Labels

Sabtu, 20 Desember 2014

PENTAS TEATER "MORITO DAN DUA PELAYAN DI RASHOMON"

Selasa (16 Desember 2014), kami telah menggelar pertunjukan teater "Morito dan Dua Pelayan di Rashomon" di Japan Foundation, Jakarta. Cerita ini ditulis oleh Zulfa Nasrulloh hasil adaptasi dua cerpen karya Ryonosuke Akutagawa berjudul "Rashomon" dan "Kesha dan Morito".Berikut susunan lengkap tim pentas yang mendukung pementasan ini.

Sutradara             : Ridwan Saidi dan Sahlan Bahuy
Penulis naskah    : Zulfa Nasrulloh
Aktor                   : Rangga Rahadian Diaguna (Morito), Fuad Jouharudin (Pelayan 1), Yokeu Darisman (Pelayan 2)

Penata Artistik     : Dwi Aryanto Arnando
Penata Lampu      : Surya Dwi Shanty
Penata Musik       : Gugum
Tim Dokumentasi: Farid Shobri
Tim Produksi       : Femia Yamaniastuti, Sisil dan Acil


Foto latihan "Morito dan Dua Pelayan di Rashomon"


Mengingat wacana yang diusung di pementasan ini sangat relevan dengan konteks kekinian maka rencananya tahun depan kami akan mementaskan kembali karya ini di beberapa kota di Indonesia. Berikut sekilas pengantar tentang karya ini yang ditulis oleh penulis naskah.

Bagaimana moral dibentuk? Setiap komunal akan dihadapkan pada diri dan keadaan yang menderanya. Kualitas subyek memengaruhi bagaimana sikap dalam menghadapi keadaan (ideologi abstrak). Ide bagi saya adalah proses dialektis ruang dan subyek. Pada bagian ini saya merasakan benturan hebat antara sejarah, subyek, dan ruang hidup. Dalam sudut pandang orang Indonesia, kebudayaan Jepang adalah ruang dialektis, ide yang perlu diproduksi dalam ruang hidup saya (present context). Di sinilah benturan moralitas saya dan moralitas sejarah Jepang berbenturan secara dialektis.  

Morito dan Dua Pelayan di Rashomon adalah naskah yang dibuat dari benturan itu. Saya membaca kumpulan cerpen Rashomon karya Ryonosuke Akutagawa dan menemukan moralitas di dalamnya. Dua cerpen itu adalah cerpen Kesha dan Morito dan Rashomon. Dua cerpen ini saya kembangkan setiap tokohnya dan mempertemukannya dalam satu cerita, latar, dan waktu yang sama. Ajaibnya tokoh-tokoh yang saya hidupkan itu memuculkan ide Akutagawa dalam mengangkat problema sosial Jepang masa kehancuran Kyoto.

Kehancuran yang dimaksudkan Akutagawa bukan sekedar material. Tapi juga kehancuran eksistensi dan moral masyarakat Kyoto saat itu. Seorang perempuan yang tercerabut eksistensinya ketika tubuh dan nafsu kemanusiaannya diketahui oleh orang lain. Seorang lelaki yang mendapatkan ketegangan eksistensi saat berhadapan dengan janji (human useful), cinta (human basic), dan kemanusiaan (humanities). Seorang pelayan yang tercerabut eksistensinya saat pekerjaannya (moral grip) tercuri dan keadaan mendera tubuh, pikiran dan hatinya.

Tokoh-tokoh yang saya hidupkan kembali itu, mengajak saya berkaca pada kondisi masyarakat kekinian. Mereka hidup di ruang saya (present context) dan anggapan saya mereka pun akan hidup di ruang pembaca. Di mana tegangan sejarah dan kekinian sebenarnya hanya pengulangan. Moralitas di ruang yang berbeda itu sebenarnya sama-sama bergeser, semua menjadi bermoral saat berhadapan dengan tekanan-tekanan kehancuran. 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar