Labels

Sabtu, 07 September 2013

Dangdut, Buka Sitik Jos

Oleh Nanang Fahrudin

Mungkin, tak ada musik yang semeriah dangdut. Betapa tidak, dangdut begitu akrab di tengah masyarakat bawah, dangdut telah menjadi budaya massa. Dangdut identik dengan hiburan masyarakat kelas bawah. Sehingga tak heran jika dalam setiap acara yang digelar oleh masyarakat, seperti acara pernikahan hingga HUT RI, dangdut menjadi pilihan hiburan nomor satu.

Dalam perkembangannya, dangdut pun bersinggungan dengan musik-musik lain semacam pop dan rock. Tak mengherankan jika musik melayu ini juga (era tahun 1990 an) sudah masuk ke MTV Asia dengan program acara “MT Salam Dangdut”.  Oleh MTV, dangdut “dipaksa” menjadi hiburan kelas atas, mengingat MTV adalah televisi yang identik dengan budaya kosmopolitan. Musik dangdut lalu berkembang dan membentuk variannya sendiri; mulai dangdut rock, dangdut pop, dangdut koplo, dangdut remix, dan lainnya.

Apapun jenis musik dangdut, selalu menjadi hiburan meriah, terutama bagi kalangan masyarakat bawah. Banyaknya Orkes Melayu (OM) yang muncul saat ini, ikut menyemarakkan musik dangdut di tanah air. Mereka mencipta lagu, dinyanyikan oleh artis-artis lokal, mengandalkan tampil dari satu panggung ke panggung lain. Lagu-lagu yang dinyanyikan oleh artis OM ini pun sangat akrab di telinga masyarakat. Lihat saja fenomena lagu “Buka Sitik Jos” atau “Oplosan”. Lagu itu begitu populer mulai orang dewasa hingga anak-anak.

Mona Lohanda dalam buku Seni dalam Masyarakat Indonesia (1991) mencatat, musik dangdut mulai dikenal di tanah air pada tahun 1960 an dengan pemunculan seorang bintang Ellya Khadam dengan lagu berjudul Boneka dari India. (hal: 140). Lalu ada Rhoma Irama yang kemudian dikenal dengan Raja Dangdut. Dangdut kemudian tertolong oleh industri kaset dan CD serta media massa yang banyak mengulas dangdut.

Setidaknya ada tiga hal yang menarik dari musik dangdut. Pertama dangdut adalah musik yang begitu luwes sehingga bisa “dikawinkan” dengan jenis musik apapun. Lagu-lagu pop yang hit, akan menjadi meriah dengan goyangan setelah lagu pop tersebut di-dangdut-kan. Mungkin ini berkaitan dengan keahlian orang Indonesia (kata Cak Nun) yang hebat untuk meniru cengkok lagu apapun.

Kedua, lagu dangdut adalah hiburan masyarakat bawah sebagai pelepas kungkungan kemelaratan yang menjepit mereka. Setiap hari, masyarakat bawah didera berbagai masalah ekonomi yang semakin sulit, dan dangdut menjadi hiburan sangat murah. Apalagi banyak pentas dangdut, terutama pada acara HUT RI , yang gratis ditonton. Berbeda dengan musik pop atau jazz yang seringkali mengenakan tarif sangat mahal.

Ketiga, musik dangdut adalah musik perlawanan. Ketika budaya pop dan jazz yang dijuluki kosmopolitan karena berkiblat ke barat digandrungi masyarakat, maka dangdut muncul dari dalam masyarakat Indonesia dengan wajah kemeriahan bersama. Musik dangdut juga menjadi musik perlawanan karena para pe-dangdut berkreasi sendiri, memasarkan produknya sendiri, lagunya dinyanyikan bukan oleh artis yang sering nongol di televisi. Ya, musik dangdut selalu merangkak dari bawah.

Lihat saja bagaimana perjuangan Ayu Ting Ting dan Inul Daritista utuk mampu tenar seperti sekarang. Mereka naik dari satu panggung ke panggung lain, mengasah kemampuan sebagai penghibur sekaligus penyanyi dangdut. Musik dangdut mampu berdiri sendiri dengan keterbatasan alat musik sekalipun.

Ya, dangdut mampu mengajarkan sebuah perjuangan di dunia hiburan yang kerap melupakan kemampuan berkesenian. Meski bagaimana pun juga, ada banyak catatan kritis buat dangdut, yakni pada lirik-lirik yang seringkali tidak sesuai dengan psikologi anak. Yakni lirik lagu yang hanya cocok untuk orang dewasa. Dangdut selalu mengandung di dalamnya plus minus. Tapi tidak bisa dipungkiri bahwa dangdut sangat digemari masyarakat tanah air. Selamat berdangdut! Salam.

Penulis adalah reporter blokBojonegoro.com dan Koordinator GusRis Foundation

Tidak ada komentar:

Posting Komentar