lagi pula adanya label `Baru` dalam Gerakan Seni Rupa Baru menampakkan  semangat  yang  terdapat dibalik gerakan ini, yaitu semangat  ‘kebaruan’  dan  ‘progress’ yang identik dengan Modernisme.

Oleh  karena  itu,  sejauh teori Charles Jencks di pakai sebagai sandaran pada premis kedua yang  menyatakan  hubungan  antara Avant-garde Radikal dan Postmodernisme, antara Seni Rupa  Era 1970-an dan era 1980-an dengan Postmodernisme,  sesungguhnya  premis kedua ini tidak memiliki dasar.  Memang dalam  kaitan dengan Postmodernisme, telah disebut- sebut  nama-nama seperti hal Hal Foster,  Craig Owen dan Rosalind Krauss yang jelas-jelas dikutip pendapatnya dari satu artikel barjudul “Re-Post” oleh Hal Foster dalam buku Art After Modernism.27 Namun Jim Supangkat sendiri nampak  kurang yakin dengan pendapatnya itu.  Dalam  makalah yang  ia  sampaikan sebelum  pameran  usai,  Jim Supangkat menyatakan “Untuk meluruskan pengertian yang telah menjadi terbalik-balik, pertama-tama perlu saya jelaskan bahwa materi pameran Bienniale Seni Rupa IX Jakarta 1993 ini adalah Seni Rupa Kontemporer Indonesia.”  Bukan  “Postmodernisme “ atau “Seni  Rupa  Instalasi”  atau  “Seni Rupa Eksperimental.”28

Klaim  kedua  nampaknya  masih  memegang  secara  kuat  adanya hubungan  antara Seni Rupa Era 1970-an  dengan  Seni  Rupa  Era 1980-an,  sebagaimana  terdapat  dalam  premis  pertama tulisan  katalog  pameran.  Dalam  hal  ini,  konsep  “Seni  Rupa Kontemporer “ yang diajukan oleh Jim Supangkat nampak memiliki kemiripan dengan apa yang sering dilontarkan oleh FX Harsono dalam  berbagai  kesempatan. Harsono menerapkan  istilah  itu pada  fenomena Seni Rupa dari  Gerakan  Seni Rupa  Baru,  hingga kecenderungan  pada Intermedia,  Instalasi, Seni Video, Seni Rupa Pertunjukan, Seni Komputer dan yang sejenisnya.

Tetapi,  konsep  yang  seperti ini nampak  rancu  mengingat istilah itu sudah banyak dipakai di dunia seni di Indonesia  dengan  arti yang berbeda.  Misalnya,  Kusnadi pada 1978  menggunakan  istilah itu untuk  menunjukan fenomena  seni rupa  semenjak  Raden Saleh yang  berbeda dari seni tradisonal. “Seni Rupa Baru atau Kontemporer Indonesia merupakan periode termuda dari perkembangan  Sejarah Seni Rupa Indonesia  semenjak masa prasejarah.  Seni Rupa Kontemporer  Indonesia  merupakan  babak terbaru  dalam  perjalanan sejarah seni lukis dan pahat Indonesia dari zaman ke zaman yang dirintis oleh Raden Saleh (1814-1880) dengan berkenalan dan mempelajari seni lukis Barat”, demikian kata Kusnadi.29

Di Barat,  asal dari kata tersebut, istilah contemporary  telah dipakai semenjak 1940-an. Dalam satu  kamus  seni  yang  berpengaruh  Glossary of Art , Architecture  and  Design  since 1945, Jhon A. Walker  mengungkapkan  “selama periode 1945-1956, kata contemporary dipakai oleh beberapa penulis Inggris untuk melukiskan  Seni, Arsitektur, dan Desain pada era mereka.

Misalnya, Institute of Contemporary Arts berdiri tahun 1947,  buku  Contemporary  British  Art  karya Herbert Read diterbitkan tahun 1951”.30  Semenjak itu istilah “Seni Kontemporer” sering  dipakai  para   penulis untuk menunjukkan fenomena seni yang sejaman dengan  penulis yang  bersangkutan dan itu mencakup fenomena seni di dalam  rentang waktu 1-3 dekade sebelum  tulisan  itu dibuat.  Oleh karena itu,  cakupan  “kontemporer” di masa Herbert Read  tentu berbeda dengan masa Charles Jencks yang menulis di tahun 1970-an dan 1980-an.

Jadi,  semakin  dikonsepkan,  istilah  “kontemporer”  itu akan  semakin  rancu karena  bertentangan dengan kelaziman. Arti “ kontemporer” yang  dipakai  Kusnadi berbeda dengan Jim Supangkat dan Harsono. Ketiganya berbeda dengan arti yang yang dipakai di dunia Barat dan boleh jadi  berbeda  dengan negara  lain  seperti Jepang  atau Brasil yang  pada umunya  mengacu ke Barat.  Dilihat dari sudut  ini,  uraian dan klaim tentang  “Seni Rupa Kontemporer Indonesia”  yang  dipakai  pengganti sekaligus penghapus klaim “Postmodernisme” tetap sulit  dipertahankan.

Apabila memang demikian, bagaimana peristiwa Bienniale Seni Rupa Jakarta IX, hendak diartikan ?  Untuk  menafsirkan  peristiwa itu, ada hal yang dapat dipegang.  Pertama,  ada upaya dari kurator  pameran,  khusunya  Jim  Supangkat  untuk  mengangkat  suatu  kecenderungan seni rupa yang  kemudian diberi label Seni Rupa Era ’80, atau Seni Rupa Pasca-Modern, atau  Seni  Rupa Kontemporer yang merupakan fase lanjutan Seni Rupa Era 1970-an atau Seni Rupa Baru. Kedua, warna  kecenderungan seni  rupa yang  tampil  dalam  Biennale ini  menampakkan  adanya kedekatan  dengan  arus-arus  seni rupa  yang  berkembang  di Barat  pada masa pasca Seni Pop, terutama pada masa-masa 1960-an dan 1970-an. Dan ketiga, peserta pameran menampakkan muka-muka baru dan seniman muda berusia 30-an.

Karya-karya yang tampil didominasi oleh  kecenderungan Seni Instalasi, suatu bentuk pengungkapan baru dalam seni rupa yang  muncul di awal 70-an di Barat dan terus  berlanjut  hingga  masa 1980-an  dan  tetap  menarik seniman-seniman  berbakat,  memasuki dekade 1990-an  ini.

Seni Instalasi  juga  merupakan  kecenderungan kuat menembus Negara-Negara Dunia Ketiga dan bahkan menjadi semacam bentuk seni Avant-garde. Kecenderungan  lain yang  juga tetap menjadi  fenomena  yang  hidup  di dunia  Barat  dan negara lain hingga 1980-an  adalah Seni Rupa Pertunjukan,  Seni Video, Seni Media, dan  Seni  Politis.  Ditambah beberapa kecenderungan seperti Seni Bumi (pada karya  Semsar Siahaan dan Andar Manik),  Realisme Baru (Dede Eri Supria ) dan Seni Fotografi, maka karya-karya pada Bienniale Seni Rupa IX Jakarta itu dapat dikatakan sebagai upaya untuk tidak ketinggalan dengan arus  kecenderungan dan perkembangan negara lain, baik yang berada pada cekungan Asia Pasifik maupun Barat.

Pemberian label  “ Postmodernisme“  ataupun  “Seni Rupa Kontemporer” menampakkan dengan jelas  keinginan untuk  berada ditengah perkembangan dan kecenderungan seni paling mutkhir. Keinginan ini  hendaknya  dipahami dalam konteks perubahan yang  melanda kawasan Asia di satu pihak dan situasi dunia Seni Rupa Indonesia di pihak lain. Dalam 2 dekade terakhir para seniman  muda  sudah merasa cukup  lama tidak  terwakili  dalam berbagai peristiwa penting  yang melibatkan pertukaran budaya antar negara ASEAN maupun Asia. Utusan-utusan yang dikirim  oleh pihak  “birokrat seni”  Indonesia selalu terdiri dari seniman  senior yang  sudah mapan dan ternama,  sementara itu, utusan dari negara lain seperti Filipina, Thailand atau Korea Selatan, sering terdiri dari seniman yang menampakkan kecenderungan terbaru seperti Seni Instalasi.

Keadaan yang  terasa  menyesakkan  nafas  seniman  muda  itu mulai berubah pada masa menjelang akhir 1980-an dan awal 1990-an.

Perubahan itu terjadi,  baik karena figur-figur yang  lama duduk pada posisi “Birokrasi Seni” sudah harus pensiun. Sementara sejumlah seniman muda Era 1970-an sudah cukup matang untuk melakukan hubungan dengan pihak luar, sehingga peristiwa Biennale Seni Rupa IX ini juga menandai  suatu fase perubahan, yaitu surutnya  kaum  tua secara alamiah karena usia, dan naiknya  para “pemberontak” muda era 1970-an pada pusat kesenian,  jika TIM  masih dianggap sebagai pusat.

Surutnya peranan TIM pada dekade yang lalu ikut mempercepat perubahan itu, upaya untuk menaikkan pamor TIM di tengah tumbuhnya pusat-pusat kesenian di Jakarta bertemu dengan idea,  sikap dan semangat  yang  sudah  lama t idak  memperoleh tempat secara memadai, dan titik temu itu melahirkan Biennale Seni Rupa IX Jakarta. Dilihat dari sudut ini,  bermacam klaim seperti adanya kaitan antara Seni Rupa Era 1970-an dengan Seni Rupa Era 1980-an, atau bahwa karya yang dipamerkan berupa karya Postmodernisme atau Seni Rupa Kontemporer hanyalah berupa  puncak  gunung  es  yang  sempat  muncul akibat tekanan iklim yang  terasa  sesak  selama ini.

Pengujian  akan benar  tidaknya  klaim  itu,  bisa  saja dilakukan  seperti dalam  pembahasan tulisan ini. Pembahasan-pembahasan demikian tentu diharapkan dapat meningkatkan pemahaman akan situasi dan permasalahan dunia seni rupa kita. Bahwa karya-karya seni yang dipamerkan  itu  merupakan  fase  lanjutan  dari  Gerakan Seni Rupa Baru,  mungkin  ada beberapa segi  yang  benar  demikian, apalagi tokoh-tokoh Gerakan Seni Rupa Baru banyak terlibat dan menentukan dalam pameran ini. Tetapi kemungkinan lain bahwa para peserta pameran memiliki proses pencarian sendiri—seperti nampak pada penolakan Semsar Siahaan—juga memiliki kebenaran. Toh, arus informasi dan akses pada pengetahuan, begitu terbuka lebar saat ini.

Namun demikian, perubahan yang terjadi pada dunia seni rupa Indonesia itu menjanjikan berbagai  hal yang positif.  Bangkitnya kawasan Asia Pasifik sebagai kekuatan ekonomi baru, menampakkan upaya penciptaan  kawasan budaya yang lebih mendekat, dan situasi ini nampknya sudah mendapat  antisipasi yang baik dari generasi seniman sekarang.



Catatan.

    Lihat polemik Kusnadi dan Sudarmadji yang dimuat dalam Jim Supangkat (ed.), Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia  (Jakarta; Gramedia, 1979)
    Jim Supangkat, “A Breif History of Indonesian Modern Art” dalam Caroline Turner (ed.), Tradition and Change, Contemporary Art of Asia and the Pasific  (University of Queensland Press, 1993)
    Chisaburoh F. Yamada (ed.), Dialog in Art Japan and the West (Tokyo : Kondansha International, 1976).
    Caroline Turner, ed. Op.cit.
    Jim Supangkat, “Seni Rupa Era “80, Pengantar untuk Bienniale Seni Rupa Jakarta IX, 1993”, dalam Katalog Bienniale Seni Rupa Jakarta IX, Jakarta 1993.
    Nirwan Dewanti, “Seni, Pluralisme, Kapitalisme, dan Kita”, Tempo, 8 Januari 1994.
    FX. Harsono, “Bienniale IX Seni Rupa Jakarta, Dominasi Baru Pasca-modern”, Kompas, 16 Januari 1994.
    Ibid, Hal.17
    Agus Dermawan T., “Plesetan Postmodernisme di Seni Rupa”, Kompas, 12 Desember 1993.
    Katalog, Op.cit
    Jim Supangkat, Katalog, Op.cit, hal. 14
    Jim Supangkat, Katalog, Op.cit, hal. 13
    Jim Supangkat, Katalog, Op.cit hal. 14
    Jim Supangkat, Katalog, Op.cit, hal. 13
    Jim Supangkat, Katalog, Op.cit, hal. 16
    Jim Supangkat, Katalog, Op.cit, hal. 21
    Jim Supangkat, Katalog, Op.cit, hal. 27
    Jim Supangkat, Katalog, Op.cit, hal. 16
    Clement Greenberg, “Modern and Post-Modern”, Art Magazine, February 1980, hal.66
    Richard Kostelanetz, “An ABC of Contemporary Reading”, dalam Richard Kostelanetz (ed.) Esthetics Contemporary (Prometheus Book, 1978)
    Charles Jencks, “The Post-Avant-Garde”, dalam Andreas C.Papadakis, The Post-Avant-Garde Painting in the Fighties (London Arts and Design Profile, 1987)
    Ibid, hal.16
    Ibid, hal.17
    Ibid, hal.20
    Lihat Lonescu, The Polotical Thought of Saint Simon, hal.152 Bagt Saint Simon, “his avant-garde” of scientist, industrialist, engineer and artists was to both ‘appreciate a new idea’ and defeat the forces of inertia’ and to contribute greath to the prosperity of manufactures by the designs and models with which they furnish artisants”.
    Charles Jencks, Op.cit, hal 12
    Hal Foster, “Re : Post”, dalam Brian Walls (ed.), Art After Modernism Rethinking Representation (New York The Museum of Contemporary Art, 1984), hal.189-201
    Jim Supangkat, “Seni Rupa Kontemporer Indonesia : Perkembangan “80”, Makalah Diskusi Bienniale Seni Rupa Jakarta IX, 1993.
    Kusnadi, “Tinjaua Sejarah Seni Rupa Kontemporer Indonesia”, dalam Seni Rupa Indonesia dan Pembinaannya, Jakarta : Proyek Pembinaan Kesenian Departemen P dan K, 1978)
    John A. Walter, Glosarry of Art, Architecture, and Design Since 1945 (London, Clive Bingley, 1973).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar