(Ulasan atas Pementasan Teater Satu)
Oleh: Sahlan Bahuy*)
Dalam rangka Festival naskah Terjemahan yang diselenggarakan Komunitas Salihara pada tanggal 22-23 Juni nanti, Teater Satu akan mementaskan kembali lakon “Anak yang dikuburkan” Karya Sam Shepard. Lakon yang cukup populer di Amerika ini sebelumnya telah mereka mainkan di Taman Budaya Lampung pada 22 Mei lalu.
Anak yang Dikuburkan (Buried Child) merupakan lakon Sam Shepard, penulis terkemuka Amerika, yang ditulis pada tahun 1979. Tahun itu merujuk pada diakronis perkembangan industrialisasi di Amerika. Peristiwa yang bersifat kausalitas dalam memengaruhi pelbagai kehidupan masyarakatnya. Rizom industri kian masif merepresi ke pelbagai sendi-sendi kehidupan manusia. Materialisme menjadi orientasi radikal manusia tanpa perlu mengacuhkan nilai-nilai kemanusiaan. Manusia terlampau disederhanakan sebagai “mesin”, “sekrup” atau “materi” yang tak memiliki perasaan serta pikiran. Barangkali fenomena itu menjadi mozaik kepingan-kepingan teks yang dipungut Sam Shepard atas kelahiran Anak yang Dikuburkan (Buried Child). Bagaimana institusi industri menjadi sumber agresi terhadap tubuh dan nilai (ke)manusia(an) kemudian menjalar pada keruntuhan institusi keluarga.
Lakon Anak yang Dikuburkan terjemahan Dian Ardiansyah dan Ami Risalatun yang dipentaskan oleh Teater Satu (22/5) telah mengalami proses adaptatif. Iswadi Pratama sebagai sutradara melakukan modifikasi struktur dan konteks sehingga mengalami reduksi serta habituasi konteks ke dalam persoalan masyarakat Lampung; secara sadar ia berusaha menampilkan biodrama satir eksistensialisme manusia yang menginternalisasi teks (hasil adaptasi) ke dalam tekstur (panggung), seperti yang diyakininya bahwa embarkasi wacana-wacana Sam Shepard selalu bertolak dari pertanyaan-pertanyaan tentang makna keber-Ada-an manusia. Wacana industrialisasi hanya menjadi latar peristiwa, tidak dikupas lebih jauh.
Persoalan utama yang diangkat merupakan pergulatan sebuah keluarga petani yang makin terpuruk pasca ekspansi industrialisasi yang telah mengubah lahan-lahan pertanian menjadi belukar beton dan mesin-mesin. Keluarga sebagai sistem sosial manusia dipaksa kehilangan sumber mata pencaharian, kepunahan akar sosial dan budaya yang telah membentuknya. Keluarga yang senantiasa berada dalam situasi gamang, tidak mempunyai orientasi, dan teralienasi dari lingkungannya sekaligus menanggung ketragisan harus tercerai-berai dengan anggota keluarga. Hal itu membentuk manusia menjadi semacam makhluk yang lepas dari ikatan substansialnya sehingga terlempar ke dunia yang asing. Manusia yang serba terbatas terlempar pada dunia tak terbatas.
Alkisah. Sebuah keluarga petani yang tinggal di kabupaten Mesuji provinsi Lampung terpaksa harus rela kehilangan mata pencahariannya karena ekspansi industri perkebunan sawit yang kian hari mengikis lahan pertanian mereka. Tersebutlah Alfian Raja Kepok atau Dogi seorang kaya raya menikahi Hedar Ratu Liwat atau Heli seorang janda yang telah mempunyai tiga orang anak dari tiga bapak yang berbeda; Thea, Bambang dan Bahnan. Pada mulanya, Dogi bersama istri dan anaknya hidup sentosa namun seiring berjalannya waktu hartanya habis dipakai untuk menuntut mantan-mantan suami Heli. Puncak penderitaan keluarga ini terjadi ketika Dogi jatuh melarat dan Bahnan sakit keras tanpa bisa berobat sampai kakinya cacat. Saat keadaan keluarga sangat kacau; Thea, anak sulung, memilih peruntungan di negeri lain sebagai TKI namun gagal karena bermasalah dengan majikannya lalu mencoba menjadi atlet angkat besi tapi nasibnya naas, kepalanya tertimpa barbel hingga ia sakit mental. Bambang adalah satu-satunya harapan keluarga itu, ia sukses menjadi Brimob tetapi kemudian nasibnya pun tidak semujur anaknya yang lain bahkan lebih tragis, ia meninggal karena kecelakaan pesawat. Ketika semua anggota keluarga tidak ada yang bisa diandalkan, Hedarlah yang bertanggung mengurus segala kebutuhan rumah tangga dengan berprofesi sebagai tukang jahit. Semakin hari, keluarga ini semakin menunjukan ketidakberdayaannya menghadapi penderitaan hingga pada suatu hari datanglah Iben Supendi, seorang misterius yang mengaku-ngaku sebagai anak dari salah satu anggota keluarga itu. Kedatangannya menguak pelbagai misteri dibalik segala penderitaan yang terjadi selama ini.
Tokoh-tokoh di dalam lakon Anak yang Dikuburkan memiliki impresi pada pelbagai pilihan hidup; pilihan hidup secara personal dalam kebebasan tampak pada tokoh Dogi atau Alfian (Budi Laksana), pilihan hidup pada orientasi materialisme tampak pada tokoh Hedar atau Heli (Ruth Marini), pilihan hidup terhadap pencarian identitas, akar atau sumber tampak pada tokoh Iben (M. Gandhi Maulana), dan konsistensi “kesakitan” yang mesti dijalani Thea (Desi Susanti) dan Bahnan (Baysa Deni).
Pergulatan Kontradiksi Tragedi Manusia dalam “Kesakitan”
Lakon Anak yang Dikuburkan merupakan potret kelam sebuah keluarga. Kehancuran hidup keluarga petani yang diagresi industrialisasi telah menciptakan ambivalensi nilai, moral, sosial, ekonomi bahkan eksistensi manusia. Kehancuran itu terlahir ketika imajinasi industri –ambisi, hasrat, harapan, rencana- yang konon untuk kebahagian hidup justru telah membentangkan jarak dengan manusianya. Seperti yang kita amati, produk-produk industri dan teknologi hanya menjadi arena untuk saling memiliki dan menguasai. Atau, kemajuan teknologi memproduksi senjata dan nuklir hanya membuat perang semakin bergairah. Kemajuan industrialisasi dan teknonologi beserta bayangan masa depan yang seolah tanpa batas telah memisahkan manusia dari kesadarannya sendiri. Sehingga segala kehancuran itu membuat manusia sulit mendefinisikan masa depannya; dunia dan manusia menjadi absurd.
Nuansa absurditas sangat kental dalam lakon Anak yang Dikuburkan. Sebuah keluarga dengan segala kehancuran hidupnya seolah-olah mempertanyakan “apakah hidup ini pantas untuk dijalani?”. Penderitaan yang bersifat komplementer dalam kemiskinan sangat akrab digeluti oleh keluarga ini, seperti; Dogi yang lumpuh, Thea yang sakit mental, dan Bahnan yang cacat kakinya tidak bisa mereka obati karena keterbatasan materi. Absurditas semakin tegas ketika pelbagai peristiwa memunculkan enigma-enigma tidak terduga, seperti: Thea membawa beberapa jagung yang diakuinya hasil memetik dari kebun jagung di belakang rumah padahal lahan pertanian sudah jelas tak bersisa lalu ia sering mendengar suara-suara aneh dari arah kebun itu, perdebatan Dogi dengan Heli tentang pembicaraan anak hasil darah dagingnya (anaknya yang mana?), pengakuan Thea tentang pembunuhan seorang anak yang dilakukan Dogi (anak siapa?), lalu kedatangan sosok misterius, Iben, yang mengaku anak atau cucu. Enigma-enigma itu hadir bertumpuk dan berserakan di pelbagai peristiwa sehingga mengafirmasi pada suatu kehidupan yang absurd.
Strategi untuk memecah absurditas itu disiasati dengan cerdik oleh Iswadi Pratama dengan gaya realisme yang bertendensi ke arah transendental. Konsep realisme membantu untuk mengungkapkan realitias obyektif ke atas panggung sehingga muncul gambaran keseharian yang wajar. Segala “kesakitan” yang terjadi dalam keluarga tidak ditampilkan dengan ketragisan yang berlebihan melainkan dengan segala kewajaran dalam realitas sehari-hari sehingga ketragisan itu justru mencapai titik kulminasi absurditas. Senada dengan Albert Camus (1999: 164), sebuah karya absurd dapat dikenali melalui kontradiksi tragedi dengan rohani pikiran dan wujud konkretnya; antara jiwa yang tak kenal batas dan kegembiraan jasmani yang fana. Karya absurd menjadi punya kekuatan jika ditampilkan kontras-kontras sejajar antara keduanya dan membaurkan bentuk ketragisan inheren dengan yang logis dalam keseharian.
Sedangkan pengucapan bahasa rupa, unsur-unsur transendental tampak diafirmasi oleh artistik panggung dengan visual pohon jagung kering yang mengelilingi rumah. Jagung itu menjadi personifikasi dan simbol yang mengandung keluasan makna; benih masa depan yang telah ranggas, romantisme kesuburan yang terenggut mesin-mesin, atau apapun. Bentuk ungkap transedental berguna untuk menggambarkan fenomena nyata yang tidak teramati pada tingkat kognitif. Pelukis Ari Susiwa Manangisi berhasil mengkonstruksi sebuah rumah dengan kesederhanaan dan kewajaran. Namun, penciptaan ruang itu terlampau indah, bersih dan rapih sehingga menegasikan kemiskinan, penderitaan, dan “kesakitan” sebuah keluarga. Terlepas dari itu penataan ruang tertata sangat baik, di sebelah kiri atas panggung tampak sebuah ruangan menjulang kokoh seperti mengagresi dan mengekspansi ruang lainnya. Ruang itu adalah ruang privasi Heli yang berperan sebagai pembuka gerbang konflik, segala penderitaan yang mempunyai hubungan erat dengan masa lalunya.
Di awal pertunjukan, kita bisa melihat Dogi atau Alfian sosok seorang tua pesakitan yang divonis oleh penyakit-penyakit yang mengagresi tubuh rentanya. Lalu di loteng tampak seorang perempuan paruh baya, Heli, sedang sibuk menjahit pakaian sambil memanggil-manggil Dogi. Melalui pembicaraan mereka segera dapat dirasakan impresi kedua karakter tokoh itu, sepasang suami-istri yang mempunyai pandangan berbeda dalam menyikapi kehidupan. Peristiwa itu menjadi pintu masuk dalam menguak sebuah keluarga yang beraroma perjuangan eksistensi manusia.
Anak yang Dikuburkan versi Teater Satu merupakan pergulatan kontradiksi tragedi manusia dalam “kesakitan”. Dogi yang konsisten dalam “kesakitannya” telah memilih hidupnya dalam ranah estetis; duduk seharian di sofa dan menonton tv sembari meminum minuman beralkohol. Obat-obatan yang tergeletak di atas meja hanya dianggap assesoris medis tanpa memiliki fungsi apapun dalam hidupnya. Tokoh ini kemudian seperti menikmati ketidakberdayaannya sehingga menjelma sosok ke-tanpa-an; tanpa kecemasan, tanpa harapan, tanpa tujuan. Tidak ada ukuran-ukuran moral umum yang ditetapkan untuk membatasi ruang gerak Dogi sebagai individu. Dogi telah bereksistensi dalam pilihan bebasnya atas situasi-situasi yang dihadapinya. Di sana tampak kontras-kontras ketragisan inheren dengan keseharian. Kesakitan yang parah dihadapi dengan kewajaran yang berlebihan; menonton tv dan minum alkohol. Sama sekali tidak ada perasaan emosional mengeluh pada sakitnya. Sikap menerima Dogi yang berlebihan justru menciptakan aspek tragis pada tokoh itu.
Sebagai tokoh central, Dogi merupakan stereotipikal “kesia-sian”. Ia adalah simbol ketidakberdayaan manusia ditengah segala “kesakitan” dunia. Baginya hidup adalah serangkaian absurditas yang harus diterima sebagai kewajaran. Dalam beberapa adegan pelbagai kewajaran berlebihan itu muncul pada tokoh Dogi, misalnya: ketika Istrinya pulang ke rumah ditemani Rustam sambil bermesra-mesraan, kemudian Dogi merespons tanpa emosi yang berlebihan, ia tampak menerima dengan kewajaran tanpa ada rasa cemburu, marah, atau sedih.
Kulminasi pertunjukan ini justru terletak pada kehadiran kontradiksi-kontradiksi tragedi itu. Seandainya konsistensi karakter Dogi dalam kewajaran berlebihan dielaborasi secara intens tentu absurditas yang terkandung dalam lakon Anak yang Dikuburkan akan lebih subtil mengoyak ruang-ruang kontemplatif. Dogi dengan “kesia-siannya” tidak perlu lagi marah ketika beromantisme masa lalu pada Hedar, tidak perlu merasa terancam ketika wilayahnya seperti diagresi oleh Shelly, dan tidak perlu takut ketika mencegah Thea menceritakan tragedi pembunuhan. Ia tidak membutuhkan kemarahan, kesedihan maupun pembelaan atas dirinya karena semua itu tidak akan menjelaskan dan mengubah hidupnya melainkan menegasikannya menjadi sebuah ‘perkara’. Impresi ketragisan akan muncul apabila ia menampakan kewajaran berlebihan seperti halnya menerima sakitnya tanpa keluhan dan kewajaran ketika pengakuannya tentang pembunuhan anaknya, tanpa emosi berlebihan ia mengatakan “Ya, saya membunuhnya (anaknya). Saya menjatuhkannya. Seperti kotoran, sampah. Menjatuhkannya begitu saja. Lalu saya lumpuh”. Pengakuan menghilangkan nyawa diungkapkan secara datar seperti orang kehilangkan kaos kaki, membuang abu rokok atau membuang upil di hidung. Pilihan pengungkapan seperti itu justru lebih menghentak dan menusuk ke pelbagai penjuru perasaan sekaligus menegaskan kehidupan yang absurd.
Jika tokoh Dogi dikonstruksi oleh dinamika emosi berlebihan dalam upaya mendramatisir peristiwa justru akan membiaskan ke-absurd-annya. Memang cukup beresiko bila tokoh Dogi ditampilkan secara datar, dinamika pertunjukan sulit terbangun dan riskan kehilangan tangga dramatik karena segala peristiwa berporos pada tokoh itu. Tapi hemat saya, ketakutan itu tidak perlu ada apabila tokoh lain bisa “berbunyi” dan menjadi dinamika itu sendiri. Seperti halnya dinamika dalam musik dibangun oleh dua unsur, yakni bunyi dan jeda (diam). Biarlah tokoh Dogi menjadi unsur “jeda” (dalam kewajarannya) dan tokoh lainnya menjadi “bunyi” (dalam variasi karakternya).
Secara keseluruhan lakon ini lezat untuk diapresiasi. Panggung menghidangkan konfigurasi variasi ketragisan yang dapat menyeret pada keharuan, kelucuan, kesedihan dan kegetiran. Keterampilan akting sudah dilampaui dengan baik oleh aktor-aktornya. Ruth Marini mengemban tokoh Hedar sebagai pembuka gerbang konflik segala peristiwa; Hedar, tokoh materialistik yang gemar melukis pencitraan artifisial ditubuhnya dengan alat-alat kosmetik demi kelangsungan hidupnya dimainkan dengan sangat apik. Hanya saja kedalaman psikologi, beban traumatis masa lalu dan jerih payah memperjuangkan hidupnya belum tereksplorasi dengan maksimal. Kefasihannya memainkan karakter justru sulit diimbangi ketika dikonfrontasi dengan aktor lain, misalnya Budi Setiawan yang memerankan Rustam; ia masih kebingungan memerankan tokoh yang dimainkan, tubuhnya masih diagresi oleh tubuh pubertas sehingga kesulitan menginternalisasi teks ke dalam tokoh. Berbeda dengan Thea yang diperankan Desi Susanti, pergolakan jiwa telah berusaha keras diwujudkan dalam bentuk kepolosan, kekanak-kanakan, kesakitan dan kesepian; sehingga menyembulkan jiwa murni yang telah terkubur di balik masalah-masalah mental yang dialaminya. Namun, konsistensi gestikulasi menjadi permasalahan yang belum tuntas dalam memapah tokoh itu. Walaupun pergulatan dalam batinnya fluktuatif termasuk ketidakberdayaannya mengendalikan panca indera, tokoh Thea tetap membutuhkan bingkai gestikulasi yang jelas. Inkonsistensi gestikulasi juga ditemui dalam tokoh Bahnan. Tubuhnya tampil dengan anatomi tidak normal, salah satu bagian kakinya cacat. Baysa Deni tampak belum berusaha maksimal mengeksplorasi tubuhnya sehingga yang tergambar adalah sosok cacat artifisial. Perubahan anatomi tubuh seharusnya bisa memengaruhi tubuh lainnya, bagaimana cara berjalan, duduk atau merangkak bahkan bisa juga memengaruhi caranya berbicara sehingga tampak koherensi gestikulasi dari tokoh Bahnan yang cacat. Thea dan Bahnan bisa membangun progres karakternya melalui penciptaan koreografi tubuh (dalam konteks akting) secara konstan dan organis. Tokoh Shelly sebagai manusia urban yang hidup di tengah masyarakat plural hampir berhasil diwujudkan oleh Vita Oktaviani seandainya mampu memupus ambiguitas identitas karakter (karakter manusia urban macam apa yang ingin lebih ditonjolkan?). Lalu tokoh kunci lainnya adalah Iben Supendi. Iben adalah manusia yang akrab dengan ruang kebebasan -disimbolkan dengan Bar, tempatnya bekerja-, sebuah tempat bergumulnya orang-orang hedonisme. Ruang kebebasan itu dapat memprovokasi dirinya menjadi manusia penuh kebebasan. Barangkali Iben adalah manusia yang telah melampaui segala kebebasan kemudian tersadarkan bahwa kebebasan tak terbatas telah menyeretnya menjadi manusia pada hasrat kesia-sian, sehingga ia merasa membutuhkan semacam ikatan substansial -sumber atau akar-, yaitu sebuah keluarga. Tokoh itu telah dimainkan cukup baik oleh M. Gandhi Maulana walau terkadang masih tersendat mengungkapkan narasi-narasi tubuh urban atau metropolis. Lontaran dialog tampak hanya tuntutan setoran dialog belaka tanpa mempunyai kekuatan apa-apa di dalamnya. Polusi gestikulasi masih menghiasi tokoh ini; masih ada jarak antara tubuh aktor dengan karakter yang dimainkan, kemudian yang terjadi adalah gestikulasi stereotip seperti kebiasaanya ketika mengucapkan kata “aku” atau “kamu”, jari telunjuknya selalu bergerak tidak pasti. Gandhi masih kesulitan memutasi tubuhnya menjadi manusia metropolis, masih ada sesuatu yang membelenggu tubuhnya, dan yang paling kentara merujuk pada kelemahan ingatan emosi dan keragu-raguan menampilkan ekspresivitas tubuh potensialnya.
Diakhir pertunjukan, adegan ditutup dengan pengakuan Dogi tentang misteri dibalik penderitaan yang selama ini dihadapinya. Ia mengaku telah membunuh salah satu anaknya yang dikubur di belakang rumah. Setelah pengakuan itu, Dogi dengan “kesia-siannya” segera menemui ajalnya. Adegan itu berlangsung tanpa tensi dramatis berlebihan, tidak ada respons histeris dari orang-orang di sekelilingnya. Kematian menjadi sesuatu yang niscaya dan wajar. Kemudian Iben dalam keadaan mabuk berat berhasil mesuksesi wilayah Dogi dengan tidur di sofa sambil menenggak alkohol. Pada adegan ini, misteri menyembul kembali; Iben menjadi semacam asosiasi, atau reinkarnasi tokoh Dogi, atau bisa jadi ia adalah seorang anak yang lolos dari peristiwa pembunuhan itu. Iben telah berusaha menafsirkan dirinya dengan pencarian identitasnya tetapi tetap saja usaha-usahanya itu seperti menegasikan untuk dimaknai. Seperti halnya dunia yang absurd ini, semakin berusaha didefinisikan; dunia seolah tampak menegasi untuk dimaknai.
Tetapi walaupun dunia ini absurd, hidup tetaplah berarti. Harapan menjadi satu-satunya alasan manusia untuk tetap hidup, seperti dalam dialog penutup, Hedar mengucapkannya dengan lirih “Hujan lebat yang indah. Memberi tunas-tunas kecil. Tunas kecil yang putih menyembul di permukaan tanah”. Tabik!
-------------------------------------------------------------
* Aktor dan Sutradara asal Cianjur. Pendiri Jalan Teater.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar