Labels

Selasa, 03 September 2013

KEMATIAN DALAM PETUALANGAN EKSPANSI ADAPTASI

Sebuah resensi pertunjukan "The Judgement" karya Franz Kafka

Oleh: Sahlan Bahuy*

Malam itu di pelataran CCL (Celah-Celah Langit) Ledeng, Franz Kafka barangkali telah “mati” dalam pertunjukan Komunitas Hobi Berteater (10 November 2012). Dua tokoh anonim dan dominasi simbol-simbol artistik telah menggantikannya.

Pengarang sudah mati dan sutradaralah pembunuhnya! Barangkali aforisme itu dijadikan landasan kekuasaan sutradara dalam mentransformasi sebuah karya sastra ke bentuk seni pertunjukan. May Ramadhan selaku sutradara menggunakan otoritasnya, membongkar dan menyusun kembali bangunan cerpen “The Judgement” karya Franz Kafka menjadi sebuah bangunan baru (teater) melalui tender adaptasi yang dipilih. Dalam proses adaptasi selalu berakibat pada terjalinnya hubungan intertekstual antara teks baru dengan hipogramnya. Beragam cara dapat ditempuh dalam menjalani proses itu, seperti yang dijelaskan oleh Rifaterre, misalnya: ekspansi (pengembangan), konversi (pemutarbalikan hipogram), modifikasi (pengubahan), dan ekserp (intisari suatu unsur). Secara tersirat, May Ramadhan bersama komunitas Hobi Berteater memilih jalan ekspansi dalam upaya merekonstruksi cerpen “The Judgement”  ke atas panggung.

Pertunjukan yang berlangsung menjadi semacam petualangan bagi komunitas Hobi Berteater dalam misi ekspansi estetis di wilayah teks adaptasi cerpen “The Judgement”. Konsekuensi dari ekspansi ini adalah ditemukannya penafsiran subyektif, terciptanya simbol-simbol dan dua tokoh anonim; seseorang yang datang dengan menggunakan lampu senter di kepala sambil membawa buku tebal dan seseorang yang berada dalam etalase (mirip akuarium) dengan masker di wajahnya. Panggung pertunjukan menjadi ruang pameran simbol-simbol. Di sebelah kiri panggung berdiri sebuah papan tulis, beberapa box, gulungan plastik, akuarium plastik yang berisi ikan hias, dan tiang gantungan. Di tengah panggung tampak konfigurasi laba-laba sebagai penyekat dua ruangan. Dan di sebelah kanan panggung terdapat ranjang yang berbentuk peti mati dan sebuah etalase mirip akuarium. Sehingga terciptalah ruang anonim yang tidak mendefinisikan dirinya. Ruang yang memiliki banyak pintu dan dibiarkan terbuka untuk bisa dimasuki para penonton dengan pelbagai macam penafsiran. Musik dan lampu tidak memberikan pengetahuan: di manakah keintiman, kasih sayang, keharuan, kesedihan, dan kemarahan yang bersumber pada tokoh Georg dan ayahnya diletakan? Bangunan-bangunan identitas latar ruang, waktu, peristiwa, dan budaya dibiarkan kokoh berdiri dengan anonimitasnya yang dibungkus oleh simbol-simbol sehingga mengalami problematis ketika tokoh Georg dan ayahnya secara jelas mengejewantahkan beberapa identitas itu lewat dialog mereka. Pada akhirnya penciptaan simbol-simbol anonim itu menjadi jalan pintas dalam menaklukan kerumitan medan identitas.

Tubuh Niradaptasi
Cerpen “The Judgement” telah diadaptasi dengan proses ekspansi. Simbol-simbol dan dua tokoh anonim tercipta. Adegan awal dan akhir pun mengalami penambahan. Selebihnya masih memangku kesetiaan pada hipogramnya termasuk mempertahankan latar geografis dan waktu bernuansa eropa. Tanpa adanya perpindahan dunia dan waktu di sana ke dunia dan waktu di sini maka tubuh aktor mengalami konsekuensi untuk beradaptasi ke dunia yang ada dalam teks hipogramnya. Tubuh aktor tampak problematis menghidupkan tokoh Ayah (Hendra S. Wijaya) dan tokoh Georg (Medhian Ramadhika) yang masing-masing menyimpan misteri. Mesin produksi akting mereka yaitu, tubuh dan jiwanya kesulitan memasuki referensi masyarakat eropa. Tubuh-tubuh aktor kehilangan motif pemeranannya sendiri. Seandainya tubuh aktor dielaborasi secara maksimal untuk beradaptasi dengan teks tentu peristiwa yang dibangun akan terasa lebih sublim. 

Hampir seluruh kemungkinan untuk membangun peristiwa dalam pertunjukan ini rasanya terbatas oleh dominasi simbol-simbol anonim yang menimbulkan enigmatik. Simbol-simbol melampaui eksistensi peristiwa dan pemeranan. Di sini dimensi tubuh aktor terasa berjarak dengan ruang yang dibangun, aktor masih terasa asing dengan keberadaannya.       

Adegan sebagai Instruktur Aktor
Adegan demi adegan bergerak dengan patuh dan khidmat. Dinamika peristiwa berjalan dengan lambat. Strategi itu seperti memberikan kesempatan pada penonton untuk larut pada detail-detail peristiwa dan menafsir konflik yang penuh teka-teki di atas panggung. Irama seperti itu ternyata memiliki resiko dalam menghidupkan peristiwa, distribusi alur menjadi tersendat-sendat. Kesepian, kesedihan, ratapan, tangisan, dan kemarahan tetap tinggal hanya sebagai instruksi adegan. Tidak ikut berkembang dengan alur yang terus bergerak. Tidak ada kegetiran menjelang kematian ketika Georg bertarung dengan kepengecutannya untuk melakukan bunuh diri. Kegetiran dan airmata tetap tertinggal dalam kata. 

Hubungan eksposisi dan konflik yang menuju ke kematian Georg tetap dipandang sebagai keharusan plot, bukan merupakan perjalanan yang mengandung eskalasi tensi dramatik. Kematian yang dapat membangun ruang katarsis setelah menempuh dakian klimaks (Pertarungan Georg dengan dirinya sendiri dalam sebuah keputusan menenggelamkan dirinya), memang tidak terjadi. Bahkan terasa anti-klimaks karena di akhir, tokoh anonim muncul kembali sekadar melihat keadaan.  

Kafka dan Teka-teki        
CERPEN, karena kependekan ruang bercerita yang dimilikinya, seringkali menumpukan kekuatannya pada ending-nya. Dengan jeli May Ramadhan memahami hal itu atas pembacaannya terhadap cerpen “The Judgement”. Akhir cerita yang bersifat tragic atas tekanan problematik hidup yang menimpa Georg dibangun dalam bangunan klimaks. Kematian Georg akibat dari keputusannya (menenggelamkan dirinya) kemudian coba dielaborasi secara dramatis dengan kemunculan tokoh anonim yang keluar dari etalase lalu ia memberikan cutter kepada Georg. Georg memainkan cutter itu tanpa daya seolah-olah benda itu membisikan untuk dihujamkan pada tubuhnya. Georg terus bertarung dengan benda itu dan kepengecutannya bunuh diri hingga kemudian kematian pun menemui ajalnya. Secara ekplisit kematian tokoh Georg bukan karena benda itu sebab peristiwa yang berlangsung itu hanyalah alegori untuk membangun peristiwa dramatis atas keputusan Georg menenggelamkan dirinya.

Apakah yang menarik dari tema kematian? Sebuah narasi primordial yang menawarkan kewaspadaan bagi para penganut metafisis tradisional bahwa kematian merupakan awal kehidupan yang kekal. Barangkali kepercayaan seperti itu yang dipegang teguh dalam pertunjukan ini. Maka yang terjadi adalah mendramatisir peristiwa kematian menjelang ajalnya, seperti kisah-kisah mitologis: manusia yang putus asa, penyesalan atas dosa-dosa, mendapat kutukan bapaknya, inferior atas minimnya investasi amal baik, dsb. Barangkali juga terdapat semacam “kesadaran stereotip” ketika kematian mesti ditampilkan dengan dramatisasi peristiwa secara berlebihan. Namun, tema universal seperti ini pun rupanya masih mencari konteks kedalamannya. 

Kematian ditampilkan secara pasti tanpa menyisakan ruang lengang bagi teka-teki. Padahal keunikan karya-karya Kafka adalah selalu menyisakan kerangka dunia teka-teki, menyentuh sendi kehidupan yang dijalani masyarakat industri modern. Karyanya melukiskan nihilisme masyarakat tanpa tuhan, dominasi birokrasi yang bersifat hiper-rasionalis yang memerangkap orang-orang tak berdosa dalam jaringnya. Salah satu ciri mendasar di dalam strategi penulisan Kafka adalah menyarankan dan membangkitkan, bukannya mengungkapkan –berkarya melalui teka-teki- membuat segala sesuatu memiliki kualitas kaleidoskopis.

Lakon ini berkisah tentang Georg Bendennman, seorang pengusaha, menemukan persimpangan jalan pikiran untuk membicarakan soal pernikahan pada temannya yang mengharapkan masa depannya di Rusia. Didorong oleh tunangannya Georg berhasil memberanikan diri mengabarkan rencana pernikahan lewat surat. Setelah ia mengemas suratnya, datanglah ia ke kamar dan bertemu ayahnya yang telah lama tidak ia jenguk –bermaksud untuk berkonsultasi, apakah surat itu harus dikirim atau tidak, dengan anggapan bahwa berita yang bahagia ini akan membuat teman Georg akan kecewa. Namun, ayahnya menganggap persoalan mengabarkan pernikahan itu adalah lelucon, dengan pernyataan “bagaimana mungkin kau mempunyai teman, justru di tempat itu!”. Dengan perasaan yang semakin sarkastik, Georg tidak dapat menampung segala tekanan yang menyerang dirinya. Berakhirlah Georg dengan keputusan karena tenggelam. (Booklet pementasan)

Franz Kafka merupakan salah satu penulis yang karyanya mendapat pengaruh dari pemikiran-pemikiran Nietzsche. Gaya berpikir Nietzche adalah anti sistem, metode berfilsafat yang aforisme memberikan kesempatan bagi Kafka untuk memecahkan sendiri teks-teks aforisme itu. Dalam cerpen “The Judgement” impresi kritik nihilisme menyembul. Georg merupakan sosok yang menjadi tuan bagi dirinya sendiri. Baginya hidup adalah otonom tanpa harus diatur oleh macam-macam nilai termasuk Tuhan dan sesamanya. Di sini memang Georg dilukiskan mempunyai relasi dengan teman dan tunangannya, tetapi relasi yang dibangun itu penuh misteri. Georg sering berkorespondensi dengan temannya di Rusia melalui surat menyurat. Namun, Georg masih asing terhadap sesuatu di luar dirinya itu, ia tidak benar-benar tahu keadaan temannya di sana. Hubungan di antara mereka tampak maya. Bukankah semestinya hubungan dengan teman dan tunangan sangat memungkinkan untuk saling mengenal lebih dalam satu sama lain? Begitu pun relasi dengan orang tuanya. Ia terlambat sadar bahwa selama ini ayahnya selalu memperhatikannya. “Jadi sekarang kau tahu hal lain apa yang ada di dunia selain dirimu? Sampai kini tidak ada yang kau ketahui kecuali dirimu sendiri. Kau anak lugu, betul, tetapi lebih betul lagi bahwa kau manusia iblis! Jadi jangan dengarkan aku: aku memberi hukuman mati kepadamu dengan ditenggelamkan!”, itu adalah dialog pamungkas ayahnya yang menghujam sekaligus menyadarkan Georg bahwa selama ini ia telah mengabaikan orang-orang di sekitarnya.

Konklusi dari cerpen itu seolah-olah ingin membangkitkan sebuah pertanyaan “Adakah manusia yang mampu bertahan hidup tanpa menjalin relasi dengan orang lain?”. Tokoh Georg telah menegasikan bahwa sejak kelahirannya manusia dengan kodratnya membutuhkan orang lain. Georg seperti menyesali bahwa hidup manusia akan lebih bermakna jika menjalin relasi dengan lingkungan di mana ia berada. Mengamini perkataan Snijder “Manusia adalah makhluk yang eksentris”. Maksudnya adalah aku menemukan diriku justru bukan di dalam diriku sendiri melainkan di dalam sesamaku (engkau dan dia).   

Teka-teki “ala Kafka” itu bisa tetap terjaga jika sutradara menjalin relasi secara intensif dengan Kafka dan tokoh Georg yang berperan sebagai penggerak peristiwa. Sekalipun sutradara memiliki keotonomian yang khusus, namun keberadaanya tidak berarti apa-apa tanpa kehadiran sesama, pun kehadiran penonton. Oleh karena itu, ekspansi adaptasi ini semestinya tetap menjaga relasi tontonan dengan penontonnya supaya terasa lebih dekat dan tidak berjarak. Sayangnya, akhir cerita dipastikan dengan kematian (dalam cerpen kematian tidak eksplisit dijelaskan) -panggung menjadi kuburan- tanpa sebelumnya memberikan kesempatan pada penonton untuk merasakan kegetiran hidup di dalamnya. Tidak ada sesuatu yang bergentayangan setelah selesai pertujukan, termasuk dialog penutup Georg yang potensial menjadi titik kulminasi dalam pertunjukan ini, Georg berteriak sesaat sebelum menenggelamkan dirinya “Orangtuaku tercinta, aku selalu mencintaimu!”. Tabik!
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
* Sutradara dan Pendiri Jalan Teater.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar