MAKNA kata memang bisa dilihat dari berbagai aspek. Ada makna leksikal, yakni makna kata sebagai lambang benda
atau peristiwa. Ada makna gramatikal, yakni makna atas dasar hubungan antarkata serta antara kata dan frasa atau
klausa. Di samping itu masih ada makna kontekstual, makna konotatif, makna emotif, makna kognitif, makna intensif,
makna ekstensif, makna denotatif, makna lokusif, makna luas, makna khusus, dan lain-lain. Dulu makna kata ini oleh para
guru kita disebut sebagai arti kiasan dan arti sebenarnya.
Makna kata inilah yang menjadi acuan AyatrohaƩdi ketika menulis Ustaz di Kampung Maling di rubrik ini, 5 Maret 2005: "Itu
yang kemudian membedakan ustaz, juga pastor dan pendeta (Protestan), dari guru yang berubah menjadi ’pekerjaan
umum’." Mang Ayat benar. Makna leksikal ustaz, yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ketiga adalah ’guru
agama atau guru besar’, memang telah tenggelam oleh makna gramatikal sekaligus kontekstualnya sebagai simbol
kebaikan dan kesucian. Status ustaz kini berada di deretan kiai, pendeta, dan pastor yang berbeda dengan guru agama di
sekolah umum.
Namun, makna leksikal pastor dan pendeta tetap berbeda dengan ustaz maupun kiai. Dalam agama Islam, siapa saja
asal bukan perempuan bisa menjadi imam untuk memimpin salat berjamaah. Dalam agama Hindu, Buddha, Konghucu,
Protestan, dan Katolik tidak semua orang bisa berfungsi sebagai "imam" untuk memimpin ibadah. Itu tugas pendeta dan
pastor. Makna leksikal ustaz, pendeta, dan pastor sebaiknya jangan dikacaukan oleh makna gramatikal dan
kontekstualnya. Selain karena menyangkut agama yang berlainan dan perbedaan pokok profesi itu, pergeseran makna
kontekstual ustaz hanya sebatas sebagai simbol kebaikan. Makna leksikalnya tetap: guru agama. Bukan pemimpin dalam
struktur keagamaan permanen.
Makna leksikal pendeta (Hindu, Buddha, Konghocu, dan Protestan) serta pastor (Katolik) terutama adalah sebagai
pemimpin agama dan imam permanen, yang jelas beda dengan profesi ustaz. Untuk bisa menjadi imam, pendeta dan
pastor harus menempuh jenjang pendidikan tertentu. Untuk menjadi ustaz dan kiai yang merupakan profesi permanen,
seseorang memang tetap memerlukan jenjang pendidikan khusus dan pengakuan umat. Namun, untuk menjadi imam
dalam salat berjamaah, Islam tidak menuntut adanya status permanen yang diraih melalui pendidikan khusus.
Meskipun sama-sama memiliki persamaan makna leksikal sebagai pemimpin keagamaan dan imam permanen,
pendeta dan pastor juga punya perbedaan makna leksikal yang prinsipiil. Pendeta bisa berumah tangga (menikah dan
punya anak), sementara pastor tidak menikah. Karena itu, pendeta bisa hidup normal sebagai anggota masyarakat biasa,
sementara pastor adalah anggota tarekat yang mutlak hidup di biara, kecuali pastor praja (diosesan) yang bukan anggota
tarekat (langsung di bawah keuskupan) sehingga boleh hidup di luar biara. Meskipun begitu, mereka juga tetap tidak
menikah.
Status pendeta dan pastor sebagai pemimpin keagamaan permanen sebenarnya sama dengan imam masjid, bukan
imam dalam salat berjamaah meski dalam hal ini pun tetap ada perbedaan antara pendeta dan imam masjid dengan
pastor. Sebagai anggota tarekat, pastor bisa pindah (dimutasikan) ke mana pun bahkan sampai ke luar negeri, sesuai
dengan keputusan pemimpin tarekat. Imam masjid tidak lazim dimutasikan. Ini disebabkan oleh struktur kerucut agama
Katolik yang masif dengan Paus dan Vatikan sebagai negara berdaulat merupakan puncaknya. Sementara Hindu,
Buddha, Konghucu, Protestan, dan Islam tidak memiliki struktur kerucut yang masif demikian sehingga relatif lebih
"demokratis".
Meskipun makna leksikal guru dalam KBBI adalah ’orang yang pekerjaannya (mata pencahariannya, profesinya)
mengajar’, makna gramatikal, kontekstual, dan konotatifnya tetap beragam. Ketika menteri, BJ Habibie menyebut Soeharto
sebagai "guru besar". Maknanya pasti bukan makna leksikal sebab Soeharto tak pernah kuliah, apalagi mengajar di
universitas. Kalau Nurcholish Madjid disebut sebagai "guru bangsa", maknanya bukan Cak Nur bermata pencaharian
mengajar bangsa ini. Bahkan, makna maling dalam Ustaz di Kampung Maling pasti bukan leksikal, melainkan gramatikal,
kontekstual, atau konotatif.
F Rahardi Penyair
Tidak ada komentar:
Posting Komentar