Labels

Senin, 02 September 2013

AKTOR DI PANGGUNG TEATER

Oleh: Agus Noor

Sutradara bisa mati, tapi aktor tidak!
(Arifin C. Noer)

Cukup lama aktor absent dalam teater modern kita. Tradisi realisme yang tidak cukup berkembang bisa dilihat sebagai satu faktor yang menyebabkan aktor tak menemukan ‘ruang bermain’ dalam panggung teater modern kita. Pentas-pentas teater yang berbasis realisme, sebagaimana dikembangkan sejak periode ATNI, Teater Populer, Teater Lembaga sampai STB, memang secara sporadis muncul, tetapi tidak terlalu kuat nenamamkan tradisi realisme sebagai mainstream dalam teater modern kita.

Hal itu membawa konsekuensi: tak tersedianya peran dan penokohan dalam naskah lakon yang memiliki kompleksitas psikologis. Yang berkembang ialah tokoh-tokoh tipologis, kata Kuntowijoyo. Hingga seringkali kita ‘terpaksa’ meminjam tokoh-tokoh dalam lakon yang ditulis oleh Ibsen, Chekov, untuk menjadi referen permainan realisme. Ketika naskah lakon tidak menyediakan kompleksitas penokohan yang menantang untuk ditafsirkan aktor dalam satu pementasan, perlahan-lahan sosok aktor pun surut dalam panggung teater modern kita. Karena itu teater kemudian lebih tampak sebagai “representasi gagasan” ketimbang “representasi pemeranan”.

Akibatnya, “keaktoran” nyaris tak mendapat perhatian. Tengoklah, misalnya kritik-kritik teater yang terbit kurun 80-90an, kita akan mendapati ulasan seputar aktor tak lebih dari: “permainannya cukup bagus”, “gesture dan artikulasinya terjaga”, dan ungkapan-ungkapan yang tak beranjak dari tekhnik permainan. Memang, ditengah perhatian dan ulasan yang seadanya itu, sempat mencuat juga beberapa aktor semacam Adi Kurdi, Amak Baljun, Dorman Borisman, Zaenal Abidin Domba, Landung Simatupang, Imam Sholeh. Tapi perhatian terhadap mereka pun lebih pada persoalan permainan mereka, bukan pada seputar “gagasan tentang keaktoran”: bagaimana posisi dan sejarah aktor dalam teater modern kita. Hal itu karena kritik teater selalu menempatkan sutradara sebagai pusat pertunjukan. Historiografi teater modern kita seolah (hanya) berpusat pada gagasan-gagasan para sutradara. Dari berita menjelang pentas, ulasan pertunjukan sampai kajian teater, selalu memusatkan sutradara sebagai pemilik otoritas pentas.

Teater modern kita pun lebih menampakkan diri sebagai “teater sutradara”, dimana panggung pertunjukan menjadi presentasi gagasan sang sutradara. Semua elemen dan/atau pekerja teater – termasuk juga aktor – kemudian menjadi perangkat artistik yang dipakai untuk mewujudkan gagasan-gagasan sutradara. Aktor tertutup di balik punggung sutradara. Dalam pertunjukan-pertunjukan Teater Mandiri-Putu Wijaya, aktor menjadi “kerumunan” yang tak beridentitas tak bernama. Tubuh aktor menjadi medan gagasan sutradara dalam pertunjukan Teater Kubur-Dindon. Dan aktor adalah seprangkat elemen artistik pertunjukan sebagaimana juga dekor dan properti atau benda-benda yang hadir serempak dalam pertunjukan Teater Sae-Budi S. Otong.

Dan rupanya itulah yang dicemaskan oleh Arifin C. Noer ketika ia kemudian mulai menghadirkan tokoh semacam Waska atau Jumena Mertawangsa dalam lokon-lakonnya. Dengan menghadirkan tokoh yang memiliki kompleksitas sejarah dan psikologis, Arifin hendak memberi peluang bagi aktor untuk hadir dalam panggung teater. Karena bagi Arifin, ketiadaan aktor membuat panggung teater menjadi kehilangan manusia, dengan sosoknya yang konkrit dan penuh pergulatan pemikiran.

Rupanya, bagi Arifin, aktor mesti ditempatkan di barisan paling depan, untuk menghadapi situasi sosial politik yang anomali. Arifin menyebut teaternya sebagai ‘teater cerdas’, dan teater cerdas memang mesti didukung aktor-aktor cerdas. Aktor dengan seluruh sejarah pengalaman dan pengetahuannya, untuk menghidupkan tokoh dan lakon. Apalagi dibawah bayang-bayang represi politik pada saat itu, teater memang mesti dengan cerdas menyiasati kemungkinan untuk tidak terjerembab menjadi “teater palsu”, sebagaimana yang diperlihatkan teater negera melalui panggung politiknya yang penuh eufimisme.

Menghadirkan aktor menjadi cara untuk menampilkan individu yang kuat dan berkarakter ketika menghadapi lingkungan sosial politik yang telah mengalineasi manusia menjadi apolitis. Terlebih ketika teater seperti tidak memiliki kemungkinan untuk melakukan mobilitas sosial; peristiwa teater hanya berkelindan di lingkungan geografis kesenian, dan diresepsi oleh para penonton seni yang segmentatif. Itulah situasi dimana Arifin melihat kemungkinan matinya teater, dan karena itu berupaya mengingatkan kembali perlunya aktor yang bisa melawan kemunculan para “aktor palsu” (semacam para politikus) yang bergitu kuat menjulang dalam panggung bangsa kita.

Menemukan Kembali Manusia

Ditengah situasi semacam itulah, mencari aktor dalam teater menjadi agenda tersendiri. Ada kegelisahan, untuk menghadirkan aktor. Pertama, berkait dengan seni pemeranan Kedua, upaya untuk memberi kemungkinan individu berkembang. Serangkaian pentas monolog yang digelar di TUK tahun 1988, dengan menampilkan antara lain Imam Sholeh dan Butet Kartaredjasa, sesungguhnya mencerminkan dua hal itu. Inilah titik di mana monolog kemudian makin dikenal luas. Terutama pada Butet, dimana monolog tidak berhenti sebagai persoalan tekhnis permainan atau akting di atas panggung Sebagai aktor, Butet masuk dalam gegap-gempita reformasi. Keaktoran hadir sebagai individu di tengah kerumunan massa. Maka hidup dan hadir kembalilah aktor kita!

Di sinilah aktor, kemudian menjadi representasi kemungkinan menghindarkan diri dari anomali di tengah segala perubahan sosial. Peran aktor tidak hanya berbatas luas panggung pertunjukan di mana dia bermain membawakan satu lakon, tetapi menjadi kemungkinan bagi berlangsungnya peristiwa teater yang mempertemukan kembali apa yang disenyatakan oleh Arifin sebagai “forum pertemuan antarmanusia untuk suatu percakapan”. Dan itulah substansi peristiwa teater, di mana ia adalah theatron, yang merupakan wilayah atau tempat yang menjadi ruang pertemuan satu komunitas kebudayaan untuk merefeksikan bermacam persoalan yang dihadapi.

Itu dimungkinkan oleh keber-ada-an aktor dalam pertunjukan monolog yang bersifat total, dimana ia adalah pusat permainan dan pertunjukan. Dalam monolog, sosok sutradara menjadi surut di belakang panggung. Monolog memungkinkan aktor untuk hadir sebagai manusia yang absolut. Apalagi sifat monolog yang memungkinkan hadir dalam ruang pertunjukan kecil dan familiar, membuat “pertemuan antaramanusia” menjadi lebih mungkin: dimana desah nafas dan bau keringat aktor bisa hadir secara nyata dan terasa. Penonton bisa mendengar dan mencium desah dan bau itu ‘secara konkrit’. “Keringkesan” lakon monolog sebagaimana dihadirkan oleh Wawan Sofwan (Kontrabass) atau Whani Darmawan (Metanietzsche: Boneka Sang Pertapa) membawa kita pada pengalaman bertemu kembali dengan manusia, setelah selama ini kita hanya bersua dengan aktor-aktor yang hidup dalam tabung-tabung kaca televisi.

Fenomena pertunjukan monolog yang belakangan ini cukup memperoleh perhatian khalayak, tentunya bisa menjadi kesempatan bagi para aktor untuk kembali hadir di panggung teater modern kita. Bila perkara tekhnis bermain (telah) teratasi, aktor dapat membangun sejarah teater modern kita melalui cara yang berbeda dengan cara sutradara mengolah dan memperlakukan teater modern kita. Atau aktor bisa memulai menyusun sejarah teater yang lebih memperhitungkan pencapaian aktor dalam permainan, baik itu pencapaian tekhnik permainan mau pun gagagan-gagasan teater yang muncul dari persoalan keaktoran.

Karena, bila tidak, kita akan kembali merasakan hilangnya aktor dalam teater modern kita. Dan ketiadaan aktor, berarti ketiadaan satu generasi teater, sebagaimana belakangan ini agak dicemaskan: ketika regenerasi teater seolah tak berjalan. Apalagi ketika aktor selalu berada dalam bayang-bayang nama sutradara. Setidaknya, itulah yang dicemaskan Rendra ketika mempersiapkan lakon Sobrat. Melalui lakon itu Rendra rupanya ingin memberi kesempatan tumbuhnya sebuah generasi; ruang bagi aktor baru untuk muncul. Yang tak karbitan. Yang tak dibentuk sutradara. Tapi apa boleh buat, Rendra tak terlalu berhasil dengan niat baiknya. Seperti ada yang macet dalam proses regenerasi itu.
Barangkali seorang aktor memang tidak perlu sekadar diberi kesempatan untuk hadir dan lahir. Tapi ia harus menghadirkan dirinya sendiri dalam panggung teater modern kita yang sudah terlalu lama berada dalam kekuasaan para sutradara yang sudah terlanjur menyandang nama besar!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar