Labels

Minggu, 01 September 2013

Monolog Bagian Jalan Teater (Sebuah Transaksi Kultural)

Kegemerlapan Tontonan
Di tengah gencarnya suguhan-suguhan seni tontonan dalam media televisi yang lebih menawarkan hiburan dan kesenangan belaka -bahkan tidak sedikit mengumbar libido seksual- tanpa dibarengi dengan pesan-pesan moral bisa mengakibatkan masyarakat apatis terhadap lingkungan sekitarnya. Segala hiburan dan kesenangan diumbar tanpa muatan nilai-nilai di dalamnya berpotensi membentuk manusia profan, banal, tidak kritis dan pemikiran dangkal.
Beberapa tahun terakhir, di kota-kota besar, dunia panggung teater didominasi oleh pelbagai kegemerlapan seni tontonan, semacam: drama musikal dan opera. Didukung sokongan finansial yang besar dan manajemen professional, panggung berubah menjadi arena kekhawatiran. Kekhawatiran terhadap perubahan fungsi panggung yang selama ini oleh seniman teater dijadikan sebagai media penyampai nilai dan pesan moral berubah menjadi produk komoditas semata. Dana milyaran rela digelontorkan hanya untuk meraup keuntungan yang lebih besar. Fungsi seni telah tereduksi oleh paradigma pragmatis untung dan rugi. Seni dihiasi ornamen-ornamen artifisial tanpa kedalaman makna dan nilai. Panggung menjadi arena kleptomania artistik, kemewahan tanpa tiang penyangga integritas pada visi dan misi kebudayaan. Seni dikemas menjadi komoditas yang menggiurkan. Artis-artis populer seperti artis sinetron, bintang iklan, dan model direkrut untuk mengisi posisi ganda, sebagai pemain sekaligus daya tarik untuk menjaring ribuan penonton. Sedangkan di sudut gedung pertunjukan, seniman teater sebagai orang panggung hanya bisa memeluk lutut menyaksikan fenomena itu dan terasing di panggungnya sendiri.
Teater dan Nilai-nilai Kultural
Tanpa mengesampingkan dalih mereka bahwa pertunjukan "mewah" yang disuguhkan mengandung muatan nilai dan pesan. Namun, fenomena seperti itu seharusnya disikapi, dikritisi kemudian dijadikan sebuah kegelisahan untuk menempatkan sebuah media tontonan yang syarat dengan nilai-nilai dan pesan-pesan moral diposisi tertinggi tanpa dominasi orientasi keuntungan finansial belaka. Teater harus bersifat dinamis serta memiliki naluri habituasi yang cerdas di tengah kecepatan perubahan jaman. Optimisme harus dibangun bahwa panggung adalah media yang sangat tepat untuk membangun masyarakat dari ketidaksadaran atas permasalahan yang terjadi di sekitarnya. Teater harus diberdayakan menjadi lahan subur dalam investasi kultural. Pertunjukan teater diharapkan bisa menginterupsi masyarakat untuk merenungkan kembali pengalaman hidupnya, membuka mata terhadap apa yang sebenarnya terjadi dalam masyarakatnya, dan apa yang terjadi dalam dirinya masing-masing. Singkatnya, pertunjukan teater bisa menjadi ruang katarsis bagi masyarakat atau semacam terapis kejiwaan.
Teater merupakan sebuah produk kebudayaan yang perlu dihargai karena mengandung muatan-muatan nilai, moral, kepekaan perasaan, pembelajaran, dan ruang katarsis bagi masyarakat. Tetapi bentuk penghargaan itu berbeda dengan orientasi finansial untung dan rugi. Teater bukan ruang transaksi jual-beli tontonan yang berorientasi ekonomi belaka (untung dan rugi) melainkan sebuah ruang transaksi kultural. Teater bukan hanya bertujuan untuk membuka peluang wacana pasar saja -dalam hal ini tidak kehilangan penontonnya- tetapi juga diharapkan dapat membuka lebar pasar wacana. Panggung teater bisa dijadikan arena proses didaktik kehidupan. Aktivitas teater seperti ini diharapkan menjadi media informatif, mendidik, menyadarkan sekaligus menghibur. 
Sampai saat ini pengerahan penonton dari pelajar dan mahasiswa paling banyak mengisi kursi-kursi penonton teater. Ini adalah gejala positif yang perlu dipertahankan. Sebagai akademisi, pelajar dan mahasiswa bisa menjadi aktor intelektual yang kritis dalam diskursus seni atau diskursus ilmu lainnya. Teater adalah semacam sumur tanpa dasar yang perlu digali kekayaan makna di dalamnya. Teater memberikan ruang kritis, kontemplasi, dan katarsis terhadap realitas sosial yang terjadi di masyarakat.
Teater perlu mempunyai sifat habituasi yang cepat di tengah kepungan kegemerlapan seni tontonan yang kian masif, profan, dan banal. Proses habituasi ini bukan berarti teater harus mengikuti arus ke dalam sebuah tontonan yang hambar tanpa kualitas estetik dan nilai, tetapi harus punya kesigapan mempertahankan diri dari wilayah teritorial seni tontonan supaya tidak kehilangan tempatnya. Kesigapan itu membutuhkan pelbagai upaya yang kompleks bagi seniman teater, diantaranya adalah: meningkatkan kecerdasan intelektual, membuka ruang-ruang kreatif, meningkatkan kualitas estetik dan nilai, peka terhadap fenomena yang terjadi di masyarakat dan lingkungan sekitar, dan mempunyai misi menanamkan nilai-nilai kultural di masyarakat. Teater harus dikembalikan pada khitohnya yakni menjadi kebutuhan bagi masyarakat. Teater merupakan kebutuhan primordial umat manusia. Sejak dahulu kala ritual teater dijadikan ruang katarsis manusia dengan tuhannya, menjadi media informasi, didaktik dan hiburan bagi masyarakat. Oleh sebab itu, teater perlu dekat dengan masyarakatnya. Teater tidak boleh mengasingkan dirinya dengan masyarakat.
Seniman teater perlu merumuskan strategi supaya pertunjukan teater tetap berlangsung dan bisa diapresiasi oleh masyarakat. Pertunjukan teater tidak perlu mengikuti kegemerlapan tontonan yang sedang mewabah di negeri ini. Seniman teater perlu banyak membuka ruang-ruang kreatif, seperti acara diskusi, festival atau parade teater. Interaksi teater semacam itu mengandung muatan positif untuk mengembangkan teater. Selain itu banyak cara untuk mengembangkan teater, salah satu jalan teater adalah monolog. Monolog bisa dijadikan sebagai media alternatif bagi seniman teater. Pementasan monolog mempunyai kekhasan dalam menyampaikan nilai-nilai kultural. Selain lebih intim, monolog memberikan ruang kritis yang lebih lapang bagi penonton. Di dalam monolog, tersebar teknik-teknik alienasi sehingga penonton tidak sepenuhnya diajak larut ke dalam peristiwa tetapi selalu disadarkan bahwa monolog hanyalah sebuah pertunjukan semata. Sikap itu terasa penting untuk menumbuhkan sikap kritis penontonnya.
Monolog, Sebuah Perayaan di Jalan Teater
Banyak cara untuk mengembangkan seni teater. Salah satu jalan teaternya adalah monolog. Monolog dianggap sebagai sebuah perayaan bagi seorang aktor di atas panggung. Perayaan untuk kelanggengan “hidupnya“ aktor. Monolog dianggap sebagai ruang kemerdekaan bagi aktor untuk mengeksplorasi gagasan, tubuh dan jiwanya sehingga seperti mengafirmasi sebuah ungkapan yang cukup populer di kalangan seniman teater: “Aktor tak pernah mati”. Sebagian banyak seniman teater menjadikan ungkapan itu sebagai aksioma bahwa aktor akan terus hidup. Namun, apakah benar demikian? Di dalam kancah teater modern –yang di dalamnya terdapat peran sutradara- seorang aktor yang bermonolog sebenarnya telah banyak mengalami reduksi kebebasan mengeksplorasi gagasan, tubuh dan jiwanya. Dominasi sutradara begitu kuat. Sutradara menjelma jadi sosok otoriter dihadapan aktornya. Aktor menjadi tidak punya kuasa atas tubuhnya, ia dibentuk sedemikian rupa oleh gagasan-gagasan sutradara sehingga tubuh aktor sepenuhnya milik sutradara. Eksplorasi seorang aktor terus dibayang-bayangi oleh standarisasi keinginan sutradara. Pada akhirnya aktor menjadi produk sutradara. Bukankah hal demikian mengafirmasi bahwa aktor sebenarnya sudah mati?
Kemudian muncul strategi lain bermonolog untuk mengukuhkan bahwa aktor pantang untuk mati. Monolog menjadi sebuah ruang perayaan seorang individu, seseorang menjadi aktor sekaligus sutradara. Sebuah perayaan penciptaan dan penyampaian gagasan secara individu. Monolog semacam ini sering dilakukan di ruang publik -pementasannya lebih menyerupai happening art-, mencoba menginterupsi orang-orang di tengah keramaian layaknya penjual obat yang berteriak-teriak menjajakan dagangannya untuk mencapai sesuatu yang diinginkan (misal: dagangannya laku) atau layaknya orang gila berperilaku aneh di sebuah jalan yang mengusik sesaat para pejalan kaki lalu kemudian peristiwa  pun ikut berlalu tanpa membekas sedikit pun dalam perasaan. Aktor sepenuhnya mempunyai hak untuk mengeksplorasi gagasan dengan media tubuh dan jiwanya. Di sini aktor mempunyai kebebasan absolut dalam dirinya. Monolog seperti ini sepintas mengukuhkan seorang individu sebagai “aktor yang benar-benar hidup” karena gagasan dan sutradaranya adalah tubuhnya sendiri. Aktor dihidupkan oleh gagasan. Tetapi apakah benar monolog seperti itu bisa membebaskan seorang aktor dari kematian? Bukankah aktor juga manusia dan hakekat manusia adalah sebagai makhluk sosial? Monolog demikian menjadikan aktor sebagai individu yang terlampaui narsistik. Sikap narsistik yang berlebihan bisa berujung pada fase kondisi Nihilisme. Seolah-olah tidak membutuhkan pendukung lain. Seolah-olah bisa hidup sendiri. Secara tidak langsung hal demikian telah memurtadkan monolog dari teater. Teater merupakan sebuah kerja kolaboratif. Teater merupakan kerja komunal. Butuh kebersamaan dalam menciptakan dan menyampaikan sebuah gagasan yang disatukan oleh semua elemen pembantunya. Di sinilah letak kekuatan seni teater dengan seni lain, maka menjadikan teater sebagai karya seni yang sangat kaya.
Monolog seharusnya menjadi sebuah perayaan aktor di jalan teater. Hakekat teater itu sendiri adalah kebersamaan dan pembelajaran. Membutuhkan proses esamble dalam penciptaan dan cara menyampaikan gagasannya. Sutradara tidak boleh menjadi sosok otoriter dalam gagasan. Ia harus mendorong aktor untuk mengeksplorasi gagasan-gagasan dalam tubuhnya. Sebaliknya aktor juga tidak bisa berjalan sendirian, ia membutuhkan unsur-unsur lain seperti sutradara, penata artistik, penata musik dll, untuk memperkaya sebuah gagasan. Dibutuhkan peran yang setara diantara semua elemen. Proses semacam itu dapat memberikan ruang dialektis intelektual yang luas dalam memperkaya sebuah gagasan. Selanjutnya monolog menjadi tumpuan harapan aktor untuk mengukuhkan dirinya bahwa aktor tak pernah mati. Monolog di masa depan harus menjadi bagian jalan teater dalam menanamkan nilai-nilai kultural di masyarakat.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar