(Disarikan
dari buku Teater Kaum Tertindas karya Augusto Boal, terjemahan Landung
Simatupang, terbitan Yayasan Kelola, Maret 2013)
Puitika
Rakyat Tertindas
Awalnya teater
adalah ritual, nyanyian puja-puji; rakyat leluasa dan merdeka menyanyikannya di
tempat terbuka. Karnaval. Pesta rakyat
Kemudian,
kelas-kelas yang berkuasa merebut kepemilikan teater dan membangun dinding
pemisah. Pertama, mereka membagi rakyat, memisahkan aktor dengan penonton:
orang yang berakting dan orang yang menonton- pesta usailah sudah! Kedua, di
antara aktor-aktor itu, mereka memisahkan antara protagonist dan massa.
Indoktrinasi koersif dimulai!
Sekarang, rakyat
tertindas membebaskan diri dan sedang bergerak menjadikan teater milik mereka
lagi. dinding-dinding pemisah harus dirobohkan.
Pertama, penonton mulai berakting, bertindak lagi: teater terselubung,
teater forum, teater citra, dan lain-lain. Kedua, hak milik pribadi para tokoh
perlu disingkirkan oleh satu-persatu aktor: Sistem “Joker”. (Hal. 135)
Untuk memahami Puitika
Kaum Tertindas ini haruslah diingat sasaran utamanya: mengubah rakyat-
“penonton”, para makhluk pasif dalam fenomen perteateran itu - menjadi subjek,
menjadi aktor, menjadi pe(ng)ubah tindakan atau laku dramatik. Saya harap
perbedaan-perbedaan itu tetap jelas. Aristoteles mengajukan suatu puitika di
mana penonton mendelegasikan kuasa kepada tokoh lakon sehingga tokoh itu dapat
bertindak dan berpikir mewakili penonton. Brecht mengajukan puitika yang di
situ penonton mendelegasikan kuasa kepada tokoh lakon sehingga dapat bertindak
sebagai wakil penonton, tetapi penonton masih punya hak berpikir sendiri, yang
sering berlawanan dengan tokoh lakon. Dalam puitika Aristoteles terjadi
“katarsis”, dalam puitika Brecht, kesadaran kritis tergugah. Sedangkan puitika
kaum tertindas berpusat pada tindakan itu sendiri: penonton tidak
mendelegasikan kuasa apa pun kepada tokoh lakon (aktor) untuk bertindak maupun
berpikir mewakilinya. Sebaliknya, penonton sendiri mengambil peran protagonist,
mengubah laku dramatic, menguji coba solusi, membahas rencana-rencana perubahan
– singkatnya, penonton melatih diri untuk melakukan tindakan nyata. Dalam hal
ini teater sendiri barangkali tidaklah revolusioner, tetapi jelas-jelas
merupakan latihan atau gladi revolusi. Penonton yang dibebaskan, dimerdekakan
sebagai pribadi yang utuh dan sehat, mulai bertindak sepenuh semangat. Tak jadi
soal bahwa tindakan itu fiksional; yang penting ialah bahwa itu adalah
tindakan, laku, aksi yang nyata! (Hal. 138)
Rancangan
transformasi dari penonton menjadi aktor ini bisa disistematisasikan dalam
garis besar yang mencakup empat tahap berikut:
1.
Mengenal tubuh:
serangkaian latihan agar seseorang mengenal tubuhnya, keterbatasan dan kemungkinannya, distorsi sosial dan kemungkinan rehabilitasinya.
2.
Menjadikan tubuh
ekspresif: serangkaian permainan untuk mendorong orang mulai mengungkapkan
diri dengan tubuh, meninggalkan bentuk-bentuk ekspresi lain yang lazim dan
sudah terbiasakan.
3.
Teater sebagai bahasa:
orang mulai mempraktikkan teater sebagai bahasa yang hidup dan hadir sekarang,
bukan sebagai suatu produk rampung yang memampangkan citra-citra dari waktu
lampau. Taraf kesatu: dramaturgi serempak: para penonton menulis secara
bersamaan dengan akting para aktor. Taraf kedua: teater citra: para
penonton langsung campur tangan, “berbicara” lewat citra-citra yang diciptakan
oleh tubuh para aktor. Taraf ketiga: teater forum: para penonton
langsung campur tangan dalam laku dan bertindak.
Tahap ini
terbagi dalam 3 bagian, masing-masing merupakan taraf partisipasi langsung
penonton dalam pergelaran. Penonton didorong untuk campur tangan dalam
tindakan, melepaskan kondisinya sebagai objek dan sepenuhnya berperan sebagai
subyek. Kedua tahap terdahulu adalah persiapan, yang terpusatkan pada bagaimana
para peserta menggarap dan menggunakan tubuh mereka. Sekarang pada tahap ini
fokusnya ialah tema yang hendak dibahas, dan melanjutkan transisi dari
kepasifan ke tindakan, aksi.
1.
Dramaturgi
Serempak/Simultan
Taraf ini
mengajak penonton untuk ikut campur tangan tanpa harus hadir secara fisik di
“panggung”. Ini adalah soal mempergelarkan satu adegan pendek (10 s.d 15
menit). Para aktor dapat berimprovisasi dengan bantuan naskah yang sudah
disiapkan sebelumnya, dan dapat juga mengubah adegan itu secara langsung.
Bagaimanapun halnya, teatrikalitas pergelaran akan baik jika pengusul tema ada
di antara penonton. Sesudah memulai adegan, para aktor mengembangkannya hingga
satu titik di mana masalah utama mencapai krisis dan membutuhkan jalan keluar,
solusi. Pada saat itulah para aktor menghentikan pergelaran dan meminta
penonton mengusulkan solusi. Para aktor segera mengimprovisasikan solusi-solusi
yang diajukan, dan penonton punya hak untuk campurtangan, membetulkan
tindakan-tindakan atau kata-kata para aktor yang wajib menuruti secara ketat
intruksi penonton. Demikianlah, selagi penonton “menuliskan” karya lakon
mereka, para aktor mempergelarkannya seketika itu juga. Pikiran-pikiran
penonton didiskusikan secara teatrikal di panggung dengan bantuan para aktor.
Semua solusi, saran, dan pendapat dicetuskan dalam bentuk teatrikal. Diskusi
itu sendiri tidak harus hanya berbentuk kata; justru hendaknya dihasilkan
dengan semua elemen lain dari ekspresi teatrikal itu pula.
Bentuk teater
seperti ini menciptakan kegairahan besar di kalangan peserta, dan mulai
menggempur lebur tembok pemisah antara aktor dan penonton. Ada yang “menulis”
dan ada orang lain yang mewujudkannya dalam acting, hampir secara bersamaan.
Penonton merasa bahwa mereka dapat campurtangan dalam tindakan/laku. Tindakan atau
aksi atau laku itu tak lagi disajikan secara deterministik, sebagai sesuatu
yang “harus begitu, tak bisa lain”, seolah seperti nasib. Manusia adalah nasib
manusia. Maka manusia-yang-penonton adalah pencipta manusia-yang-tokoh. Segala
sesuatu dapat dikritik, boleh dikoreksi. Semuanya dapat diubah, dan perubahan
itu dapat dilakukan begitu ada pemberitahuan mendadak: para aktor harus selalu
siap menerima, tanpa protes, tindakan apa pun yang diusulkan penonton; mereka
harus mempergelarkannya apa adanya agar muncul pemandangan yang hidup tentang
akibat dan titik-titik lemahnya. Aktor tidak mengubah fungsi utamanya: dia
tetap meneruskan menjadi penafsir. Yang berubah ialah objek penafsirannya. Jika
sebelumnya yang ditafsirkan aktor adalah pengarang yang berkerja sendirian di
kamar terkunci, yang didatangi ilham ilahiah yang mendiktekan teks yang utuh
dan selesai, sekarang, kebalikannya, yang harus ditafsir aktor adalah massa
penonton, kelompok tetangga, sekolah, kampus, serikat, barisan tani, buruh,
atau apa pun; yang harus diungkapkan aktor adalah pemikiran kolektif warga
masyarakat, lelaki maupun perempuan. Aktor tak lagi menafsir individu dan mulai
menafsir kelompok. Ini jauh lebih sulit dan sekaligus jauh lebih kreatif.
2.
Teater Citra
Di sini penonton
harus berperanserta dengan lebih langsung. Penonton diajak mengungkapkan
pandangan mereka tentang tema tertentu yang menjadi kepentingan bersama dan
yang hendak dibahas para peserta. Tema itu mungkin penting dan luas cakupannya,
abstrak- misalnya: imprealisme. Peserta diminta mengungkapkan pendapatnya
tetapi tanpa kata melainkan hanya menggunakan tubuh-tubuh peserta lain. Beserta
peserta lain itu si peserta “mencipta” sekelompok “patung” tertentu yang
mengungkapkan dengan jelas pandangan dan perasaan si peserta. Peserta harus
menggunakan tubuh-tubuh para teman seolah dia seorang pematung dan
peserta-peserta lain itu terbikin dari tanah liat. Dia harus menentukan posisi
setiap tubuh hingga detil-detil terkecil ekspresi wajahnya. Dia dilarang
berbicara dalam situasi apa pun. Paling kuat, yang boleh ia lakukan adalah
memperlihatkan dengan ekspresi wajahnya sendiri apa yang dia ingin agar
diperagakan oleh si penonton-yang-patung. Setelah mengatur dan menata kelompok
patungnya itu, dia diperbolehkan berdiskusi dengan peserta-peserta lain untuk
mengetahui apakah semuanya setuju dengan pendapatnya yang “diaptungkan” itu.
dapat dilakukan gladi untuk modifikasi: penonton punya hak memodifikasi patung
secara keseluruhan maupun detil tertentu.
Ketika akhirnya
tercapai citra yang diterima oleh semua, penonton-yang-pematung itu diminta
memperlihatkan bagaimanakah ia ingin mengungkapkan tema itu. Jelasnya, dalam
pengelompokan pertama diperlihatkan citra factual, sedangkan
pengelompokan kedua memperlihatkan citra ideal. Akhirnya dia diminta
memperlihatkan citra transisi, untuk menunjukan bagaimana melintas dari satu
realitas ke realitas lain dimungkinkan. Dengan kata lain, bagaimanakah cara
melakukan perubahan, transformasi, revolusi, atau istilah apa pun yang akan
digunakan. Demikianlah, dimulai dengan pengelompokan “patung” yang diterima
oleh semua sebagai sesuatu yang representative untuk sebuah situasi nyata,
setiap orang diminta mengusulkan cara untuk mengubahnya.
Di sini
persoalannya ialah memberikan pendapat, tetapi tanpa kata. Setiap peserta punya
hak bertindak selaku “seniman pematung” dan memperlihatkan bagaimana
pengelompokan atau pengaturan itu dapat diubah melalui pengaturan ulang atas
berbagai daya, demi tercapainya citra ideal. Masing-masing mengungkapkan pendapat
melalui citraan.
Bentuk teater
citra ini tak pelak merupakan salah satu di antara yang paling menggairahkan,
karena begitu gampang dilaksanakan dan karena kemampuannya yang luar biasa
untuk menjadikan pikiran kasat mata. Ini terjadi berkat dihindarinya penggunaan
idiom bahasa. Setiap kata memiliki arti denotative yang sama untuk semua orang,
tetapi juga punya konotasi yang unik untuk setiap individu. Jika saya
mengucapkan “revolusi”, jelas bahwa setiap orang akan mengerti bahwa saya
sedang berbicara tentang perubahan radikal, tetapi pada saat yang sama setiap
orang akan membayangkan revolusi- “nya sendiri”, yaitu konsepsi pribadinya
tentang revolusi. Tetapi jika saya harus menata sekelompok patung yang akan
menyampaikan pengertian “revolusi saya”, di situ tidak akan ada dikotomi antara
denotasi dan konotasi. Citra itu mensintesiskan konotasi individual dengan
denotasi kolektif. Dalam gubahan saya yang menyampaikan “revolusi” itu, para
pematung sedang melakukan apa? Memegang senjata atau kartu pemilih? Apakah
sosok-sosok rakyat bersatu dengan bertarung melawan sosok-sosok yang mewakili
musuh bersama? Atau apakah sosok-sosok rakyat itu bercerai-berai, atau
memperlihatkan ketidaksepakatan? Konsepsi saya tentang “revolusi” akan menjadi
jelas jika, alih-alih berbicara, saya memperlihatkan yang saya pikirkan dengan
citra.
3.
Teater Forum
Inilah taraf
terakhir dan di sini peserta harus campur tangan secara menentukan dalam
tindakan dramatic dan mengubahnya. Prosedurnya sebagai berikut: pertama, para
peserta diminta menyampaikan cerita yang memuat suatu masalah politik atau
social yang sulit dicarikan solusinya. Kemudian direka dan digladikan suatu
sketsa jenaka berdurasi 10 s.d 15 menit, yang memotret masalah itu beserta
pemecahannya yang nanti akan didiskusikan; kemudian sketsa itu dipergelarkan.
Ketika pergelaran sketsa tadi sudah tamat, para peserta ditanya apakah mereka
setuju dengan pemecahan masalah yang disajikan. Sekurangnya sebagian akan
menjawab “tidak”. Pada titik ini diberikan penjelasan bahwa adegan tadi akan
dipergelarkan sekali lagi, persis seperti pergelaran yang pertama. Tetapi
sekarang siapa pun di antara peserta punya hak untuk menggantikan aktor yang
mana pun, dan membawa tindakan atau laku kea rah menurutnya paling tepat. Aktor
yang digantikan itu minggir, tetapi tetap siap melanjutkan bermain lagi pada
saat si peserta sudah ingin menghentikan intervensinya. Aktor-aktor lain harus
menghadapi situasi baru yang tercipta, segera menanggapi semua kemungkinan yang
tersaji oleh situasi baru itu.
Peserta yang
memutuskan melakukan campurtangan harus melanjutkan tindakan-tindakan fisik
dari aktor yang digantikannya; dia tidak diperbolehkan naik ke panggung dan
bicara, bicara, dan bicara terus: dia harus melaksanakan jenis kerja atau
kegiatan yang sama dengan yang dilakukan oleh aktor yang digantikannya.
Kegiatan teatrikalnya harus jalan terus dengan cara yang sama, yaitu di
panggung. Siapa pun boleh mengusulkan solusi apa saja, tetapi itu harus dikerjakan
di panggung, dengan bekerja, berakting dan bukannya berongkang-ongkang kaki di
kursi penonton yang nyaman. Acapkali seseorang sangat revolusioner saat berada
di forum public dia membayangkan dan mendukung serta mendorong
tindakan-tindakan revolusioner dan heroic; sebaliknya, orang itu sering
menyadari bahwa segala sesuatu tidaklah begitu gampang saat dia sendiri harus
melaksanakan yang disarankannya kepada orang lain itu.
Di sini efek
katarsis sepenuhnya dihindari. Kita terbiasa dengan lakon-lakon yang para
tokohnya membuat revolusi di panggung, dan di tempat duduknya para penonton
merasa menjadi orang-orang yang revolusioner yang gagah dan jaya. Mengapa
membuat revolusi dalam realitas, jika kita sudah melakukan itu dalam teater?
Tetapi hal demikian tidak terjadi di sini: latihan merangsang dipraktikkannya
tindakan atau laku dalam realitas. Teater forum, sama halnya dengan
bentuk-bentuk lain dari teater rakyat,
bukannya mengambil sesuatu dari penonton, melainkan membangkitkan dalam diri
mereka kehendak untuk mempraktikkan laku atau tindakan yang sudah dilatihkan
dalam teater. Pelaksanaan bentuk teatrikal ini menciptakan semacam kegelisahan
tentang ketidaktuntasan, yang mencari pemenuhan lewat tindakan atau laku nyata.
4
.
Teater sebagai
wacana/diskursus: bentuk-bentuk sederhana di mana aktor-penonton
menciptakan “spektakel” selaras dengan kebutuhannya untuk mendiskusikan
tema-tema tertentu atau menggladi tindakan-tindakan tertentu. Contoh: Teater
Koran, teater terselubung, teater photo-romance, menembus represi, teater
mitos, teater analitis, topeng dan ritual.
George Ikishawa
berkata bahwa teater borjuis adalah teater yang sudah selesai, rampung, tidak
mencari lagi. Borjuis sudah mengetahui seperti apa dunia ini, dunia mereka,
dan dapat menyajikan citra-citra mengenai dunia yang lengkap, sempurna dan
selesai itu. Borjuis menyajikan spektakel, tontonan menakjubkan. Sebaliknya,
proletariat dan kelas-kelas tertindas belum mengetahui bakal seperti apa dunia
mereka; maka teater mereka adalah sebuah latihan, bukan tontonan menakjubkan
yang sudah “kelar”, selesai. Memang benar demikian, meskipun benar pula bahwa
teater dapat menggelar citra-citra tentang transisi, peralihan.
1.
Teater Koran
Sejumlah teknik
sederhana untuk mengubah pokok-pokok berita sehari-hari, atau sembarang bahan
yang bukan drama, menjadi pergelaran teater.
a.
Pembacaan sederhana: pokok
berita dibacakan dengan mengambil jarak terhadap konteks korannya, dari format
yang menjadikannya palsu atau tendensius.
b.
Pembacaan silang: dua pokok
berita dibaca secara silang (silih berganti), berita yang satu menjelaskan yang
lain, menerangkannya, dan memberi dimensi baru.
c.
Membaca komplementer: data
dan informasi yang umumnya dihilangkan oleh surat kabar kelas penguasa
ditambahkan ke berita.
d.
Membaca ritmis: sebagai respon
musical, berita dibaca dalam irama samba, tango, nyanyian lain, dsb, sehingga
ritme bekerja sebagai “filter” kritis terhadap berita, menyingkapkan makna
sejatinya, yang dikaburkan di surat kabar.
e.
Tindakan atau laku
parallel: para aktor memperagakan laku-laku tanpa wicara (mime) ketika berita
sedang dibacakan, memperlihatkan konteks kejadian sesungguhnya; orang mendengar
berita itu dan melihat sesuatu yang lain yang menjadi kelengkapan visual
terhadap berita yang dibacakan itu.
f.
Improvisasi: berita diimprovisasikan
di panggung untuk mengeksploitasi varian-varian dan kemungkinan-kemungkinannya.
g.
Historis: menambahi berita
dengan data dan adegan-adegan yang
memperlihatkan kejadian yang sama dalam momen-momen historis yang berbeda, di
negeri-negeri lain, atau dalam system-sistem social lain.
h.
Perkuatan: berita dibaca
atau dinyanyikan dengan bantuan atau iringan slide, jingle, lagu-lagu atau
bahan publikasi.
i.
Mengkongkretkan yang semula
abstrak: yang sering tersembunyi sebagai sekadar informasi abstrak dalam berita,
dijadikan konkret di panggung: siksaan, kelaparan, pengangguran, dan
sebagainya, diperlihatkan secara konkret dengan menggunakan citra yang jelas
dan hidup, baik citra nyata maupun citra simbolis.
j.
Teks dikeluarkan dari
konteks: berita disajikan di luar konteks pemberitaannya; contohnya: seorang
aktor mengucapkan pidato tentang “mengencangkan ikat pinggang” yang sebelumnya
disampaikan oleh Menteri Perekonomian, tetapi sambil melahap santap malam yang
mewah melimpah: kebenaran yang sesungguhnya di balik kata-kata sang menteri
menjadi terlihat gambling – ia menghendaki “pengencangan ikat pinggang” untuk
rakyat tapi itu tak berlaku buat sang menteri sendiri.
2.
Teater terselubung
Ini berupa
penyajian adegan di suatu lingkungan yang bukan lingkungan teater, di hadapan
orang yang bukan penonton. Tempatnya bisa saja rumah makan, trotoar, pasar,
kereta api, antrean orang, dan sebagainya. Orang-orang yang menyaksikan adalah
mereka yang kebetulan berada di tempat tersebut. Selama pertunjukan jangan
sampai orang-orang menyadari sedikit pun bahwa ini “tontonan”, karena jika
demikian mereka lalu menjadi penonton.
Teater
terselubung ini menuntut persiapan adegan pendek yang terperinci, baik dengan
teks lengkap maupun naskah sederhana. Yang penting adalah melatih adegan dengan
cukup, supaya aktor mampu memperhitungkan dan memasukkan campur tangan penonton
ke dalam acting mereka. Selama latihan, perlu juga dimasukan campur tangan yang
bisa dibayangkan akan muncul dari penonton; kemungkinan-kemungkinan tersebut
akan menjadi semacam teks pilihan atau cadangan.
Teater
terselubung ini diletupkan di lokasi yang dipilih sebagai tempat orang
berhimpun. Semua orang yang berada di dekat-dekat tempat itu menjadi
terlibatkan dalam letupan itu dan akibat-akibatnya akan lama berkecamuk setelah
pergelaran pendek itu selesai.
Simpulan:
“Penonton” adalah Kata yang Buruk!
Selain teater
koran dan teater terselubung masih ada wacana teater lainnya, yakni:
Roman-foto, membebaskan diri dari represi, teater mitos, teater analitis,
teater ritual dan berkedok.
Dari semuanya
itu kesimpulannya “penonton” adalah kata yang buruk! Penonton adalah manusia
yang direduksi, dan perlulah ia kita manusiakan, kita pulihkan kapasitasnya
untuk bertindak sepenuh-penuhnya. Penonton pun harus menjadi subyek, menjadi
aktor yang berdiri sama tinggi dengan mereka yang umum diterima sebagai aktor,
yang juga harus menjadi yang menonton. Semua
eksperimen dalam suatu teater rakyat ini sasarannya sama, yaitu pembebasan
penonton, yang kepada siapa teater telah memaksakan berlakunya visi yang
rampung, final, tentang dunia. Dan karena mereka yang bertanggung jawab
melangsungkan pergelaran teater umumnya adalah orang-orang yang langsung maupun
tak langsung termasuk dalam kelas-kelas berkuasa, jelaslah bahwa citra-citra
mereka yang sudah final itu mencerminkan diri mereka sendiri. Para penonton
dalam teater rakyat (yaitu rakyat itu sendiri) tidak boleh terus menerus
menjadi mangsa yang pasif dari citra-citra itu.
Seperti kita
ketahui, puitika Aristoteles adalah puitika penindasan, puitika
opresi: dunia sudah dikenal, sudah sempurna, atau akan segera
disempurnakan, dan semua nilainya dipaksakan berlaku untuk para penonton yang
dengan pasif mendelegasikan kuasa kepada tokoh-tokoh lakon untuk bertindak dan
berpikir mewakili mereka. Dengan berbuat
demikian, para penonton mencuci bersih diri mereka dari kesalahan yang tragis –
jelasnya: dari sesuatu yang mampu mengubah masyarakat.
Dihasilkanlah
penyapu-bersihan daya revolusioner! Tindakan atau laku dramatic di panggung
menggantikan tindakan atau laku nyata.
Puitika Brecht
adalah puitika perintis yang tinarbuka, tercerahkan: dunia disingkapkan sebagai
sesuatu yang bisa berubah, dan perubahan itu bermula dalam teater sendiri,
karena penonton tidak mendelegasikan kuasa kepada para tokoh lakon untuk
berpikir mewakilinya, meskipun masih terus mendelegasikan kuasa kepada para
tokoh lakon untuk bertindak mewakilinya. Pengalaman ini sangat berharga di
tingkat kesadaran, namun tidak secara global di tingkat tindakan. Laku dramatic
di panggung menyoroti dengan kritis laku atau tindakan nyata. Tontonan dahsyat,
spektakel, merupakan persiapan bagi tindakan, laku, aksi.
Puitika kaum
tertindas pada intinya adalah puitika pembebasan: penonton tidak lagi
mendelegasikan kuasa pada tokoh lakon untuk berpikir maupun bertindak
mewakilinya. Penonton membebaskan diri mereka sendiri; mereka berpikir dan
bertindak bagi diri mereka sendiri! Teater adalah tindakan, aksi!
Barangkali
teater tidaklah revolusioner dalam dirinya sendiri; tetapi tak usah ragu, ia
adalah latihan revolusi!
keren tulisannya mengenai teater kaum tertindas.. (baru tau kalau teater jenis seperti ini ada hehe) ngomog-ngomong anda mendapatkan buku ini dari mana?? beli dimana??
BalasHapusKalau tertarik dengan buku ini, mohon kontak Yayasan Kelola
BalasHapus