Labels

Senin, 02 September 2013

BAYANG-BAYANG KLISE DALAM “JAKARTA KARIKATUR”

Oleh: Sahlan Bahuy*

Layar merah dibuka. Beberapa pemain membeku di segala penjuru. Musik menggebrak. laku pemain seketika bergerak. Pelbagai aktivitas tumpah ruah. Di pelataran rumah, Mat Entong (Faris As Jaka) tampak berlatih silat bersama muridnya. Mpok Mimin (Diah Lestari) sibuk menggelar dodol, dagangannya, sambil mengurus Juleha (Kartika Christiani Manurung), anak bungsunya yang sulit diatur. Warga sekitar sibuk hilir mudik. Dialog-dialog berhamburan mengabaikan informasi namun bergumul menciptakan peristiwa hiruk-pikuk, menciptakan ritus. Sebuah ritus pagi hari di sebuah sudut Ibu kota. Demikian, “Jakarta Karikatur” karya/sutradara Yustiansyah Lesmana, yang dipentaskan 12 Desember 2012 di Gedung Teater Kecil TIM dibuka dengan gimmick potret ritus hiruk-pikuk.

Jakarta dengan keanekaragaman sub-kultur yang berserakan, begitu pula yang terjadi di komunitas Teater Ghanta (UNAS) dengan plural kultural anggotanya menjadi titik embarkasi wacana dalam merespons sub tema Festival Teater Jakarta (FTJ) 2012, yakni “Membaca Tradisi”. Fenomena plural kultural menjadi teks yang dipungut dan dipilah kemudian disusun kembali menjadi sebuah alur yang mempunyai tensi dramatik dalam bingkai suasana betawi. Sebuah proses kreatif yang menegasikan ritus tulisan (membuat naskah) dan memberikan ruang ingatan kolektif pemain untuk bekerjasama membangun sebuah peristiwa. Seperti yang diakui Yustiansyah Lesmana (Tian), sutradara sekaligus empunya ide cerita, hanya menawarkan plot cerita dan aktorlah yang punya otoritas menciptakan peristiwa lewat rentetan pelisanan. Lakon “Jakarta Karikatur” ingin mengafirmasi bahwa tradisi lisan di negeri ini lebih kuat dibandingkan tradisi tulisnya. Tradisi lisan memungkinkan untuk bisa berkelindan di pelbagai wacana.

Cerita diawali ketika Jufran (Adilof Firdaus) ingin kuliah di jurusan sejarah. Orang tuanya, Mat Entong dan Mpok Mimin, terpaksa mendirikan lima rumah kontrakan di atas tanah terakhir miliknya demi masa depan anaknya. Para perantau datang dari pelbagai daerah mengontrak di sana; Saiful Bahri (Billie Triananto), Sugimin (Fembi), Asep (Wawan Hermawan), Alex (Andreas Agus S), dan Ucok Sitanggang (Chandra Lumbangaol). Keluarga baru tercipta. Waktu terus berlalu, Jufran pun tidak seperti dulu. Jufran terlibat perdebatan dengan ayahnya perihal sejarah. Akibatnya Jufran yang dapat beasiswa sejarah ke Belanda malah diusir oleh Mat Entong. Jufran menghilang. Mat Entong terkena penyakit stroke akibat memikirkan anaknya yang tak kunjung pulang. Mpok Mimin kebingungan, penghasilan jualan dodol dan rumah yang dikontrakan tidak mampu memenuhi biaya pengobatan suaminya. Dalam keadaan terdesak ia berencana menjual rumah kontrakan. Meyling (Jima Farah), teman Jufran, yang selama ini menaruh perhatian padanya datang membantu. Meyling meminta ayahnya, Kok Ocang (Yulis Babs), untuk membeli rumah kontrakan Mpo Mimin. Kok Ocang membelinya kemudian menyulap rumah kontrakan itu menjadi apartemen yang menjulang. Beberapa waktu berselang, Jufran pun pulang. Perubahan terjadi di kampung halaman. Pada saat itulah Jufran dipertemukan kembali dengan Meyling. Keduanya melepas rindu dan diam-diam mereka telah menanam benih asmara. Kemudian kisah pun diakhiri dengan pernikahan Jufran dan Meyling.

Potret Agresi Kultural
Problematika wacana yang diangkat menyiratkan pergulatan sebuah masyarakat yang sangat kompleks. Masyarakat yang direpresi oleh aneka-ragam agresi kultural; agresi sistem pendidikan, agresi mata pencaharian, dan agresi bahaya laten akulturasi. Berawal dari keinginan Jufran kuliah di jurusan sejarah yang berbiaya mahal, memaksa Mat Entong mengorbankan tanah terakhirnya untuk dibangun rumah kontrakan. Pohon-pohon di sekitar rumah pun ditumbangkan. Pada tahap ini secara ambivalensi keluarga Jufran telah mengalami agresi kultural. Sistem pendidikan yang mestinya berkorespondensi harmonis dengan nilai-nilai kultural telah membentangkan jaraknya sangat jauh karena terjadinya merkantilisme pendidikan. Pendidikan tidak lagi duduk berdampingan dengan nilai kultural dalam memanusiakan manusia.

Tidak lama berselang para perantau datang mencari peruntungan di tanah seberang, bernama Jakarta. Ia adalah Saiful Bahri perantau dari Minang yang mengadu nasib dengan berjualan baju; Alex perantau dari Papua bertarung nyali menjadi debt collector; Sugimin seniman dari Jawa mencari nafkah dengan kesenimanannya; Ucok Sitanggang perantau dari Batak mengais rejeki dengan jasa tambal ban; dan Asep perantau dari Sunda mengadu keberuntungan berjualan telor asin. Kultur sistem ekonomi yang tersentralisasi berandil besar menciptakan eskalasi urbanisasi. Para perantau itu masing-masing mewakili masyarakat agraris yang mengalami perubahan sosial. Perubahan sosial dari masyarakat agraris -yang bersifat menetap- ke masyarakat ekspansionistis. Tapi, siapa oknum yang mengubah itu? Dan untuk siapa sebenarnya perubahan itu? Untuk beberapa pebisnis mungkin akan melihat gejala naiknya nilai ekonomis suatu daerah. Tapi untuk siapa nilai ekonomis itu naik? bagaimana dengan nilai-nilai lainnya? Nilai-nilai kultural yang semakin gampang digadaikan. Para perantau itu terhimpit di garis kemiskinan. Sedangkan kampung halaman telah mengubur impian. Kultur sentralisasi ekonomi menciptakan ketimpangan struktural antara kota besar dan daerah yang terbelakang.

Peristiwa pembangunan apartemen di tanah Mat Entong secara simbolik menyembulkan pengukuhan kultur modernisasi. Bule-bule bergentayangan menghuni apartemen. Sebuah kultur yang bisa menjerat masyarakatnya ke dalam gaya hidup materialistik, konsumerialistik, dan individualistik. Rentetan fenomena itu merupakan bahaya laten dari agresi akulturasi. Kultur masyarakat yang dulunya ramah tamah, gotong-royong dan sopan sangat potensial bisa berubah. 

Kekuatan lakon “Jakarta Karikatur” terletak dari tawaran wacana ikhwal agresi kultural yang melanda Jakarta. Seandainya wacana itu dielaborasi kedalamannya tentu akan sangat potensial mengoyak ruang-ruang kontemplatif penonton. Menciptakan katarsis terhadap realitas yang terjadi. Dan, tidak menutup kemungkinan mampu mencapai pengalaman estetis yang lebih sublim. 

Lakon ini menyimpan masalah yang rumit dan kompleks. Menguliti realitas masyarakat yang mengalami ambivalensi akibat himpitan agresi kultural. Strategi pemecah problematika kompleks itu disiasati sutradara dengan pemilihan gaya pemanggungan yang cair dan ringan sehingga membuat penonton terpingkal-pingkal sepanjang pertunjukan. Kesulitan mencerna rangkaian peristiwa tidak terjadi. Gelak tawa penonton terus berirama. Panggung menjadi arena tontonan bertendensi pada hiburan.

Strategi seperti itu cukup beresiko, bisa menjebak pada pertunjukan yang banal dan profan. Jika komedi menjadi orientasi dalam membangun peristiwa, maka sebenarnya penciptaannya bisa dengan pelbagai cara yang kaya. Dalam lakon ini usaha itu tidak terjadi sehingga dalam beberapa adegan mengabaikan kausalitas dan mereduksi kekuatan karakter tokohnya, misalnya: ketika pertemuan pertama Saiful Bahri, Alex dan Ucok Sitanggang dengan Mat Entong selalu saja ada adegan perkelahian yang tak kunjung terjadi, adegan itu semata-mata hadir untuk menciptakan kelucuan, tidak dibangun oleh konflik yang jelas. Benturan watak dan kultur yang berbeda tidak tampak. Benturan masih di wilayah permukaan, masih sekedar logat bicara yang beragam. Namun, berbeda ketika interaksi antara Asep dan Mat Entong, pertemuan dua karakter dari dua kultur yang berbeda sangat terasa. Bayangkan, Mat Entong yang berwatak keras berhadapan dengan watak kabayanisasi yang menginternalisasi tubuh asep, tubuh yang lembut dan lugu. Komedi tidak selalu melulu dihadirkan dengan sesuatu yang lucu, melainkan bisa juga dibangun dengan sesuatu yang paling tragis. Di berita sering kita jumpai fenomena itu, misalnya: pejabat pajak yang dibui bisa dengan mudah tamasya ke Bali atau Bupati terpilih mesti dilantik di jeruji besi. Peristiwa seperti itu menjadi komedi walaupun sebenarnya mereka tidak sedang melucu. Seandainya strategi penciptaan peristiwa semacam itu hadir, tidak menutup kemungkinan titik kulminasi pertunjukan akan terbangun. Jika keberagaman penyiasatan membangun peristiwa komedi tidak terjadi pada akhirnya kritik sosio-kultural akan kesulitan mendapat tempatnya di ruang-ruang kontemplatif yang lebih subtil.   

Bayang-bayang Klise
Lakon “Jakarta Karikatur” merupakan sebuah pertunjukan yang dihantui bayang-bayang klise dan stereotype baik dari segi cerita maupun teknik penceritaan (pemanggungan). Cerita yang membentangkan plot linear, tanpa konflik yang rumit, kisah percintaan harfiah, kisah yang dijajah keinginan penontonnya dan happy ending tak ubahnya cerita populer yang sering kita jumpai dalam tontonan sinetron, film Hollywood maupun Bollywood. Pun, strategi penceritaan yang menyandarkan hiburan belaka pada umumnya sudah sering kita jumpai dalam tontonan televisi, seperti acara komedi Opera Van Java.

Sutradara mesti berani keluar dari kungkungan klise itu. Teater mesti terhindar dari tontonan yang banal dan profan. Pertunjukan yang berpijak pada tradisi lisan ini jangan sampai terjebak pada ritual repetisi kaku dan klise, seperti halnya lenong yang perlahan mulai terancam habitatnya. Jika itu terjadi, tradisi sedang menggali kuburannya sendiri. Bahaya itu tidak dapat terelakan sejauh masyarakat pendukung tradisi tidak melakukan penafsiran ulang.

Tanpa menafikan fungsi dari sebuah hiburan. Hiburan pun memang banyak faedahnya. Dalam hiburan orang mengalami perasaan yang sama tanpa perbedaan status sosial. Hiburan dapat menciptakan kemerdekaan, kemerdekaan akan melahirkan komunikasi, dan komunikasi mampu merangsang refleksi dalam kehidupan. Namun, dominasi hiburan pun tidak elok jika banyak mereduksi pendidikan nilai. Nilai tidak perlu disampaikan dengan cara khotbah melainkan ditampilkan dalam capaian tingkat pengalaman estetis atau rasa. Seperti di adegan terakhir dalam pernikahan Jufran dan Meyling, jika tanpa perayaan berlebihan berhujan robekan kertas -meminjam nukilan Afrizal Malna- maka penonton akan pulang membawa puisi, bukan menyisakan sampah. Tabik!

* Sutradara dan Pendiri Jalan Teater.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar