Barangkali siapa pun di dunia ini pernah merasakan kehilangan. Mulai dari hal-hal yang dianggap remeh maupun berharga. Kehilangan kaos kaki, sepatu, baju, dompet, buku, handphone, pekerjaan, jabatan, sampai kehilangan orang yang kita cintai. Biasanya kehilangan menuntut asal musabab dan kita sering melontarkan pertanyaan-pertanyaan untuk mengejar kepastian karenanya. “Di mana kaos kaki hilang? Kenapa dompet hilang? Kapan buku hilang? Bagaimana jabatan bisa hilang? Oleh siapa kekasih hilang?”, pertanyaan-pertanyaan yang selalu mengejar jawaban. Atau, mungkin tidak sekedar butuh jawaban melainkan berupaya lebih jauh bahwa kehilangan mesti dihindari, tidak boleh terjadi dan harus kembali! Misalnya, mencari tersangka, menginterogasi dan menghukumnya sambil meminta ganti rugi. Seolah-olah kehilangan merupakan sesosok makhluk yang hanya patut dibenci, dimarahi, disesali, diratapi, dijauhi. Seolah-olah kehilangan tidak berhak dimiliki!
Kehilangan seperti di atas relatif mudah diterima karena faktanya jelas. Lalu bagaimana jika penyebab kehilangan tidak mampu diungkai? Jika tidak mampu menjawab “di mana?”, “kenapa?”, “kapan?”, “bagaimana?”, “oleh siapa?” penyebab kehilangan bisa terjadi? Hilang begitu saja, tanpa juntrungan yang jelas, tanpa fakta yang akurat, dan tanpa secuil pun informasi. Jika begitu, apakah kita mesti marah, sedih, bahagia, tenang, atau cemas menyikapinya? Tentu semua perasaan itu pasti campur aduk di dalam harapan dan kepasrahan karena kehilangan sejenis ini masih disangsikan. Maka pada saat itu, yang mampu meredam kesangsian adalah dugaan-dugaan: “Jangan-jangan tidak hilang, tapi lupa nyimpan?”, atau “Hhmm, apakah hilangnya di …?”, “Oh, mungkin hilangnya karena …”, “Pasti hilangnya karena …”, “Yakin hilangnya karena …!”. Pada kesempatan itulah manusia sedang menampakan keterbatasannya; pikirannya, perasaannya, kecerdasannya, ingatannya, pengalamannya, pengetahuannya, dsb. Terkadang, dugaan-dugaan yang muncul kemudian dianut menjadi aksioma. Pada akhirnya, manusia menjelma makhluk yang diliputi segala prasangka.
Kehilangan seperti itulah yang dialami oleh sepasang suami-istri dalam kisah “Kembali”. Kehilangan seorang anak tanpa kejelasan tentang hilangnya. Hilang begitu saja, tanpa ada kabar atau pun berita. Bagi mereka, kehilangan anaknya berada di ambang ketidakpastian. Sehingga, sepasang suami-istri ini terus dihantui oleh segala prasangka dan harapan dalam hidupnya. Dan, ketika prasangka muncul maka bayang-bayang harapan menyembul. Mereka menganggap anaknya telah meninggal, tetapi di sisi lain bayangan anaknya datang kembali senantiasa menghampiri.
“Kembali” merupakan kisah tentang orang tua yang ingin memastikan bahwa anak mereka benar-benar hilang. Kehampaan dan kekosongan menyelimuti pasangan orang tua ini. Hingga pada suatu hari ketukan pintu terdengar. Anaknya muncul, tampak lusuh, kotor dan lapar. Kedatangannya tidak mampu memberikan jawaban yang memuaskan atas apa yang telah terjadi. Kehidupan dimulai lagi. Lalu kemudian putra mereka hilang untuk kedua kalinya, lalu ketiga, dan seterusnya. Peristiwa kehilangan ini terjadi berulang kali dengan cara berbeda dan intensitas yang semakin sering. Reaksi orang tua berubah secara bertahap, dari peduli, putus asa, cuek, dan agresif. Sehingga ketidaknyamanan bangkit dalam diri mereka.
Harapan telah menjadi penggerak hidup mereka pasca kehilangan anaknya. Mereka mencoba kembali membangun kehidupannya. Namun, rupanya kehilangan anaknya cukup membuat hidup mereka tersiksa. Setiap hari, tokoh ayah hanya berdiri di depan jendela. Tampak gelisah, lusuh, lelah dan tidak hirau pada tubuhnya sendiri. Seperti menunggu, tapi entah menunggu siapa. Barangkali menunggu anaknya kembali. Dan di sisi lain, tokoh ibu mengisi waktunya dengan menyulam. Menyulam untuk siapa? Entahlah, dia sendiri ternyata tidak tahu jawabannya, tidak tahu untuk siapa. Barangkali hanya sekedar mengisi waktu luang. Tetapi, itu pun masih diragukan karena ternyata dalam lubuk hatinya yang terdalam, perasaan ibu tidak jauh berbeda dengan ayah. Mereka sama-sama memiliki harapan anaknya (bisa) kembali.
Penantian mereka sudah berlangsung cukup lama. 20 tahun. Hampir mencapai setengah usia mereka. Tapi mungkin bagi mereka, durasi selama itu tidak berarti apa-apa. 20 tahun atau 5 dasa warsa sama saja. Karena waktu tidak lagi diukur sebagai rentetan detik demi detik, menit demi menit, jam demi jam, minggu demi minggu, tahun demi tahun. Waktu bagi mereka hanyalah soal bagaimana menikmati perasaan yang sedang dialami. Seperti halnya dalam permainan sepak bola, injury time 10 menit bagi tim yang sedang kalah akan terasa sebentar dan akan terasa lama bagi tim yang sedang menang. Begitu pula yang dialami oleh sepasang suami istri ini, waktu terasa sebentar karena mereka sedang dikalahkan oleh prasangka dan harapan anaknya kembali.
Persekutuan prasangka dan harapan telah menyatu dalam perasaan mereka. Perasaan itulah yang kemudian justru menjebak mereka pada hal-hal romantisme, berpandangan bahwa kehidupan ideal terjadi di masa lalu. Kebahagiaan telah berlalu. Kebahagiaan telah hilang. Seolah-olah kebahagiaan hanya hadir pada saat anaknya kembali. Sehingga yang demikian itu membentuk mereka menjadi keluarga disfungsional, stagnan, dan tidak progresif. Sebuah keluarga yang mengabaikan realitas dan senantiasa mengejar fakta.
Oleh karena itu, perkenankanlah saya untuk menduga-duga. Harapan hendaknya menjadi “pertarungan” antara intropeksi masa lalu dan perjuangan masa kini untuk meraih masa depan yang diharapkan. Seandainya saja mereka mampu mengelaborasi harapannya, tidak melulu bertumpu pada masa lalu, tidak terjerembab meratapi kehilangan, maka tidak menutup kemungkinan mereka dapat mewujudkan kehidupan ideal di masa depan dengan penuh kebahagiaan. Atau, mungkinkah mereka sudah bahagia dalam penantian anaknya kembali? Ah, saya kesulitan untuk menjawabnya. Karena saya manusia, penuh keterbatasan dan hanya bisa berprasangka. Dunia memang absurd!
Walau pun begitu, kita telah memafhumi yang pasti bahwa sesuatu yang telah dijaga sebaik apapun niscaya tidak luput dari kata hilang. Kehilangan dalam beragam bentuknya senantiasa akan terus mengintai. Segiat-giatnya menimbun kekayaan, sepintar-pintarnya mempertahankan jabatan, serajin-rajinnya memelihara pencitraan, sepandai-pandainya menjaga kebahagiaan, dan setulus-tulusnya merawat kasih sayang pada orang yang kita cintai kelak akan hilang jua. Kehilangan tidak dapat terelakan. Tidak ada yang abadi di dunia ini. Yang abadi di dunia ini adalah kefanaan itu sendiri. Atau kadang kita lupa menyikapi makna kehilangan? Bahwa sebenarnya kehilangan tidak pernah meninggalkan ketiadaan, tapi senantiasa meninggalkan jejak yang kadang kita luput ditapaki kembali. Tabik!
* Sutradara dan Pendiri Jalan Teater
Tidak ada komentar:
Posting Komentar