Oleh Moh. Syafari Firdaus
“Menjadi, atau tidak sama sekali.
Itulah pertanyaannya.”
Hamlet sering
disebut sebagai karya drama paling populer, paling panjang, dan sekaligus
dinilai sebagai karya terbaik William Shakespeare. Naskah yang ditulis sekitar
awal tahun 1600-an ini ditemukan beberapa versi, namun yang paling sering
digunakan adalah versi quarto kedua (dipublikasikan 1604) dan folio pertama
(dipublikasikan 1623). Bagi saya sendiri, Hamlet selalu menyusup menjadi
sesuatu yang penuh teka-teki. Hamlet si peragu yang murung atau Ophelia yang
depresif-melankolik-determinis, barangkali adalah sosok-sosok yang terlalu
muram: mereka seperti berdiri di luar lingkaran semangat Renaisance yang
menjadi suara zaman pada saat itu.
Pada konteks tertentu, Hamlet
seolah bersisian dengan Dr. Faustus Chistopher Marlowe (ditulis sekitar
1592-1593), mengisi sisi ekstrim “otak kiri” dan “otak kanan” Renaisance:
jika Faustus dengan penuh gelora begitu berani menggadaikan dirinya demi
rahasia ilmu pengetahuan kepada Mephistophilis; Hamlet justru menenggelamkan
dirinya dalam lautan melankoli, menebar kehampaan masa lalunya, terus diayun
kebimbangan untuk “menjadi, atau tidak sama sekali.”
Yang kemudian terjadi pada
keduanya―yang belajar di tempat yang sama, Universitas Wittenberg―adalah
tragedi: Faustus lenyap ditelan kutuk atas gelora, hasrat, dan godaannya yang
tak tertahankan; sedangkan Hamlet tidak pernah bisa “menjadi”, hanya ingin
Horatio menceritakan kembali kisahnya sebagai penyaksi.
Ini adalah pertemuan pertama saya
dengan Hamlet di atas panggung pertunjukkan teater. Sebelumnya, saya
bertemu Hamlet di tengah kerimbunan kata-kata yang berjejal dalam
kepala; sampai beberapa waktu kemudian saya dipertemukan pula dengan Hamlet
Franco Zeffirelli (yang tampak berusaha patuh dengan Shakespeare), Hamlet
Kenneth Branagh (yang membawanya ke era Victorian), dan Hamlet Michael
Almereyda yang mengadaptasinya dengan baik ke dunia kekinian.
Kali ini, pertemuan dengan Hamlet
di atas panggung pertunjukkan teater itu berlangsung sekitar 160 menit, di
Gedung Sunan Ambu, STSI Bandung, 26 April 2007. Hamlet kali inidimainkan
oleh Studio Teater STSI Bandung, dengan sutradara Fathul A. Husein.
··
Lakon Hamlet kali ini memang
tidak digarap secara utuh. Cukup bisa dimengerti kalau dalam hal ini Fathul
beralasan, sebagus apapun pertunjukkannya, lakon Hamlet yang jika
dipanggungkan utuh akan berdurasi sekitar 4 sampai 5 jam, akan menjadi tontonan
yang melelahkan. Maka dari itu, seperti yang ditulis dalam lifletnya,
pertunjukkan Hamlet kali ini disebut sebagai “versi tafsir sutradara
berdasarkan terjemahan Trisno Sumardjo.”
Di tingkat konseptual, Fathul
sebenarnya menawarkan sesuatu yang menarik. Dalam tafsir saya atas tulisannya
di liflet pertunjukkan, Menaklukkan Hamlet, Fathul sepertinya ingin
memadukan metode Brecht (upaya fabel dan efek alienasi) dengan metode
Stanislavsky (penciptaan super-objektif). Dengan upaya fabel dan efek alienasi
Brecht, diharapkan akan ada gambaran utuh yang metaforistik yang bisa
direfleksi oleh manusia “masa kini” sampai pada taraf pendiskusian diri, kritik
diri, dan perbaikan diri; sementara dari metode Stanislavsky, akan ada
pemahaman yang lebih mendalam untuk penggalian karakter dari masing-masing
peran yang dimainkan.
Sebenarnya akan ditemukan sejumlah
perbedaan yang cukup kontras jika melihat dasar metode Brecht dan metode
Stanislavsky. Metode Brecht dimaksudkan untuk menggugah kesadaran intelektual
para penonton (dengan menghadirkan problem moral dan refleksi realitas sosial
kontemporer di atas panggung) lewat cara menutup respon emosional dan
menjauhkan tendensi para penontonnya untuk berempati terhadap karakter-karakter
yang dimainkan dan peristiwa-peristiwa yang muncul di dalam pementasan;
sedangkan metode Stanislavsky justru mempersuasi penontonnya―lewat metode
pemanggungan dan akting yang senatural mungkin―untuk melihat dan meyakini peristiwa
yang terjadi di atas panggung sebagai sesuatu yang nyata. Meskipun kedua metode
itu tampak jauh berbeda, namun bukan suatu yang mustahil jika keduanya
digabungkan untuk satu pertunjukkan.
Secara permukaan, upaya untuk
menghadirkan gaya Brechtian muncul di wilayah artistik, terutama pada setting
panggung dan pilihan kostum; sedangkan jejak Stanislavskyan bisa
terbaca―meskipun samar saja―dari aspek-aspek yang berkaitan dengan pemeranan.
Di wilayah aksentuasi artistik,
memang tampak benar ada upaya “pengasingan”. Namun, jika upaya fabel dan efek
alienasi Brecht adalah usaha untuk “memperasing kekinian” lewat peminjaman
substansi peristiwa yang terjadi di tempat lain atau pada kurun waktu yang
berbeda, tatkala melihat setting panggung dan kostum yang dikenakan,
saya praktis kehilangan basis referensial untuk bisa mengenali substansi
peristiwa semacam apa yang telah dipinjam untuk konteks pertunjukkan Hamlet
ini. Efek alienasi Brecht, setidaknya dalam pemahaman saya, kiranya tidaklah
perlu membuat sesuatu menjadi “aneh” dan menghilangkan basis referensialnya;
namun cukup dengan membuat sesuatu menjadi “tidak lazim” yang tetap bisa
dikenali jejak kehadirannya. Dengan tetap dikenali basis referensialnya itulah,
upaya alienasi akan bisa terasa memberikan efeknya.
Dalam konteks pemeranan, penguasaan
para aktor terhadap ruang (panggung, sett, dan properti) tampaknya menjadi
kelemahan mendasar pada pertunjukkan ini. Begitu pun dengan kontrol terhadap
tubuh yang berimplikasi pada permainan secara keseluruhan. Gestur besar dan
gerakan lebar―yang sepertinya dipilih untuk mengimbangi keluasan panggung Sunan
Ambu―seringkali terlihat kaku, grasa-grusu, dan terlalu didramatisir. Nyaris
tidak terlihat ada tubuh yang bermain rileks selama pertunjukkan berlangsung. Setting
tangga berkain merah di antara dua pilar yang ditempatkan di pojok panggung,
beberapa kali sempat terguncang terkena hentakkan. Cara berpelukan yang
diperlihatkan dalam beberapa adegan seperti rangkulan orang yang sedang
bergulat. Sebagai ksatria, Marcellus dan Horatio seolah tidak bisa mengenali
pedangnya sendiri ketika mereka tertukar mengambil pedang sesaat setelah adegan
mereka bersumpah dengan Hamlet.
Lemahnya kontrol para aktor
berpuncak pada adegan kematian Laertes. Adegan yang berada di rentang klimaks
menuju ending yang dalam bayangan saya mestinya dramatis, justru menjadi
menggelikan tatkala Laertes (yang barangkali terlalu bersemangat untuk mati)
jatuh tertelungkup, baju bagian belakangnya tersingkap, celana panjang ketatnya
tertarik agak melorot ke bawah, sehingga celana dalam bagian atas-belakang yang
dipakai Heksa Ramdono yang memerankan tokoh Laertes ini dengan jelas terlihat.
Alhasil, para penonton―atau setidaknya sejumlah penonton yang duduk di dekat
saya―gelak tertawa.
Selain itu, konsistensi pemeranan
pun kiranya bermasalah. Polonius (Yadi Mulyadi) yang digambarkan bungkuk dalam
pementasan ini, misalnya, seringkali tidak konsisten dengan kebungkukannya.
Kadang bungkuk sekali, terkadang setengah bungkuk, bahkan ketika Polonius mati
ditikam pedang Hamlet, tubuh Polonius tampak terkapar lurus (saya tidak tahu
persis, apakah kalau orang bungkuk mati, seketika mereka tidak bungkuk lagi?).
Barangkali, ini adalah secuil hal
kecil, mungkin juga “hanya soal teknis”. Namun, akibat yang ditimbulkannya justru
sungguh teramat celaka, karena “tragedi” secara tidak sadar telah menjadi
“komedi”. Tentu saja, akan lain lagi soalnya jika lakon tragedi ini memang
dimaksudkan dengan sadar untuk dipanggungkan sebagai komedi; dan Hamlet
garapan Fathul ini jelas tidaklah dibangun dari kesaradaran untuk memanggungkan
tragicomic semacam itu.
Dengan melihat fakta yang terjadi
pada pertunjukkan Hamlet ini, upaya fabel dan efek alienasi Brecht yang
ingin ditawarkan Fathul, tampaknya hanyalah menjadi konsepsi apologis yang dipilih
untuk membalut di sisi permukaan, tidak sampai turun pada tahap representasi.
Sukar untuk mendapatkan gambaran utuh yang metaforistik yang bisa direfleksi
oleh saya, sebagai manusia “masa kini”, seperti yang diharapkan dari efek
alienasi ala Brecht, terlebih untuk sampai pada taraf pendiskusian diri, kritik
diri, dan perbaikan diri.
Adegan yang menggambarkan betapa
depresifnya Ophelia saat berbicara di pelukan kakaknya, Laertes, yang baru
datang dari Perancis, terasa menjadi hambar―dan pada tahap tertentu, menjadi
menggelikan―dengan komposisi blocking para aktornya: Raja Claudius dan
Ratu Getrude hanya berdiri memandangi kakak-beradik yang tengah dilanda
duka-nestapa itu, tanpa memberikan respon yang signifikan. Dalam bayangan saya,
pada adegan itu akan tampak terkesan Brechtian andai saja Raja Claudius dan
Ratu Getrude meresponnya dengan berdansa, misalnya, daripada berdiri cengo
begitu rupa; sekaligus untuk merespon background musik agar kehadiran
musik itu pun tidak hanya menjadi ilustrasi dan tempelan untuk membuat adegan
terkesan sendu mengharu-biru.
Hal yang lebih kurang sama terjadi
juga dengan performa akting Stanislavskyan dalam konteks pemeranan. Peran
Hamlet yang dimainkan Irwan Jamal, yang menempati porsi terbesar dalam lakon
ini (konon, tokoh Hamlet adalah tokoh utama yang menempati porsi terpanjang
dibandingkan dengan porsi para tokoh utama dalam lakon-lakon Shakespeare
lainnya), seperti kehilangan jejak tafsir untuk motif super-objektifnya. Yang
muncul pada peran Hamlet kali ini seolah hanyalah hentakan kemarahan yang itu
pun diartikulasikan nyaris dengan teriakan.
Peran Laertes (Heksa Ramdono) lebih
mengesankan jika Laertes memiliki “problem orientasi seksual”: selain dimainkan
dengan cara “melambai”, cara Laertes “menyentuh” Ophelia pun, tampak terkesan
lain, seperti bukan sentuhan seorang kakak terhadap adiknya. Sebenarnya boleh
jadi menarik untuk menampilkan karakter Laertes dengan “problem orientasi
seksual” semacam itu. Hanya, sayangnya, hal itu tidak digali dan dibongkar
lebih jauh, sehingga karakter Laertes itu pun menjadi kehilangan motif dan
basis referensialnya. Begitu pun dengan karakter Ophelia (Zulfa Laila), yang
muncul adalah Ophelia yang penuh histeria; sementara peran Claudius yang
dimainkan Okky Sandi, malah mengingatkan saya pada jejak gestur aktingnya
Muhamad Sunjaya.
Dari keseluruhan pertunjukkan itu,
hanya adegan pertemuan Hamlet dengan Roh Raja Hamlet yang boleh disebut sebagai
adegan terbaik. Penempatan lampu spot ke tengah panggung yang menyorot
ke arah Hamlet yang berlutut di hadapan roh ayahnya, memberi gradasi aksen
hitam-putih dan terang-gelap yang secara visual sungguh sedap dinikmati.
Jika berbicara soal tafsir atas
teks, Fathul sepertinya tidaklah menafsirkan teks Hamlet sebagaimana
yang tertulis di liflet pertunjukkan: hanya memotong dan menghilangkan beberapa
bagian agar teksnya lebih pendek. Di satu sisi―sebagaimana yang dijelaskan pula
dalam lifletnya―ada keinginan untuk memetaforakan, mendistorsi, dan sekaligus
mengeleminasi kecerewetan berlebihan dan sikap yang terlalu menjelas-jelaskan
dalam teks Hamlet Shakespeare ini; namun di sisi lain tampaknya tidak
ada cukup upaya untuk membongkar lebih lanjut, dan menyusun ulang teks tersebut
(Kenneth Branagh, saya pikir, bisa mengintrepetasikan teks Hamlet dengan
gilang-gemilang lewat filmnya itu).
Alhasil, pada pementasan Hamlet
yang disutradarai Fathul ini hampir tidak ada adagen yang diubah secara
signifikan dari teks aslinya. Begitu pun dengan artikulasi verbal yang menjadi
dialog tokoh-tokohnya: tetap mempertahankan bahasa liris-puitis Shakespeare
yang telah diindonesiakan. Seandainya di tingkat artikulasi verbalnya ini pun
dibongkar dan disusun ulang (terutama pada konteks mise-en-scene-nya),
barangkali Hamlet akan semakin pejal dan bisa direfleksi sebagai
realitas sosial kontemporer oleh manusia “masa kini”, bahkan tanpa perlu
diembel-embeli dengan tempelan konsepsi Brechtian segala.
Ya, Hamlet yang bertemu
dengan saya kali ini adalah Hamlet yang serba tanggung, “ikan bukan,
daging tidak”: bertemu dengan Hamlet si peragu yang sebenarnya. Jika merujuk
pada ucapan Hamlet yang saya kutip di bagian pembuka tulisan ini, barangkali
itulah juga yang kemudian menjadi pertanyaan untuk pementasan ini: “to be,
or not to be ‘menjadi, atau tidak sama sekali.’”
Agar nasibnya tidak setragis Hamlet,
kiranya pertanyaan itulah yang pertama-tama harus “ditaklukkan”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar