(Ulasan Pementasan “Aruk” Teater Cupido SMA 1 Sumber Jaya Lampung)
Oleh: Sahlan Bahuy*
Tidak dapat dipungkiri bahwa Indonesia memiliki keanekaragaman budaya yang sangat kaya. Oleh karena itu, upaya pelestarian, perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan potensi masing-masing budaya lokal memerlukan usaha yang serius. Pengenalan bahkan perawatan terhadap budaya-budaya lokal harus dilakukan secara berkesinambungan dari generasi ke generasi. Salah satu strategi untuk mewujudkan upaya itu diantaranya lewat media teater.
Barangkali itulah misi dilaksanakannya Festival Nasional Teater Remaja (FNTR) yang diselenggarakan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan pada tanggal 2-7 Juli 2013 di Gedung Kesenian Sunan Ambu STSI Bandung. Para penggiat teater berbondong-bondong menggali akar budaya lokal kemudian ditransformasikan ke dalam bentuk pertunjukan teater.
Salah satu yang menarik untuk diapresiasi adalah peserta dari provinsi Lampung. Di tengah ancaman kepunahan, Teater Cupido SMA Negeri 1 Sumber Jaya berupaya mengangkat kembali salah satu warisan budaya lokalnya yakni warahan ke dalam pertunjukan teater. Lakon yang dipentaskan berjudul “Aruk” karya Iswadi Pratama (6/7). Cerita ini diangkat dari tradisi lisan cerita rakyat Lampung, Warahan -Sanak Akhuk-, yakni salah satu bentuk sastra tutur yang berfungsi sama seperti dongeng.
Lakon “Aruk” ini menceritakan tokoh Aruk, anak yang lugu, polos dan jujur. Aruk senantiasa menuruti perintah emaknya seperti mencari ikan dengan memasang bubu di sungai. Tapi karena Aruk anak yang lugu, selalu saja salah melakukan pekerjaannya. Karena kesal, disuruhlah Aruk untuk belajar ke tempat pamannya di kota, agar kelak menjadi orang yang lebih berguna. Setelah belajar dengan pamannya, Aruk kemudian mendaftar jadi polisi. Pelbagai ujian telah ditaklukan namun ia menolak mengikuti ujian menembak. Akhirnya, cita-cita menjadi polisi gagal digapai. Waktu berganti. Aruk telah memiliki istri. Bermodal ketenaran dan pandai bicara, Aruk terpilih menjadi pamong desa. Segala upaya telah dicoba membangun kampung agar sejahtera, namun warga mulai bosan karena setiap hari agendanya hanya rapat saja. Kemudian Aruk menggugat pada pejabat setempat, namun malang sebelum menyampaikan pendapat ia ditangkap.
Struktur cerita “Aruk” ini sangat sederhana. Semua peristiwa terfokus pada semua yang dilakukan dan dialami tokoh Aruk. Walau sederhana, segala peristiwa yang dialami Aruk mengandung sebuah makna dan gagasan terutama bagaimana mengarifi kehidupan atau bagaimana menjalani kehidupan dengan arif. Kearifan hidup kadang diletakan dalam kontras antara keterbatasan manusia dan kompleksitas dunia yang tak terbatas.
Strategi pemanggungan yang dipilih adalah menggabungkan konsep teater rakyat dengan bentuk-bentuk teater modern. Semua pemain hadir di panggung dan masing-masing memiliki peran ganda, menjadi aktor sekaligus pemusik. Area bermain berlangsungnya peristiwa terjadi di bagian depan panggung, sedangkan bagian panggung belakang berderet pemain memakai kaca mata hitam sambil memegang instrumen musik. Bentuk teater modern terlihat dengan kehadiran naskah, identifikasi watak tokoh, kostum, artistik, penanda perubahan latar ruang dan waktu, dan aktualitas cerita.
Konsep ini cukup efektif mengikis jarak antara pemain dan penonton. Sehingga peristiwa yang terjadi di panggung menjalin hubungan sangat akrab dengan penontonnya. Hampir sepanjang pertunjukan kisah Aruk mampu membuat penonton terpingkal-pingkal.
Secara menyeluruh lakon ini cukup menarik untuk diapresiasi. Panggung menghidangkan konfigurasi komedi yang menyeret penonton pada kelucuan. Keterampilan akting sudah dilampaui dengan baik oleh aktor-aktornya. Terutama keaktoran yang paling menonjol dimainkan oleh Rosnaeni yang memerankan tokoh Emak. Ia berhasil menjelmakan karakter seorang ibu yang mempunyai seorang anak yang lugu, polos dan jujur. Ia selalu dihadapkan pada kondisi dilematis; di satu sisi ia selalu dibuat kesal oleh anaknya tetapi di sisi lain ia sangat menyayangi anaknya. Kondisi dilematis antara memendam marah dan menunjukan kasih sayang menjadi adegan yang kerap mengundang gelak tawa penonton.
Pertunjukan “Aruk” sepertinya berorientasi menciptakan hiburan. Sutradara dengan bernas menciptakan adegan komedi cerdas. Komedi yang lahir dari tatanan logika peristiwa. Bukan komedi slapstick seperti umumnya lawakan televisi yang senantiasa mengumbar kata-kata jorok dan kasar.
Namun, bingkai komedi ini menemukan beberapa permasalahan: pertama, aliran alur peristiwa seringkali tersendat oleh pergantian setting panggung yang lama. Padahal sebenarnya pergantian setting bisa menjadi bagian pertunjukan tanpa teknik lampu fade in/fade out karena sedari awal panggung sudah dibiarkan “telanjang”, penonton tanpa terganggu bisa melihat peristiwa di bagian depan panggung sekaligus pergantian kostum dan pergantian peran di bagian belakang panggung. Kedua, pemeran tokoh Paman (Suheri) tampak belum maksimal. Dialog-dialog yang diemban tokoh paman belum berhasil dihidupkan. Adegan pertemuan paman dan Aruk menjadi adegan yang sedikit menjemukan. Seandainya subtext dialog paman dilontarkan secara tepat tentu akan berkontribusi menciptakan komedi. Ketiga, pemeran tokoh Aruk (Akas Jatmiko) juga mengalami permasalahan dalam konsistensi watak dan gestikulasi tubuhnya. Walaupun alur cerita terus bergerak, namun karakter Aruk tidak signifikan berkembang, mestinya tetap konsisten dalam keluguan dan kepolosan. Inkonsistensi watak terlihat ketika Aruk telah menjadi pamong desa. Aruk telah terjebak pada hal-hal yang formal dan normatif umumnya manusia, sehingga menegasikan karakter dasarnya sebagai manusia yang lugu. Seandainya keluguan Aruk dipertahankan seperti halnya ketika berinteraksi dengan Emaknya, tentu di adegan akhir mampu menciptakan ruang kontemplasi, dengan lirih Aruk mengucapkan dialog berulang-ulang “Kenapa kalian selalu saja menertawakan aku?”. Jika direnungkan, ketika penonton menertawakan Aruk sebenarnya mereka sedang menertawakan dirinya sendiri, karena telah merasa superior pada logikanya masing-masing. Karena Aruk bukanlah tokoh yang pandir melainkan tokoh lugu yang hidup di tengah dunia yang penuh kepentingan.
Sebagai media pelestarian budaya lokal dalam hal ini tradisi lisan (Warahan), teater semestinya tidak lagi ditempatkan sekedar membuat tontonan melainkan dijadikan arena didaktis bagi para pendukungnya terhadap nilai-nilai lokalitas yang terkandung di dalamnya.
Penggalian Warahan “Sanak Akhuk” sebagai pelisanan pertama/hipogram dari lakon “Aruk” mestinya dikaji secara maksimal sebagai bahan perbandingan antara pelisanan pertama dan pelisanan kedua (naskah). Kerja pertama teater seperti itu bisa menjadi sumber ilmu pengetahuan. Di dalamnya, tidak hanya mengenal cerita, mitos, legenda, dan dongeng, tetapi di dalam tradisi lisan juga bisa memahami kehidupan komunitasnya, mulai dari kearifan lokal, sistem nilai, pengetahuan tradisional, sejarah, hukum, adat, pengobatan, sistem kepercayaan dan religi, astrologi, serta berbagai hasil seni.
Jika dielaborasi dengan intens, kearifan lokal di dalam Warahan mampu menyadarkan pentingnya kehidupan multikultural. Cerita-cerita yang terkandung di dalamnya bisa mengajarkan para pendengarnya/penontonnya, memecahkan masalah atau teka-teki, menyampaikan tradisi, menyokong jati diri kebudayaan, dan tak kalah penting memberikan hiburan.
Sebaiknya para pemain terlebih dahulu memahami cerita Aruk tidak hanya dari segi denotasi. Tokoh Aruk bukanlah prototipe manusia mana pun. Ia hanya tokoh alegori. Ia hanya manusia gagasan yang diciptakan pengarang sebagai metafora. Jika semua itu sudah tuntas digali oleh para pemain maka tidak menutup kemungkinan peristiwa yang hadir di panggung mampu menyadarkan penonton bahwa cerita Aruk ini tidak sekedar hiburan tetapi juga mewartakan makna-makna tertentu. Atau, setidaknya berpotensi membuat peristiwa dengan cara ungkap estetika yang lebih kaya.
Warahan bukanlah peninggalan masa lalu yang tidak ada relevansinya dengan masa kini. Ia berperan penting sebagai salah satu stimulus bagi pengembangan pendidikan anak usia dini. Warahan mampu membantu anak didik, terutama di usia dini dalam mengembangkan mimpi dan karakter mereka saat dewasa.
Terlepas dari segala kekurangan, Lakon “Aruk” tetap menyimpan kekayaan pemaknaan. Niat luhur yang patut diapresiasi dalam pertunjukan “Aruk” adalah teater berusaha dijadikan medan perjuangan pelestarian budaya lokal di tengah ancaman agresi budaya urban. Teater mampu memberi kontribusi dalam pelestarian budaya lokal jika nilai-nilai lokalitas tidak sekedar hiasan yang kehilangan kedalaman maknanya. Oleh karena itu, Warahan masih harus terus diperjuangkan di tengah ancaman kepunahan. Tabik.
*Aktor dan sutradara teater asal Cianjur. Bergiat di Teater Lakon dan ASAS. Pendiri Jalan Teater.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar