Kritik
Pertunjukan "KEMBALI" Karya Fredrik Brattberg
Oleh Langgeng Prima Anggradinata
Kehidupan sepasangan suami-istri itu berubah setelah Gustav, anaknya, menghilang entah ke mana. Sejak saat itu, sang ayah selalu berdiri di muka jendela, memerhatikan anjing tetangga yang selalu lepas dari ikatannya. Sementara, sang ibu hanya merajut tetapi tak sepenuhnya paham untuk apa ia merajut. Kedua pasang suami-istri itu nampak mengalami depresi yang berat setelah kepergian anak lelaki tunggalnya itu. Hingga pada suatu masa, terdengar ketukan pintu.
Gustav kembali. Ia menceritakan apa yang terjadi pada
dirinya persis dengan apa yang disangkakan orang tuanya itu. Ia naik gunung.
Sebuah longsor besar menghempaskannya. Ia pun tak sadarkan diri, begitulah
cerita Gustav. Kehidupan keluarga itu pun normal kembali. Hingga pada suatu
masa, Gustav hilang lagi. Namun, ia kembali lagi dan hilang lagi, kembali dan
hilang lagi. Begitu seterusnya.
Akhirnya, kedua pasang suami-istri itu pun menolak
kepulangan Gustav. Mereka sudah lelah mengenang. Mereka sudah lelah
mengingat-ingat. Gustav hanyalah bayangan belaka. Gustav telah mati. Hingga
pada titik itu, mereka membunuh kenangan mereka sendiri. Mereka membunuh
Gustav.
Itulah secuplik lakon yang berjudul “Kembali” (“The Returning”) yang disutradarai oleh
Sahlan Bahuy dan dipentaskan di Institute Francais Indonesia (IFI) Bandung
(17-18/10/2013). Lakon yang diproduksi Mainteater, Jalan Teater, dan Common
Room tersebut berangkat dari naskah Norwegia karangan Fredrik Brattberg
yang diterjemahkan dari bahasa Inggris oleh Syarah Meidiana. Naskah “Kembali”
meraih dua penghargaan bergengsi, yaitu Gledesglasset dari Writers Guild of
Norway (2011) dan The Ibsen Award (2012)
Realisme magis dan dark
comedy membangun lakon ini menjadi sebuah pertunjukan yang menarik. Dua unsur tersebut saling memperkuat
cerita itu sendiri. Kesan aneh dan mistis dilahirkan dari realisme magis.
Sementara, dark comedy membuat kesan
aneh dan mistis itu nampak jenaka sekaligus mengerikan. Kedua hal ini yang
belakangan jarang muncul.
Kebanyakan teater di Indonesia masih mengeksplorasi
simbolisme, ekspresionisme, surealisme, dan realisme (murni atau sosialis).
Padahal, meski bukan barang baru, realisme magis dan dark comedy memberi tawaran yang lain, yaitu memperlihatkan
kepahitan dari kehidupan sehari-hari yang dikemas dengan cara yang berbeda dari
teater biasanya.
Realisme
Magis
Peristiwa dalam lakon ini sesungguhnya sangat dekat
dengan kehidupan sehari-hari, namun beberapa adegan memperlihatkan sesuatu yang
berada di luar realitas. Hal tersebut tidak berarti lakon ini mengarah pada
surealisme sebab imajinasi, fantasi, atau sesuatu yang di luar realitas
tersebut masih berada pada garis realis. Franz Roh dalam Magic(al) Realism (Bower: 2004) menerangkan bahwa fokus realisme
magis terletak pada objek material dan realitasyang diambil dari kehidupan di
dunia, sementara surealis mengeksplorasi realitas.
Dalam lakon ini ada dua hal yang saling berpadu, yaitu
realis dan magis. Seperti apa yang dikatakan Maggie Ann Bower (2004), bahwa
realisme magis menggabungkan dua aspek yang berlawanan oksimoron (magis dan
realis) secara bersamaan untuk membentuk satu perspektif baru.
Realitas yang supranatural menjadi perspektif baru itu.
Perspektif baru atau realitas fiksi baru itu
sangat memungkinkan untuk terjadinya sebuah keajaiban, misteri, dan kengerian.
Dalam realisme magis, supranatural dikompromikan menjadi sesuatu yang dapat
dirasionalisasikan dan direalisasikan. Karena sesungguhnya realisme magis itu
sendiri memungkinkan untuk melakukan pendobrakan atas logika. Lois Zamora dan
Wendy B. Faris (Bower: 2004) memberi penjelasan bahwa realisme magis
memungkinkan terjadinya pendobrakan, pelanggaran batas—baik logika, politik,
geografis, dll.
Seperti yang telah diceritakan di awal, Gustav yang telah
(dianggap) mati, tiba-tiba hidup lagi, berkali-kali hidup. Itulah yang
mengindikasikan bahwa kejadian itu bukanlah peristiwa riil, namun merupakan
peristiwa supranatural. Meski supranatural, peristiwa tersebut masih dapat
dijelaskan dari sudut pandang psikologi.
Dalam lakon ini, secara bersama-sama tokoh suami-istri
tersebut mengalami delusi. Tentu saja dalam kerangka psikoanalisa, peristiwa
dalam lakon ini tidak lazim terjadi. Hal tersebut dikarenakan pada umumnya
delusi bersifat personal. Namun, lakon ini nampaknya mencoba menggabungkan
tokoh suami dan istri ke dalam satu fenomena dan momen psikologis yang sama.
Lakon ini menggabungkan dua delusi dan kegilaan secara bersama-sama dalam satu
ruang dan waktu. Hal ini bertujuan agar cerita menghasilkan konflik yang lebih
komplikatif dan menunjukan bahwa peristiwa tersebut benar-benar riil.
Seperti yang disebutkan di atas bahwa adegan kembalinya
Gustav terjadi berulangkali. Keberulangan atau repetisi itu menjadi penegas
kegilaan sekaligus harapan pasangan suami-istri. Peristiwa repetitif ini
mengarahkan pada pemaknaan tertentu, yaitu bahwa kenangan dan harapan hadir
secara berkesinambungan dalam benak tokoh suami-istri. Di tahap ini, Gustav
juga hadir sebagai metafora. Di tahap ini ia mewakili kenangan dan harapan.
Untuk sementara, Gustav nampaknya memiliki tiga dimensi.
Pertama, ia hadir sebagai sosok yang riil. Kedua, Gustav hadir sebagai delusi.
Ketiga, ia hadir sebagai metafora. Ketiga dimensi ini membentuk Gustav sebagai
tokoh yang penuh makna dan bentuk. Di satu sisi makna Gustav sangat denotatif,
di sisi lain ia menjadi sebuah konotasi dari kenangan dan harapan. Di satu sisi
bentuk Gustav menjadi sangat riil, di sisi lain ia menjadi sangat metafisik.
Kedua sisi tersebut berpadu membentuk realitas fiksi baru, yaitu realitas
magis.
Dalam lakon ini, tata cahaya tidak terlalu berfungsi pembentuk
ruang fisik, maupun ruang psikologis. Pencahayaan hanya menjadi penanda waktu.
Kadang-kadang ia menjadi ruang ekspresi ketika seorang tokoh melakukan aside.
Pencahayaan dalam lakon ini tidak menjadi penanda adegan supranatural dan
realis yang biasa dilakukan pada lakon-lakon ekspresionis dan surealis. Hal ini
menunjukan bahwa apa yang terjadi di atas panggung hampir sepenuhnya ditampung
dalam wadah realisme. Dari sana dapat disimpulkan bahwa peristiwa-peristiwa
yang terjadi di atas panggung dianggap sebagai peristiwa yang riil.
Dark Comedy
Seperti yang telah disebut, lakon ini mengetengahkan
kehidupan sehari-hari dengan sisi gelapnya. Kematian dipilih lakon ini untuk
mewakili kegelapan itu. Lakon ini memperlihatkan kematian sebagai suatu yang
mengerikan, ajaib, imajinatif, dan misterius. Kematian yang ditampilkan menjadi
salah satu penanda bahwa dark comedy telah
bekerja di dalam lakon ini.
Kematian bisa menjadi titik masuk untuk memahami dark comedy dalam lakon ini. Dalam dark comedy, kematian dikonstruksi menjadi peristiwa yang lucu,
namun kelucuan itu tidak hadir begitu saja secara langsung.
Dark comedy dalam lakon
ini lebih mengarah pada kematian yang dikemas dalam bungkus humor yang
bertujuan untuk memperlihatkan keasingan dan kepahitan hidup. Sehingga, humor
yang dihasilkan merupakan efek dari peristiwa, bukan sebuah kesengajaan. Humor
dalam dark comedy berjalan secara
natural juga terselubung. Peristiwa dalam dark
comedy tidak diciptakan untuk ditertawakan tetapi humor itu muncul sebagai efek.
Dalam lakon ini, peristiwa kembalinya Gustav dari kematian untuk pertama kalinya, boleh jadi dianggap sebagai hal yang mengharukan. Namun, pada peristiwa kembalinya Gustav dari kematian untuk kedua kali dan seterusnya, menjadi suatu peristiwa yang berkesan aneh, mistis, mengerikan, (mungkin) sekaligus jenaka. Repetisi peristiwa tersebut pun berlanjut hingga menimbulkan kesan yang semakin kuat. Hingga pada puncaknya Gustav dibunuh oleh tokoh suami-istri. Pada taraf ini kesan jenaka, aneh, dan mengerikan berjalan beriringan.
Adegan pembunuhan Gustav sangat berhasil ditampilkan oleh
aktor dalam lakon ini. Tokoh ibu-ayah melakukan “pembunuhan” (simbolik)
terhadap Gustav. Mereka nampak ringan melakukan pembunuhan itu. Mereka
menganggap itu sebagai hal yang sepele. Penyepelean terhadap kematian itulah
yang membuat persitiwa menjadi jenaka. Mereka tidak menampilkan laku jenaka,
namun efek kejenakaan itu timbul begitu saja. Mereka hanya menampilkan
laku yang tak lazim. Dalam adegan ini, manusia dibentuk menjadi mahluk yang tak
lazim dan asing. Dari sanalah kelucuan timbul.
Mungkin terjebak pada kata komedi, beberapa adegan nampak
dibuat lucu. Spontanitas aktor dalam berlaku jenaka membuat beberapa adegan
dalam lakon ini terkesan murah. Misalnya, perubahan emosi yang drastis dari
marah ke jenaka atau spontanitas lainnya, membuat komedi dalam lakon ini
terkesan tidak cerdas, fisikal, dan menjadi lelucon yang temporal. Mungkin
perilaku labil itu bermaksud untuk memperkuat kegilaan tokoh, tetapi nampaknya
malah menjadi terlalu berlebihan. Aktor memang memiliki kuasa atas terjadinya
humor, tetapi semestinya mereka tidak punya motivasi ke arah humor.
Demikianlah, dan pada akhirnya rasa hormat patut
diberikan pada lakon ini. Untuk sementara, mungkin dark comedy bisa disebut sebagai sesuatu yang jarang dalam drama
Indonesia. Bisa juga menyebutnya sebagai sesuatu yang segar. Boleh juga
menyebutnya sebagai sesuatu yang biasa saja. Namun, nampaknya penting
menganggap bahwa lakon ini memberi sebuah tawaran. Apa yang dilakukan lakon ini
bisa menjadi tawaran yang menarik untuk khazanah
drama Indonesia.
Kepahitan hidup bukan barang langka di negeri ini.
Kematian mungkin bukan lagi menjadi peristiwa luar biasa di negeri ini.
Kebobrokan dan kepahitan hidup banyak terjadi di realitas. Dan teater masih
punya tempat untuk menampilkannya kembali.[]
Penulis—Pemerhati
sastra.
jadi, sebenarnya realisme magis itu seperti apa? *gagal paham*
BalasHapus