Labels

Selasa, 03 September 2013

Keterasingan Teater dan Muhasabah Sejarah

Ada hal yang paling menohok ketika saya membaca A Guide to Modern Drama, saya yakin saya sudah belajar banyak dari Golfrab tapi tampaknya Susan C. W. Abbotson ini dengan mudah menguliahi saya bagaimana terciptanya teater absurd. Dan penjelasannya ini membuat saya merasa tidak mengerti apa-apa.

Saya kira dengan melihat bagaimana teater berevolusi, saya akan menyaksikan sebuah citraan tentang kesenian besar dan gagah, namun yang saya lihat adalah geliat semangat di dalam membangun kembali kesenian. Teater tak pernah luput dari sejarah, dan ketika sejarah membentuk wajah teater sepertinya kita harus waspada, disisi mana kita berdiri.

Proses Diskusi

History is written by the victor, mau tidak mau kita harus mengikuti itu, karena memang pemenang menentukan kemana penulisan sejarah ada. Dan saat ini di Indonesia, saya melihat dunia teater nasional seperti di bentuk oleh para investor kesenian, pemegang tender, dan otak-otak minim estetik. Yang berlagak seperti martyr kesenian.

Ketika saya berdiri di Jakarta, tidak ada tokoh-tokoh teater yang saya kenal, saya mengenal Pak Nano Riantiarno lewat tulisan-tulisan beliau—pandangan beliau tentang meng’industrialisasi’kan teater tampaknya sangat jelas. Beliau ingin para pekerja teater makan enak, punya rumah, pementasan bermodal besar dan dapat untung besar, penonton akan dengan senang hati membeli tiket, membawa sanak saudaranya ke dalam gedung pertunjukan, kebahagiaan tercipta lewat jalan kesenian, itulah impian Pak Nano—pun kandas tak berujung.

Pak Nano sendirian tidak bisa melawan arus yang menerjangnya, teater kian mengasingkan diri dari masyarakat. Bukan karena pengaruh hal-hal di luar teater, melainkan karena orang-orang yang mencintai teater itu sendiri. Orang-orang itu—yang akan saya sebut sebagai simpatisan—adalah orang yang mencintai teater namun sama sekali tidak menikahi melainkan memperkosanya berkali-kali.
Setiap kali saya duduk menyaksikan televisi betapa hingar bingar dunia shobiz yang mereka hadirkan seperti berjelaga di mata saya. Saya melihat teater menjauhkan diri selangkah demi selangkah dari masyarakat, eksistensinya serasa mengabut, dan ketika saya mengalihkan pandangan dan melihat dunia teater yang saya jalani, saya merasa tuhan menertawakan saya “Hai kamu akan tua dan miskin”. Begitu suara yang saya dengar.

Menjadi tua dan miskin adalah masa depan yang paling cerah yang bisa kita dapatkan ketika kita hidup dengan menjadi istiqomah di jalan teater, dan mengapa itu terjadi?
Alkisah namanya adalah kamu, sejak kecil kamu melihat panggung pertunjukan adalah sebuah kuil, aktor-aktor yang bermain di atasnya adalah dewa-dewa yang bermandikan cahaya keabadian, dan kamu dari bangku penonton adalah umat yang begitu gembira memperhatikan ulah dewa-dewa itu. Oh indahnya, kamu berkata, matamu seperti enggan menutup, mulutmu gambarkan kekaguman yang sangat. Dan pada saat itu kamu sudah jatuh cinta.

Tahun kemudian waktu membawa kamu untuk ikut serta, menjadi dewa kecil yang mendapat peran kecil dan sungguh kamu membawa segenap cinta pada tiap gerak, tiap dialog, tiap ketaksaan yang kamu rasakan. Kamu mendewa, kamu mendewa. Sampai waktu menyadarkanmu bertahun-tahun kemudian, bahwa di dunia ini cinta tak bisa membuatmu terus hidup.

Itulah yang saya lihat, itulah yang saya rasakan. Mungkin benar kelahiran teater absurd adalah sebuah kritik untuk merespon hancurnya nilai-nilai yang berada dalam masyarakat. Nilai apa, kita tidak pernah bisa membentuk kembali kehancuran itu. Mungkin teater memang perlu dikomuniskan, sehingga tangan-tangan industri yang tidak memiliki cinta, tidak menggenggam dan mengkerdilkan kita.

History is written by the victor, siapakah kita, apakah kita pemenang nanti? Atau yang dibumihanguskan oleh para pemenang yang memiliki ‘rejeki’ lebih. Atau kita akan memenangkan sejarah bersama-sama, membaginya sesuai porsi. Membawa semuanya dengan kerendahan hati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar