Kegemerlapan Tontonan
Di tengah
gencarnya suguhan-suguhan seni tontonan dalam media televisi yang lebih
menawarkan hiburan dan kesenangan belaka -bahkan tidak sedikit mengumbar libido
seksual- tanpa dibarengi dengan pesan-pesan moral bisa mengakibatkan masyarakat
apatis terhadap lingkungan sekitarnya. Segala hiburan dan kesenangan diumbar
tanpa muatan nilai-nilai di dalamnya berpotensi membentuk manusia profan,
banal, tidak kritis dan pemikiran dangkal.
Beberapa tahun
terakhir, di kota-kota besar, dunia panggung teater didominasi oleh pelbagai
kegemerlapan seni tontonan, semacam: drama musikal dan opera. Didukung sokongan
finansial yang besar dan manajemen professional, panggung berubah menjadi arena
kekhawatiran. Kekhawatiran terhadap perubahan fungsi panggung yang selama ini
oleh seniman teater dijadikan sebagai media penyampai nilai dan pesan moral
berubah menjadi produk komoditas semata. Dana milyaran rela digelontorkan hanya
untuk meraup keuntungan yang lebih besar. Fungsi seni telah tereduksi oleh
paradigma pragmatis untung dan rugi. Seni dihiasi ornamen-ornamen artifisial
tanpa kedalaman makna dan nilai. Panggung menjadi arena kleptomania artistik,
kemewahan tanpa tiang penyangga integritas pada visi dan misi kebudayaan. Seni
dikemas menjadi komoditas yang menggiurkan. Artis-artis populer seperti artis
sinetron, bintang iklan, dan model direkrut untuk mengisi posisi ganda, sebagai
pemain sekaligus daya tarik untuk menjaring ribuan penonton. Sedangkan di sudut
gedung pertunjukan, seniman teater sebagai orang panggung hanya bisa memeluk
lutut menyaksikan fenomena itu dan terasing di panggungnya sendiri.
Teater dan Nilai-nilai Kultural
Tanpa
mengesampingkan dalih mereka bahwa pertunjukan "mewah" yang
disuguhkan mengandung muatan nilai dan pesan. Namun, fenomena seperti itu
seharusnya disikapi, dikritisi kemudian dijadikan sebuah kegelisahan untuk
menempatkan sebuah media tontonan yang syarat dengan nilai-nilai dan
pesan-pesan moral diposisi tertinggi tanpa dominasi orientasi keuntungan
finansial belaka. Teater harus bersifat dinamis serta memiliki naluri habituasi
yang cerdas di tengah kecepatan perubahan jaman. Optimisme harus dibangun bahwa
panggung adalah media yang sangat tepat untuk membangun masyarakat dari
ketidaksadaran atas permasalahan yang terjadi di sekitarnya. Teater harus
diberdayakan menjadi lahan subur dalam investasi kultural. Pertunjukan teater
diharapkan bisa menginterupsi masyarakat untuk merenungkan kembali pengalaman
hidupnya, membuka mata terhadap apa yang sebenarnya terjadi dalam
masyarakatnya, dan apa yang terjadi dalam dirinya masing-masing. Singkatnya,
pertunjukan teater bisa menjadi ruang katarsis bagi masyarakat atau semacam
terapis kejiwaan.
Teater merupakan
sebuah produk kebudayaan yang perlu dihargai karena mengandung muatan-muatan
nilai, moral, kepekaan perasaan, pembelajaran, dan ruang katarsis bagi
masyarakat. Tetapi bentuk penghargaan itu berbeda dengan orientasi finansial
untung dan rugi. Teater bukan ruang transaksi jual-beli tontonan yang
berorientasi ekonomi belaka (untung dan rugi) melainkan sebuah ruang transaksi
kultural. Teater bukan hanya bertujuan untuk membuka peluang wacana pasar saja
-dalam hal ini tidak kehilangan penontonnya- tetapi juga diharapkan dapat membuka
lebar pasar wacana. Panggung teater bisa dijadikan arena proses didaktik
kehidupan. Aktivitas teater seperti ini diharapkan menjadi media informatif,
mendidik, menyadarkan sekaligus menghibur.
Sampai saat ini
pengerahan penonton dari pelajar dan mahasiswa paling banyak mengisi
kursi-kursi penonton teater. Ini adalah gejala positif yang perlu
dipertahankan. Sebagai akademisi, pelajar dan mahasiswa bisa menjadi aktor
intelektual yang kritis dalam diskursus seni atau diskursus ilmu lainnya.
Teater adalah semacam sumur tanpa dasar yang perlu digali kekayaan makna di
dalamnya. Teater memberikan ruang kritis, kontemplasi, dan katarsis terhadap
realitas sosial yang terjadi di masyarakat.
Teater perlu
mempunyai sifat habituasi yang cepat di tengah kepungan kegemerlapan seni
tontonan yang kian masif, profan, dan banal. Proses habituasi ini bukan berarti
teater harus mengikuti arus ke dalam sebuah tontonan yang hambar tanpa kualitas
estetik dan nilai, tetapi harus punya kesigapan mempertahankan diri dari wilayah
teritorial seni tontonan supaya tidak kehilangan tempatnya. Kesigapan itu membutuhkan
pelbagai upaya yang kompleks bagi seniman teater, diantaranya adalah:
meningkatkan kecerdasan intelektual, membuka ruang-ruang kreatif, meningkatkan
kualitas estetik dan nilai, peka terhadap fenomena yang terjadi di masyarakat
dan lingkungan sekitar, dan mempunyai misi menanamkan nilai-nilai kultural di
masyarakat. Teater harus dikembalikan pada khitohnya
yakni menjadi kebutuhan bagi masyarakat. Teater merupakan kebutuhan primordial
umat manusia. Sejak dahulu kala ritual teater dijadikan ruang katarsis manusia
dengan tuhannya, menjadi media informasi, didaktik dan hiburan bagi masyarakat. Oleh sebab itu, teater perlu
dekat dengan masyarakatnya. Teater tidak boleh mengasingkan dirinya dengan
masyarakat.
Seniman teater
perlu merumuskan strategi supaya pertunjukan teater tetap berlangsung dan bisa
diapresiasi oleh masyarakat. Pertunjukan teater tidak perlu mengikuti
kegemerlapan tontonan yang sedang mewabah di negeri ini. Seniman teater perlu
banyak membuka ruang-ruang kreatif, seperti acara diskusi, festival atau parade
teater. Interaksi teater semacam itu mengandung muatan positif untuk
mengembangkan teater. Selain itu banyak cara untuk mengembangkan teater, salah
satu jalan teater adalah monolog. Monolog bisa dijadikan sebagai media
alternatif bagi seniman teater. Pementasan monolog mempunyai kekhasan dalam
menyampaikan nilai-nilai kultural. Selain lebih intim, monolog memberikan ruang
kritis yang lebih lapang bagi penonton. Di dalam monolog, tersebar
teknik-teknik alienasi sehingga penonton
tidak sepenuhnya diajak larut ke dalam peristiwa tetapi selalu disadarkan bahwa
monolog hanyalah sebuah pertunjukan semata. Sikap itu terasa penting untuk
menumbuhkan sikap kritis penontonnya.
Monolog, Sebuah Perayaan di Jalan Teater
Banyak cara untuk
mengembangkan seni teater. Salah satu jalan teaternya adalah monolog. Monolog
dianggap sebagai sebuah perayaan bagi seorang aktor di atas panggung. Perayaan
untuk kelanggengan “hidupnya“ aktor. Monolog dianggap sebagai ruang kemerdekaan
bagi aktor untuk mengeksplorasi gagasan, tubuh dan jiwanya sehingga seperti
mengafirmasi sebuah ungkapan yang cukup populer di kalangan seniman teater:
“Aktor tak pernah mati”. Sebagian banyak seniman teater menjadikan ungkapan itu
sebagai aksioma bahwa aktor akan terus hidup. Namun, apakah benar demikian? Di
dalam kancah teater modern –yang di dalamnya terdapat peran sutradara- seorang aktor
yang bermonolog sebenarnya telah banyak mengalami reduksi kebebasan
mengeksplorasi gagasan, tubuh dan jiwanya. Dominasi sutradara begitu kuat.
Sutradara menjelma jadi sosok otoriter dihadapan aktornya. Aktor menjadi tidak
punya kuasa atas tubuhnya, ia dibentuk sedemikian rupa oleh gagasan-gagasan
sutradara sehingga tubuh aktor sepenuhnya milik sutradara. Eksplorasi seorang aktor
terus dibayang-bayangi oleh standarisasi keinginan sutradara. Pada akhirnya aktor
menjadi produk sutradara. Bukankah hal demikian mengafirmasi bahwa aktor
sebenarnya sudah mati?
Kemudian muncul
strategi lain bermonolog untuk mengukuhkan bahwa aktor pantang untuk mati.
Monolog menjadi sebuah ruang perayaan seorang individu, seseorang menjadi aktor
sekaligus sutradara. Sebuah perayaan penciptaan dan penyampaian gagasan secara
individu. Monolog semacam ini sering dilakukan di ruang publik -pementasannya
lebih menyerupai happening art-,
mencoba menginterupsi orang-orang di tengah keramaian layaknya penjual obat
yang berteriak-teriak menjajakan dagangannya untuk mencapai sesuatu yang
diinginkan (misal: dagangannya laku) atau layaknya orang gila berperilaku aneh
di sebuah jalan yang mengusik sesaat para pejalan kaki lalu kemudian peristiwa pun ikut berlalu tanpa membekas sedikit pun
dalam perasaan. Aktor sepenuhnya mempunyai hak untuk mengeksplorasi gagasan
dengan media tubuh dan jiwanya. Di sini aktor mempunyai kebebasan absolut dalam
dirinya. Monolog seperti ini sepintas mengukuhkan seorang individu sebagai “aktor
yang benar-benar hidup” karena gagasan dan sutradaranya adalah tubuhnya
sendiri. Aktor dihidupkan oleh gagasan. Tetapi apakah benar monolog seperti itu
bisa membebaskan seorang aktor dari kematian? Bukankah aktor juga manusia dan hakekat manusia
adalah sebagai makhluk sosial? Monolog demikian menjadikan aktor sebagai
individu yang terlampaui narsistik. Sikap narsistik yang berlebihan bisa
berujung pada fase kondisi Nihilisme. Seolah-olah tidak membutuhkan pendukung
lain. Seolah-olah bisa hidup sendiri. Secara tidak langsung hal demikian telah
memurtadkan monolog dari teater. Teater merupakan sebuah kerja kolaboratif. Teater
merupakan kerja komunal. Butuh kebersamaan dalam menciptakan dan menyampaikan
sebuah gagasan yang disatukan oleh semua elemen pembantunya. Di sinilah letak
kekuatan seni teater dengan seni lain, maka menjadikan teater sebagai karya
seni yang sangat kaya.
Monolog
seharusnya menjadi sebuah perayaan aktor di jalan teater. Hakekat teater itu sendiri adalah kebersamaan dan
pembelajaran. Membutuhkan proses esamble
dalam penciptaan dan cara menyampaikan gagasannya. Sutradara tidak boleh
menjadi sosok otoriter dalam gagasan. Ia harus mendorong aktor untuk
mengeksplorasi gagasan-gagasan dalam tubuhnya. Sebaliknya aktor juga tidak bisa
berjalan sendirian, ia membutuhkan unsur-unsur lain seperti sutradara, penata
artistik, penata musik dll, untuk memperkaya sebuah gagasan. Dibutuhkan peran
yang setara diantara semua elemen. Proses semacam itu dapat memberikan ruang
dialektis intelektual yang luas dalam memperkaya sebuah gagasan. Selanjutnya
monolog menjadi tumpuan harapan aktor untuk mengukuhkan dirinya bahwa aktor tak
pernah mati. Monolog di masa depan harus menjadi bagian jalan teater dalam
menanamkan nilai-nilai kultural di masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar