Ulasan Resital Teater Lakon 2013
Oleh: Sahlan Bahuy*
Rumah merupakan kebutuhan primordial bagi manusia hampir setara dengan kebutuhan sandang dan pangan. Tanpanya kelangsungan hidup manusia akan terganggu. Fungsi stereotip rumah umumnya dimaknai sebagai tempat bernaung, tempat berkumpul keluarga, tempat beribadah, tempat istirahat, dan tempat berlindung. Ada juga yang eksploratif memaknai fungsi rumah seperti tempat untuk meningkatkan prestise, tempat menimbun bahan peledak, tempat transaksi narkoba, tempat judi, tempat prostitusi, tempat menampung beberapa istri, atau tempat mengasingkan diri dari kejaran KPK. Di samping itu, rumah juga tidak melulu dimaknai sekedar tempat, misalnya dalam perspektif Jawa, rumah dijadikan legalitas untuk menunjukan martabat, harkat dan kesempurnaan.
Konsep rumah menawarkan pemaknaan luas. Pelbagai pemaknaan di atas menyiratkan bahwa rumah menjadi pusat siklus kehidupan manusia. Pada dasarnya semua manusia sebenarnya mempunyai rumah sekalipun ada yang merasa tidak punya rumah. Dunia yang sedang kita singgahi ini mengafirmasi sebuah rumah, yakni rumah kehidupan.
Mengusung tema “Rumah Kehidupan”, Teater Lakon menggelar resital 2013 dengan lakon “Tiga Kehidupan” (Yasmina Reza), “Garong Intelek” (Motingge Busye saduran Rosyid E. Aby), dan. “Titik-titik Hitam” (Nasyah Djamin). Bertempat di Auditorium PKM UPI acara itu digelar pada tanggal 7,8, dan 9 Mei 2013. Ketiga lakon itu menyajikan problematika kehidupan yang terjadi dalam sebuah rumah, seperti: kebohongan, kemunafikan, ketakutan, perselingkuhan, pencurian, materialistis, dan korupsi. Persoalan kehidupan yang masih mendapatkan ruang kontekstual di jaman sekarang.
Lakon “Tiga Kehidupan” karya Yasmina Reza mendapat giliran pentas di hari pertama. Lakon terjemahan yang disutradarai Syarah Meidiana ini menampilkan sebuah kehidupan di kota Perancis. Sepasang suami istri, Henri dan Sonia, sedang berupaya menidurkan anak mereka, kemudian sebuah ketukan di pintu yang tidak mereka harapkan membawa mereka masuk ke dalam sebuah kondisi dan percakapan yang tidak menentu. Pelbagai peristiwa terjadi dalam kehidupan sehari-hari, seperti: sistem disiplin terhadap anak, keegoisan, saling menjilat, bahkan perselingkuhan. Drama tiga babak yang menyuguhkan kejadian berbeda dalam setiap babaknya, walaupun topik yang dibicarakan sama.
Di hari kedua, lakon “Garong Intelek” digelar. Karya Motinggo Busye saduran Rasyid E. Aby ini disutradarai Rangga Rahadian Diaguna. Menyajikan cerita tentang Darta (Riki Tri Sanusi), seorang koruptor yang selalu merasa tidak tenang hingga terserang gejala gangguan jiwa karena dihantui oleh dosa-dosa korupsi. Istrinya, Asri (Ricilia Ryan Sanusi), merupakan seorang wanita paruh baya yang gemar menghiasi tubuh dan memperkaya diri. Tiba pada suatu hari, seorang wanita cantik, Rani/semah (Mawar Diah Pertiwi) bertamu ke rumah mereka dan mengaku sebagai istri kedua Darta. Namun ternyata wanita itu adalah bagian dari kawanan pencuri. Lalu mereka berhasil menggasak barang-barang berharga di rumah Darta. Beberapa hari berselang, kembali datang seorang perempuan mengaku istrinya Darta. Kedatangannya sempat dicurigai pencuri oleh Bu asri tetapi setelah polisi dan Darta tiba di rumah, semua kebohongan Darta terungkap dan ia pun menyerahkan diri ke pihak yang berwajib.
Hari ketiga ditutup oleh pementasan lakon “Titik-titik Hitam” karya Nasyah Djamin. Naskah ini disutradarai Ferdinand D. Wuysang. Mengisahkan sebuah keluarga kurang harmonis sehingga terjadi perzinahan dan perselingkuhan. Adang (Gustri Yorizal) tidak mampu memenuhi kebutuhan batin istrinya, Hartati, karena terlalu sibuk dengan kerjaanya. Hartati kemudian mencoba bunuh diri. Ketika itulah semua misteri keluarga terungkap. Tati hamil, buah perselingkuhan dengan Trisno, adik Adang. Di sisi lain, Rahayu (Ayu Septiani W.S), adik Hartati, pernah melakukan aborsi atas bantuan dr. Gun (Ikbal Eki Nugraha).
Ruang Kekuasaan
Ketiga pementasan itu mempertontonkan problematika yang terjadi dalam sebuah rumah. Dilihat dari konsep artistik dan pemanggungan, rumah tidak lagi dimaknai pada konsep ruang yang menunjukan objek yang dibangun oleh relasi dinding, pintu, atap, jendela, kamar tidur, kamar mandi, dapur, dan halaman sehingga menegasikan pembuatan set panggung yang rewel.
Penyiasatan itu seolah-olah ingin memproyeksikan sebuah rumah sebagai ruang yang dibangun oleh relasi sosial, seperti manusia dan lingkungan, suami dan istri, orang tua dan anak, mertua dan menantu, tuan rumah dan tamu, majikan dan jongos, orang kaya dan miskin, pimpinan dan bawahan, pejabat dan koruptor dan relasi lainnya. Sehingga realitas rumah menyebulkan arena bergumulnya kekuasaan. Fenomena itu dapat dilihat dari peristiwa-peristiwa yang hadir, seperti cara mendidik anak, perselingkuhan, poligami, upaya bunuh diri dan aborsi. Semua peristiwa itu terjadi tanpa bisa menafikan pengaruh kekuasaan di dalamnya. Kekuasaan yang lahir dari relasi timbal balik antara subyek dalam hidup bersama.
Mengamini pemikiran Foucault, kekuasaan tidak lagi “dimiliki” melainkan sebagai proses relasi antara berbagai kekuatan. Kekuasaan tidak lagi dimiliki oleh dominasi lembaga atau status kelas sosial tetapi lebih menekankan pada sebuah relasi. Di mana ada relasi, di sanalah bersemayam kekuasaan. Dan hubungan kekuasaan itu tidak dapat dipisahkan dari proses ekonomi, penyebaran pengetahuan, dan seksual.
Lakon “Tiga Kehidupan” yang telah mengalami perubahan struktur dramatik mengimpresikan pelbagai pergulatan kekuasaan. Misalnya; bagi Arnauld, anak Sonia dan Henri, rumah bagaikan penjara, lembaga yang merepresi dirinya dalam membentuk individu disiplin. Pada jam 10 malam, menjelang tidur, Arnauld ingin makan apel dan cokelat. Namun orang tuanya menerapkan aturan jika sudah gosok gigi maka tidak boleh makan apapun dengan dalih kesehatan. Atas situasi itu Arnauld pun bereaksi. Pada fragmen 1 dan 2, Arnauld menangis sebagai bentuk pemberontakan dengan intensitas dan emosi berbeda. Pada fragmen 3, Arnauld mematuhi aturan tanpa rengekan. Peristiwa itu menggambarkan bahwa orang tua berhasil mengisolasi anaknya karena alasan kesehatan, bukan berarti dia memahami kesehatan, tetapi dia memiliki kekuasaan atas anak itu, sebuah bentuk dominasi. Perubahan reaksi Arnauld dalam fragmen 1, 2, dan 3 mengafirmasi bahwa relasi kekuasaan rentan terhadap perubahan, bisa berupa pemberontakan maupun kepatuhan.
Operasi kekuasaan beragam bentuknya, tidak melulu bersifat dominasi maupun represi. Kekuasaan bisa lahir dari situasi yang didorong melalui persuasi atau rayuan, seperti yang tergambar dalam lakon “Garong Intelek”. Kesetiaan memenuhi materi mewah permintaan istri pertamanya dijadikan strategi persuasi oleh Darta, orang kaya baru, untuk memuluskan kekuasaannya dalam mengkoloni perempuan, yakni poligami dengan Ana Saraswati. Dari peristiwa dramatik yang dibangun, sepintas Darta tunduk pada kekuasaan istrinya padahal sebenarnya Darta sedang memproduksi kekuasaan yang lain. Kekuasaan tidak pernah menegasikan perlawanan, bukan dalam arti kekuatan dari luar atau yang berlawanan, melainkan karena adanya kekuasaan itu sendiri, yakni kekuasaan atas harta yang berlimpah. Kekuasaan selalu bersifat produktif, senantiasa melahirkan kekuasaan yang lain.
Dalam lakon “Titik-titik Hitam”, mekanisme kekuasaan merembes ke dalam kehidupan paling intim, yaitu seks. Kisah ini mengimpresikan bahwa kebenaran absolut pelaku ritus seksual hanyalah milik pasangan suami istri. Akhirnya muara yang dituju adalah kepatuhan. Ritus seksual dikontrol oleh kekuasaan normatif yang merepresi individu, Hartati dan Rahayu. Represi seks itu berakar sejarah kuat dan mengandung pemikiran kolot dan kaku, sehingga protes, kritik, maupun pemberontakan tidak mampu membela keadaan Hartati dan Rahayu. Lalu akhirnya, efek dari kekuasaan normatif itu adalah Hartati nekad bunuh diri dan Rahayu melakukan aborsi. Siapa yang memproduksi kekuasaan dalam persoalan itu? Sulit mengelak jika agama tidak berandil dalam menciptakan kekuasaan normatif itu. Agama hadir lewat sikap ibu dalam mendidik anaknya.
Diantara ketiga lakon yang disajikan, barangkali “Titik-titik Hitam” paling bertendensi menciptakan oposisi biner ikhwal kebenaran dan kesalahan. Hal itu dipengaruhi oleh struktur dramatik yang tidak utuh karena berlandaskan naskah ketikan ulang tanpa upaya pengoreksian naskah aslinya. Sehingga terjadi beberapa perubahan, khususnya di tahap konklusi. Titik-titik hitam menjadi petanda yang berelasi dengan keburukan, aib dan tabu. Lalu perempuan menjadi korban yang tersudutkan oleh stigma itu. Terdapat garis tegas dalam menilai kebenaran. Sehingga penyeragaman moral menjadi sesuatu yang niscaya. Hubungan seksual dibiarkan di area kegelapan, sesuatu yang tabu untuk diungkai. Hanya pasangan keluarga yang berhak merenggut sepenuhnya ke dalam fungsi reproduksi. Selain itu, tidak ada yang berhak bicara tentang seks, seperti yang dialami Hartati dan Rahayu. Pasangan berkeluarga menjadi norma, yang membawa kebenaran, yang berhak bicara meskipun dibaliknya tetap menyimpan misteri. Seks hanya sebatas masalah kesuburan dan kegunaan. Selebihnya, sesuatu yang lebih subtil diabaikan; misalnya kebahagiaan batin dan ketenangan jiwa.
Kalau seks direpresi atau dilarang, niscaya berbicara tentangnya merupakan bentuk pelanggaran. Jika situasinya begitu, tentu akan kesulitan melihat seks dari realitas yang paling telanjang dalam mengungkai bentuk kekuasaan di baliknya dan akibat-akibatnya. Hartati dan Rahayu menjadi korban kekuasaan normatif yang wajib divonis oleh hukum sosial sehingga bunuh diri dan aborsi mesti terjadi tanpa bisa dihindari.
Fenomena kekuasaan dari lakon “Tiga Kehidupan”, “Garong Intelek”, dan “Titik-titik Hitam” di atas hanyalah secuil dari pelbagai praktek kekuasaan yang terjadi. Terlihat jelas bahwa kekuasaan tidak lagi merujuk pada satu sistem umum dominasi oleh suatu kelompok terhadap yang lain, melainkan karena pluralitas hubungan kekuasaan. Kekuasaan merupakan situasi intern adanya perbedaan.
Meskipun seluruh pementasan dalam tajuk “Rumah Kehidupan” yang digelar oleh Teater Lakon bicara ikhwal kekuasaan, namun cara menyampaikannya menegasikan kekuasaan. Semua pementasan nyaris kehilangan operasi kekuasaannya, kemudian yang terjadi adalah tontonan yang tak mampu mendominasi, merepresi, merangsang, dan merayu penontonnya. Teater semacam itu menjadi gejala memprihatinkan. Teater tidak boleh kehilangan kekuasaan di dalamnya, sehingga tidak terjerembab ke dalam kekuasaan seni tontonan semata. Bagi teater, panggung tidak sekedar membangun peristiwa dan kolam air mata palsu seperti sinetron televisi.
Kekuasaan tidak melulu mengacu pada sesuatu yang negatif; menindas, menolak, menafikan, menyembunyikan, membohongi, menutupi realitas. Kekuasaan yang lahir dari ruang teater berpotensi menghasilkan sesuatu yang riil dalam ilmu pengetahuan, mampu menyampaikan ritus-ritus kebenaran, dan mampu mengoreksi kehidupan yang lebih sublim. Teater sebagai entitas seni yang dibangun oleh multidisiplin ilmu dan sumbangan pemikiran setiap subyek bisa dijadikan kekuatan dalam membangun kekuasaan. Di dalamnya bisa menumbuhkan saling percaya, memperkaya perspektif, menopang satu sama lain, ada pengakuan kekuatan dan kecerdasaan setiap pribadi sebagai sumbangan dalam hidup bersama. Jika teater sudah membangun kekuasaannya maka tidak mustahil dapat memberi inspirasi dalam memandang realitas dengan kaya, menjunjung tinggi kreatifitas, dan sikap kritis setiap subyek atau dengan kata lain adanya pengakuan kekuasaan setiap pribadi. Tabik.
*Penggiat teater asal Cianjur. Pendiri Jalan Teater. Bergiat bersama Mainteater Bandung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar