Posted on Juli 4, 2011 by foltrus666
Bahkan kita tidak tahu bagaimana bisa lahir panggung Prosenium yang sangat konvensional yang akhirnya bertahan sampai sekarang ini. Sejak awal kebudayaan Yunani kuno sampai era produksi mekanis seperti sekarang ini. Bentuk konvensional Proseniumyang memiliki single point of View membuatnya juara ketika menghadirkan bentuk dramatikal yang bertujuan untuk dilihat. Trik-trik atau tipuan panggung bisa berjalan mulus karena penonton hanya memiliki satu sudut pandang untuk menyaksikan apa yang disajikan diatas panggung.
Kelemahannya tentu saja ada bagian ekspose yang terbengkalai, juga bagaimana keterbatasan single point of view ini hanya memperlihatkan dan tidak bisa menunjukan keaslian atau nilai realis yang seharunya sampai. Akan tetapi dengan keterbatasan seperti ini kecerdasan para pengguna prosenium sepertinya ditindaklanjuti dengan baik, dimana prosenium dengan single point of view-nya membawa pengkreasi ke tahap imajinasi yang lebih tinggi. Unsurunsur simbolik berkembang dan konvensionalitas kini dibabat dengan lahirnya konvensikonvensi baru yang berkelanjutan.
Dramaturgi mengenai panggung, dan belahbelahannya kini menjadi semcam titik awal pembedahan yang lebih liar. 9 titik panggung yang diperkenalkan oleh konvensi dasar dramaturgi bisa saja diacuhkan dan direinkarnasikan menjadi sebuah inovasi yang segar dan kerja kreatif. Namun kadang beberapa kajian konvensional yang menitik beratkan pada pengkajian bentuk belahan panggung prosenium membuat prosenium itu mati dalam dirinya sendiri. Disinilah kelahiran konvensionalitas baru dilahirkan kembali setelah dihancurkan berkalikali.
Jika dalam bentuk dasar dramaturgi, khususnya pada unsur stage slice prosenium dibagi menjadi 9 bagian utama, maka dalam melahirkannya kembali kita harus mengerti console utama dan bagaimana peranan 9 belah panggung yang dimiliki prosenium. Kebanyakan Prosenium memiliki 4 lorong sayap dan satu lorong belakang. Dengan mengerti keadaan ini, tehnik kemunculan bisa digagahkan menjadi lebih dramatik dan meneror tentu saja ini berguna untuk kepentingan konteks text yang ingin disajikan.
Namun tentu saja saya tidak ingin membahas tetek-bengek masalah komposisi pada prosenium, akan tetapi saya ingin menjelaskan bagaimana mengakali bagaimana kreatifitas kita bisa mengagahi prosenium, jika dilihat dari kemonotonan bentuk penyajiannya. Tentu saja selama ini hal tersebut banyak dipikirkan oleh penggiat panggung, baik musik, tari ataupun teater.
Seiring dengan perkembangan seni pertunjukan khususnya teater, setelah revolusi teater yang terjadi pada dekade 70’an di Amerika akhirnya beberapa dekade berikutnya seni teater non-konvensional—di Amerika sana sudah jadi konvensional—masuk ke Indonesia. Pementasan kesenian di ruang publik di galakan dan makin sering terjadi, bahkan ada festiva Monolog Ruang Publik yang diselenggarakan oleh FTI (Federasi teater Indonesia).
Akan tetapi sangat disayangkan bila kita melihat selalu ke barat dimana sebenarnya matahari terbenam. Jika kita melihat ke ranah pertunjukan pada kebudayaan kita sendiri, sebenarnya street theater atau guerilla theater sudah pernah lahir di Indonesia. Jika kita mengkaji lebih dalam buku karya James L. Peacok Rites of Modernity kita bisa melihat bagaimana sebenarnya modernitas yang dibangun oleh seniman saat ini adalah halhal yang telah dilakukan teater rakyat pada masa lalu.
Berbicara mengenai hal tersebut lantas saya jadi miris ketika kita terjebak pada prosenium, sedangkan Kuda Lumping bisa dipentaskan tanpa tata cahaya atau panggung. Bumi adalah panggungnya, dimana penontong mengelilinginya. Menguburkan prosenium berarti menghilangkan hierarki ekonomi atau kelas sosial pada kesenian. Dimana siapa yang bayar paling mahal akan mendapatkan tempat paling bagus. Seharusnya kesenian tidak menjadi semacam bisnis, ini adalah sinergi yang indah antara pelaku seni dan lingkungannya, dimana pembayaran dilakukan dengan sukarela dan penontonnya (menontonnya) tanpa ada beban dan selalu kembali kepada paham Dulce et Utile.
Menguburkan Prosenium berarti menjadikan kesenian menjadi sesuatu yang lebih baik dan lebih ekspresif. Kebebasan adalah inti dari kesenian itu sendiri dan menjadikannya berguna bagi lingkungan sekitar. Juga membebaskan kita dari belenggu feodalisme khas eropa—juga secara tidak langsung seperti yang dikatakan Pram; Fasisme Jawa.
Melihat Prosenium adalah melihat penjara tua yang seharusnya menjadi situs purba yang dipakai untuk pertunjukanpertunjukan klasik, bukan sebuah pertunjukan revolusioner dan memiliki nilai kebaharuan yang tinggi. Jadi ayo ramairamai kita beri ruang baru bagi proses kreatif dan menjadikannya sinergi dengan kebudayaan yang seharusnya kita sadari sudah lama kita miliki.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar