Oleh : Bonyong Munny Ardhie
Spirit dan kemunculan.
Berawal dari rasa resah,galau,dengan meledaknya aktifitas Gerakan
Seni Rupa Baru (1975) di Jakarta. Dimana dianggap oleh kawan-kawan
Jogyakarta, waktu itu telah bersama menghantar awal dari sebuah
kegelisahan sebelumnya ( sekitar th. 1973-1974).
Mari kita melihat ke belakang sebentar saat teman-teman selalu
berkumpul, berbincang, berdiskusi di kompleks Gampingan (kampung dekat
kampus). Dimana kawan-kawan ingin melepaskan belenggu konsep lama yang
selalu dieluelukan oleh para establishment, yaitu para Dosen pengajar kami. Dari hari ke hari terbentuklah sebuah kelompok, sebuah komunitas Gampingan.
Dari awal mempersoalkan kesenian, saya menyodorkan sebuah rencana
aktifitas di Parangtritis (pantai di Jogyakarta). Aktifitas tersebut
dengan judul “Konsep Alam Terbuka”. Saya sengaja memakai istilah
“Konsep” pada karya ini, sebab sebetulnya saya lebih ingin menonjolkan
persoalan-persoalan yang berada didalamnya. Kegelisahan pada sentuhan
angin; ruang yang luas (pantai); serta pasir yang bertebaran. Sedangkan
plastik yang saya tebarkan hanya mampu bertahan sekitar 10 menit saja.
Hancur oleh dahsyatnya angin, gerak taburan pasir dan lemahnya plastik
yang cepat robek. Konsep-konsep itu include dalam persiapan dialog dengan alam. Rasa ingin menaklukan alam dengan estetika, dan gejolak kepuasan pribadi.
Dengan menggelar karya tersebut terjadi antara obyek dan subyek maka
lahirlah konsep – konsep individual seniman,sehingga keindahan itu
terbentuk dari persepsi-persepsi sensitivitas yang menjadi pemikiran
kontemporer. Penjelajahan pada relung-relung rasio menembus batas-batas
seni konvensional saat itu.
Dimana konsep itu sudah saya siapkan berbulan-bulan dengan
bahan-bahan yaitu beberapa puluh gulungan plastik; tali-tali plastik;
rafia dan lain-lain. Maka berangkatlah “Komunitas Gampingan” tersebut
dengan naik apa saja hingga sampai Parangtritis. Kami tidak mengundang
siapapun selain teman-teman, dimana telah kami bagi dalam team work. Antara lain penulisan; pemotretan serta hasil diskusi.
Terpancangnya plastik-plastik yang bersentuhan dengan angin, juga
dengan digelarkannya plastik panjang (line art) pada ruang yang luas,
serta angin yang kencang , menjadikan sebuah persoalan yang mempunyai
efek logis maupun psikologis . Ini akan menjadi nilai-nilai estetika
yang kita pelajari dalam perkuliahan, harus diperhitungkan kembali.
Hal ini merupakan awal dari Komunitas Gampingan membesarkan “api”
yang ada di dada, kepala, otak kami masing-masing yang selalu
membicarakan kesenian.
Pada suatu saat , kami disodori kembali oleh ide Gendut Riyanto
(almarhum), yaitu membuat rencana karya dengan judul “ Aku dan Sawah”
(th.1979). Gendut bekerja lebih rinci, ia mempersiapkan katalog dengan
konsep – konsep seninya bahkan sempat membagikan kaos yang di print
“Aku dan Sawah”. Selama seminggu, Komunitas Gampingan berada di lokasi
sawah yang tak jauh dari kampung Gampingan.
Karya “Aku dan Sawah” berupa tali – tali rafia/plastik yang di
pasang di pematang sawah dengan digantungi kain – kain, tas plastik (kresek)
serta bahan-bahan lain. Bila rangkaian tali tersebut di tarik akan
bergerak juga karena ada hembusan angin yang dapat menimbulkan suara.
Gendut menempati sebuah gardu kecil dipinggir pamatang sawah yang biasa
di pakai Pak Tani melepaskan lelah. Disitulah kami berdiskusi/dialog
tak henti-hentinya membicarakan masalah estetika. Aktivitas seperti ini,
oleh para Akademisi/Dosen – dosen/Pengajar/Tokoh-tokoh seni, hanya
disambut hambar. Bahkan hanya dianggap bermain – main yang tidak pernah
serius.
Salah satu aktivitas kesenian lain yang saya ingat yaitu pameran
kami bertiga, saya, FX. Harsono dan Nanik Mirna (almarhumah). Pameran
kami saat itu merespon Dosen kami (Fadjar Sidik), yang menyatakan
bahwa: suatu bentuk – bentuk jadi (bulatan, lingkaran, setengah
lingkaran, segi empat, segi tiga, jajaran genjang dlsb.) adalah bukan
seni. Karena bisa dibuat lewat ukuran-ukuran sehingga menjadi
persis/sama.
Kami bertiga membuat karya yang didalamnya mempunyai unsur-unsur
bentuk selesai tersebut, dengan unsur-unsur warna primer. Saat itu
tanpa di duga , kami bertemu dengan saudara Sanento Yuliman (almarhum),
yang kebetulan berada di Jogyakarta. Sebagai awal dari pertemuan
tersebut, kami menyatakan : “kami hanya main” ; kami ingin menjawab
istilah seni atau “batasan seni” dari pernyataan Dosen kami, bahwa
barang-barang jadi itu bukan seni. Tetapi apa jawab Sanento saat itu :
“Karya Anda ini adalah menolak nilai-nilai estetik sekarang ini (pada
saat itu). Karya ini merupakan karya yang ‘non liris’”. Karya-karya yang
rasional; yang berawal dari sesuatu yang matematis cenderung dari otak,
bukan dari emosi.
Dari pameran bentuk-bentuk jadi ini kami telah merasakan seberapa
besar peran rasio yang kami sodorkan pada karya kami ini, sehingga
peran emosi sudah menjadi peran yang nomor sekian bukan nomor satu
lagi.
Rasa ini telah menjadi awal kami meninggalkan suatu ekspresi, suatu
greget yang selalu didengung – dengungkan saat itu. Kami sudah berani
meninggalkan karakter/spesifik kami. Kami sudah mulai bebas menerobos
batas-batas konvensional yang selalu dicanangkan di Akademi kami.
Kami selalu ingat, bahwa lontaran kritik untuk Komunitas Gampingan
ini dari Bapak Kusnadi (almarhum). Kritik seni yang kami dapatkan adalah
kecaman keras , kesenian yang main-main, kesenian yang tidak serius.
Itu bukan kesenian!
Inilah awal dari teman-teman mulai resah, mulai tak enak badan ,
meriang, dalam mengerjakan tugas karya-karya dalam perkuliahan.
Karya-karya kami banyak berceloteh, menghujat batas-batas seni. Sampai
membodohkan diri/naïf dengan mengeja dan merumuskan batas-batas seni
yang konvensional yang sudah mulai kami buang.
Sebuah gerakan
Apabila kita menyimak berita saat itu, membaca majalah atau koran,
kita selalu disuguhi berita-berita yang memilukan, sedih, bahkan ada
rasa putus asa tentang masalah – masalah sosial saat itu. Muaranya pada
kemiskinan yang ada pada sebagian besar masyarakat kita. Tokoh-tokoh
kita di negeri ini selalu memperlihatkan kekayaannya, dengan mobil
mewah, rumah mewah dengan gaya hidup yang hedonis. Jurang perbedaan
kaya miskin sangat tajam, sehingga menimbukan sikap sensitif serta
menimbulkan ketidakpercayaan pada masalah politik pemerintahan negara
ini.
Ada sebuah anekdot dari kami, bahwa: “Pegawai negeri bisa kaya,
apabila korupsi”. Artinya pasti mengambil uang rakyat. Jadi komunitas
kami ini memang berawal dari rasa sakit hati, sehingga karya-karya kami
semua adalah suara keprihatinan dan sakit hati pada Pemerintahan
ini. Karya kami adalah menyuarakan rakyat kecil yang miskin ,
terpinggirkan dan terhimpit. Tidak heran bila kami selalu berpikir
bahwa Kepala Negara adalah biang keroknya.
Rasa gelisah/resah dan berkeinginan bergerak secara langsung dengan
pameran dimana persoalan – persoalan komunitas ini lama kelamaan menyatu
dalam selesainya diskusi di studio – studio Komunitas Gampingan. Yang
akhirnya Komunitas Gampingan menjadi kental dengan nama
Kelompok “Seni Kepribadian Apa”. Dengan anggota: Gendut Riyanto
(almarhum), Winardi(almarhum), Redha Sorana (almarhum), Sapto Rahardjo
(almarhum), Jack Body (Australia), Bram (Swiss), Tulus Warsito, Ronald
Manulang, Didit Riyanto, Ivan Haryanto, Iskandar Syahputra, Budi
Sulistyo, Djoko Sulistyo Kahhar, Haris Purnomo, Pudji Basuki, Dede Eri
Supriya, Umbu Tangela, Bambang Darto, Bonyong Munny Ardhie, Slamet
Riyadi.
Kenapa kami memilih nama “Seni Kepribadian Apa (PIPA)“, karena nama
ini mengandung kekompleksan persoalan-persoalan kita pada lingkungan,
kehidupan, pada kesenian yang harus “kreatif” saat itu.
Awal dari rasa terusiknya kesenian pada saat itu merupakan sebuah
kenyataan bahwa, mazab realisme terhimpit/terpojokkan. Karena ada
komunitas lain dari kampus kami menyatakan yang dihargai adalah seni
dekoratif. Realisme di era tersebut hampir tidak ada.
Itu dapat dilihat pada karya Dede Eri Supriya yang menggambarkan
Bung Karno dalam format yang besar. Pada saat itu lukisan Realis yang
melebihi obyek sesungguhnya berarti bukan seni lukis melainkan sebuah
Poster (bukan seni murni tetapi merupakan sebuah desain). Komunitas
kami masih mengagungkan Bung Karno. Dede Eri Supriya juga membuat karya
secara realis wajah Idi Amin. Tetapi dibuat dengan teknik puzzle. Karya tersebut terasa gampang rontok karena teknik penataanya terdiri dari susunan puluhan puzzle.
Ada juga lukisan Hari Budiono secara realis dengan obyek Suharto
(Presiden pada waktu itu) yang memakai kaos oblong yang robek. Karya
tersebut tidak boleh dipamerkan karena dianggap menghina.
Karya kolaborasi antara Bambang Darto dan Redha Sorana (almarhum)
dengan judul Monalisa, dengan wajah Ibu Tien Suharto. Piguranya terdiri
dari bunga anggrek yang pada saat itu, Ibu Tien sedang membeli lahan
luas untuk proyek kebun anggreknya di Jogyakarta.
Karya Slamet Riyadi yang membuat kartu remi motif King yang wajahnya
diganti wajah Suharto. Secara politik kami merespon habis-habisan
keberadaan Suharto saat itu, dengan mengkritisi kepemimpinannya. Seperti
karya yang saya buat, dengan judul “Hotel Asean Tower”. Menggambarkan
rencana pembangunan Hotel tersebut . Ini merupakan ambisi Suharto
membangun sebuah hotel terbesar di Asia dengan menghabiskan biaya
trilyunan rupiah, tanpa melihat dan merasakan adanya kemiskinan di
Indonesia. Maka lengkaplah pameran “Seni Kepribadian Apa” ditutup
polisi.
Rasa “sakit” dalam menanggapi masalah politik saat itu secara
langsung terlampiaskan pada aparat kepolisian, yang selalu berhadapan
dengan kami pada masalah perijinan. Sikap – sikap ini yang rasanya saat
itu menghantam kita. Ini terungkap pada karya – karya yang paling halus
sampai paling jorok, menjijikan, bahkan obyek- obyek yang tanpa
sentuhan/kedalaman ini kita sah-kan dalam karya – karya tersebut.
Misalkan seekor sapi sungguhan kita masukkan ke dalam ruang pameran
(karya Didit Riyanto). Sapi itu membuang kotoran (berak) di ruang
pameran.
Karya saya sendiri yang mengusung bagian – bagian dari kepala sapi
(mata, mulut, kepala) yang mentah. Menjadikan bau yang menyengat dan
banyak belatung yang keluar dari daging tersebut.
Slamet Riyadi yang membakar kasur dan amben di depan ruang pameran sambil berteriak – teriak, “Selamat tinggal malas! Mari kita buang kemalasan jauh – jauh!”
Jack Body yang mengusung kereta dorong (gerobak) yang menjual es dan
berbagai balon yang diisi helium, yang nantinya disulut rokok hingga
meledak dan memekakkan telinga.
Akhirnya pameran tidak jadi dibuka (pada detik – detik jam pembukaan
ternyata ijin belum turun). Sedangkan para undangan sudah datang,
mereka menunggu boleh tidaknya ijin dari kepolisian. Pada saat – saat
menunggu tiba-tiba empat peserta pameran dengan kostum hitam-hitam naik
ke atas gedung Seni Sono (tempat pameran). Ke empat seniman tersebut
mencoret spanduk pameran (tanda silang). Ditulis oleh mereka “Dilarang
Polisi”. Seniman tersebut adalah Tulus Warsito, Iskandar, Budi Sulistyo
dan Pudji Basuki.
Pada pertengahan pameran (±19.30 wib), kami juga membuat sebuah happening art.
Dalam situasi ruangan yang masih penuh dengan penonton, lampu di ruang
pameran mendadak kami matikan dari sekering pusat. Sehingga gelap
gulita. Kami merencanakan dialog tanpa mengetahui siapa yang berbicara.
Tetapi hasilnya karena kami sangat muak dengan kepolisian (saat itu di
dalam ruang banyak polisi yang tanpa seragam) maka teman – teman peserta
pameran secara spontan memakai moment itu untuk berteriak – teriak menghujat kepolisian. Suasana saat itu sangat mencekam. Selama sekitar 3 menit moment itu berlangsung, setelah itu lampu menyala kembali.
Beberapa tahun kemudian kepedihan kawan-kawan ini berlanjut, muncul
karya Haris Purnomo, dengan judul “Luka”, yaitu pawai di jln. Malioboro
dengan atribut orang sakit, yang di balut dengan perban di sekujur
tubuhnya; bahkan sepeda motor yang digunakan juga di perban. Pada waktu
melewati Jln. Malioboro, para performance menaburkan kapur di sepanjang jalan tersebut.
Gendut Riyanto juga membuat karya dengan judul “Rumah Sakit” yang
menggambarkan tempat tidur putih dengan dilengkapi selang infus persis
penggambaran kamar di rumah sakit.
Dari persoalan-persoalan yang berada di PIPA tersebut, yang secara
organisasi kesenian merupakan gerombolan yang bersifat terbuka. Dengan
tambahnya personal, menjadikan bertambah terbukanya ide/konsep-konsep
yang menjadi aspirasi kami masing-masing. Akhirnya tanpa terasa kami
sudah bisa memisahkan antara kawan-kawan yang bersikap/berfikir/berkarya
yang berbeda dari kami, mereka menyingkir atau kami tolak. Maka saat
kami akan pameran, kami selalu dibantu oleh penulis/kritikus/Dosen kami
yaitu Bapak Sudarmadji (almarhum).
Aktivitas PIPA, selalu di Jogyakarta, pernah satu kali di undang ke
Bandung , juga dibubarkan militer, karena karya kami selalu merespon
situasi politik.
Hubungan Dengan Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia
Komunitas Seni Kepribadian Apa, memang berbeda dengan Komunitas
Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia (GSRBI). Komunitas Seni Kepribadian Apa
(PIPA) berada di Jogyakarta. Yang aktivitasnya terakhir sebagian
anggota berada di luar Jogyakarta, antara lain di Jakarta: Gendut
Riyanto (almarhum), Haris Purnomo, M.Cholid, Umbu Tangela, Dede Eri
Supriya, Ronald Manulang , Winardi (almarhum), Iskandar, Budi Sulistyo,
Slamet Riyadi, sedangkan di Bandung: Bambang Darto, Redha Sorana
(almarhum), di Surabaya ada Ivan Haryanto dan Didit Riyanto.
Tetapi hubungan antara GSRBI dengan PIPA seakan-akan merupakan
kesatuan, karena dalam proses berkesenian kami saling berhubungan. Tidak
heran apabila pada akhir gerakan GSRBI di Jakarta, personel-personel
PIPA langsung bergabung dengan GSRBI.
Saya masih ingat, di Ancol, GSRBI besama-sama PIPA (FX. Harsono,
Mulyono, Gendut Riyanto (almarhum), Haris Purnomo,Bonyong Munny Ardhie)
mengadakan pameran yang bertajuk “Lingkungan”.
Relevansinya Dengan Masa Kini
Seni Kepribadian Apa sampai sekarang masih relevan, karena ternyata
kehidupan sekarang masih sama dan tidak berbeda dengan masa lalu.
Artinya kita masih merasakan kehancuran sistem politik kita, dimana
tokoh – tokoh sebagai wakil rakyat justru mengkhianati rakyatnya sendiri
dan larut memperkaya diri dengan korupsi besar-besaran. Keadaan
ekonomi yang selalu melonjak, membuat jurang antara si kaya dan miskin.
Hal ini menjadikan “Kredo” PIPA, kembali menguak pada komunitas
kami. Kondisi dunia kesenian saat ini yang dikuasai pasar, kita semua
bisa melihat nama –nama dari komunitas PIPA yang berada di hingar
bingarnya pasar tersebut, misalnya Dede Eri Supriya, Haris Purnomo,
Ronald Manulang, Bambang Darto, Ivan Haryanto, Umbu Tangela, dan saya
sendiri.
Keberadaan kami ini hampir selalu ada dalam setiap event pameran
dalam negeri maupun luar negeri. dari yang berada di Kolektor maupun
Pasar seni, Bazaar ataupun Balai Lelang .
Solo, 15 Maret 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar