Labels

Senin, 02 September 2013

Ilmu Pengetahuan, Rasa dan Teater di Sekolah

*Oleh: Sahlan Bahuy

Pengalaman adalah guru yang paling baik. Barangkali ungkapan itu sudah cukup populer di kalangan pelajar maupun masyarakat Indonesia. Realitas dunia mampu ditangkap secara kaya melalui pengalaman manusia. Pantai, misalnya, ketika kita bertamasya ke sana, segenap panca indera kita secara sadar atau tidak sadar merespons dan memproduksi pengalaman yang amat kaya atas pantai tersebut. Pantai tidak lagi dilihat sebagai hamparan air asin yang luas, ukuran luas dan kedalaman, ombak berkejaran, dan pasir putih yang lembut, tetapi juga sebagai inspirasi yang membuat rasa syukur, takjub, tentram dan damai.

Tentunya ketika kita mengalami sesuatu ada unsur-unsur yang bereaksi dalam diri kita (tubuh dan jiwa) secara otomatis dan simultan, seperti: konsepsi, persepsi, pemaknaan, kesan, dll, yang kemudian menstimulus dalam menanggapi atas sesuatu itu (realitas dunia) dalam bentuk perilaku. Kekayaan dan kerumitan realitas ditangkap langsung oleh panca indera, rasio, akal budi dan rasa yang selalu ada dalam diri kita. Dari proses campuran unsur-unsur itu, kita mampu menanggapi realitas yang ada.  

Dalam dunia pendidikan di sekolah saat ini, ada sesuatu yang patut dicermati dan dikritisi bahwa sistem pendidikan kita telah mengabaikan kemampuan siswa dalam menangkap dan menghayati kekayaan realitas dengan rasa. Pedagogi dan metode pembelajaran lebih memusatkan pada kemampuan akal sebagian, yakni kemampuan untuk menghafal teori-teori maupun konvensi, tetapi tidak memberikan kesempatan untuk berpikir kritis, pada akhirnya mengikis kemampuan untuk merasa.

Apa itu rasa? Secara makna leksikal rasa adalah tanggapan indra terhadap rangsangan saraf, tanggapan hati terhadap sesuatu. Munculnya rasa lebih bersifat jujur, berbeda dengan pikiran. Ketika merasa lapar, pikiran belum tentu sepakat memenuhi kebutuhan atas rasa lapar itu. Jika dikatakan sebuah kesadaran, pikiran dan rasa adalah sebuah kesadaran yang mendua, tergantung kehendak mana yang akan diikuti. Dalam hal ini, manusia senantiasa berada dalam konflik “abadi” antara dua kepentingan yang berbeda pandangan, antara rasa dan pikiran. Rasa dan pikiran memungkinkan untuk bersinergi maupun berkontrakdiksi.  

Dunia pendidikan kita adalah dunia yang miskin akan rasa. Pendidikan berpusat pada pengembangan keterampilan menghafal semata sehingga terlampau mereduksi kesempatan siswa dalam membina ilmu pengetahuan dengan rasa. Nilai akademik siswa diukur lewat aspek sempit, seperti aspek kemampuan menghafal yang kemudian dimuntahkan kembali ke dalam soal-soal ujian, yang sebenarnya mungkin tak terlalu penting dalam menjalani kehidupannya kelak. Pendidikan rasa berusaha mengajak orang untuk jujur pada apa yang dirasakannya, kritis pada realitas, empati terhadap lingkungan sekitar dan berani mengekspresikan perasaan tersebut dengan cara-cara yang lembut dan indah.

Spirit pendidikan rasa senada dengan pendidikan karakter yang hangat diperbincangkan dalam dunia akademik dewasa ini. Pendidikan karakter bertujuan mengembangkan potensi kalbu, nurani, afeksi, dan rasa bagi siswa sebagai manusia dan warganegara yang memiliki nilai-nilai budaya dan karakter bangsa. Namun pada kenyataannya pendidikan karakter yang mestinya jadi tonggak perkembangan dunia pendidikan kita belum diaplikasikan secara komprehensif di sekolah.

Tanpa rasa siswa-siswa di sekolah akan memahami realitas secara parsial, yakni realitas rasional bahkan cenderung pragmatis yang sebenarnya hanyalah bagian kecil dari kekayaan dan kerumitan dunia itu sendiri. Yang hilang dari dunia pendidikan kita bukanlah kecerdasan, melainkan kemampuan untuk merasa. Fenomena tawuran, pemerkosaan, pemerasan dan penganiayaan yang dilakukan pelajar merupakan afirmasi bahwa mereka kehilangan rasa dari dirinya. Dalam kasus lain, para koruptor di negeri ini barangkali merupakan produk dari kecerdasan, mereka bisa merampok uang rakyat sebanyak-banyaknya dengan mudah lalu berkelit bahkan lolos dari jeratan hukum. Koruptor adalah orang-orang cerdas tetapi kehilangan rasa sehingga mereka tidak peduli terhadap penderitaan rakyatnya. Bukankah fenomena itu bisa dijadikan gejala bahwa kecerdasan semata tak mampu menyingkap realitas dunia yang rumit ini jika defisit rasa hinggap di setiap jiwa manusia. Ketika rasa hilang dari kehidupan manusia, yang tersisa adalah kejahatan, kekejaman, kekumuhan, dan kedangkalan hidup. Situasi ketanpa-rasa-an, atau krisis rasa, inilah yang perlu untuk kita hadapi bersama.

Rasa dalam diri manusia mempunyai kekuatan luar biasa dalam kehidupan manusia. Sebagaimana diutarakan oleh filsuf dari Bandung, Ignatius Bambang Sugiharto, rasa di dalam diri manusia mampu menangkap totalitas dari realitas, dan kemudian mengekspresikannya secara indah dengan cara-cara estetik maupun puitik yang seringkali melampaui rasionalitas dan kesempitan bahasa itu sendiri. Oleh karena itu, setiap orang perlu untuk mendalami karya-karya seni, supaya ia mampu memahami kerumitan serta kekayaan dunia, menghargainya, dan mengekspresikan penghargaan itu dengan cara-cara yang indah. Dan semestinya pelajaran seni tidak berada di wilayah subordinat karena seni mampu mengoreksi keterbatasan dunia ini. Seni mampu memberikan ruang lapang untuk berimajinasi dan imajinasi mampu mengenalkan budi yang halus.

Salah satu alternatif untuk menanamkan kepekaan rasa bagi siswa adalah seni teater. Seni teater mengandung kekayaan etik, estetik, dan puitik. Selama ini kebergunaan teater di sekolah masih dianggap sebelah mata. Teater di sekolah belum dioptimalkan menjadi ruang didaktik bagi siswa dalam memahami kekayaan realitas. Padahal sebenarnya teater bisa menjadi media potensial dalam menanamkan nilai-nilai kultural, merangsang kepekaan rasa terhadap lingkungan sekitar, dan memberikan ruang kontemplatif agar senantiasa kritis terhadap realitas sosial.

Teater dapat memberikan ruang pengalaman yang sangat kaya bagi siswa dalam menghadapi kompleksitas kehidupan manusia. Para siswa dapat mengenal pelbagai macam tokoh beserta variasi watak dan kondisi psikologisnya. Mengenal pelbagai macam latar belakang peristiwa dan lingkungan sosialnya. Mengenal pelbagai macam problematika kehidupan manusia. Mengenal dan memahami kekayaan nilai, rasa, norma, dan moral sehingga dapat menanamkan rasa arif dan bijaksana dalam diri siswa kemudian mereka bisa merefleksikannya dalam kehidupan nyata.

Seni teater semestinya dipandang bukan sekedar seni pertunjukan. Melainkan, sebuah arena ilmu pengetahuan berikut sarana mengekspresikannya di mana di dalamnya sudah terkandung nilai-nilai dan rasa. Jika demikian, senada dengan yang dikatakan Afrizal Malna maka tidak menutup kemungkinan terciptanya teater biologi, teater fisika, teater matematika, teater bahasa daerah, teater bahasa inggris, teater sejarah, dll. Lewat media teater segala ilmu pengetahuan tidak sekedar dapat diserap oleh siswa melainkan bisa dirasakan, dihayati, dan dilakukan melalui tubuh dan jiwanya. Seharusnya kurikulum sekolah diformulasikan demikian sehingga ilmu pengetahuan tidak sekedar hapalan karena hapalan merupakan sebentuk kegiatan bernalar paling rendah. Ilmu pengetahuan menjadi sesuatu yang banal ketika siswa hanya menumpahkannya di atas lembar soal ujian.

* Sutradara dan Pendiri Jalan Teater

Tidak ada komentar:

Posting Komentar