Esai Pertunjukan “Etalase Tubuh” Produksi Teater Awal Garut
Zulfa
Nasrulloh*
Bagaimanakah sebenarnya
kebahagiaan itu? Apakah ketika seseorang memiliki wajah dan tubuh yang lumayan,
sehat, kuat, terawat, memiliki uang banyak, popularitas, mendapat hiburan kelas
tinggi, barang-barang mewah, baju mahal, makanan harga selangit, atau memiliki
rumah di kawasan elit, merasa bahagia?
Demikianlah barangkali
kritik dari naskahEtalase Tubuhkarya
Sahlan Mujtaba yang dipentaskan Teater Awal Garut (SMAN 6 Garut) di Gd. Sunan
Ambu STSI Bandung pada hari Senin, 24 Maret 2014. Pementasan ini disutradarai
oleh Wildan Kurnia dan merupakan pembuka Festival Teater Remaja ke-4 yang
diadakan. Keluarga Mahasiswa Teater STSI Bandung.
Teater Awal membuka
perhelatan seminggu penuh ini dengan sangat memukau. Seluruh penonton nampak
puas setelah selesai menonton pertunjukan. Ada dari mereka menunjuk-nunjuk
temannya sambil berkata “Nah, kamu kan yang suka ke salon terus!” ada lagi
beberapa yang berkata “Aku mah ga mau jadi manekin kayak Sura.” dan lain
sebagainya.
Dunia
Objek
Etalase Tubuh bercerita
tentang seorang anak bernama Sura yang hidup di dalam perhelatan moderenitas.
Ayahnya seorang pekerja keras yang secara pemikiran terbentuk dari rutinitas
dan kontinuitas. Kemewahan dan gengsi zaman menjadi tujuan hidup yang ditanam
pada anaknya. Sedangkan ibunya adalah seorang ibu yang tunduk dan patuh pada
norma. Membawa spirit dongeng dari kebudayaan masalalu, sebagai cara dalam
mendidik anaknya Keduanya menawarkan pengertian tentang kebahagiaan.
Sura sebagai seorang
anak yang hidup dan berkembang di zaman modern, mengalami penyangkalan
kebahagiaan yang ditawarkan ayahnya. Seperti pada dialog ketika Sura diberi
sebuah burger berikut ini: /Ayah :
Enak?/ Sura: Tidak/ Ayah: Enak! Makanlah, nanti kalau sudah terbiasa, akan
terasa enak./ Sura tidak merasakan kebahagiaan yang ditawarkan ayahnya melalui
makanan dan barang-barang mewah dan mahal. Semua itu bagi Sura tidak terasa
nyaman dan nikmat. Sura tidak menemukan makna kebahagiaan yang dimaksudkan
ayahnya.
Sementara ibunya terus
saja mendongeng tentang Cahya Wening seorang putri yang dikekang istana dan
akan dijodohkan dengan seorang pangeran yang tidak dikehendakinya. Cahya wening
berharap pada pelangi untuk menolongnya terbebas dan mendapatkan
kebahagaiaannya. Sura memosisikan ibu dan dongengnya sebagai satu-satunya
harapan yang dapat membebaskan dirinya dari kekangan Sang Ayah.
Seiring berjalannya
waktu dan pencarian Sura, ia pun takluk pada modernitas dan mulai terbiasa
dengan kebahagiaan-kebahagiaan semu yang ditawarkan Ayahnya. Ia mengikuti
berbagai pola hidup modern yang memperkuat eksistensi dirinya sebagai manusia.
Seseorang yang akan diterima masyarakat, diterima lingkungan kapitalisme, harus
mengikuti mode berpakaian, gaya rambut, rias kecantikan, iklan, ajang
polularitas, dan bekerja di perusahaan yang penuh dengan deadline. Sura
memperlakukan tubuh sebagai industri yang menghasilkan dan dihasilkan oleh
pasar. Bahkan ia pun membunuh bayangan ibunya dan segala
dongeng-dongeng yang tentu menawarkan perspektif lain dalam memaknai
kebahagiaan. Sura hidup sebagai perempuan modern dan mengukuhkan dirinya
sebagai mitos zaman. Zaman modern yang menghilangkan identitas Sura sendiri.
Kapitalisme berhasil
mengkonstruksi Sura. Modernitas ibarat sebuah banjir besar yang menenggelamkan
Sura. Sura bermukim di dalam sebuah plenum, yaitu ruang yang dipenuhi informasi
dan tawaran tentang kebahagiaan sehingga tak ada satu pun yang tidak tersentuh
oleh informasi tersebut. Di dalam ruang padat informasi tersebut, Sura bukan
hanya menyerap informasi, tetapi juga terseret dan terjebak oleh arus
informasi. Inilah gejala cyberspace yang
dimaksud William Gibson.
Sura sebagai objek
kapitalisme adalah Sura yang disiapkan menjadi mitos di dalam banjir besar.
Banjir yang bermuara pada kehancuran kapitalisme. Sura bersama orang-orang di
dalam plenum tersebut menunggangi dunia objek. Dunia yang dibangun dari
relasi-relasi sosio-kulturalyang mengglobal. Sementara abad ke-21 adalah abad
hiperkonsumerisme dimana konsumsi menjadi pusat dari kehidupan sosial. Yakni ketika
benda menguasai manusia, tidak lagi menamai benda sebagai media, tetapi ngobrol dengan benda-benda, menjadikan
mereka kenikmatan, kesenangan, kenyamanan, kegairahan, dan simbol diri.Hingga
ritual-ritual seperti karier,
industri tubuh (audisi pencarian bakat, modeling, entertainmen), industri
waktu(jam kerja, jam istirahat, deadline, liburan) dan lain sebagainya
yang menyinggungkanarea kapitalisme dengan eksistensi diri menjadi penting bagi
manusia pascamodern.
Pementasan Etalase Tubuh ini merupakan kritik bagi plenum
kapitalisme. Bagaimana manusia dikonstruksi kapital menjadi benda yang kapital.
Benda telah mengkonstruksi tubuh dan tubuh telah menjadi benda. Seperti dalam
sebuah etalase, tubuh-tubuh itu dipajang dan dikemas dalam plenum kapitalisme.
Tidak ada yang bisa menolak. Sebab siklus yang dibangun kapitalisme bersifat
repetisi dan menyebar. Seperti amoeba yang melakukan mitosis besar-besaran,
kapitalisme menyebar ke segala bentuk, ide dan sudut-sudut kehidupan manusia.
Simbol
Kapitalisme dipentaskan
secara simbolis. Pementasan ini menghadirkan beberapa imaji-imaji yang merangkai
alur cerita. Seperti Sura yang tidur di ranjang dan menjadikan ranjang di dalam
pementasan itu menjadi ruang internal Sura.Ranjang tersebut didorong dan dijaga
oleh badut yang tak lain adalah antek-antek kapitalisme. Badut itu mendorong
dan membawa Sura kemanapun ia pergi. Seperti metafora waktu yang membawa Sura
pada fase-fase perkembangan dirinya. Hingga di akhir pementasan, ranjang itu
diberdirikan dan menjadi sebuah kotak, imaji etalase dimana tubuh Sura telah
tertanam di dalamnya.
Salon, restoran, dan
sebuah butik menjadi imaji percepatan yang dihadirkan pementasan tersebut.
Tiba-tiba seseorang dengan papan meluncur dari balik wings, dan orang-orang
berlari dari berbagai arah. Imaji seperti ini cukup berhasil membawa penonton
pada penggambaran percepatan di ruang-ruang kapitalis tersebut. Gerak para
tokoh yang cepat dikontraskan dengan berberapa pengimajian yang lambat.
Misalnya pada adegan mimpi Sura. Simbol balon sebagai harapan (kebahagiaan) di
dalam mimpi Sura mengalami pelambatan gerak tokoh. Entah apa yang ditawarkan
sutradara, apakah pada ruang pikiran Sura kebahagiaan di zaman serba cepat
adalah sebuah gerak lambat? Segala hal yang melambat, khusyu, tentram dan sunyi? Di dalam pementasan itu, orang-orang
berbanjar 4- 5 orang berjalan berirama, memegang balon, menyimpannya di sudut
dan memecahkannya. Saat itu pula Sura terbangun dan bagi Sura pecahnya balon
itu merupakan hal yang menakutkan.
Imaji-imaji dalam
pementasan tersebut menciptakan pementasan yang dinamis. Penonton mudah
memaknai maksud dari imaji-imaji yang dihadirkan. Seperti pada pengimajian Sura
yang bekerja dan ditekan deadline dan
tugas-tugas kantor. Sura dan kawan kerja lainnya berjajar di sebuah kursi,
seorang badut, yakni bos kapitalisme berkata “Kerja!” tangan mereka seperti
mengetik sebuah laptop di depannya. “Bergerak!” kaki Sura dan yang lainnya
bergerak menekan-nekan tanah masih dalam posisi mengetik laptop. “Hiburan!”
mereka berdiri dan melakukan goyang oplosan. Hal-hal yang bersifat populis
dihadirkan menjadi kritik bagi penonton itu sendiri.
Akhirnya, pementasan
ini membawa hal-hal yang dekat dengan penonton. Rutinitas yang secara sadar
ataupun tidak, pernah dan sedang dialami penonton. Hal-hal yang diketahui dan
dijalani itu hadir dalam sebuah imaji yang menyindir. Imaji yang merupakan
rekayasa sutradara untuk memerangi kapitalisme. Hingga penonton pada akhirnya
merasa lucu dan malu pada segala fenomena (aktifitas dan rutinitas) mereka di
masa kini.
Kapitalisme adalah
plenum, ruang, banjir besar yang melanda masyarakat Indonesia. Masyarakat postkolonial
yang polos, labil dan terjebak. Pementasan ini mengkritisi itu secara
figuratif, dekoratif, dan menghadirkan imaji kapitalisme yang simbolik. Jika
sebuah pementasan yang baik adalah yang merespon zamannya, ide cerita pementasanEtalase Tubuh ini segar dan patut
diperhitungkan. Namun jika pada akhirnya Festival Teater Remaja ke-4 STSI
Bandung memiliki kriteria dan zona tempur yang lain, saya kira menang dan kalah
dalam sebuah perlombaan tidak menjadi penting. Geliat estetika teater yang
paling utama, and sense is more.
*Zulfa
Nasrulloh, adalah
penikmat, pegiat dan pemerhati sastra. Bergiat di Arena Studi Apresiasi Sastra
(ASAS) UPI dan pendiri kelompok kesenian Sesebred Inc. Beberapa karyanya
termuat dalam antologi bersama, media online dan media cetak. Kini sedang sibuk
mengurusi beberapa ekor musang liar dan mempersiapkan launching kumpulan
cerpennya “Udara Semakin Tajam, Sayang” (Kadal:2014).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar