Labels

Sabtu, 31 Mei 2014

Etalase Tubuh; Representasi dan Sisi Gelap Kosmopolitanisme

Oleh Langgeng Prima Anggradinata*

PRODUKTIVITAS naskah drama Indonesia tidak sebanding dengan produktivitas pertunjukan teater. Kiranya naskah drama yang terproduksi relatif minim. Namun, dari minimnya produktivitas, naskah drama tetap dikenal sebagai genre sastra yang memiliki kekuatan tema, wacana, dan pesan yang kuat. Boleh dibilang bahwa naskah drama lebih maju dalam hal konten dibanding genre sastra lain. Ia kerap (dan mungkin selalu) memotret sekaligus memberi interupsi pada kenyataan sosial yang ada.

Kekinian, lebih khususnya empat tahun terakhir, dapat dilihat bagaimana naskah drama menyoal ihwal kenyataan sosial, misalnya Pertja (2010) karya Benny Yohanes yang menyoal kehidupan urban; Pohon Mimpi dan Para Pengungsi (2011) karya Irwan Jamal yang menyoal pembalakan hutan; Kawan Tidur (2012) karya Hanna Fransisca yang menyorot kehidupan etnis Tionghoa;Demonstran karya Nano Riantiarno (2013) mengisahkan mengenai peristiwa reformasi 1998 dan setelahnya; serta beberapa naskah drama yang diikut sertakan dalam Indonesia Dramatic Reading (IDRF) dan naskah drama yang luput dari publikasi. Dari yang terbatas itu, Etalase Tubuh[1](2012)karya Sahlan Bahuy[2] menjadi salah satu naskah drama yang mengangkat isu kontemporer, yaitu persoalan kosmopolitanisme, konsumerisme, dan isu gender.
Pementasan teater "Etalase Tubuh" sutradara Wildan Kurnia produksi Teater Awal Garut
Pementasan teater "Etalase Tubuh" karya Sahlan Bahuy sutradara Wildan Kurnia produksi Teater Awal Garut
Pementasan teater "Etalase Tubuh" sutradara Dewi Kartika produksi Teater Lakon
Pementasan teater "Etalase Tubuh" karya Sahlan Bahuy sutradara Dewi Kartika produksi Teater Lakon

Naskah drama ini terdiri dari dua fase. Fase pertama bercerita tentang Sura saat masih kanak-kanak, sedangkan fase kedua bercerita tentang tokoh Sura yang telah dewasa. Naskah yang berlatar di Indonesia ini berkisah mengenai tokoh Sura dari ia kecil hingga dewasa. Ia adalah seorang perempuan kesepian di tengah realitas dinamika masyarakat konsumtif. Ia tumbuh dari keluarga yang mapan namun mengekang. Ayahnya membentuknya menjadi pribadi yang modern, sedangkan sang ibu kerap menanamkan nilai-nilai lokalitas. Pada taraf selanjutnya, ia terjebak dalam modernitas dan kesadaran palsu. Tubuhnya menjadi sangat mekanis, dikontrol oleh rutinitas. Sura berusaha mencari dirinya, makna tubuhnya, dan kebahagiaan sejati.

Dalam naskah ini, terdapat tokoh-tokoh penting yang merepresentasikan sesuatu. Pertama ialah tokoh-tokoh yang merepresentasikan modernisme, yaitu tokoh Ayah, Badut, dan Pembalap. Tokoh Ayah memiliki andil dalam pembentukan watak modern tokoh Sura. Sedangkan Pembalap ialah tokoh yang menguasai waktu, mengatur dan mengawasi ritme arus modernitas. Kedua ialah tokoh Ibu dan Pengemis yang merepresentasikan tradisionalitas. Sementara Sura berada di tengah-tengah dua kelompok tokoh tersebut. Ia menjadi medan pergulatan antara moderntas dan tradisionalitas, yang lokal dan nonlokal.

Ada dua hal mengenai naskah yang akan dibahas dalam tulisan ini. Pertama, perihal konsumerisme yang merupakan salah satu buah dari kosmopolitanisme. Pada bagian ini akan dibahas mengenai fenomena konsumerisme yang hadir secara kuat dalam naskah, bagaimana konsumerisme itu membentuk tokoh Sura menjadi tokoh yang modern, kosmopolit. Kedua, mengenai kosmopolitan dan gender. Pada bagian ini akan dibahas mengenai implikasi gaya hidup kosmopolitan terhadap perempuan yang terdapat di dalam naskah Etalase Tubuh (2012).
Pementasan teater "Etalase Tubuh" sutradara Wildan Kurnia produksi Teater Awal Garut
Pementasan teater "Etalase Tubuh" karya Sahlan Bahuy sutradara Wildan Kurnia produksi Teater Awal Garut
Pementasan teater "Etalase Tubuh" sutradara Dewi Kartika produksi Teater Lakon
Pementasan teater "Etalase Tubuh" karya Sahlan Bahuy sutradara Dewi Kartika produksi Teater Lakon

Kosmopolitanisme dan Konsumerisme

Konsumerisme

Kosmopolitan hadir di tengah kehidupan sehari-hari. Ia bukan fenomena eksklusif yang hadir untuk kaum eksekutif transnasional (pebisnis atau pejabat yang sering bepergian). Kosmopolitan hadir dalam kenyataan sehari-hari dan dapat melampaui dapat batas-batas etnis atau jenis kelamin.

Naskah Etalse Tubuh (2012) menampilkan kehidupan sehari-hari di zaman modern, di mana konsumerisme merasuk dalam benak masyarakatnya. Memandang budaya konsumsi adalah bagian dari kosmopolitan adalah benar. Budaya tersebut muncul dari keterbukaan terhadap perdagangan, ekspansi komoditas global, dll. Hadirnya produk-produk asing memperlihatkan keterbukaan atau interaksi budaya asing terhadap suatu wilayah.

Ulf Hannerz dalam artikelnya yang berjudul “Culture in the Communication Age” (Lull [ed.], 2001: 57) menyoroti bagaimana globalisasi terjadi di Afrika ditandai dengan munculnya produk-produk global (McDonald, Coca Cola, Barbie, dll.). Menurutnya, hal ini menyatakan bahwa terjadi homogenisasi budaya, di mana setiap orang mengkonsumsi itu, bahkan di seluruh dunia. Hal senada dikatakan pula oleh Pecoude yang menyoroti bagaimana seseorang memiliki ketertarikan dengan komoditas global.

Pecoude melihat potensi konsumen yang memiliki keinginan untuk berinteraksi atau mengkonsumsi komoditas global. Ia mencatat bahwa kosmopolitanisme dalam bisnis adalah memanfaatkan suatu interaksi,dengan modal global untuk mencari pasar etnis, untuk kepentingan perluasan pasar barang dan jasa (Binie, dkk. [ed], 2006: 10).

Dalam naskah Etalase Tubuh (2012) dapat dilihat bagaiman komoditas global ditampilkan dalam beberapa adegan. Misalnya di fase satu adegan enam, saat tokoh Sura berada di sebuah mal. Di sana Sura (yang masih kanak-kanak) disuruh oleh ayahnya untuk berbelanja barang-barang bermerk. Meski tidak disebutkan produknya, telah diketahui bersama-sama bahwa mal adalah arena di mana mayoritas produk-produk global dipasarkan, sebagaimana tersurat di teks samping: “Sebuah mal. Aneka ragam busana. Aneka rasa makanan. Aneka jenis perhiasan. Aneka macam produk kecantikan. Aneka gaya hidup. Segala aneka kepalsuan”. Dalam adegan tersebut tokoh Ayah memberi standar kepada tokoh Sura bahwa yang modern adalah yang terbaik. Hal itu terlihat ketika tokoh Sura memilih sebuah baju, kemudian oleh tokoh Ayah baju tersebut dinilai “kuno”, “murahan”, “tidak bermerk”, “gakmodis”, dll.

Di adegan selanjutnya, tokoh Sura kecil bersama-sama dengan tokoh Ayah mengunjungi restoran cepat saji—restoran cepat saji yang dimaksud dalam naskah ini kiranya merujuk pada restoran cepat saji Amerika (McDonalds, A&W, KFC, dll.). Pada tahap ini terjadi interaksi antara tokoh Sura kecil dengan produk global. Mulanya Sura merasa makanan cepat saji itu tidak enak. Adegan ini menunjukan keterasingan Sura atas produk makanan itu. Dari sini terlihat bagaimana tubuh Sura kecil masih dalam kerangka tradisional yang ditanamkan oleh ibunya. Namun isyarat lain ditunjukan tokoh Ayah yang berbicara, “Belum. Butuh waktu. Nanti kau pun suka. Cukup. Ayo kita pergi!”. Hal ini menunjukan perlunya proses adaptasi dalam menerima hal-hal yang asing. Pada dialog itu, tokoh Ayah mengisyaratkan bahwa tokoh Sura akan suka bila makan cepat saji tersebut berulang kali dimakan olehnya.

Teks samping naskah ini dalam adegan ini memperlihatkan bagaimana orang-orang juga mengkonsumsi makanan cepat saji ini, “Konfigurasi restoran fast food. Para konsumen berdesakan. Para pelayan sibuk hilir mudik”. Dalam adegan ini, apa yang dimaksud budaya yang homogen terlihat jelas. Bagaimana secara bersama-sama orang-orang atau konsumen tersebut mengkonsumsi makanan cepat saji. Mulanya, kiranya tubuh orang-orang itu adalah tubuh yang lokal. Kemudian, budaya asing (misalnya makanan cepat saji) itu masuk ke kehidupan sehari-hari mereka dan mereka menerimanya. Kemudian, budaya yang asing itu menjadi bagian dari budaya mereka. Pada tahap ini, terbentuklah budaya baru hasil dari perkawinan antara lokal dan global, atau dikenal sebagai budaya hibrida.Seperti apa yang dikatakan Latham (Binie, dkk. [ed], 2006: 26) bahwa hibriditas dihasilkan dari bentrokan antara tren transnasional dalam konsumsi kosmopolitan dan budaya lokal yang tertarik merayakan perbedaan. Dari paparan itu, bisa juga dianggap bahwa pada akhirnya hibriditas itu menghasilkan kebudayaan yang homogen.

Adegan berikutnya secara esensial sama dengan adegan sebelum, yaitu bicara mengenai keterasingan tokoh Sura dengan hal-hal yang modern. Pada fase satu adegan tujuh ini, Sura bersama tokoh Ayah mengunujungi cafe kelas atas, di mana di dalamnyaterdapat penampilan musik jazz, dansa-dansi, dan lain-lain.
Dalam adegan ini Sura secara langsung bicara kepada ayahnya bahwa ia merasa asing dengan tempat itu

Ayah       :Ini tempat yang asyik.
Sura        :Tapi bagiku ini tempat yang asing.
Ayah      :(ketawa) Ya, kau benar. Semua yang ada di sini memang orang-orang asing. Lebih tepatnya, orang-orang yang sudah asing dengan kelaparan, kesusahan, penderitaan dan ketidakbahagiaan. Lihatlah, mereka menari. Mereka tersenyum. Tak ada seorang pun yang dahinya berkerut memikirkan hidup. Semua tampak bahagia (Bahuy, 2012).

Dari adegan-adegan di atas dapat dilihat bagaimana kosmopolitanisme sangat mungkin bekerja melalui kegiatan konsumsi. Interaksi budaya hadir melalui makanan, komoditas global, perkumpulan di kafe, dll. Kegiatan konsumsi semacam ini, menjadi legitimasi dari penerimaan atas perbedaan budaya.

Corong Kosmopolitanisme

Jeremy Prestholdt dalam artikelnya yang berjudul “Miroring Modernity: on consumerism in cosmopolitan Zanzibar”[3] memberi penjelasan terhadap modernitas, yaitu pada tahap interaksi global melalui perjalanan, teknologi komunikasi baru, mengubah bentuk produksi, konsumsi, dan identifikasi sosial serta politik (2009: 168). Seperti apa yang dikemukakan bahwa teknologi komunikasi baru (internet, televisi, satelit, dll.) mengubah bentuk (terutama) produksi dan konsumsi. Dengan adanya media informasi baru, orang akan lebih mengenal barang konsumsi. Dengan meningkatnya permintaan, produksi pun akan semakin meningkat.

Naskah ini juga memperlihatkan bagaimana arus informasi itu berjalan dengan masif. Arus-arus informasi yang cepat di zaman modern ini juga digambarkan oleh teks samping naskah ini. Pada fase satu adeganempat, cepatnya arus informasi itu disimbolisasi oleh tokoh Pembalap yang masuk mengendarai motor dengan cepat. 
Berikut kutipannya

Informasi-informasi bergerak dengan cepat.
...
Segala informasi, iklan-iklan, tanda-tanda bergerak semakin cepat. Semakin tak terkendali. Pembalap masuk mengendarai motor. Baginya panggung menjadi sirkuit kecepatan (Bahuy, 2012).

Media teknologi komunikasi dalam naskah ini direpresentasikan oleh televisi. Selanjutnya, televisi pada adeganempat ini menampilkan iklan-iklan yang kerap muncul di televisi.Pada tahap ini, naskah Etalase Tubuh (2009) ingin memperlihatkan bagaimana komoditas global dan atau budaya global dipromosi melalui televisi. Pada adeganempat ini, diceritakan Sura tengah menonton televisi yang dipenuhi oleh iklan.Pada adegan ini, iklan di televisi diparodikan, seolah-olah naskah ini tengah mengajukan kritik terhadap komoditas global yang “menyerang” massa melalui televisi.

Pada fase satu adegan empat ini, ditampilkan produk-produk global seperti alat penurun berat badan, musik boy band dan girl band, iklan sampo, iklan makanan, dan iklan produk kecantikan.Namun di akhir adegan, reality show mistik tiba-tiba hadir sebagai pembeda. Kiranya ini menunjukan bahwa di zaman modern ini, hal-hal yang berbau mistik juga menjadi komoditas. Kadang-kadang hal-hal mistik justru dianggap asing, aneh, primitif, dan eksotik. Padahal, hal-hal mistik seperti itu bisa jadi sebuah kearifan lokal atau khas budaya Indonesia.

Produk-produk iklan yang ditampilkan dalam naskah ini ialah produk yang dapat mekonstruksi tubuh, misalnya alat punurun berat badan, sampo, dan kosmetik. Dalam naskah ini, tubuh mendapat perhatian khusus sebagai sesuatu yang mampu dikontrol dan diubah; seseorang dikontrol untuk tidak boleh gemuk, sebagian yang lain diubah menjadi cantik.

Selain menjadi representasi teknologi komunikasi, dalam naskah ini televisi menjadi corong interaksi budaya hingga pengukuhan kapitalisme. Televisi, bagi Szersynski dan Urry, memiliki peran penting bagi kosmopolitan. Karena melalui televisi interaksi dengan budaya eksotis dan berbeda terjadi. Meskipun dalam konteks kosmopolitanisme dan konsumsi pascasosialis Tiongkok—Louisa Schein juga berpendapat bahwa kapitalisme-konsumen berkembang dari media-media baik cetak, elektronik, dan komunikasi satelit dunia. Media-media tersebut menjadi partisipan kosmopolitan dalam “global commodity culture”. Media cetak, elektronik, dll. menjadi media promosi global yang diharapkan dapat melampaui kendala spasial lokalitas (Binie, dkk. [ed], 2006: 12).

Artinya, kosmopolitanisme selalu hadir dalam ruang sehari-hari. Ia menghasilkan perjalanan imajinatif melalui media dan teknologi komunikasi. Melalui teknologi itu interaksi lintas budaya terjadi. Selain itu, yang juga ditekankan pada naskah ini ialah bagaimana kapitalisme berkembang dan bergerak melalui televisi. Melalui televisi, komoditas global menembus batas lokalitas. Tokoh Sura dalam adegan ini bertindak sebagai sosok yang merepresentasikan masyarakat yang masih berada di wilayah lokal.Pada gilirannya, ia menjadi objek dari iklan-iklan yang ia saksikan di televisi.
Pementasan teater "Etalase Tubuh" karya Sahlan Bahuy sutradara Wildan Kurnia produksi Teater Awal Garut
Pementasan teater "Etalase Tubuh" karya Sahlan Bahuy sutradara Wildan Kurnia produksi Teater Awal Garut
Pementasan teater "Etalase Tubuh" karya Sahlan Bahuy sutradara Dewi Kartika produksi Teater  Lakon
Pementasan teater "Etalase Tubuh" karya Sahlan Bahuy sutradara Dewi Kartika produksi Teater Lakon

Kosmopolitanisme dan Gender

Foucault: Kuasa dan Modernisasi

Kosmopolitan dan kuasa adalah masalah yang saling berkait. Kaitan kompolitan dan kuasa terletak pada domain di mana kekuasaan itu bekerja. Pada masa tradisional, kekuasaan bersifat lokal—berlaku di sebuah wilayah, namun pada masa modern kekuasaan meningkat dan berlapis; kekuasaan negara dan kekuasaan global. Kekuasaan menjadi tidak terbatas pada wilayah-wilayah tertentu; ia lebih bersifat global.

Dalam hal ini Foucault berpendapat bahwa transisi dari tradisional ke masyarakat modern telah ditandai dengan transformasi dalam menjalankan kekuasaan. Menurutnya, pada masa kerajan (tradisional), kekuasaan diampu oleh pribadi raja. Pelanggaran hukum dianggap sebagai penghinaan terhadap raja. Hukuman pun bersifat langsung terhubung kepada tubuh. Sedangkan, dalam masyarakat modern, efek kekuasaan berjalan secara halus dan tidak kasat mata. Ia hadir secara individu, dalam keseharian (Bartky, 1990: 40). Modus baru sistem kontrol membuat individu merasa diamati, padahal itu adalah sistem kontrol yang bekerja dalam dirinya dan untuk dirinya sendiri.

Ada banyak hal yang mengontrol atau menguasai kehidupan manusia, salah satunya gaya hidup modern. Gaya hidup modern telah mengatur bagaimana manusia hidup dan bertindak. Ia menjadi aturan global, standar-standar global yang mengharuskan setiap warga dunia patuh terhadapnya. Zaman telah membimbing orang-orang di seluruh dunia (yang terkena arus globalisasi dan modernisasi) untuk patuh pada gaya hidup modern.

Dalam wacana modern, tubuh diatur untuk memenuhi standar-standar tertentu. Pada gilirannya tubuh dikuasai, dipaksa untuk memenuhi standar itu. Foucault (Bartky, 1990: 25) melihat adanya suatu sistem disiplin, modus baru dari kekuasaan, di mana kekuasaan tersebut difokuskan pada penguasaan tubuh. Penguasaan tersebut terwujud dalam bentuk paksaan yang masuk secara tidak sadar dalam psikologis individu. Hal ini semata-mata untuk menghasilkan “tubuh yang jinak”.

Tubuh telah didisiplinkan oleh sistem dan diawasi secara terus-menerus. Sistem ini sama seperti sistem panopticon—sebuah sistem yang oleh Foucault diadopsi dari penjara, di mana ada kesadaran visiblitas dan permanen untuk menjamin fungsi otomatis kekuasaan. Kesadaran ini dibentuk oleh diri sendiri atas kesadaran individu yang merasa diawasi. Artinya, kekuasaan bekerja untuk/secara individu, menurut Foucault individualitas ini ialah keunggulan zaman modern (Bartky, 1990: 26-27).
Pementasan teater "Etalase Tubuh" karya Sahlan Bahuy sutradara Dewi Kartika produksi Teater  Lakon
Pementasan teater "Etalase Tubuh" karya Sahlan Bahuy sutradara Dewi Kartika produksi Teater Lakon

Perempuan dan Kuasa

Bartky berpikir bahwa Foucault tidak melihat hal ini secara makro. Atas dasar itu Bartky secara khusus menekankan sistem disiplin (kekuasaan) ini juga bekerja untuk tubuh perempuan.Dalam sistem disiplin, tubuh perempuan di atur untuk menjadi cantik. Dari mulai sikap, berat badan, kulit, dan tata rias, itu semua diatur oleh sistem pengaturan (1990: 27).

Bartky lebih jauh menjelaskan bahwa standar-standar kecantikan global bekerja dalam tubuh perempuan. Perempuan dipaksa untuk memiliki tubuh yang proporsional, langsing, berkulit halus, berpakaian sesuai zaman, dan dipaksa untuk mengkonsumsi standar-standar global itu. Mereka akan membeli kosmetik di Bergdorf Goodman, makan di McDonald, ikut program diet, dan pergi ke pusat kebugaran (1990: 34).

Perempuan menghadapi kekuasaan yang berlapis. Ia mendapat pengawasan dan pengaturan yang berlapis pula. Pertama, perempuan dikuasai, diatur, dan diawasi oleh sistem disiplin global. Kedua, secara mikro, perempuan dikuasai, diatur, dan diawasi laki-laki. Sehingga, apa yang ia lakukan adalah representasi dari narasi global dan narasi laki-laki tentang perempuan.

Apa yang telah dipaparkan di atas sangat terkait dengan naskah drama Etalase Tubuh (2012). Naskah ini merepresentasikan kembali bagaimana gaya hidup modern itu terjadi; bagaimana sebuah sistem pengawasan, sistem disiplin, dan sistem kuasa yang bekerja untuk seluruh masyarakat dunia. Namun, seperti apa yang telah dikemukakan Bartky, sistem ini bekerja juga secara khusus dalam kehidupan perempuan. Apa yang dimaksudkan Bartky, terjadi pada tokoh Sura sebagai perempuan yang hidup di zaman modern di mana ia mengalami penindasan atau sistem kekuasaan yang berlapis; pertama oleh tokoh Ayah sebagai representasi laki-laki, dan yang kedua dari tokoh Badut dan Pembalap sebagai representasi dari sistem disiplin global (mungkin kapitalisme).

Pada fase dua, diceritakan Sura (sebagai individu) telah terlibat langsung dengan dunia modern, dengan gaya hidup modern. Keterlibatannya itu menyebabkan ia terjebak dalam gaya hidup modern. Fase dua naskah ini menampilkan kembali tempat-tempat di mana gaya hidup modern itu berkembang atau terjadi, misalnya di pusat kebugaran, pusat perawatan tubuh, dan pusat perbelanjaan. Selain sebagai representasi sistem disiplin global, tokoh Badut dan Pembalap hadir sebagai pelaksana sistem disiplin atau boleh juga menyebutnya sebagai representasi dari panopticon. Mereka membuat standar-standar gaya hidup modern atau aturan-aturan mengenai bagaimana seseorang disebut modern. Kutipan di bawah ini menunjukan bagaimana mereka memberi standar-standar gaya hidup kepada Sura. Misalnya pada saat Sura berada di pusat kebugaran

Pembalap             :Hahaha sirkuit gaya hidup ini sangat menyenangkan. Banyak sekali tontonan. Apakah mereka membentuk tubuh-tubuh atletis supaya sehat atau ingin pamer? Entahlah! (Ketawa) (Bahuy, 2012)
atau pada saat Sura mengunjungi pusat perawatan tubuh,

Pembalap             :Wow…wow…wow mereka cantik-cantik ya, Sura. Tampaknya mereka bahagia. Mereka begitu mencintai tubuhnya. Wajah mereka dipermak. Badan mereka di tune-up. Gak ada bedanya sama mobilku! (ketawa) Teruslah berpacu! (Bahuy, 2012).

Dalam bukunya, Bartky memberi contoh yang serupa dengan apa yang ditampilkan dalam Etalase Tubuh (2012), di mana orang-orang memiliki pemikiran yang sama mengenai tubuh yang cantik, yaitu kulit yang halus, badan yang langsing, dll. Mereka—seperti pula dalam naskah drama ini—merasa di awasi oleh standar-standar manusia modern. Mereka terpaksa melakukan program diet untuk mencapai standar tubuh yang ideal menurut pengetahuan global. Mereka pergi ke dokter kecantikan, pusat kebugaran, pusat perbelanjaan, restoran, dll. untuk memenuhi standar atau gaya hidup modern dan global. Mereka takut dikenakan sanksi sosial, jika tidak memenuhi standar, gaya hidup itu. Pada fase satu adegan keenam naskah ini, sebuah teks samping memperlihatkan kenyataan itu

Malam mencekam. Orang-orang bermunculan, entah siapa. Orang-orang yang takut dan gelisah. Satu persatu berbicara tentang ketakutannya masing-masing. Takut terhadap tubuhnya. Takut ketinggalan gaya hidup. Takut kehilangan materi. Takut tua. Takut mati. Dan takut tidak bahagia (Bahuy, 2012).

Memang—seperti yang telah dijelaskan—mayoritas masyarakat modern diawasi oleh sistem disiplin, namun bagi Bartky, perempuan adalah sosok yang tertindas oleh sistem disiplin itu. Perempuan, lebih khususnya tokoh Sura, sejak awal dibentuk untuk menjadi manusia modern yang baik oleh sosial dan pola pengasuhan. Pada saat dewasa, Sura dituntut untuk mengikuti aturan disiplin itu. Dalam naskah ini tokoh Sura dituntut untuk bekerja, dituntun untuk belanja, untuk liburan, harus merawat tubuh.
Pementasan teater "Etalase Tubuh" karya Sahlan Bahuy sutradara Wildan Kurnia produksi Teater  Awal Garut
Pementasan teater "Etalase Tubuh" karya Sahlan Bahuy sutradara Wildan Kurnia produksi Teater Awal Garut

Dalam naskah dipertunjukan repetisi-repetisi bagaimana tokoh Sura bekerja, belanja, dan liburan. Gaya hidup modern menuntutnya untuk melakukan itu. Perempuan di seluruh dunia dituntut untuk melakukan itu. Pada tahap ini, tubuh tokoh Sura menjadi sangat mekanik. Ia diatur, dikuasai oleh sistem disiplin itu. Standar-standar tentang kecantikan pun telah merasuk dalam pikiran Sura. Dalam sebuah dialog dengan Ibu yang terdapat di fase dua adegan empat, Sura memberi argumen mengenai kecantikan,yakni perut yang langsing, kaki yang jenjang, hidung yang mancung, payudara yang padat, rambut yang lurus-hitam-dan panjang, dan kulit yang putih-mulus-bebas bulu. Mungkin apa yang dikatakan Sura adalah standar global mengenai kecantikan. Itu menjadi semacam menara pengawas bagi Sura dalam menjalankan hidupnya untuk tetap berada pada standar-standar itu.

Badut dan pengemis terus berdebat tanpa akhir. Keduanya meracau dengan bahasa yang tidak dimengerti. Perlahan suaranya menghilang, hanya mulut dan tubuhnya terus bergerak. Sedang pesta pengukuhan kebahagiaan segera dimulai. Sebuah perayaan. Kini sura telah menjadi mitos. Tubuhnya menjadi bilboard, etalase, baligo, layar televisi. Sura terus bermimpi. Terdengar musik mengalun. Lalu, suara malam. Sunyi (Bahuy, 2012).

Kutipan di atas merupakan teks samping yang mengakhiri naskah ini. Perdebatan Badut dan pengemis menjadi semacam matafora bahwa wacana mengenai tradisional dan modern dan lokal dan nonlokal akan selalu berdialektika. Pada akhirnya tokoh Sura menjadi mitos. Mungkin yang dimaksud mitos di sini seperti apa yang dikonsepsikan Roland Bathes, yaitu suatu nilai yang tidak memerlukan kebenaran sebagai sanksinya (Zaimar, 2014: 19). Melalui kekuasaan, tubuh Sura dibentuk sedemikian rupa. Kemudian oleh power tubuh tersebut dipresentasikan dalam billboard, etalase, baligo, dan layar televisi untuk menunjukan bahwa yang ditampilkan itu adalah aturan, standar, dan estetika global; padahal aturan, standar, dan estetika itu diciptakan oleh power atau pembuat mitos untuk kepentingan kapital.

Demikian, sebagai konsep yang utopis, kosmopolitan menyajikan suatu gambaran masyarakat yang ideal, di mana perekonomian dan peradaban menjadi maju dan terciptanya solidaritas. Namun, dalam tataran praksis, ada hambatan-hambatan dan hal-hal yang saling bernegasi. Sekiranya, sebagai representasi dari kenyataan sosial, naskah drama Etalase Tubuh (2012) berhasil menampilkan sisi gelap dari modernitas, globalisasi, dan kosmopolitan.[]

*Mahasiswa pasca sarjana UI program studi sastra

Daftar Pustaka
Bartky, Sandra Lee. 1990. Feminity and Domination; Studies in the Phenomenology of Oppression. New York dan London: Routledge.
Binnie J, Julian Holloway, Steve Milington, dan Craig Young. 2006. Cosmopolitan Urbanism. New York dan London: Routledge.
Lull, James. 2001. Culture in The Communication Age. New York dan London: Routledge.
Prestholdt, Jeremy, 2009, Miroring Modernity: on consumerism in cosmopolitan Zanzibar, [pdf] (epress.lib.uts.edu.au/journals/TfC, diakses tanggal 10 April 2014).
Zaimar, Okke K.S. 2014. Semiotika dalam Analisis Karya Sastra. Jakarta: Komodo Books

[1]Etalase Tubuh (2012) telah beberapa kali dipentaskan dibeberapa kota oleh kelompok teater yang berbeda. Beberapa di antaranya di Teater Invitasi pada tahun 2012 di Bandung; di Festival Teater Mahasiswa Nasional (Festamasio) tahun 2013 di Surabaya yang dipentaskan oleh Teater Lakon; dan di Festival Teater Remaja (FTR) tahun 2014 di Bandung yang dipentaskan oleh Teater Awal.
[2] Dunia teater digelutinya sejak tahun 2005 di Teater Lakon UPI. Beberapa kali terlibat dalam garapan teater sebagai aktor maupun sutradara. Di dunia teater beberapa kali meraih penghargaan, diantaranya: lomba baca puisi piala WS.Rendra 4 kali berturut-turut, juara 1 lomba baca puisi Chairil Anwar, sutradara terbaik dalam Festival Teater Mahasiswa Nasional ke-4 di Jakarta (2009), sutradara terbaik Festival Monolog Mahasiswa NasionaI ke-2 di Samarinda (2011), sutradara terbaik Festival Drama Bahasa Sunda Pelajar (FDBSP 2013). Ia juga aktif menulis artikel teater dan dimuat di media massa maupun elektronik (Sumber: http://wujudkan.com/projects/detail/176/Pentas-Teater-Etalase-Tubuh-KaryaSutradara-Sahlan-Bahuy/profile, diunduh pada 14 April 2014 pukul 23.15 wib).
[3] Artikel ini lebih menjelaskan bagaimana modernisasi terjadi di wilayan Zanzibar. Perubahan itu di mulai saat Sultan Zanzibar berkunjung ke New York pada tahun 1840. Artikel ini diambil dari Transforming Cultures eJournal, Vol. 4 No. 2 November 2009 halaman 165-205, dan diunduh pada 10 April 2014 pukul 20:30 wib dari epress.lib.uts.edu.au/journals/TfC.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar