Labels

Selasa, 08 April 2014

Dunia Objek dan Simbol Etalase Tubuh



Esai Pertunjukan “Etalase Tubuh” Produksi Teater Awal Garut

Zulfa Nasrulloh*

Bagaimanakah sebenarnya kebahagiaan itu? Apakah ketika seseorang memiliki wajah dan tubuh yang lumayan, sehat, kuat, terawat, memiliki uang banyak, popularitas, mendapat hiburan kelas tinggi, barang-barang mewah, baju mahal, makanan harga selangit, atau memiliki rumah di kawasan elit, merasa bahagia?

Demikianlah barangkali kritik dari naskahEtalase Tubuhkarya Sahlan Mujtaba yang dipentaskan Teater Awal Garut (SMAN 6 Garut) di Gd. Sunan Ambu STSI Bandung pada hari Senin, 24 Maret 2014. Pementasan ini disutradarai oleh Wildan Kurnia dan merupakan pembuka Festival Teater Remaja ke-4 yang diadakan. Keluarga Mahasiswa Teater STSI Bandung.

Teater Awal membuka perhelatan seminggu penuh ini dengan sangat memukau. Seluruh penonton nampak puas setelah selesai menonton pertunjukan. Ada dari mereka menunjuk-nunjuk temannya sambil berkata “Nah, kamu kan yang suka ke salon terus!” ada lagi beberapa yang berkata “Aku mah ga mau jadi manekin kayak Sura.” dan lain sebagainya.



Dunia Objek

Etalase Tubuh bercerita tentang seorang anak bernama Sura yang hidup di dalam perhelatan moderenitas. Ayahnya seorang pekerja keras yang secara pemikiran terbentuk dari rutinitas dan kontinuitas. Kemewahan dan gengsi zaman menjadi tujuan hidup yang ditanam pada anaknya. Sedangkan ibunya adalah seorang ibu yang tunduk dan patuh pada norma. Membawa spirit dongeng dari kebudayaan masalalu, sebagai cara dalam mendidik anaknya Keduanya menawarkan pengertian tentang kebahagiaan.

Sura sebagai seorang anak yang hidup dan berkembang di zaman modern, mengalami penyangkalan kebahagiaan yang ditawarkan ayahnya. Seperti pada dialog ketika Sura diberi sebuah burger berikut ini: /Ayah : Enak?/ Sura: Tidak/ Ayah: Enak! Makanlah, nanti kalau sudah terbiasa, akan terasa enak./ Sura tidak merasakan kebahagiaan yang ditawarkan ayahnya melalui makanan dan barang-barang mewah dan mahal. Semua itu bagi Sura tidak terasa nyaman dan nikmat. Sura tidak menemukan makna kebahagiaan yang dimaksudkan ayahnya.

Sementara ibunya terus saja mendongeng tentang Cahya Wening seorang putri yang dikekang istana dan akan dijodohkan dengan seorang pangeran yang tidak dikehendakinya. Cahya wening berharap pada pelangi untuk menolongnya terbebas dan mendapatkan kebahagaiaannya. Sura memosisikan ibu dan dongengnya sebagai satu-satunya harapan yang dapat membebaskan dirinya dari kekangan Sang Ayah.

Seiring berjalannya waktu dan pencarian Sura, ia pun takluk pada modernitas dan mulai terbiasa dengan kebahagiaan-kebahagiaan semu yang ditawarkan Ayahnya. Ia mengikuti berbagai pola hidup modern yang memperkuat eksistensi dirinya sebagai manusia. Seseorang yang akan diterima masyarakat, diterima lingkungan kapitalisme, harus mengikuti mode berpakaian, gaya rambut, rias kecantikan, iklan, ajang polularitas, dan bekerja di perusahaan yang penuh dengan deadline. Sura memperlakukan tubuh sebagai industri yang menghasilkan dan dihasilkan oleh pasar. Bahkan ia pun membunuh bayangan ibunya dan segala dongeng-dongeng yang tentu menawarkan perspektif lain dalam memaknai kebahagiaan. Sura hidup sebagai perempuan modern dan mengukuhkan dirinya sebagai mitos zaman. Zaman modern yang menghilangkan identitas Sura sendiri.

Kapitalisme berhasil mengkonstruksi Sura. Modernitas ibarat sebuah banjir besar yang menenggelamkan Sura. Sura bermukim di dalam sebuah plenum, yaitu ruang yang dipenuhi informasi dan tawaran tentang kebahagiaan sehingga tak ada satu pun yang tidak tersentuh oleh informasi tersebut. Di dalam ruang padat informasi tersebut, Sura bukan hanya menyerap informasi, tetapi juga terseret dan terjebak oleh arus informasi. Inilah gejala cyberspace yang dimaksud William Gibson.

Sura sebagai objek kapitalisme adalah Sura yang disiapkan menjadi mitos di dalam banjir besar. Banjir yang bermuara pada kehancuran kapitalisme. Sura bersama orang-orang di dalam plenum tersebut menunggangi dunia objek. Dunia yang dibangun dari relasi-relasi sosio-kulturalyang mengglobal. Sementara abad ke-21 adalah abad hiperkonsumerisme dimana konsumsi menjadi pusat dari kehidupan sosial. Yakni ketika benda menguasai manusia, tidak lagi menamai benda sebagai media, tetapi ngobrol dengan benda-benda, menjadikan mereka kenikmatan, kesenangan, kenyamanan, kegairahan, dan simbol diri.Hingga ritual-ritual seperti karier, industri tubuh (audisi pencarian bakat, modeling, entertainmen), industri waktu(jam kerja, jam istirahat, deadline, liburan) dan lain sebagainya yang menyinggungkanarea kapitalisme dengan eksistensi diri menjadi penting bagi manusia pascamodern.

Pementasan Etalase Tubuh ini merupakan kritik bagi plenum kapitalisme. Bagaimana manusia dikonstruksi kapital menjadi benda yang kapital. Benda telah mengkonstruksi tubuh dan tubuh telah menjadi benda. Seperti dalam sebuah etalase, tubuh-tubuh itu dipajang dan dikemas dalam plenum kapitalisme. Tidak ada yang bisa menolak. Sebab siklus yang dibangun kapitalisme bersifat repetisi dan menyebar. Seperti amoeba yang melakukan mitosis besar-besaran, kapitalisme menyebar ke segala bentuk, ide dan sudut-sudut kehidupan manusia.




Simbol

Kapitalisme dipentaskan secara simbolis. Pementasan ini menghadirkan beberapa imaji-imaji yang merangkai alur cerita. Seperti Sura yang tidur di ranjang dan menjadikan ranjang di dalam pementasan itu menjadi ruang internal Sura.Ranjang tersebut didorong dan dijaga oleh badut yang tak lain adalah antek-antek kapitalisme. Badut itu mendorong dan membawa Sura kemanapun ia pergi. Seperti metafora waktu yang membawa Sura pada fase-fase perkembangan dirinya. Hingga di akhir pementasan, ranjang itu diberdirikan dan menjadi sebuah kotak, imaji etalase dimana tubuh Sura telah tertanam di dalamnya.

Salon, restoran, dan sebuah butik menjadi imaji percepatan yang dihadirkan pementasan tersebut. Tiba-tiba seseorang dengan papan meluncur dari balik wings, dan orang-orang berlari dari berbagai arah. Imaji seperti ini cukup berhasil membawa penonton pada penggambaran percepatan di ruang-ruang kapitalis tersebut. Gerak para tokoh yang cepat dikontraskan dengan berberapa pengimajian yang lambat. Misalnya pada adegan mimpi Sura. Simbol balon sebagai harapan (kebahagiaan) di dalam mimpi Sura mengalami pelambatan gerak tokoh. Entah apa yang ditawarkan sutradara, apakah pada ruang pikiran Sura kebahagiaan di zaman serba cepat adalah sebuah gerak lambat? Segala hal yang melambat, khusyu, tentram dan sunyi?  Di dalam pementasan itu, orang-orang berbanjar 4- 5 orang berjalan berirama, memegang balon, menyimpannya di sudut dan memecahkannya. Saat itu pula Sura terbangun dan bagi Sura pecahnya balon itu merupakan hal yang menakutkan.

Imaji-imaji dalam pementasan tersebut menciptakan pementasan yang dinamis. Penonton mudah memaknai maksud dari imaji-imaji yang dihadirkan. Seperti pada pengimajian Sura yang bekerja dan ditekan deadline dan tugas-tugas kantor. Sura dan kawan kerja lainnya berjajar di sebuah kursi, seorang badut, yakni bos kapitalisme berkata “Kerja!” tangan mereka seperti mengetik sebuah laptop di depannya. “Bergerak!” kaki Sura dan yang lainnya bergerak menekan-nekan tanah masih dalam posisi mengetik laptop. “Hiburan!” mereka berdiri dan melakukan goyang oplosan. Hal-hal yang bersifat populis dihadirkan menjadi kritik bagi penonton itu sendiri.

Akhirnya, pementasan ini membawa hal-hal yang dekat dengan penonton. Rutinitas yang secara sadar ataupun tidak, pernah dan sedang dialami penonton. Hal-hal yang diketahui dan dijalani itu hadir dalam sebuah imaji yang menyindir. Imaji yang merupakan rekayasa sutradara untuk memerangi kapitalisme. Hingga penonton pada akhirnya merasa lucu dan malu pada segala fenomena (aktifitas dan rutinitas) mereka di masa kini.

Kapitalisme adalah plenum, ruang, banjir besar yang melanda masyarakat Indonesia. Masyarakat postkolonial yang polos, labil dan terjebak. Pementasan ini mengkritisi itu secara figuratif, dekoratif, dan menghadirkan imaji kapitalisme yang simbolik. Jika sebuah pementasan yang baik adalah yang merespon zamannya, ide cerita pementasanEtalase Tubuh ini segar dan patut diperhitungkan. Namun jika pada akhirnya Festival Teater Remaja ke-4 STSI Bandung memiliki kriteria dan zona tempur yang lain, saya kira menang dan kalah dalam sebuah perlombaan tidak menjadi penting. Geliat estetika teater yang paling utama, and sense is more.


*Zulfa Nasrulloh, adalah penikmat, pegiat dan pemerhati sastra. Bergiat di Arena Studi Apresiasi Sastra (ASAS) UPI dan pendiri kelompok kesenian Sesebred Inc. Beberapa karyanya termuat dalam antologi bersama, media online dan media cetak. Kini sedang sibuk mengurusi beberapa ekor musang liar dan mempersiapkan launching kumpulan cerpennya “Udara Semakin Tajam, Sayang” (Kadal:2014).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar