Labels

Rabu, 04 September 2013

Dialah Ini dan Itu by Gieb

Oleh: John Ferry Sihotang

Racauan, bisa jadi sublimasi eksistensi. Seperti tersaji apik dalam buku kumpulan racauan Gieb, “Dialah Ini dan Itu”. Racaun disini meleburkan segala kemabukan: pikiran, ada, rindu, benci, substansi, birahi, bir dsb. Setiap entitas bisa saling menegasi pun bisa mengafirmasi pada entitas lain: Retak! Seolah mengeja paradoks. Namun, acap pula memasung realitas dengan pisau demarkasi yang tegas: untuk meracau pada semua kekekalan pun kesementaraan.

Mengapa harus eksistensi racauan? Kita tidak sedang mewacanakan eksistensialisme ala Sartre: eksistensi mendahului esensi, atau sebaliknya, esensi mendahului eksistensi. Pada buku pertama Gieb ini, termaktub eksistensi adalah esensi itu sendiri. Hadir bersama dalam kecerlangan yang mengapung. Mungkin, eksistensi disini lebih condong pada eksistensialisme Camus: absurditas! Absurditas yang menyusui pemberontakan. Karena pemberontakan adalah salah satu sikap filosofis yang koheren. Pemberontakan terhadap kemapanan bahasa kekinian. Menidak pada arus besar hegemoni. Seperti yang dikatakan Gieb: “kau harus melawan sesuatu yang mainstream”. Gieb menciptakan arus sendiri. Kotak sendiri. Kotak eksistensi racauan. Membangun labirin yang ganjil. Kunamai labirin “eksistensi keentahan”: jungkir balik memahami kata, berdarah-darah mencari eksodus makna.

Penggarapan buku ini juga sebuah racauan yang mengkultuskan aktualisasi diri. Illustrasinya yang abstrak mengkonkretkan racauannya. Racaun yang menyusui konsistensi. Terlihat jua dari judul-judul racauannya: Sangka, Sumpal, Cumbu, Setubuh, sampai Hudan. Halaman kiri untuk judul, kanan untuk isi tulisan, racauannya. Dibangun dalam paragraf-paragraf yang rapi. Berisi. Berbunyi. Seperti petikan Muskil berikut: “Aku harus membangkang, menuliskanmu dengan holistik. Menolak mekanistik, materialistik, dan reduksionis (hal 59).”

Ya! Ini sebuah buku ambiguitas. Buku sajak puisi. Tidak! Buku ini sesuatu yang entah. Seolah persetubuhan puisi dan esai. Bisa juga bukan keduanya. Cukup! katakan saja buku racauan. Racauan yang mengaksentuasi estetika. Seperti tuhan dan kelamin dilebur menjadi satu keniscayaan mengada manusia. Yang kerap dipanggungkan Gieb dalam adegan ranjang. Mengasuh insting purbawi. Insting yang kudus ala sufi. Bukan insting murahan dalam nanarnya roman picisan.

Gieb, si kutu-buku halte dan bus, menguasai banyak teori filsafat. Namun, dia tidak mengabdi sebagai ansilla philosophia (hamba sahaya filsafat) semata. Gieb menikung bahasanya sendiri dalam kotak racauan, kotak tanda manusia. Teori-teori praktis tidak ditelan begitu saja, namun ditekuknya. Sering ditelanjangi. Sesekali dipuja. Saat yang bersamaan dinihilkan. Dibangun dengan indah pada saat membongkarnya dalam tatakan bahasa. Seperti ditulisnya dalam Geram: “Sadar, bahwa percintaan kita memang tidak merujuk pada realitas aktual. Tetapi sebuah realitas yang minta dipahami, dikonsepsikan, dan disimbolisasi dengan beberapa desahan (hal 11).”

Judul buku ini, “Dialah Ini dan Itu” adalah gagasan metaforis. Sebuah keentahan juga. Tak tunggal nada. Tetapi, Gieb sepertinya pemuja sekaligus pengutuk dualisme Cartesian. Yang jauh dihempaskannya hingga Sungkur, mengada, disini. Yang dekat di tendangnya sampai Redup, meniada, kesitu. Gieb selalu memaknai ketidakbermaknaan menjadi makna yang semakin bermakna. Sebuah kontingensi ala Paul Ricoeur. Berselancar diantara dua tegangan atau bandul entitas pengada manusia yang sulit disatukan. Seperti ditulisnya dalam Sumpal: “Membunuh kekecewaan dengan kompromi. Mensiasati hati dengan kemungkinan. Mengakrabi perbedaan dengan toleransi. Menjalani permusuhan dengan penjelasan. Membesarkan harapan dengan probabilistik (hal 49).”

Yang tak terbiasa dengan kotak sastra Gieb akan jatuh dalam prasangka buruk: buku porno. Erotisme maupun romansa yang dibangun Gieb bukanlah kebanalan laknat. Dia mendekonstruksi bahasa dalam elegansi pemikiran. Bisa saja Gieb terpengaruh banyak oleh minat Foucault: penjara, kegilaan, tubuh, hingga persetubuhan. Dengan selera humor teramat cerdas. Hingga banyak orang gagal menggauli senyuman karena kerutan kening berlebihan. Seperti tergores indah dalam serpihan Gusar: “Kita usir Tuhan dari jagat raya. Bersama paha yang kaubuka tinggi-tinggi”. Atau pada kepingan lain, Sungkur: “Karena tubuh kita hanyalah pemakluman. Bahwa kelamin tak memerlukan hakikat. Ia ‘menjadi’ dalam eksistensi.” Pada saat yang lain, dalam Geram dia katakan: “Bahwa keinginan ternyata menyedihkan bagi kelamin kita yang purba”. Duh.

Suatu kali di lapak maya Gieb aku berkata: “membaca satu kalimat Gieb berarti kita harus puas menerima satu paragraf”. Dan dia langsung menuang segelas bir. Sebuah verifikasi sekaligus falsifikasi sebuah kejujuran persetubuhan, eh, persetujuan. Kali ini kukatakan: membaca salah satu racauan Gieb berarti Anda telah menyelami satu bab buku eksistensialis. Karena buku ini, seperti kata Hudan Hidayat, “datang dari derasnya tabrakan arus dalam jiwanya, yang memberontak pada kehendak kemapanan jiwa. Terus menerus terjun, terus menerus membelah belah diri.”

Siapakah, atau, apakah Gieb – kerap chaos dalam diam yang kosmik – itu? Gieb itu bisa berarti keunikan dari berbagai keunikan. Sangat khas. Dalam metafor, imaji, ataupun aforisma ganjil yang dibangunnya. Karena kata-kata profan juga bisa disakralkannya. Bila suatu saat Gieb mengeluarkan buku, tanpa mencantumkan nama, kita akan langsung bertemu di stasiun kereta racau: itu Gieb!

Bagiku, Gieb adalah ini dan itu. Kiri. Sufis. Semiotis. Absurd. Gila. Retak. Entah. Sekaligus!

Namun, jangan percaya padaku. Aku hanya meracau.***

Jakarta, Juli 2010

PS: Saran Gieb, seperti yang sudah aku lakukan: “Sebelum membaca buku ini, tenggaklah tujuh botol bir tanpa henti!” Mulailah meracau bersamanya. Urailah absurditas itu! Angkat!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar