Labels

Sabtu, 07 September 2013

Individualisme dan Kemandirian. Perihal Seni Tari di Jerman dari 1900 hingga 2010

Oleh Franz Anton Cramer

Tari di Jerman secara menakjubkan terus menerus berkembang menjadi cabang seni yang sangat independen walau mengalami bermacam-macam masa peralihan politik dan sosial kemasyarakatan pada abad ke-20. Bukan berarti bermacam-macam rezim politik -- Kekaisaran (1871 – 1918), Republik Weimar (1918 – 1933), Nasional Sosialisme (1933 – 1945), Sosialisme (1949 – 1989), Demokrasi berdasarkan hukum/undang-undang (sejak 1949) – tidak berusaha untuk mempengaruhi dan menguasai seni tari, bahkan seringkali juga memanipulasi dan menghadangnya. Meskipun demikian, para tokoh tari liberal tetap berhasil memelihara semangat tari modern dan dapat terus mengaktualisasi diri. Individualisme dan kemandirian dari bentuk-bentuk kelembagaan menjadi ciri khas. Kedua aspek ini hingga kini terlihat jelas dan sesungguhnya telah berlaku sejak 1920-an. Kedua pelopor terpenting seni tari modern di Jerman, Mary Wigman (1886 – 1973) dan Rudolf von Laban (1919 – 1958) memiliki banyak perbedaan. Kesamaan mereka adalah upaya mereka yang tiada henti untuk mendefinisikan sendiri praktek tari mereka dan mempertahankan kemandirian mereka semaksimal mungkin. Ketika mereka akhirnya harus mengorbankan kemandirian tersebut, agar sejalan dengan berbagai lembaga negara pada masa Nasional Sosialisme, mereka berdua pun harus membayar harga yang mahal: Laban pergi ke pengasingan pada 1937, Wigman mengakhiri karir panggungnya pada 1942 dan hingga 1946 kehilangan izin mengajar dan sekolahnya.
Antara kelembagaan dan kemandirian
Dalam konteks Jerman kemandirian terutama berarti tidak bekerja pada salah satu dari sekian banyak teater milik negara. Bebas dari pendiktean dalam hal estetika dan belenggu-belenggu birokrasi, yang akan terasa seiring dengan berjalannya sebuah produksi. Oleh karena itu baik sebelum Perang Dunia Kedua maupun sesudahnya para seniman tari modern lebih suka memiliki studio sendiri untuk menguji, berlatih dan mengajar, mengadakan pertunjukan sendiri dan tidak wajib untuk memberikan pertanggungjawaban kepada siapapun.
Hal ini tentu berarti pula menghadapi risiko ekonomi, yang memang pada akhirnya terbukti telah menghancurkandan beberapa seniman.
Namun, beberapa tokoh seni tari, terutama sejak tahun 1960-an, telah berhasil mengatasi masalah kelembagaan ini bahkan mengubah situasi menjadi lebih baik dan menguntungkan bagi mereka. Pina Bausch pada 1974 atau William Forsythe pada 1981 mengambil alih divisi-divisi tari opera-opera ternama yang berkecukupan (Bausch di Wuppertal dan Forsythe di Frankfurt am Main).  Di sana justru mereka dapat menikmati jaminan finansial dan perlindungan kelembagaan, mengembangkan visi artistik mereka, mengasah gaya khas mereka dan, seperti kita bisa lihat sekarang, mengukuhkan posisi karya mereka di tengah beragam pilihan seni budaya. Demikian pula di Bremen atau Essen dukungan pemerintah merupakan syarat penting untuk menghasilkan seniman-seniman tari yang terbaik. Nama-nama seperti Johann Kresnik, Susanne Linke dan Reinhild Hoffmann adalah contoh mereka yang sejak 1967 dikaitkan dengan periode ini.

Di Berlin Sasha Waltz adalah yang terakhir mencoba mengukuhkan seni tari sebagai program di gedung teater pemerintah untuk sebuah gedung pertunjukan (Schaubühne Berlin, 1999 - 2004). Di sana ia menghasilkan beberapa karya agungnya (”Körper” pada 2000 atau ”noBody” pada 2002). Kendati demikian akhirnya Sasha Waltz dengan kelompok tarinya berpaling juga dari institusi itu. karena berbagai beban yang berkaitan dengan birokrasi, perbedaan-perbedaan pendapat seputar keputusan artistik dan potensi konflik lainnya.
Tari modern di Jerman Timur (DDR = Deutsche Demokratische Republik)
Di wilayah Jerman Timur kegiatan menari yang mandiri dari pengaruh lembaga negara tidak dapat ditolerir secara politis. Seperti semua sektor lain dalam masyarakat, seni tari kala itu juga diatur dan diawasi. Meskipun demikian, pada 1966 di bagian timur Berlin berdiri ”Die komische Oper” yang dipimpin oleh Tom Schilling (lahir 1928). Teater ini melestarikan karya klasik dengan gaya tersendiri. Dengan menggunakan karya-karya dari repertoar klasik dan berbagai kreasi yang lebih baru teater ini mendamaikan realitas kehidupan di bawah Sosialisme dengan warisan budaya seni tari klasik. Dengan penyatuan kembali Jerman Barat dan Jerman Timur pada musim gugur 1990 berakhirlah era realisme moderat dan sosialistis ini sekaligus sebuah periode gerakan seni tari rakyat dan amatir yang selama berpuluh-puluh tahun hidup di wilayah Jerman Timur.
Kesadaran baru mengenai sejarah sendiri
Sejak kira-kira 20 tahun ini di Jerman terdapat dua dunia tari yang berjalan secara paralel. Di samping berbagai kelompok balet dan teater tari besar, telah terbentuk pula – terutama di kawasan negara bagian Nordrhein-Westfalen, Berlin dan Hamburg – sebuah dunia tari yang vital dan independen, yang menggunakan berbagai prinsip zaman modern dari periode sebelum Perang Dunia: gerakan individu, bahasa gaya tari yang radikal, pengabaian teknik yang selama ini sudah turun menurun diwariskan. Dapat dikatakan sebagai sesuatu yang baru adalah penghubungan antara pertanyaan-pertanyaan mengenai bagaimana sebuah ”pentas tari” dalam konteks kontemporer seharusnya. Adalah juga hal yang baru yaitu perlahan-lahan tumbuh berkembang suatu kesadaran bahwa tari yang ”baru” (sebagaimana umumnya disebut orang pada 1920-an) atau yang ”kontemporer” (sebutan masa kini) sudah memiliki sebuah sejarah yang kaya dan bahwa ”pembaharuan” saja tidaklah cukup untuk mengkategorikan diri ke dalam kegiatan seni tari sekarang ini.
Format baru kerja dan pentas
Dengan diselenggarakannya ”Tanzplattform Deutschland” setiap dua tahun sejak 1994 terbentuklah sebuah instrumen untuk mendokumentasikan keberlangsungan dan pembaharuan tari di Jerman. Yang diundang ke forum tersebut oleh sebuah tim juri ahli tari yang berganti-ganti  adalah produksi-produksi tari yang bebas dan terbaik menurut penilaian mereka. Seniman tari seperti Xavier Le Roy, Thomas Lehmen atau Eszter Salamon telah berulangkali diundang ke sini untuk menunjukan karya mereka di forum ahli tari internasional ini. Sejak 1990-an seniman-seniman tari tersebut – juga Raimund Hoghe (yang saat ini lebih banyak bekerja di Prancis) atau Meg Stuart (yang selalu menjadi penglaju antara Brussel, Zurich dan Berlin) telah mengembangkan lebih jauh cara-cara kerja mereka dan berbagai variasi estetika seni tari di Eropa.
Ko-Produksi dan residensi
Termasuk ke dalam usaha ekspansi adalah proses internasionalisasi. Sejumlah produksi hanya mungkin terwujud jika teater, festival dan badan-badan lain dari beberapa kota dan negara menyediakan dana untuk mendukung karya seni tersebut. Di Jerman dana untuk seni tari modern telah dilipat-gandakan secara berkelanjutan dalam tahun-tahun terakhir ini. Di kota-kota besar seperti Hamburg, Berlin, Munich, Frankfurt, Cologne dan Dresden telah terbentuk dunia seni tari yang hidup.”Das Nationale Performance Netz” (perkumpulan penyelenggara seni tari di Jerman) mendukung pertunjukan yang diselenggarakan antarkota di Jerman. Inisiatif bernama ”Tanzplan Deutschland” telah menyediakan dana besar-besaran dan membangun infrastruktur untuk Pusat Koreografi K 3 di Hamburg, kelompok tari Forsythe, Semperoper di Dresden, Pusat Seni Internasional di Hellerau serta untuk program residensi di”Fabrik” Potsdam. Saat ini sedang dirundingkan mengenai kelanjutan program pendanaan ini di tingkat pemerintah daerah.

Pendidikan dan perkuliahan
Seiring dengan berbagai kemajuan itu, inisiatif-inisiatif di bidang pendidikan pun terus bermunculan. Saat ini terdapat jenjang studi sarjana dan master untuk seni tari, seni pertunjukan dan koreografi di Hamburg, Berlin, Giessen/Frankfurt dan Cologne. Bersamaan dengan itu tetap ada pilihan program studi seni tari yang kaya tradisi, seperti di ”Palucca Schule” di Dresden dan di perguruan tinggi ”Folkwang” di Essen.
Pada 2010 kegiatan seni tari di Jerman mendapat dana berlipat-ganda dan secara finansial berada dalam kondisi yang sangat bagus. Seni tari mendapat penghargaan dan perhatian publik. Di antara berbagai pementasan megah dan mahal, ko-produksi yang avant-garde, karya-karya performance yang radikal dan pesatnya pertumbuhan minat terhadap seni tari sebagai media pedagogi, seni tari memperoleh suatu kekuatan baru di tengah tatana sosial kemasyarakatan. Dengan demikian, seni tari saat ini di Jerman telah kembali terhubung dengan periode pendiriannya pada dekade pertama abad ke 20.
Franz Anton Cramer
Seorang ilmuwan seni tari, jurnalis dan kritikus. Salah satu akademisi yang bekerja sama untuk proyek ilmiah Tanzarchiv Leipzig e.v. dan di pusat tari nasional Prancis ”Centre National De La Danse”. Sejak 2006 menjadi anggota kelompok kerja untuk mengembangkan jurusan  ”Tari Kontemporer, Konteks dan Koreografi ” di Hochschulübergreifendes Zentrum Tanz Berlin. Mulai 2007 hingga 2013 ketua kelompok penelitian pada” Collège International de Philosophie” di Paris.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar