Labels

Selasa, 29 Juli 2014

TEATER KAUM TERTINDAS



(Disarikan dari buku Teater Kaum Tertindas karya Augusto Boal, terjemahan Landung Simatupang, terbitan Yayasan Kelola, Maret 2013)

Puitika Rakyat Tertindas

Awalnya teater adalah ritual, nyanyian puja-puji; rakyat leluasa dan merdeka menyanyikannya di tempat terbuka. Karnaval. Pesta rakyat

Kemudian, kelas-kelas yang berkuasa merebut kepemilikan teater dan membangun dinding pemisah. Pertama, mereka membagi rakyat, memisahkan aktor dengan penonton: orang yang berakting dan orang yang menonton- pesta usailah sudah! Kedua, di antara aktor-aktor itu, mereka memisahkan antara protagonist dan massa. Indoktrinasi koersif dimulai!

Sekarang, rakyat tertindas membebaskan diri dan sedang bergerak menjadikan teater milik mereka lagi. dinding-dinding pemisah harus dirobohkan.  Pertama, penonton mulai berakting, bertindak lagi: teater terselubung, teater forum, teater citra, dan lain-lain. Kedua, hak milik pribadi para tokoh perlu disingkirkan oleh satu-persatu aktor: Sistem “Joker”. (Hal. 135)

Untuk memahami Puitika Kaum Tertindas ini haruslah diingat sasaran utamanya: mengubah rakyat- “penonton”, para makhluk pasif dalam fenomen perteateran itu - menjadi subjek, menjadi aktor, menjadi pe(ng)ubah tindakan atau laku dramatik. Saya harap perbedaan-perbedaan itu tetap jelas. Aristoteles mengajukan suatu puitika di mana penonton mendelegasikan kuasa kepada tokoh lakon sehingga tokoh itu dapat bertindak dan berpikir mewakili penonton. Brecht mengajukan puitika yang di situ penonton mendelegasikan kuasa kepada tokoh lakon sehingga dapat bertindak sebagai wakil penonton, tetapi penonton masih punya hak berpikir sendiri, yang sering berlawanan dengan tokoh lakon. Dalam puitika Aristoteles terjadi “katarsis”, dalam puitika Brecht, kesadaran kritis tergugah. Sedangkan puitika kaum tertindas berpusat pada tindakan itu sendiri: penonton tidak mendelegasikan kuasa apa pun kepada tokoh lakon (aktor) untuk bertindak maupun berpikir mewakilinya. Sebaliknya, penonton sendiri mengambil peran protagonist, mengubah laku dramatic, menguji coba solusi, membahas rencana-rencana perubahan – singkatnya, penonton melatih diri untuk melakukan tindakan nyata. Dalam hal ini teater sendiri barangkali tidaklah revolusioner, tetapi jelas-jelas merupakan latihan atau gladi revolusi. Penonton yang dibebaskan, dimerdekakan sebagai pribadi yang utuh dan sehat, mulai bertindak sepenuh semangat. Tak jadi soal bahwa tindakan itu fiksional; yang penting ialah bahwa itu adalah tindakan, laku, aksi yang nyata! (Hal. 138)

Rancangan transformasi dari penonton menjadi aktor ini bisa disistematisasikan dalam garis besar yang mencakup empat tahap berikut:
1. 
  Mengenal tubuh: serangkaian latihan agar seseorang mengenal tubuhnya, keterbatasan dan kemungkinannya, distorsi sosial dan kemungkinan rehabilitasinya.
2.    
    Menjadikan tubuh ekspresif: serangkaian permainan untuk mendorong orang mulai mengungkapkan diri dengan tubuh, meninggalkan bentuk-bentuk ekspresi lain yang lazim dan sudah terbiasakan.
3. 
   Teater sebagai bahasa: orang mulai mempraktikkan teater sebagai bahasa yang hidup dan hadir sekarang, bukan sebagai suatu produk rampung yang memampangkan citra-citra dari waktu lampau. Taraf kesatu: dramaturgi serempak: para penonton menulis secara bersamaan dengan akting para aktor. Taraf kedua: teater citra: para penonton langsung campur tangan, “berbicara” lewat citra-citra yang diciptakan oleh tubuh para aktor. Taraf ketiga: teater forum: para penonton langsung campur tangan dalam laku dan bertindak.

Tahap ini terbagi dalam 3 bagian, masing-masing merupakan taraf partisipasi langsung penonton dalam pergelaran. Penonton didorong untuk campur tangan dalam tindakan, melepaskan kondisinya sebagai objek dan sepenuhnya berperan sebagai subyek. Kedua tahap terdahulu adalah persiapan, yang terpusatkan pada bagaimana para peserta menggarap dan menggunakan tubuh mereka. Sekarang pada tahap ini fokusnya ialah tema yang hendak dibahas, dan melanjutkan transisi dari kepasifan ke tindakan, aksi.

1.    Dramaturgi Serempak/Simultan

Taraf ini mengajak penonton untuk ikut campur tangan tanpa harus hadir secara fisik di “panggung”. Ini adalah soal mempergelarkan satu adegan pendek (10 s.d 15 menit). Para aktor dapat berimprovisasi dengan bantuan naskah yang sudah disiapkan sebelumnya, dan dapat juga mengubah adegan itu secara langsung. Bagaimanapun halnya, teatrikalitas pergelaran akan baik jika pengusul tema ada di antara penonton. Sesudah memulai adegan, para aktor mengembangkannya hingga satu titik di mana masalah utama mencapai krisis dan membutuhkan jalan keluar, solusi. Pada saat itulah para aktor menghentikan pergelaran dan meminta penonton mengusulkan solusi. Para aktor segera mengimprovisasikan solusi-solusi yang diajukan, dan penonton punya hak untuk campurtangan, membetulkan tindakan-tindakan atau kata-kata para aktor yang wajib menuruti secara ketat intruksi penonton. Demikianlah, selagi penonton “menuliskan” karya lakon mereka, para aktor mempergelarkannya seketika itu juga. Pikiran-pikiran penonton didiskusikan secara teatrikal di panggung dengan bantuan para aktor. Semua solusi, saran, dan pendapat dicetuskan dalam bentuk teatrikal. Diskusi itu sendiri tidak harus hanya berbentuk kata; justru hendaknya dihasilkan dengan semua elemen lain dari ekspresi teatrikal itu pula.

Bentuk teater seperti ini menciptakan kegairahan besar di kalangan peserta, dan mulai menggempur lebur tembok pemisah antara aktor dan penonton. Ada yang “menulis” dan ada orang lain yang mewujudkannya dalam acting, hampir secara bersamaan. Penonton merasa bahwa mereka dapat campurtangan dalam tindakan/laku. Tindakan atau aksi atau laku itu tak lagi disajikan secara deterministik, sebagai sesuatu yang “harus begitu, tak bisa lain”, seolah seperti nasib. Manusia adalah nasib manusia. Maka manusia-yang-penonton adalah pencipta manusia-yang-tokoh. Segala sesuatu dapat dikritik, boleh dikoreksi. Semuanya dapat diubah, dan perubahan itu dapat dilakukan begitu ada pemberitahuan mendadak: para aktor harus selalu siap menerima, tanpa protes, tindakan apa pun yang diusulkan penonton; mereka harus mempergelarkannya apa adanya agar muncul pemandangan yang hidup tentang akibat dan titik-titik lemahnya. Aktor tidak mengubah fungsi utamanya: dia tetap meneruskan menjadi penafsir. Yang berubah ialah objek penafsirannya. Jika sebelumnya yang ditafsirkan aktor adalah pengarang yang berkerja sendirian di kamar terkunci, yang didatangi ilham ilahiah yang mendiktekan teks yang utuh dan selesai, sekarang, kebalikannya, yang harus ditafsir aktor adalah massa penonton, kelompok tetangga, sekolah, kampus, serikat, barisan tani, buruh, atau apa pun; yang harus diungkapkan aktor adalah pemikiran kolektif warga masyarakat, lelaki maupun perempuan. Aktor tak lagi menafsir individu dan mulai menafsir kelompok. Ini jauh lebih sulit dan sekaligus jauh lebih kreatif.   

2.    Teater Citra

Di sini penonton harus berperanserta dengan lebih langsung. Penonton diajak mengungkapkan pandangan mereka tentang tema tertentu yang menjadi kepentingan bersama dan yang hendak dibahas para peserta. Tema itu mungkin penting dan luas cakupannya, abstrak- misalnya: imprealisme. Peserta diminta mengungkapkan pendapatnya tetapi tanpa kata melainkan hanya menggunakan tubuh-tubuh peserta lain. Beserta peserta lain itu si peserta “mencipta” sekelompok “patung” tertentu yang mengungkapkan dengan jelas pandangan dan perasaan si peserta. Peserta harus menggunakan tubuh-tubuh para teman seolah dia seorang pematung dan peserta-peserta lain itu terbikin dari tanah liat. Dia harus menentukan posisi setiap tubuh hingga detil-detil terkecil ekspresi wajahnya. Dia dilarang berbicara dalam situasi apa pun. Paling kuat, yang boleh ia lakukan adalah memperlihatkan dengan ekspresi wajahnya sendiri apa yang dia ingin agar diperagakan oleh si penonton-yang-patung. Setelah mengatur dan menata kelompok patungnya itu, dia diperbolehkan berdiskusi dengan peserta-peserta lain untuk mengetahui apakah semuanya setuju dengan pendapatnya yang “diaptungkan” itu. dapat dilakukan gladi untuk modifikasi: penonton punya hak memodifikasi patung secara keseluruhan maupun detil tertentu.

Ketika akhirnya tercapai citra yang diterima oleh semua, penonton-yang-pematung itu diminta memperlihatkan bagaimanakah ia ingin mengungkapkan tema itu. Jelasnya, dalam pengelompokan pertama diperlihatkan citra factual, sedangkan pengelompokan kedua memperlihatkan citra ideal. Akhirnya dia diminta memperlihatkan citra transisi, untuk menunjukan bagaimana melintas dari satu realitas ke realitas lain dimungkinkan. Dengan kata lain, bagaimanakah cara melakukan perubahan, transformasi, revolusi, atau istilah apa pun yang akan digunakan. Demikianlah, dimulai dengan pengelompokan “patung” yang diterima oleh semua sebagai sesuatu yang representative untuk sebuah situasi nyata, setiap orang diminta mengusulkan cara untuk mengubahnya.

Di sini persoalannya ialah memberikan pendapat, tetapi tanpa kata. Setiap peserta punya hak bertindak selaku “seniman pematung” dan memperlihatkan bagaimana pengelompokan atau pengaturan itu dapat diubah melalui pengaturan ulang atas berbagai daya, demi tercapainya citra ideal. Masing-masing mengungkapkan pendapat melalui citraan.

Bentuk teater citra ini tak pelak merupakan salah satu di antara yang paling menggairahkan, karena begitu gampang dilaksanakan dan karena kemampuannya yang luar biasa untuk menjadikan pikiran kasat mata. Ini terjadi berkat dihindarinya penggunaan idiom bahasa. Setiap kata memiliki arti denotative yang sama untuk semua orang, tetapi juga punya konotasi yang unik untuk setiap individu. Jika saya mengucapkan “revolusi”, jelas bahwa setiap orang akan mengerti bahwa saya sedang berbicara tentang perubahan radikal, tetapi pada saat yang sama setiap orang akan membayangkan revolusi- “nya sendiri”, yaitu konsepsi pribadinya tentang revolusi. Tetapi jika saya harus menata sekelompok patung yang akan menyampaikan pengertian “revolusi saya”, di situ tidak akan ada dikotomi antara denotasi dan konotasi. Citra itu mensintesiskan konotasi individual dengan denotasi kolektif. Dalam gubahan saya yang menyampaikan “revolusi” itu, para pematung sedang melakukan apa? Memegang senjata atau kartu pemilih? Apakah sosok-sosok rakyat bersatu dengan bertarung melawan sosok-sosok yang mewakili musuh bersama? Atau apakah sosok-sosok rakyat itu bercerai-berai, atau memperlihatkan ketidaksepakatan? Konsepsi saya tentang “revolusi” akan menjadi jelas jika, alih-alih berbicara, saya memperlihatkan yang saya pikirkan dengan citra.        

3.    Teater Forum

Inilah taraf terakhir dan di sini peserta harus campur tangan secara menentukan dalam tindakan dramatic dan mengubahnya. Prosedurnya sebagai berikut: pertama, para peserta diminta menyampaikan cerita yang memuat suatu masalah politik atau social yang sulit dicarikan solusinya. Kemudian direka dan digladikan suatu sketsa jenaka berdurasi 10 s.d 15 menit, yang memotret masalah itu beserta pemecahannya yang nanti akan didiskusikan; kemudian sketsa itu dipergelarkan. Ketika pergelaran sketsa tadi sudah tamat, para peserta ditanya apakah mereka setuju dengan pemecahan masalah yang disajikan. Sekurangnya sebagian akan menjawab “tidak”. Pada titik ini diberikan penjelasan bahwa adegan tadi akan dipergelarkan sekali lagi, persis seperti pergelaran yang pertama. Tetapi sekarang siapa pun di antara peserta punya hak untuk menggantikan aktor yang mana pun, dan membawa tindakan atau laku kea rah menurutnya paling tepat. Aktor yang digantikan itu minggir, tetapi tetap siap melanjutkan bermain lagi pada saat si peserta sudah ingin menghentikan intervensinya. Aktor-aktor lain harus menghadapi situasi baru yang tercipta, segera menanggapi semua kemungkinan yang tersaji oleh situasi baru itu.

Peserta yang memutuskan melakukan campurtangan harus melanjutkan tindakan-tindakan fisik dari aktor yang digantikannya; dia tidak diperbolehkan naik ke panggung dan bicara, bicara, dan bicara terus: dia harus melaksanakan jenis kerja atau kegiatan yang sama dengan yang dilakukan oleh aktor yang digantikannya. Kegiatan teatrikalnya harus jalan terus dengan cara yang sama, yaitu di panggung. Siapa pun boleh mengusulkan solusi apa saja, tetapi itu harus dikerjakan di panggung, dengan bekerja, berakting dan bukannya berongkang-ongkang kaki di kursi penonton yang nyaman. Acapkali seseorang sangat revolusioner saat berada di forum public dia membayangkan dan mendukung serta mendorong tindakan-tindakan revolusioner dan heroic; sebaliknya, orang itu sering menyadari bahwa segala sesuatu tidaklah begitu gampang saat dia sendiri harus melaksanakan yang disarankannya kepada orang lain itu.

Di sini efek katarsis sepenuhnya dihindari. Kita terbiasa dengan lakon-lakon yang para tokohnya membuat revolusi di panggung, dan di tempat duduknya para penonton merasa menjadi orang-orang yang revolusioner yang gagah dan jaya. Mengapa membuat revolusi dalam realitas, jika kita sudah melakukan itu dalam teater? Tetapi hal demikian tidak terjadi di sini: latihan merangsang dipraktikkannya tindakan atau laku dalam realitas. Teater forum, sama halnya dengan bentuk-bentuk lain  dari teater rakyat, bukannya mengambil sesuatu dari penonton, melainkan membangkitkan dalam diri mereka kehendak untuk mempraktikkan laku atau tindakan yang sudah dilatihkan dalam teater. Pelaksanaan bentuk teatrikal ini menciptakan semacam kegelisahan tentang ketidaktuntasan, yang mencari pemenuhan lewat tindakan atau laku nyata.
4
.       Teater sebagai wacana/diskursus: bentuk-bentuk sederhana di mana aktor-penonton menciptakan “spektakel” selaras dengan kebutuhannya untuk mendiskusikan tema-tema tertentu atau menggladi tindakan-tindakan tertentu. Contoh: Teater Koran, teater terselubung, teater photo-romance, menembus represi, teater mitos, teater analitis, topeng dan ritual.

George Ikishawa berkata bahwa teater borjuis adalah teater yang sudah selesai, rampung, tidak mencari lagi. Borjuis sudah mengetahui seperti apa dunia ini, dunia mereka, dan dapat menyajikan citra-citra mengenai dunia yang lengkap, sempurna dan selesai itu. Borjuis menyajikan spektakel, tontonan menakjubkan. Sebaliknya, proletariat dan kelas-kelas tertindas belum mengetahui bakal seperti apa dunia mereka; maka teater mereka adalah sebuah latihan, bukan tontonan menakjubkan yang sudah “kelar”, selesai. Memang benar demikian, meskipun benar pula bahwa teater dapat menggelar citra-citra tentang transisi, peralihan.

1.    Teater Koran

Sejumlah teknik sederhana untuk mengubah pokok-pokok berita sehari-hari, atau sembarang bahan yang bukan drama, menjadi pergelaran teater.
a.       Pembacaan sederhana: pokok berita dibacakan dengan mengambil jarak terhadap konteks korannya, dari format yang menjadikannya palsu atau tendensius.
b.      Pembacaan silang: dua pokok berita dibaca secara silang (silih berganti), berita yang satu menjelaskan yang lain, menerangkannya, dan memberi dimensi baru.
c.       Membaca komplementer: data dan informasi yang umumnya dihilangkan oleh surat kabar kelas penguasa ditambahkan ke berita.
d.      Membaca ritmis: sebagai respon musical, berita dibaca dalam irama samba, tango, nyanyian lain, dsb, sehingga ritme bekerja sebagai “filter” kritis terhadap berita, menyingkapkan makna sejatinya, yang dikaburkan di surat kabar.
e.      Tindakan atau laku parallel: para aktor memperagakan laku-laku tanpa wicara (mime) ketika berita sedang dibacakan, memperlihatkan konteks kejadian sesungguhnya; orang mendengar berita itu dan melihat sesuatu yang lain yang menjadi kelengkapan visual terhadap berita yang dibacakan itu.
f.        Improvisasi: berita diimprovisasikan di panggung untuk mengeksploitasi varian-varian dan kemungkinan-kemungkinannya.
g.       Historis: menambahi berita dengan data dan adegan-adegan  yang memperlihatkan kejadian yang sama dalam momen-momen historis yang berbeda, di negeri-negeri lain, atau dalam system-sistem social lain.
h.      Perkuatan: berita dibaca atau dinyanyikan dengan bantuan atau iringan slide, jingle, lagu-lagu atau bahan publikasi.
i.         Mengkongkretkan yang semula abstrak: yang sering tersembunyi sebagai sekadar informasi abstrak dalam berita, dijadikan konkret di panggung: siksaan, kelaparan, pengangguran, dan sebagainya, diperlihatkan secara konkret dengan menggunakan citra yang jelas dan hidup, baik citra nyata maupun citra simbolis.
j.        Teks dikeluarkan dari konteks: berita disajikan di luar konteks pemberitaannya; contohnya: seorang aktor mengucapkan pidato tentang “mengencangkan ikat pinggang” yang sebelumnya disampaikan oleh Menteri Perekonomian, tetapi sambil melahap santap malam yang mewah melimpah: kebenaran yang sesungguhnya di balik kata-kata sang menteri menjadi terlihat gambling – ia menghendaki “pengencangan ikat pinggang” untuk rakyat tapi itu tak berlaku buat sang menteri sendiri. 

2.    Teater terselubung

Ini berupa penyajian adegan di suatu lingkungan yang bukan lingkungan teater, di hadapan orang yang bukan penonton. Tempatnya bisa saja rumah makan, trotoar, pasar, kereta api, antrean orang, dan sebagainya. Orang-orang yang menyaksikan adalah mereka yang kebetulan berada di tempat tersebut. Selama pertunjukan jangan sampai orang-orang menyadari sedikit pun bahwa ini “tontonan”, karena jika demikian mereka lalu menjadi penonton.

Teater terselubung ini menuntut persiapan adegan pendek yang terperinci, baik dengan teks lengkap maupun naskah sederhana. Yang penting adalah melatih adegan dengan cukup, supaya aktor mampu memperhitungkan dan memasukkan campur tangan penonton ke dalam acting mereka. Selama latihan, perlu juga dimasukan campur tangan yang bisa dibayangkan akan muncul dari penonton; kemungkinan-kemungkinan tersebut akan menjadi semacam teks pilihan atau cadangan.

Teater terselubung ini diletupkan di lokasi yang dipilih sebagai tempat orang berhimpun. Semua orang yang berada di dekat-dekat tempat itu menjadi terlibatkan dalam letupan itu dan akibat-akibatnya akan lama berkecamuk setelah pergelaran pendek itu selesai. 
Simpulan: “Penonton” adalah Kata yang Buruk!

Selain teater koran dan teater terselubung masih ada wacana teater lainnya, yakni: Roman-foto, membebaskan diri dari represi, teater mitos, teater analitis, teater ritual dan berkedok.

Dari semuanya itu kesimpulannya “penonton” adalah kata yang buruk! Penonton adalah manusia yang direduksi, dan perlulah ia kita manusiakan, kita pulihkan kapasitasnya untuk bertindak sepenuh-penuhnya. Penonton pun harus menjadi subyek, menjadi aktor yang berdiri sama tinggi dengan mereka yang umum diterima sebagai aktor, yang juga harus  menjadi yang menonton. Semua eksperimen dalam suatu teater rakyat ini sasarannya sama, yaitu pembebasan penonton, yang kepada siapa teater telah memaksakan berlakunya visi yang rampung, final, tentang dunia. Dan karena mereka yang bertanggung jawab melangsungkan pergelaran teater umumnya adalah orang-orang yang langsung maupun tak langsung termasuk dalam kelas-kelas berkuasa, jelaslah bahwa citra-citra mereka yang sudah final itu mencerminkan diri mereka sendiri. Para penonton dalam teater rakyat (yaitu rakyat itu sendiri) tidak boleh terus menerus menjadi mangsa yang pasif dari citra-citra itu.

Seperti kita ketahui, puitika Aristoteles adalah puitika penindasan, puitika opresi: dunia sudah dikenal, sudah sempurna, atau akan segera disempurnakan, dan semua nilainya dipaksakan berlaku untuk para penonton yang dengan pasif mendelegasikan kuasa kepada tokoh-tokoh lakon untuk bertindak dan berpikir  mewakili mereka. Dengan berbuat demikian, para penonton mencuci bersih diri mereka dari kesalahan yang tragis – jelasnya: dari sesuatu yang mampu mengubah masyarakat. 
Dihasilkanlah penyapu-bersihan daya revolusioner! Tindakan atau laku dramatic di panggung menggantikan tindakan atau laku nyata.

Puitika Brecht adalah puitika perintis yang tinarbuka, tercerahkan: dunia disingkapkan sebagai sesuatu yang bisa berubah, dan perubahan itu bermula dalam teater sendiri, karena penonton tidak mendelegasikan kuasa kepada para tokoh lakon untuk berpikir mewakilinya, meskipun masih terus mendelegasikan kuasa kepada para tokoh lakon untuk bertindak mewakilinya. Pengalaman ini sangat berharga di tingkat kesadaran, namun tidak secara global di tingkat tindakan. Laku dramatic di panggung menyoroti dengan kritis laku atau tindakan nyata. Tontonan dahsyat, spektakel, merupakan persiapan bagi tindakan, laku, aksi.

Puitika kaum tertindas pada intinya adalah puitika pembebasan: penonton tidak lagi mendelegasikan kuasa pada tokoh lakon untuk berpikir maupun bertindak mewakilinya. Penonton membebaskan diri mereka sendiri; mereka berpikir dan bertindak bagi diri mereka sendiri! Teater adalah tindakan, aksi!
Barangkali teater tidaklah revolusioner dalam dirinya sendiri; tetapi tak usah ragu, ia adalah latihan revolusi!

2 komentar:

  1. keren tulisannya mengenai teater kaum tertindas.. (baru tau kalau teater jenis seperti ini ada hehe) ngomog-ngomong anda mendapatkan buku ini dari mana?? beli dimana??

    BalasHapus
  2. Kalau tertarik dengan buku ini, mohon kontak Yayasan Kelola

    BalasHapus